Pria jangkung berkulit putih pemilik Xie Company itu sudah melaksanakan meetingnya. Ia bergegas kembali ke ruangan. Namun, langkahnya terhenti kala Amanda merangkul lengannya dengan mesra.
"Sayang, kau sengaja, ya, bikin aku cemburu?" katanya dengan nada manja.
Raffael melepas paksa rangkulan sang sekretaris. "Lepas! Tolong jaga sikapmu Amanda!"
"Kenapa? Apa karena wanita itu?"
"Wanita itu istriku! Camkan, itu!" tegas Raffael kemudian pergi.
Brugh!
"Aaaww!" Amanda memekik membuat Raffael menoleh dan kembali menghampiri, pun beberapa karyawan lainnya.
"Kamu kenapa?" tanya Raffael.
"Iih, gak liat emangnya? Aku, kan, jatoh," sahut Amanda. "Sakit, Sayang. Bantu aku bangun, dong," lanjutnya manja.
Tanpa mereka sadari, Revalina melihat aksi Amanda sedari tadi. Semula, Revalina yang hendak ke luar untuk sekadar melihat suasana kantor, kini menghampiri suaminya. Sejujurnya wanita itu mer
Di perjalanan pulang, ponsel Raffael terus saja berdering."Angkatlah, berisik. Al sepertinya mau tidur lagi," kata Revalina."Tidak usah."Revalina yang merasa penasaran akhirnya melirik ponsel sang suami yang memang ia simpan di dashboard. 'My Honey-Maria', satu nama yang jelas terbaca oleh Revalina."Tidak usah anggap aku ada. Bicaralah!" titah Revalina dengan nada gemetar sambil menekan tombol pada stir."Jangan, Sa-" Ucapan Raffael terhenti karena Maria mulai angkat bicara."Honey, kenapa lama sekali angkatnya. Kamu sedang apa?" tanya Maria dengan nada manja."Dari kampus."Maria terbatuk."Kau sakit?" tanya Raffael dengan nada cemas.Terdengar Maria mulai terisak, menangis."Kau kenapa? Bicaralah?" tanya Raffael lagi."Kenapa kamu tega, Honey. Kau ingin putus denganku? Apa kau tau sedang apa aku sekarang?""Katakanlah, kau kenap
Sudah dua malam Revalina menginap di kediaman Carlos.Kegiatan pagi hari Revalina lakukan sama seperti di kediaman Xie. Hanya saja aktivitasnya berkurang satu yaitu menyiapkan keperluan suaminya. Tidak seperti biasanya pula, Aldevaro tidur nyenyak sekali. Sudah pukul tujuh pagi, tetapi bayi itu belum bangun. Seolah-olah Aldevaro tahu jika mama sambungnya sedang tidak baik-baik saja dan butuh waktu untuk sendiri.Revalina memilih taman belakang untuk menghirup udara segar."Mawar, andai aku punya duri sepertimu ... mungkin, jika ada orang yang menyakitiku, aku akan tancapkan duriku. Paling tidak, orang akan berpikir dua kali untuk menyakitiku," ucap Revalina sambil menghirup wangi bunga mawar."Awww!" pekik Revalina saat jarinya tertusuk duri."Eeeh!" Revalina kaget kala jarinya ada yang meraih bahkan menyesapnya."Kau! Mau apa ke mari?" tanya Revalina sambil menarik jarinya kemudian memalingkan muka."Men
Raffael mengajak Revalina untuk bicara dengan pengawalnya yang sedari lama mengawasi Maria. Namun, Revalina menolak."Tolong jawab dengan jujur. Apa kau masih sayang dan masih peduli kepada Maria?" tanya Revalina tanpa menoleh."Tidak! Jelas tidak, Sayang.""Aku tanya sekali lagi. Apa kau masih sayang dan masih peduli kepada Maria?""Kenapa kau bertanya seperti itu?"Revalina menoleh dan memandang wajah suaminya lekat. "Sangat jelas kau khawatir terhadapnya saat ia mengatakan sakit jantung. Entah sadar apa tidak, kau bahkan menyebutnya dengan panggilan sayang."Raffael menarik napasnya dalam kemudian menggenggam tangan Revalina. "Maaf, jujur ... rasa peduli memang ada. Dia adalah wanita yang mampu membuatku bangkit dari Casandra. Panggilan sayang memang spontan ke luar dari mulutku, tetapi bukan berarti aku cinta kepadanya."Revalina terpejam seraya menarik napasnya dalam. Ia menghargai pengakuan suaminya. Namun, yang ia m
Hari terus berganti, hingga tak terasa usia pernikahan Revalina dan Raffael sudah menginjak bulan ketiga. Foto yang berhubungan dengan Maria pun tentu saja sudah dihapus, bahkan di hadapan Revalina. Pun dengan nomor sang mantan sudah Raffael blokir. Tak cukup sampai di situ. Setiap hari Revalina bersikap manis dan terus bertingkah agresif agar Raffael tidak jauh darinya, dan yang paling utama adalah agar Raffael bisa seratus persen melupakan Maria. Revalina menjalani hari-harinya dengan tenang. Casandra dikabarkan sudah menikah lagi dan sedang hamil besar. Sekarang, ia sedang gelisah. Bagaimana tidak? Kedua orang tuanya meminta seorang cucu. Memang, dirinya sadar, sebagai seorang istri seharusnya tidak egois. Sejak awal menerima pernikahan seharusnya ia tahu akan seperti apa rumah tangga dan hubungan sebagai suami istri itu. Pukul tujuh pagi, Raffael sudah berangkat ke kantor. Sebagai seorang istri, Revalina tengah disibukkan dengan merapikan meja makan dan mencuci peralatan makan
Sinar mentari menelusup melalui jendela kaca yang tidak tertutup rapat oleh gorden membuat Revalina tersadar dari mimpi.Revalina menggeliat."Pagi, Sayang?" sapa Raffael sambil mencium pipi istrinya.Mata Revalina perlahan terbuka."Hmm ... pagi. Astaga, jam berapa ini?""Baru jam tujuh," jawab Raffael."Ya, ampun! Kenapa kau tidak bangunkan aku?" tutur Revalina sambil turun dari kasur. "Aww!" sambungnya memekik. Ia merasakan sakit di area intimnya.Pun Revalina baru menyadari jika dirinya masih polos. "Ya, Tuhan!" Revalina berbalik menatap Raffael. "Jangan lihat!" Wanita itu menarik selimut untuk menutupi dirinya."Astaga! Kenapa kau juga tidak mengenakan baju?""Ish! Kenapa? Toh semalam kita sudah sama-sama melihat," goda Raffael.Revalina mendelik. Matanya membulat sempurna saat melihat bercak darah di sprei berwarna putih. Raffael mengikuti ke mana arah istrinya melihat. Tersenyu
Revalina dan Raffael berpamitan kepada Hanna sekaligus mengajak Aldevaro. Namun, mulai hari itu Hanna melarang mereka untuk membawa sang cucu ikut bekerja dengan alasan Aldevaro masih kecil untuk dibawa perjalanan jauh. Apalagi bayi itu harus menempuh dua perjalanan dalam sehari yaitu ke kantor Raffael dan Carlos. Revalina hanya pasrah dengan keputusan Hanna.Di perjalanan menuju Xie Company Revalina tampak murung."Kenapa, Sayang?" tanya Raffael."Tidak," jawab Revalina singkat.Tangan kiri Raffael menggenggam tangan Revalina, sedangkan tangan kanan, ia fokuskan untuk memegang kendali stir. "Bicaralah, ada apa? Apa masih sakit?""Aah ... tidak, sudah tidak sakit.""Lalu?"Revalina mengatakan bahwa suaminya fokus menyetir saja. Nanti di kantor ia akan bicara.***Mobil sudah terparkir di depan lobi Xie Company.Raffael dan Revalina turun bersamaan. Pemilik perusahaan itu memberikan ku
Mobil Raffael memasuki gerbang kediamannya. Raffael menyipit karena ia melihat sebuah mobil hitam teronggok di halaman."Casandra?" gumam Raffael."Maksudnya apa?" tanya Revalina. Ia mengikuti arah Raffael menatap.Mata Revalina membulat sempurna saat melihat Casandra menggendong Aldevaro di teras dan bayi itu menangis hingga mukanya memerah.Belum juga mobil berhenti, Revalina nekat turun."Astaga, Sayang!" teriak Raffael sambil mengerem.Revalina berlari menghampiri Casandra. Tangannya dengan cepat meraih Aldevaro. "Jangan ambil anakku!" seru Revalina sambil memeluk Aldevaro erat.Casandra hanya terbengong atas tindakan dan ucapan Revalina.Raffael bergegas turun dan berlari menghampiri istrinya kemudian berkata, "Mau apa kau ke sini? Jangan harap kau bisa mendapatkan anakku!"Casandra mendengkus. "Jangan salah paham dulu. Aku ke sini hanya ingin memberinya kado ulang tahun.
Udara malam yang dingin mampu menusuk tulang siapa saja. Namun, lain halnya dengan Revalina. Ia tetap berdiri di balkon kamar seraya menatap rembulan."Hei, kenapa di sini, hm?" tanya Raffael sambil memeluk Revalina dari belakang dengan dagu ia sandarkan pada pundak sang istri.Revalina menoleh kemudian mencium pipi suaminya. "Sudah selesai laporannya?""Sudah," jawab Raffael sambil mengencangkan pelukannya. "Kau tidak merasa dingin?" sambungnya.Revalina menggeleng."Masuk, yuk," ajak Raffael."Kau saja, Pak Suami."Raffael memutar tubuh Revalina. Kini mereka berhadapan. Telapak tangan kekar itu membingkai wajah sang istri kemudian bertanya, "Kenapa jadi Pak Suami lagi, hm? Aku lebih suka kau memanggilku dengan sebutan SA-YANG!" tegas Raffael.Revalina tersenyum. "Sayang, Sayang, Sayang, Sayang, Sayang," ucapnya sampai beberapa kali."Ish! Tidak seperti itu juga, Yang," bantah Raffael
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald