Revalina mengetuk pintu ruang Dekan, tetapi tidak ada jawaban dari dalam.
"Masuk saja, Dekan belum datang. Mungkin sebentar lagi," kata seorang Dosen.
"Baik, terima kasih."
Revalina memutar tuas pada pintu kemudian masuk. Matanya menyisir setiap sudut ruangan.
"Apa perasaan aku saja, ya. Suasana ruangan seperti ini sangat tidak asing lagi. Seperti ruang kerja suamiku," gumam Revalina.
Sesaat kemudian, matanya membulat sempurna ketika melihat tulisan pada papan nama yang ada di meja.
"Ra-ffa-el Ge-rrald Xie," ucapnya mengeja.
"Iya, itu aku." Suara bariton dari arah belakang tiba-tiba saja mengagetkan Revalina. Gadis itu menoleh ke arah suara.
"Om Suami? Benarkah nama yang tertera di situ adalah kau?" tanya Revalina memastikan seraya mengikuti Raffael melangkah.
Raffael tidak memedulikan pertanyaan istrinya. "Mana pengajuan cutimu," pintanya.
Revalina mengeluarkan selembar k
Setelah mendengar penuturan dari Hanna mengenai Kitty, Revalina merasa waswas karena tak hanya orang tua mereka saling kenal, tetapi sikap genit Kitty kepada Raffael bisa membuat suaminya tergoda."Ya, sudah, Ma, Rere ke kamar dulu, ya? Mau kompres dulu kening," pamit Revalina."Mana coba, Mama liat." Hanna menyibak rambut yang menutupi kening menantunya."Ya, ampun, Sayang. Pasti keras banget jatuhnya. Lebih baik kita periksa ke dokter saja, yuk?" sambung Hanna cemas."Tidak usah, Ma. Rere baik-baik saja, kok. Di kompres air hangat saja nanti hilang sakitnya.""Baiklah, kalau begitu Mama suruh Bi Jumi untuk membawakan air hangat ke kamar. Kamu rebahan dulu saja, ya." Hanna beranjak ke dapur.Revalina mengangguk kemudian pergi ke kamar.Di kamar, rupanya Raffael sedang mencoba menidurkan Aldevaro. Bayi gembul itu sedang meminum susu dengan memegang botol s
Aldevaro sudah di tangan Hanna. Raffael bergegas kembali ke kamar untuk memastikan kondisi Revalina. Saat tiba di kamar, rupanya sang istri sudah tertidur pulas."Cepat sekali dia tidur," gumam Raffael.Tangannya terayun menyentuh kening Revalina. "Astaga! Panas sekali."Raffael menghubungi dokter pribadinya. Sambil menunggu dokter datang, Raffael kembali mengompres luka memar di kening istrinya yang mulai terlihat benjolan."Bagaimana, El?" tanya Hanna yang datang bersama Aldevaro."Dia demam, Ma," jawab Raffael. "Kebetulan ada Mama, tolong ganti baju Revalina, Ma," sambungnya.Hanna tersenyum. "Kenapa gak sama kamu aja? Toh kamu sudah menjadi suaminya, El.""Ya-yang benar saja, Ma. Enggak, ah.""Kau ini, mau apain Rere juga bebas, El. Gak bakal Mama protes. Justru Mama seneng, siapa tau aja Aldevaro punya adik.""El serius minta tolong, Ma.""Mama juga serius," timpal Hanna kemudian pergi
Malam menjelang.Raffael membawakan makan malam ke kamar untuk Revalina. Matanya menangkap jika istrinya sedang khusyuk mengerjakan tugas kuliah di atas kasur.Pria itu menyimpan nampan di atas meja kemudian menghampiri Revalina."Sudah, makan dulu," titah Raffael kemudian mengambil bolpoin di tangan Revalina."Sebentar, belum selesai." Revalina mencoba merebut alat tulisnya dari tangan Raffael, tetapi tidak bisa."Makan dulu!" tegas Raffael. "Awas saja kalau aku selesai mandi, tapi makananmu belum habis.""Kalo aku gak mau makan, mau apa?"Raffael kembali menggoda Revalina dengan mengangkat kedua tangan dan menggerakkan gaya meremas.Revalina bergidik ngeri kemudian bergegas meraih makan malam yang Raffael sediakan untuknya.Raffael tersenyum puas karena berhasil membuat istrinya menurut.Tiga puluh menit
Usapan lembut di pipi membuat Revalina perlahan membuka mata. Senyum seringai khas bayi, Aldevaro berikan kepada sang mama saat membuka mata."Aaah, Sayang. Kenapa sudah bangun, hm?" Revalina menciumi pipi gambul Aldevaro."Tate kangen sama Mbul. Dan mulai sekarang, waktu Tate hanya untukmu, Sayang. Apa kau senang?" ucap Revalina seraya menggelitik perut Aldevaro.Tawa renyah Aldevaro mampu membuat tidur Raffael terusik."Jam berapa ini?" gumam Raffael sambil melihat weker. "Hmm ... masih jam empat, tapi ada suara Al di sebelah."Raffael mengetuk pintu kamar putranya. "Buka, Re," titahnya.Revalina yang sedang asyik bermain dengan Aldevaro pun beranjak dan membuka pintu kemudian bermain kembali."Eh, anak Papa bobok di sini?" ucap Raffael seraya merebahkan diri di samping Aldevaro."Papa masih ngantuk, mau tidur lagi, ah," ucapnya lagi lal
Suasana sarapan di kediaman keluarga Xie sangat berbeda sekarang. Tentu saja karena Revalina sudah tidak merasa canggung lagi. Dengan cekatan, wanita itu menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauk untuk mertua dan suaminya.Setelah semua lengkap, barulah ia menyiapkan untuk putra dan dirinya sendiri. Tak sedikit celoteh dari mulut Revalina mampu membuat Hanna maupun Raffael tertawa."Om Suami, aku minta schedule ngantor dan mengajarmu. Boleh?""Untuk apa?""Agar aku tau, kapan harus menyiapkan keperluan ngantor, kapan harus menyiapkan keperluan mengajar. Tadi juga Mama yang kasih tau kalo pagi ini ternyata Om Suami ada meeting di kantor."Raffael tersenyum kemudian mengatakan hari apa saja ia berangkat ke kantor dan mengajar."Oke, terima kasih. Istrimu yang cantik dan baik ini akan setia melayani."Raffael mengangguk, sedangkan Hanna tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya.Ritual sarapan sudah selesai. Revalina
Ceklek!Suara bukaan daun pintu membuat Revalina terperanjat. Ia segera beranjak dari pangkuan dan merapikan rambut juga bajunya."Mama?!" cetus Revalina kaget. Ia merasa malu karena kepergok mertuanya.Hanna tersenyum. Hatinya bersorak senang melihat putra dan menantunya yang tampak romantis."Maaf, Mama ganggu kalian, ya?" tanya Hanna kemudian duduk di hadapan mereka."Eng-enggak, kok, Ma ... gak ganggu," ujar Revalina.Raffael menahan senyum melihat wajah istrinya yahg bersemu merah. "Ada apa, Ma?""Begini, Sayang. Tadi, Kakek Liong Xie menelepon. Ia memberitahu jika nenekmu sakit.""Lantas?""Ya ... Mama harus segera berangkat ke sana.""Saat ini juga?" tanya Revalina. "Di mana memangnya, Ma?"Hanna mengangguk. "Iya, Sayang. Di Tiongkok.""Jauh sekali," kata Revalina yang membuat Hanna tersenyum."Semuanya sudah siap?" tanya Raffael."Sudah. Baran
Tepat pukul lima sore, mobil milik Raffael sudah terparkir di halaman rumahnya.Raffael menoleh ke kursi belakang. Matanya menangkap jika Revalina dan Aldevaro tertidur pulas. Tangannya bergegas meraih tuas pintu dan membukanya. Raffael mengitari mobil dan membuka pintu belakang."Bangun! Sudah sampe," titah Raffael seraya menepuk pipi Revalina."Emmm," gumam Revalina.Perlahan wanita cantik itu membuka matanya. "Ah, maaf. Sudah sampai rupanya.""Iya. Sini, biar Al aku yang gendong."Revalina menyerahkan Aldevaro kepada Raffael. Gegas ia pun turun dari mobil.Raffael menidurkan bayinya di box bayi yang ada di kamarnya. Bayi gembul itu masih tertidur pulas."Mandilah dulu, sudah sore," titah Raffael saat melihat istrinya merebahkan diri di kasur."Kau saja dulu," kata Revalina.Raffael tersenyum jahat. "Mandi bareng aja, yuk!""A-apa?!"Raffael mengulang perka
Sebenarnya Revalina terlalu takut ketika Raffael berkata seperti tadi. Terlebih lagi, Raffael sampai membuka bajunya. Dirinya benar-benar belum siap jika harus melakukannya. Seketika ia teringat masa kecilnya saat meminta kepada sang mama seorang adik bayi. Cindy melakukan hal yang sama persis dengan Revalina lakukan. Membuat adonan roti dan dibentuk seperti orang-orangan."Untung saja aku bisa mengelak dan ingat mama," gumam Revalina sambil tersenyum. "Berarti, dulu aku dibohongin mama dong, ya," sambungnya kemudian terkekeh-kekeh geli."Om Suami marah gak, ya? Apa menganggap aku gila?" Revalina bermonolog.Revalina membereskan semua kekacauan yang ia perbuat di dapur kemudian menyusul Raffael ke kamar."Ke mana Om Suami?" ucapnya dengan mata menyisir setiap sudut kamar.Mata Revalina menangkap pintu ruang kerja yang terbuka. Langkahnya mengendap menghampiri Raffael. Lagi, langkahnya kembali terhenti seperti kala itu. Revalina me
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald