Suasana sarapan di kediaman keluarga Xie sangat berbeda sekarang. Tentu saja karena Revalina sudah tidak merasa canggung lagi. Dengan cekatan, wanita itu menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauk untuk mertua dan suaminya.
Setelah semua lengkap, barulah ia menyiapkan untuk putra dan dirinya sendiri. Tak sedikit celoteh dari mulut Revalina mampu membuat Hanna maupun Raffael tertawa.
"Om Suami, aku minta schedule ngantor dan mengajarmu. Boleh?"
"Untuk apa?"
"Agar aku tau, kapan harus menyiapkan keperluan ngantor, kapan harus menyiapkan keperluan mengajar. Tadi juga Mama yang kasih tau kalo pagi ini ternyata Om Suami ada meeting di kantor."
Raffael tersenyum kemudian mengatakan hari apa saja ia berangkat ke kantor dan mengajar.
"Oke, terima kasih. Istrimu yang cantik dan baik ini akan setia melayani."
Raffael mengangguk, sedangkan Hanna tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya.
Ritual sarapan sudah selesai. Revalina
Ceklek!Suara bukaan daun pintu membuat Revalina terperanjat. Ia segera beranjak dari pangkuan dan merapikan rambut juga bajunya."Mama?!" cetus Revalina kaget. Ia merasa malu karena kepergok mertuanya.Hanna tersenyum. Hatinya bersorak senang melihat putra dan menantunya yang tampak romantis."Maaf, Mama ganggu kalian, ya?" tanya Hanna kemudian duduk di hadapan mereka."Eng-enggak, kok, Ma ... gak ganggu," ujar Revalina.Raffael menahan senyum melihat wajah istrinya yahg bersemu merah. "Ada apa, Ma?""Begini, Sayang. Tadi, Kakek Liong Xie menelepon. Ia memberitahu jika nenekmu sakit.""Lantas?""Ya ... Mama harus segera berangkat ke sana.""Saat ini juga?" tanya Revalina. "Di mana memangnya, Ma?"Hanna mengangguk. "Iya, Sayang. Di Tiongkok.""Jauh sekali," kata Revalina yang membuat Hanna tersenyum."Semuanya sudah siap?" tanya Raffael."Sudah. Baran
Tepat pukul lima sore, mobil milik Raffael sudah terparkir di halaman rumahnya.Raffael menoleh ke kursi belakang. Matanya menangkap jika Revalina dan Aldevaro tertidur pulas. Tangannya bergegas meraih tuas pintu dan membukanya. Raffael mengitari mobil dan membuka pintu belakang."Bangun! Sudah sampe," titah Raffael seraya menepuk pipi Revalina."Emmm," gumam Revalina.Perlahan wanita cantik itu membuka matanya. "Ah, maaf. Sudah sampai rupanya.""Iya. Sini, biar Al aku yang gendong."Revalina menyerahkan Aldevaro kepada Raffael. Gegas ia pun turun dari mobil.Raffael menidurkan bayinya di box bayi yang ada di kamarnya. Bayi gembul itu masih tertidur pulas."Mandilah dulu, sudah sore," titah Raffael saat melihat istrinya merebahkan diri di kasur."Kau saja dulu," kata Revalina.Raffael tersenyum jahat. "Mandi bareng aja, yuk!""A-apa?!"Raffael mengulang perka
Sebenarnya Revalina terlalu takut ketika Raffael berkata seperti tadi. Terlebih lagi, Raffael sampai membuka bajunya. Dirinya benar-benar belum siap jika harus melakukannya. Seketika ia teringat masa kecilnya saat meminta kepada sang mama seorang adik bayi. Cindy melakukan hal yang sama persis dengan Revalina lakukan. Membuat adonan roti dan dibentuk seperti orang-orangan."Untung saja aku bisa mengelak dan ingat mama," gumam Revalina sambil tersenyum. "Berarti, dulu aku dibohongin mama dong, ya," sambungnya kemudian terkekeh-kekeh geli."Om Suami marah gak, ya? Apa menganggap aku gila?" Revalina bermonolog.Revalina membereskan semua kekacauan yang ia perbuat di dapur kemudian menyusul Raffael ke kamar."Ke mana Om Suami?" ucapnya dengan mata menyisir setiap sudut kamar.Mata Revalina menangkap pintu ruang kerja yang terbuka. Langkahnya mengendap menghampiri Raffael. Lagi, langkahnya kembali terhenti seperti kala itu. Revalina me
Raffael menurunkan Aldevaro dari kereta bayi. Dengan penuh kehati-hatian, ia menuntun bayinya yang akan menginjak sepuluh bulan itu di rumput. Revalina dan Raffael tersenyum saat menyaksikan Aldevaro mulai melangkah."Ayok, Nak. Terus melangkah!" sorak Revalina menyemangati putranya.Revalina meminjam ponsel suaminya untuk mengabadikan momen yang menurutnya berharga itu."Ayok, terus, Sayang. Sini raih tangan Tate," kata Revalina lagi sambil merekam vidio."Mama, dong. Masa Tate terus," ujar Raffael.Revalina menatap Raffael. "Boleh memangnya?""Tentu saja boleh, Sayang. Dan memang harus seperti itu."Mata Revalina berkaca, ia memeluk Aldevaro erat dan menciumi pipi gembul sang bayi. "Mama sayang Mbul."Bayi itu tertawa renyah. Tangan mungilnya memegang pipi Revalina dan dibalas Revalina dengan mengusap kepala dan mengecup tangan mungil Aldevaro."Papanya gak di cium juga, nih?" tanya Raffae
Revalina mencoba menahan emosinya. Setelah mengganti pakaian Aldevaro, ia mengajak Jumi untuk ikut dengannya."Bi, tolong siapin keperluan Al," pinta Revalina. "Kita jalan sebentar ke Mall, yuk?""Iya, Non. Eh, tapi, Non, Bibi harus siapin bahan-bahan untuk nanti makan malam. Bagaimana?""Cuman sebentar, kok, Bi."Ya, Revalina berfikir mungkin saja jika tidak melihat Raffael bisa mengurangi rasa kesalnya.Jumi memasukan perlengkapan Aldevaro ke dalam tas kecil sedangkan Revalina menyiapkan mobil di garasi."Nona mau ke mana?" tanya James."Mau ke luar sebentar.""Biar saya antar," tawar James, tetapi Revalina menolak.Di kamar, Raffael duduk termenung memikirkan apa yang sudah istrinya katakan. Ia akui, dirinya tidak tegas menghadapi Maria.Tin Tin!Suara klakson memecah lamunan Raffael. Ia segera berjalan ke arah jendela dan melihat mobil siapa. Matanya memic
Jarum jam sudah menunjuk pada angka sepuluh. Namun, Raffael enggan terpejam. Rasa bersalah kepada Revalina kian bertambah, terlebih lagi wanitanya memilih tidur secara terpisah.Tangannya meraih gawai di atas nakas. Ia menghubungi orang kepercayaannya."Cetak semua foto Maria yang kau dapat dan kirim atas namaku ke alamatnya!" titahnya pada sambungan telepon."Siap, Tuan!""Jika fotonya sudah dia terima. Segera hubungi aku!""Baik."Raffael memutus sambungan sepihak.Pria itu beranjak dan membuka pintu balkon. Tidak disangka, saat menoleh ke arah samping, di sana Revalina pun sedang berdiri sambil menatap langit. Raffael mengendap melangkah pagar pembatas dan ...Grep!"Eeeh ...." Revalina terperanjat kaget. Ia mencoba melerai pelukan, tetapi pelukan Raffael makin erat. "Lepas!""Aku mohon, biarkan seperti ini, Sayang."Revalina bergeming. Pun dengan Raffael. Ia menikmati suasana seperti i
Pria jangkung berkulit putih pemilik Xie Company itu sudah melaksanakan meetingnya. Ia bergegas kembali ke ruangan. Namun, langkahnya terhenti kala Amanda merangkul lengannya dengan mesra."Sayang, kau sengaja, ya, bikin aku cemburu?" katanya dengan nada manja.Raffael melepas paksa rangkulan sang sekretaris. "Lepas! Tolong jaga sikapmu Amanda!""Kenapa? Apa karena wanita itu?""Wanita itu istriku! Camkan, itu!" tegas Raffael kemudian pergi.Brugh!"Aaaww!" Amanda memekik membuat Raffael menoleh dan kembali menghampiri, pun beberapa karyawan lainnya."Kamu kenapa?" tanya Raffael."Iih, gak liat emangnya? Aku, kan, jatoh," sahut Amanda. "Sakit, Sayang. Bantu aku bangun, dong," lanjutnya manja.Tanpa mereka sadari, Revalina melihat aksi Amanda sedari tadi. Semula, Revalina yang hendak ke luar untuk sekadar melihat suasana kantor, kini menghampiri suaminya. Sejujurnya wanita itu mer
Di perjalanan pulang, ponsel Raffael terus saja berdering."Angkatlah, berisik. Al sepertinya mau tidur lagi," kata Revalina."Tidak usah."Revalina yang merasa penasaran akhirnya melirik ponsel sang suami yang memang ia simpan di dashboard. 'My Honey-Maria', satu nama yang jelas terbaca oleh Revalina."Tidak usah anggap aku ada. Bicaralah!" titah Revalina dengan nada gemetar sambil menekan tombol pada stir."Jangan, Sa-" Ucapan Raffael terhenti karena Maria mulai angkat bicara."Honey, kenapa lama sekali angkatnya. Kamu sedang apa?" tanya Maria dengan nada manja."Dari kampus."Maria terbatuk."Kau sakit?" tanya Raffael dengan nada cemas.Terdengar Maria mulai terisak, menangis."Kau kenapa? Bicaralah?" tanya Raffael lagi."Kenapa kamu tega, Honey. Kau ingin putus denganku? Apa kau tau sedang apa aku sekarang?""Katakanlah, kau kenap