Zita mau tak mau harus melakukan petermuan, ia kini sedang duduk di coffee shop mal besar itu. Berhadapan dengan Brandon yang tampak menunggu Zita berbicara.
"Ok. Jadi, aku ajak ketemuan kamu, karena jujur, aku penasaran sama hubungan kalian berdua, kamu sama Intan maksudnya. Bukan tanpa alasan, karena ak--"
"Kedekatan Intan dan Bang Pandu maksud Kak Zita?" ucap Brandon yang memotong kalimat Zita. Istri Pandu itu mengangguk.
"Intan tunangan saya, kita pacaran udah mau empat tahun, dan nggak ada masalah apa pun. Bang Pandu memang sepupu Intan, Kak, kalau itu yang Kak Zita mau tau." Brandon menatap Zita yang menyimak.
"Yakin?" tanya Zita. Brandon mengangguk. "Udah pernah ketemu keluarga besar mereka," lanjut Zita.
"Zita... ta..., gimana?"Bisik Maya."Apanya yang gimana, Kak? Lagian Kak Maya nggak perlu bisik-bisik, kita lihatin dia kan dari dalam mobil ini," toleh Zita.Maya bengong, "oh iya lupa," lalu ia cengengesan.Keduanya sudah satu jam berada di parkiran kampus itu, membuntuti Intan yang berangkat ke kampus, selalu menggunakan taksionline,dan tak nampak pun Brandon.Tak ada pergerakan yang mencurigakan, ya jelas ya, kan Pandu tidak ada disekitar wanita itu, juga Brandon di jam kuliah itu."Zit ....""Apa, Kak?" Zita menyahut sembari menatap area sekitar kampus dari dalam mobil city car hitam itu.
"Kak Maya ..." ucap Zita dengan suara tegas dan dalam. "Tahan dulu, Zit, kita dengerin dulu," ucap Maya lirih. Sementara Zita, tangannya sudah gatal ingin menjambak Intan, napasnya juga sudah naik turun menahan kesal. "Intan, kamu kenapa begini..., aku kurang apa sama kamu, Ntan, kamu kenapa mau aku aja tunangan saat itu, keluarga aku minta kepastian dari kamu kapan kita nikah. Aku harus jawab apa lagi sama mereka, kasih alasan apa lagi, Intan..." rengek Brandon yang tampak begitu memohon. "Brandon. Kamu tau kan, alasan ku apa mau terima kamu untuk seriusin hubungan kita? Aku mau panas-panasin Mas Pandu, supaya dia lihat ke aku, tapi ternyata dia malah nikah sama Zita yang nggak jelas kenal di mana. Kamu tau itu kan, aku suka sama kamu, Brandon, tapi nggak cinta. Aku minta maaf untu
Kedua mata Zita menatap sayu, bukan karena napsu, namun karena ia mengantuk. Sedangkan Pandu, di seberang sana - layar laptop maksudnya - tak henti tersenyum sembari mengamati wajah cantik Zita yang begitu menggemaskan."Aku minta maaf, karena sama sekali nggak tau kalau Intan bukan sepupu kandungku,"gumam Pandu. Zita mengangguk."Aku juga minta maaf karena labrak dia tanpa bilang kamu, Mas, eh tapi... ngapain bilang ya, ini kan urusan wanita." Zita tersenyum dengan mata begitu berat untuk tetap terbuka."Zita ...."panggil Pandu lembut. Zita membuka matanya sedikit lebar. "Stay with me, like, forever?"Pandu meminta. Zita tersenyum dengan kepala manggut-manggut."Apa pun yang terjadi?
Ketiga wanita itu duduk bersama, dengan cukup berjarak. Ruang tamu rumah yang ditempati Intan, tidak ada sofa, jadi mereka lesehan duduk di karpet.Zita terus menatap tajam ke Intan yang mencoba untuk tersenyum, padahal jelas, bibir bawah wanita itu bergetar pelan. Efek salah tingkah dan tak enak hati."Bisa janji untuk nggak deketin atau coba buat rebut suami aku?" Pertanyaan ringan dengan jawaban susah - bagi Intan - dilontarkan Zita dengan tenang. Intan menghela napas, ia menyandarkan tubuh ke dinding.Kedua mata menyorot dengan tatapan sendu ke arah Zita."Mbak tahu kan, kalau rasa suka atau perasaan jatuh cinta itu akan susah dihalau juga dilupain? Aku tahu, Mbak, keluarga besar pasti kaget kalau tau kenyataan hal ini, aku juga udah...," Intan menunduk sejenak sebelum melanju
Zita duduk di bawah pohon belimbing sembari mencatat barang-barang yang akan ia, Dety, Maya dan Bu rima belanja di mega grosir, karena hari jumat besok, akan diadakan sedekah jumat yang diadakan keliling kota guna membagikan sembako. Mulut Zita tak henti mengunyak bakwan dengan sambal kacang, ia hempaskan jauh-jauh nenek sihir bernama Intan itu dari kepala dan hatinya.Layar ponselnya menyala, nama Pandu muncul, Zita hanya melirik lalu mengabaikan panggilan itu. Ia masih jengkel dengan suaminya yang membentak ia semalam. Biarkan, sesekali ngambek boleh, dong, masa selalu jadi jagoan yang melupakan kesalahan.No way, untuk kali ini. Kegiatan menulisnya terhenti saat ia teringan kejadian subuh tadi, ia sebenarnya sudah menyiapkan air sisa mengepel lantai untuk ia siram ke Intan, namun ia urungkan karena takut difitnah lagi oleh penyihir itu.
Zita membuka matanya, ia melihat Dety dan Maya yang tampak lega. Ia langsung ingat kejadian terakhir, air mukanya sudah merah, kedua matanya panas."Nggak apa-apa, aman, Zita, semua aman, Bu Rima di sana," ucap Maya. Dety mengusap kepala Zita."Kenapa nggak bil—""ZITA!" suara Pandu terdengar di depan pintu kamar rawat. Napasnya terengah-engah. Ia berjalan mendekat, Zita membuang pandangannya ke arah lain, ia masih kesal dengan Pandu."Zit...," Pandu meraih jemari tangan istrinya namun di tepis Dety dan Maya kompak. Pandu menoleh, menatap bingung."Cuci tangan dulu, cuci muka, lo tau bini lo lagi sepeneng sampai pingsan gitu gara-gara elo juga, Pandu." Omel Maya dengan logat be
Pandu terus menatap lekat Zita yang sedang menikmati pudding buah kiriman Dety, wanita itu kembali datang ke rumah sakit sore hari. Tangannya meraih tisu di atas atas, ia bersihkan sudut bibir Zita perlahan. Kedua mata Zita justru melirik sebal ke suaminya itu."Aku bukan anak kecil, Mas Pandu. Bisa lap sendiri mulut aku!" ketusnya sembari merebut tisu dari tangan suaminya."Kan aku mau manjain istri aku," jawaban Pandu membuat Zita berdecak."Kenapa? Ngerasa bersalah? Istrinya bisa aja keguguran gara-gara ditendang nenek lampir itu." Semakin judes saja, kan. Pandu mendengkus, ia meraih tangan kanan Zita yang sudah tak memegang sendok, karena Pandu sudah meletakkan kotak pudding ke atas nakas. Telapak tangan Zita ia tempelkan ke wajah, kedua mata Pandu terpejam, meresapi kelembutan tan
Seharunya, Zita pulang esok hari, namun karena kondisinya sudah lebih baik, juga, karena kedua orang tua Intan akan datang, ia tak mau jika tak bertemu dengan bude juga pakde suaminya itu. Justru ini kesempatan emas bagi Zita, dan tak perlu repot-repot ke Solo lagi buat samperin keluarga suaminya itu."Bu Rima tetap ikut ke rumah dia, kan, sebagai saksi?" tanya Zita yang duduk di kursi roda sembari di dorong suaminya itu."Ikut. Udah bagian tanggung jawab saya, kan, suami saya juga ikut. Kaget waktu saya cerita, Pandu termasuk anak emas suami saya, kan," ledek Rima sembari melirik ke Pandu yang hanya bisa senyum-senyum. Sedangkan suami Rima tak lepas menggandeng tangan istrinya itu. Zita yang melihat kemestaannya ibu ketua paguyuban itu, ikut tersenyum."Tuh, Mas, Romantis dong, kayak