"Tapi, aku muncul karena kamu memikirkanku. Faktanya, kamu lebih menyukaiku daripada Harry yang ada di kenyataan," ujar Harry sambil tersenyum nakal dan perlahan mendekat.Grace hendak melarikan diri, tetapi Harry memeluknya dengan erat. Tangan besar Harry menahan Grace dengan kuat, membuatnya tidak bisa ke mana-mana.Seketika, Grace merasa sangat panik dan gugup. Ketika Harry hendak menciumnya, Grace yang tidak tahu harus bagaimana pun menamparnya.Plak! Terdengar suara tamparan yang nyaring. Harry sampai termangu dibuatnya. Selagi Harry tidak bereaksi, Grace segera mendorongnya dengan sekuat tenaga."Jangan mendekat. Jangan kira kamu bisa semena-mena karena tampan. Ini mimpiku! Aku bisa saja membantaimu! Kamu memang tampan dan membuatku terobsesi untuk sesaat, makanya aku memimpikanmu lagi. Tapi, yang kusukai adalah Harry yang asli, Harry yang selalu memperlakukanku dengan baik!" bentak Grace.Harry merasa lucu mendengarnya. Hanya Grace yang berani menamparnya seperti ini. Dia berkat
Harry langsung duduk. Tanpa rasa sungkan sedikit pun, dia langsung menuangkan anggur dan bertanya, "Kenapa tiba-tiba pulang?""Cuti," sahut Robin dengan tidak acuh. Kemudian, dia tidak sengaja memperhatikan wajah Harry sehingga bertanya, "Kenapa wajahmu begitu?""Ya, ada kucing yang mencakarku tadi," timpal Harry sambil mengedikkan bahu dengan tidak acuh."Maksudmu gadis kecil itu?" tanya Robin.Harry menjawab dengan agak kesal, "Dia bukan gadis kecil lagi. Dia sudah 18 tahun!"Robin tersenyum tipis sambil berkata, "Dasar nggak tahu malu. Kamu sudah 28 tahun, sebentar lagi masuk kepala 3. Masa menikahi gadis kecil yang lebih muda 10 tahun darimu? Kamu nggak takut dibilang punya kelainan? Aku tahu seleramu memang agak aneh, tapi nggak nyangka separah ini!"Harry tidak bisa menyahut untuk sesaat. Dia ingin sekali mengelem mulut pria ini. Kemudian, Harry menyindir, "Robin, kamu juga sudah 28 tahun, tapi masih nggak punya pacar sampai sekarang. Kamu nggak malu bicara begitu padaku?""Aku n
"Akting majikanmu makin lama makin bagus saja. Aku hampir tertipu!" ujar Robin. Ternyata Harry tidak mabuk dan hanya berpura-pura. Robin sampai lelah memapahnya.Rudi tertawa dan menyahut, "Tuan Harry sedang belajar cara menjadi suami yang baik. Dia benar-benar bersusah payah akan hal ini.""Nggak akan semudah itu. Tapi, aku senang melihatnya bebas dari bayang-bayang masa lalu," kata Robin."Benar." Rudi menghela napas panjang. Tahun itu memang seperti mimpi buruk. Hanya Harry yang bertahan, sedangkan kakak kedua Harry ....Robin tidak berbasa-basi dengan Rudi lagi dan langsung pergi. Sementara itu, Grace hendak turun untuk menyiapkan sup pereda pengar. Begitu berbalik, pergelangan tangannya tiba-tiba diraih oleh seseorang. Grace ditarik dan jatuh ke pelukan Harry.Tangan Harry menahan tubuh Grace dengan kuat. Wajah Grace menempel di dada Harry. Dia bisa mendengar suara detak jantung Harry dengan jelas dan mencium bau alkohol yang pekat.Grace agak bingung. Dia tidak tahu Harry benar-
Dulu, Harry bertahan hidup demi membalas dendam. Dia ingin orang yang mencelakai kakak keduanya membayar dengan nyawa. Namun, sekarang Harry ingin hidup dengan baik dan bahagia bersama Grace."Oke, aku janji. Aku akan selalu kuat untukmu dan menemanimu sampai maut memisahkan," sahut Harry."Mandi sana, aku akan buatkan sup pereda pengar untukmu. Kamu bau alkohol, aku nggak suka!" desak Grace sambil mendorong Harry.Sebenarnya, Grace merasa malu karena gombalan Harry. Harry ini jelas-jelas sudah dewasa, tetapi masih menggombal seperti remaja. Benar-benar tidak tahu malu.Harry tahu Grace merasa malu. Dia tersenyum nakal dan berkata, "Cium aku dulu. Setelah itu, aku bakal mandi sebersih-bersihnya supaya kamu bisa memelukku waktu tidur.""Ah, terserah kamu saja!" Grace mengerlingkan matanya dengan kesal."Aku minum terlalu banyak. Kepalaku agak pusing ...." Harry bersandiwara lagi."Ya, ya. Sudah tua, tapi masih mau dibujuk seperti anak kecil." Karena tidak berdaya, Grace terpaksa maju da
Harry berujar, "Tetap bersamanya membuatku merasa masih seorang manusia!"Setelah lama terdiam, suara rendah dan serak Harry terdengar di dalam mobil. Kata-kata tadi begitu sulit dilontarkan setelah sekian lama ditahan.Harry menegaskan, "Aku yang pilih wanita ini sendiri. Ke depannya, dia bakal menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku. Aku nggak bisa menyerah!""Aku menghormati keputusanmu. Aku juga tahu perasaanmu saat ini," ucap Robin sambil menepuk pundaknya dengan keras untuk mendukungnya.Sebagai pria, jika Harry bahkan tidak bisa melindungi wanita sendiri dan memilih untuk menyerah sejak awal ... apakah dia masih layak disebut pria?Biarlah Harry yang menghadapi semua masalah. Grace hanya perlu menyerahkan tangan lembutnya padanya, itu saja sudah cukup.....Grace kembali ke kampus. Dia mendapati semua orang di jalan menunjuk-nunjuk ke arahnya."Kenapa dia masih berani datang ke kampus? Reputasi Universitas Nasional hampir hancur karena dia!"Mereka tidak mengecilkan suara sehin
Bukankah Rolls-Royce yang digunakan Rudi untuk belanja sayur adalah mobil klasik? Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi mobil mewah? Untuk apa Harry punya begitu banyak mobil mewah? Kenapa tidak menjualnya saja untuk mendapatkan uang?"Yunita, jangan bicara sembarangan di sini. Kamu jelas memfitnahku!" seru Grace yang mengepalkan tangannya. Saat ini, dia tidak boleh takut. Jika dia menyerah, tuduhan ini akan terus melekat padanya.Orang-orang makin banyak berkumpul di sekitar. Grace harus bertahan.Mendengar itu, Yunita tertawa terbahak-bahak seolah mendengar lelucon besar.Yunita bertanya, "Kamu mau menuntutku karena fitnah? Kamu sendiri melakukan hal yang memalukan, tapi beraninya mau menuntutku? Grace, kamu kira hanya aku yang nggak suka padamu?""Apa kamu tahu ada berapa banyak orang yang ingin mengusirmu dari Universitas Nasional? Kamu sudah bikin malu wanita, tapi masih berani menggoda Dennis. Hari ini, aku akan membuat perhitungan denganmu!" marah Yunita."Grace, keluar dari Universi
Melihat Hannah seperti itu, Yunita mundur ketakutan seolah-olah melihat monster.Yunita berujar, "Ka ... kamu mau apa? Aku kasih tahu ya. Kalau masalah ini sampai ke dosen PA, kamu pasti bakal kena masalah!"Hannah membalas, "Jangan gerak dulu. Biarkan aku menghajarmu untuk melampiaskan emosi. Setelah itu, baru kita bawa masalah ini ke dosen PA.""Aku sudah lama kesal denganmu. Sialan ...." Hannah mengumpat kasar, lalu tanpa ragu melayangkan tinju.Sepuluh menit kemudian, Yunita sudah babak belur. Wajahnya penuh memar dan rambutnya berantakan. Sementara itu, Hannah juga tidak jauh lebih baik. Tak disangka Yunita ternyata bisa bertarung, bahkan mencakar lengannya hingga berdarah.Mereka berdua dibawa ke Kantor Administrasi Akademik, sampai-sampai dekan, Gilang, pun ikut turun tangan.Gilang tanpa banyak bicara langsung menghubungi wali mereka.Hannah tetap tenang. Sebab, dia tahu bahwa walinya tidak berada di ibu kota dan tidak akan pernah kembali.Ayah Yunita, Edgar Susilo, segera data
Yunita tak menyangka bahwa Hannah akan mengancam dirinya. Dia gemetar ketakutan dan memandang ayahnya sambil berucap, "Ayah, dia mengancamku!"Edgar memarahi, "Beraninya kamu mengancam putriku? Aku rasa karena orang tuamu sudah nggak ada, jadi nggak ada orang yang mengajarimu lagi. Kalau gitu, aku akan mewakili mereka untuk kasih kamu pelajaran!"Edgar yang emosi langsung mengangkat tangan dan siap menampar Hannah.Di sisi lain, Hannah tidak sempat menghindar. Dia hanya bisa menutup mata dan menerima tamparan itu. Namun, rasa sakit yang dinantikannya tak kunjung dirasakan.Sebaliknya, Hannah malah mendengar suara yang sangat dikenalnya. Suara itu dingin dan jernih, serta begitu menyejukkan."Siapa kamu? Beraninya mau kasih pelajaran ke Hannah?"Mendengar itu, Hannah membuka matanya dengan terkejut. Dia melihat seorang pria berdiri di depannya. Orang itu berpakaian santai, tetapi masih terlihat dingin dan berwibawa.Robin adalah seorang dokter militer dengan kemampuan bela diri yang heb
Kezia menimpali, "Aku cuma bicara jujur. Kalau Mama tahu kamu berkelahi, dia pasti sangat marah!""Kalau kamu jelek-jelekkan aku lagi, aku akan pukul pantatmu!" ancam Joshua sambil mengangkat tangannya.Siapa sangka, Kezia tiba-tiba memelas, "Paman, apa kamu tega pukul Kezia? Aku tahu Paman sangat menyayangiku. Kalau Paman pukul aku, nanti Paman yang merasa sakit, 'kan?"Grace memelotot setelah mendengar ucapan Kezia. Kenapa ucapan ini terdengar sangat familier? Grace merasakan pandangan seseorang yang galak. Dia melihat Harry dan Harry juga mengamatinya. Grace yang malu mengalihkan pandangannya.Kezia melanjutkan, "Hais, aku tahu aku sudah buat Paman marah. Kalau Paman nggak terima, pukul aku saja ...."Kezia mengangkat pantatnya dan meneruskan, "Paman, kamu nggak tega pukul aku, 'kan? Biarpun Kezia salah bicara, Paman juga nggak akan membuat perhitungan dengan Kezia, 'kan?"Joshua memegang dahinya sembari menanggapi, "Kezia, aku belum bilang apa-apa. Kamu sudah bicara panjang lebar
Hannah menarik napas dalam-dalam, lalu berusaha melupakan masalahnya dan keluar. Saat berada di dalam lift, dia kebetulan bertemu dengan Joshua.Joshua hendak pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan masak. Dia sangat senang saat melihat Hannah.Joshua berucap, "Aku ... mau pergi ke supermarket ... untuk membeli bahan masak. Kamu ... belum makan malam, 'kan? Mau ... makan bersama? Biar aku masak lebih banyak.""Nggak bisa, aku mau keluar," tolak Hannah."Oh, begitu," sahut Joshua.Hannah mengangguk sebagai ungkapan terima kasih atas niat baik Joshua. Lift terus bergerak turun dan berhenti 2 kali. Orang lain masuk ke lift.Hannah dan Joshua terpaksa berdiri di sudut. Seorang pria melirik Hannah. Semua pria tentu tertarik pada wanita cantik.Joshua menyadari pandangan pria itu. Dia tanpa sadar maju untuk melindungi Hannah dan menghalangi pria itu mengamati Hannah.Hannah terkejut melihat sosok Joshua di depannya. Meski terlihat lemah, Joshua cukup tinggi. Kemungkinan tinggi badanny
Joshua melihat Hannah masih terdiam setelah menutup telepon. Dia merasa agak khawatir. "Kamu ada urusan malam ini? Butuh bantuan?" tanyanya."Nggak apa-apa, cuma makan malam sama teman. Ayo kita pulang," jawab Hannah."Oke ... aku ... aku akan ambil mobil." Mereka segera masuk ke mobil. Namun, sebelum mengemudi, Joshua mengambil botol minyak obat yang tadi mereka beli."Ta ... tanganmu ...," ujarnya.Barulah Hannah menyadari bahwa punggung tangannya sudah merah dan bengkak. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadarinya, malah Joshua yang memperhatikannya. Benar juga, Joshua memang tipe pria seperti itu."Aku sendiri saja," kata Hannah sambil mengambil botol minyak obat. Namun, pikirannya masih terpaku pada percakapan telepon tadi, sehingga tidak sengaja dia menuang terlalu banyak minyak obat hingga menetes ke bajunya.Dia tersentak, lalu buru-buru meletakkan botol itu dan mengambil tisu basah untuk mengelapnya."Biar aku saja," kata Joshua dengan suara lembut. D
"Nggak, aku cuma mengandalkan serangan mendadak. Lagi pula, tadi mereka menyerang satu per satu. Kalau mereka menyerang bersamaan, aku pasti kewalahan dan nggak bisa menang. Kali ini aku cuma beruntung saja," kata Hannah dengan jujur."Jadi kali ini kamu menang. Tapi sebelumnya, kamu nggak bisa menghadapi tiga orang sekaligus, ya?" tanya Joshua."Iya. Apalagi waktu itu mereka bawa senjata dan aku juga harus melindungi diriku sendiri sambil mencoba menyelamatkan orang lain. Aku bukan orang suci yang akan mempertaruhkan segalanya. Kalau situasinya sampai membahayakan nyawaku, bahkan kalau seribu atau sepuluh ribu orang harus mati di depan mataku, aku nggak akan mengambil risiko.""Nyawa mereka memang penting, tapi nyawaku juga penting. Aku nggak suka terjebak dalam moralitas yang memaksaku harus menyelamatkan orang lain. Aku cuma ingin hidup dengan baik dan melakukan apa yang aku mampu," lanjutnya."Jadi, soal kejadian kita sebelumnya, anggap saja selesai. Aku menyelamatkanmu, kamu juga
Satria mengepalkan tinjunya dan menggerakkan lehernya hingga terdengar suara tulang yang berderak. Suara itu terdengar sangat menakutkan, sehingga membuat atmosfer menjadi tegang.Meskipun gemetaran, Joshua tetap mencoba berdiri di depan Hannah untuk melindunginya. Namun, Hannah mendorong Joshua ke samping dengan tegas."Jangan halangi aku! Mereka sudah mukul kamu sampai begini, hari ini aku akan balas dendam dan buat mereka babak belur! Mereka pikir, dengan badan berlemak gitu bisa menakutiku?" seru Hannah dengan penuh semangat.Hannah yang memang pernah belajar seni bela diri dan teknik penguncian sendi, langsung bersiap menghadapi Satria. Dulunya, dia memohon kepada seorang veteran militer selama berminggu-minggu untuk belajar teknik bela diri sebagai perlindungan diri. Sebagai wanita, dia tahu kekuatan fisik dan ukuran tubuhnya tidak akan sebanding dengan pria, jadi dia mengandalkan kecepatan dan strategi.Dengan lincah, Hannah menghindari pukulan Satria yang berbahaya dan menyeran
Apakah dia datang untuk membalas dendam? Bagaimanapun, tiga pria itu memang mencoba melecehkannya. Hannah mendorong pintu masuk dan resepsionis di depan menyambut dengan senyuman. "Selamat siang, Anda berdua mau belajar Taekwondo?""Nggak, aku mau cari orang. Ronan, Satria, dan Irwan, mereka ada di sini?" tanya Hannah dengan tenang."Oh, ada. Mereka pelatih di sini. Sekarang sepertinya mereka lagi melatih orang di dalam. Anda bisa mencarinya di ruang 2," jawab resepsionis dengan ramah."Baik, terima kasih," ujar Hannah sambil tersenyum. Dia lalu masuk bersama Joshua menuju ruang 2. Ketiga pria itu adalah satu kelompok pelatih yang bertugas mengajar satu kelas, sehingga mereka selalu terlihat bersama.Saat ini waktu istirahat dan mereka sedang duduk santai sambil mengobrol. Tentu saja, topik pembicaraan mereka adalah kejadian tadi malam.Mereka semua tampak menyesal. "Seandainya saja tadi malam kita nggak ribut sama anak itu, pasti sudah selesai urusan. Sayang sekali, tinggal selangkah
"Dulu di rumah sering melakukannya. Kakakku tinggal sendiri, meskipun ada pembantu di rumah, aku tetap nggak tenang. Jadi, sesekali aku ke sana untuk membantu," kata Joshua."Kamu ... bukannya anak sulung Keluarga Wongso, ya?" tanya Hannah. Dia merasa seolah-olah bertemu dengan tuan muda palsu.Setahu Hannah, Keluarga Wongso hanya punya satu putra, yaitu Joshua. Selain itu, dia hanya punya seorang kakak bernama Ellie.Seorang pria dari keluarga kaya yang serba bisa seperti ini? Tidak masuk akal. Bukankah seharusnya dia seperti Harry, sibuk di kantor sepanjang hari dan sama sekali tidak menyentuh pekerjaan rumah?"Memangnya anak sulung keluarga kaya nggak boleh melakukan hal-hal seperti ini?" tanya Joshua kebingungan."Unik sekali ...," gumam Hannah. Dia hanya bisa menemukan kata itu untuk menggambarkan Joshua.Sangat unik."Kamu ... kamu bilang aku ... nggak normal, ya? Lagi pula ....""Tolong jangan lihat aku, terima kasih," potong Hannah sambil memijat pelipisnya."Oh ... oh ...," ja
Astaga! Ternyata dia dan Joshua adalah tetangga?Joshua melihat kondisi apartemen Hannah yang masih berantakan, lalu tersenyum dan berkata, "Kamu baru pindah, ya? Pantas saja tadi malam waktu aku tanya alamat rumah baru kamu, kamu mikir lama tapi nggak ingat. Kemarin siang aku di vila menemani Kezia. Kalau aku pulang lebih awal, mungkin aku bisa bantu kamu pindahan."Hannah berdiri di belakang Joshua, agak tercengang mendengar dia bisa berbicara begitu lancar. Baru sekarang dia sadar, suara Joshua sebenarnya sangat enak didengar. Suaranya sangat berat dan elegan. Nada bariton pria yang sempurna terdengar sangat pas dan merdu di telinganya."Perlu bantuan? Aku ini jago beres-beres, lho," kata Joshua sambil berbalik menatap Hannah."Aku ... aku bisa bantu beresin barang-barang umum. Kalau barang berharga atau pakaian pribadi ... aku nggak, nggak akan sentuh." Hannah melihatnya dengan tak berdaya. Hanya dalam waktu sedetik, Joshua berubah kembali ke asalnya."Makan saja dulu, nanti baru d
"Kamu tadi malam ... langsung tidur tanpa mandi, sekarang pasti masih bau alkohol. Kalau keluar rumah begini, rasanya kurang baik. Kamu ... kamu kan perempuan ...," ujar Joshua dengan ragu."Aku tahu, terima kasih," potong Hannah cepat-cepat sebelum dia melanjutkan.Dia melirik pakaian yang dibawa Joshua. Ada berbagai ukuran, tampaknya Joshua benar-benar tidak tahu ukuran tubuhnya. Ternyata masih ada pria yang tidak tahu ukuran pakaian wanita? Bukannya sekarang kebanyakan pria bisa memperkirakan dengan mata saja?"Eh, soal pakaianku ...," tanya Hannah malu-malu.Dia sudah menduga Joshua yang menggantinya, tapi tetap saja dia ingin memastikan. Siapa tahu ada kemungkinan lain, 'kan?Mendengar pertanyaan itu, wajah Joshua langsung memerah. Dia berdiri dengan kaku di tempat, kedua tangannya di sisi tubuh mengepal erat tanpa sadar. Melihat reaksinya, Hannah segera paham bahwa memang Joshua yang mengganti pakaiannya. Namun, dia tahu Joshua melakukannya dengan niat baik."Eh ... nggak terjadi