Setelah selesai acara resepsi, Kevin dan Zoya memutuskan untuk langsung ke kamar agar bisa segera istirahat. Hari yang sangat melelahkan untuk dua orang yang baru saja resmi menjadi sepasang suami istri.“Lo dulu atau gue dulu yang mandi?” tanya Kevin kepada Zoya yang sedang duduk di depan cermin sibuk menghapus makeup.“Lo aja dulu,” jawab Zoya, masih dengan nada yang ketus.Kevin menghela napas kasar. “Ya udah gue duluan mandi ya.” Kemudian lelaki itu masuk ke kamar mandi.Kevin pikir setelah kejutannya tadi akan membuat Zoya berubah pikiran, tapi ini sebaliknya malah semakin memperburuk.Air hangat kuku mulai mengalir di sekujur tubuh Kevin. Lelaki itu mendongak membiarkan air itu menyapu permukaan wajahnya. Rasa lelah dan kecewa masih menyelimuti hari Kevin. Diam-diam lelaki itu menangis, sangat rapuh hatinya ketika menyangkut soal perasaan.“Vin, lo baik-baik aja kan di sana?”Suara ketukan pintu membuat mata Kevin terbuka. Buru-buru lelaki itu mematikan kran shower.“Iya, Zoy, k
“Apa kata dokter tadi?” tanya Zoya ketika Kevin kembali ke dalam mobil. Lelaki itu baru saja kembali dari mengambil obat di apotik setelah mendapat resep dari dokter.“Cuma kelelahan aja, kita langsung pulang ke Jakarta atau menginap lagi di Bandung?” tanya Kevin.“Langsung pulang aja,” jawab Zoya, dengan mata terpejam. Sebab kepalanya terasa berdenyut nyeri.“Yakin?” tanya Kevin memastikan.“Kalo kita menginap di hotel lagi, bisa-bisa besok gue nggak sembuh. Gue nggak bisa tidur gelap, sedangkan lo nggak bisa tidur terang. Kita berlawanan, Kevin,” jawab Zoya, nadanya sedikit kesal, tapi Zoya tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada tenaga lebih.Kevin menghela napas pelan. “Ya sudah, kita balik ke Jakarta sekarang ya.”Zoya hanya sanggup menganggukkan kepalanya.“Sebelum perjalanan dimulai, lo minum obat dulu biar di perjalanan bisa tidur,” kata Kevin.Lagi-lagi Zoya hanya sanggup menganggukkan kepalanya. Kevin pun langsung menancap gas menuju restoran yang menyiapkan bubur karena
Sesampainya di Jakarta, Kevin langsung membawa Zoya ke rumahnya. Tidak seperti keinginan Zoya yang ingin pulang ke rumah orang tuanya.“Kenapa berhenti di sini? Gue pengen pulang ke rumah orang tua gue,” kata Zoya, wajahnya penuh protes.“Lo nggak inget kita udah nikah? Kalo lo pulang ke rumah orang tua lo yang ada lo bakal dimarahin,” jelas Kevin. Lelaki itu keluar dari dalam mobil dan berjalan ke sisi samping membuka pintu untuk Zoya.“Tapi gue nggak mau tinggal di sini, Vin.”“Mau nggak mau lo harus ikut gue, Zoy.”“Nggak. Gue nggak mau hidup di dalam rumah seorang laki-laki yang hasilnya dari warisan orang tua.”“Warisan?” Kevin sampai tertawa geli mendengarnya. “Lo belum tau sepebuhnya gue gimana, Zoy, jadi nggak usah banyak protes. Cepet turun, gue tau lo butuh banyak istirahat.”Akhirnya Zoya terpaksa turun dari mobil. Pada saat memasuki rumah mewah itu sepi tidak ada orang yang menyambut kedatangan mereka.“Nggak ada asisten rumah tangga atau apa gitu?” tanya Zoya.“Emangnya k
“Mau kemana lo?” tanya Zoya sambil menghampiri Kevin yang sedang duduk di meja makan.“Mau ke kantor, kalo gue nggak kerja lo mau makan apa?” jawab Kevin santai sambil menghabiskan sarapan pagi yang baru saja ia buat subuh tadi.“Lo bikin sarapan sendiri?” tanya Zoya menatap sarapan Kevin yang sudah tidak tersisa.“Iya. Kalo lo mau sarapan juga udah gue siapin. Kalo mau ngemil tinggal ambil aj di lemari. Ingat ya, kecuali es krim, lo belum boleh makan yang dingin-dingin.” Kevin menatap Zoya tegas karena ia tahu Zoya juga seperti perempuan pada umumnya.Zoya berdecak kesal. “Pelit banget sih jadi suami.”“Bukannya gue pelit, Zoya, kondisi lo masih belum stabil. Obatnya jangan lupa diminum, gue nggak mau tau pokoknya obat itu harus habis.”“Iya bawel.”Kevin berdiri sambil merapikan celananya. “Ya udah, gue berangat lu, lo baik-baik di rumah nanti ada si Mbok yang bakal bersihkan rumah ini.”“Sepagi ini lo mau berangkat ke kantor?” tanya Zoya tidak percaya.“Masih pagi kata lo?” Kevin m
Keesokan paginya, Mila menyiapkan dengan raut wajah yang segar. Meskipun masih kepikiran soal semalam, namun Mila mencoba untuk berpikir positif saja, pasti Waldi sudah membaik hari ini.“Mas, sarapan dulu,” kata Mila, nadanya sedikit keras supaya Waldi yang masih berada cukup jauh di sana mendengar.“Aku sarapan di kantor aja, soalnya nggak bisa. aku berangkat dulu.” Waldi terlihat sangat berbeda, dingin, dan cuek.“Kamu nggak biasanya Mas kaya gini, kalau hampir terlambat biasanya kamu minta aku buat suapin,” kata Mila, wajahnya kembali terlihat sedih. Apa yang sebenarnya terjadi Mila juga tidak tahu, Waldi tidak menjelaskan apapun.“Paham dari ucapanku tadi, ‘kan? Bukan aku nggak mau makan masakan kamu, tapi aku memang lagi buru-buru banyak pekerjaan yang harus aku kerjain di kantor. Udah, aku mau berangkat, kamu baik-baik di rumah. kalau sarapannya nggak habis bisa dikasih ke satpam komplek.” Waldi pergi begitu saja setelah Mila mencium punggung tangannya. Lagi-lagi tidak ada kecu
Jam di dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam, namun Mila masih tetap terjaga karena Waldi belum juga pulang dan tidak ada kabar. Sejak tadi Mila menunggu dengan perasaan resah, berkali-kali mengintip jendela berharap ada mobil yang masuk di pekarangan rumahnya.“Kamu kemana sih, Mas?” Mila menggenggam ponselnya dengan penuh rasa cemas. Sudah tengah malam tapi Waldi tidak kunjung kembali.“Apakah kamu sesibuk itu sehingga tidak memberiku kabar?”Tidak berselang lama suara mobil pun terdengar. Buru-buru Mila membuka pintu dan benar saja ia melihat mobil suaminya. perasaan Mila langsung lega, karena sempat berpikir terjadi sesuatu dengan suaminya.“Alhamdulillah akhirnya kamu pulang juga, Mas. Kenapa nggak kasih kabar kalau pulangnya sampai larut seperti ini?” rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Mila adalah sebagai bentuk rasa khawatir istri kepada suami, namun Waldi terlihat tidak suka.“Aku mau bersih-bersih dulu, terus istirahat, aku capek banget.” Waldi langsung masu
Satu bulan berlalu, kondisi hubungan rumah tangga Mila dan Waldi semakin dingin dan kini mereka seperti semakin menjauh dan terasa asing di satu atap yang sama. Kevin semakin sibuk dengan pekerjaannya, sementara Mila lebih fokus pada kehamilannya supaya anaknya selalu sehat dan berkembang dengan baik.Seperti pagi ini, hari ini adalah jadwal Mila untuk cek kehamilan, seorang diri tanpa di temani suami tidak seperti bulan kemarin Waldi yang bersemangat untuk melihat calon anak mereka.“Bulan ini kita ke rumah sakit berdua saja ya, sayang, Ayah lagi kerja cari uang untuk kamu nanti kedepannya,” kata Mila, kepada calon anak yang ada di dalam kandungannya.Mila sudah siap dengan baju gamis dan kerudung panjangnya. Mila tidak pernah masalah jika Waldi harus sibuk kerja, tapi yang Mila sayangkan adalah sikap Waldi yang semakin hari semakin dingin. Bahkan sekarang Waldi sering pulang larut malam, akhirnya mereka jarang mengobrol. Bahkan sekedar menanyakan bagaimana dengan hari ini saja sanga
Kegiatan di pagi sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi bedanya pagi ini Mila tidak masak apa pun untuk sarapan. Karena setiap kali Mila masak untuk sarapan pagi, akan berujung masuk ke tempat sampah dan itu sangat membuang-buang makanan.“Loh, kamu nggak masak?” tanya Waldi pada saat lelaki itu duduk di meja makan tapi tidak ada makanan yang tersaji di sana.“Aku lagi males masak,” jawab Mila dengan suara yang datar.Mengetahui wajah istrinya sembab membuat Waldi bergegas menghampiri. “Mata kamu bengkak.”Mila menghindar pada saat Waldi ingin menyentuh wajahnya. “Aku baik-baik aja.” lalu Mila berlalu pergi sambil membawa gelas yang berisi susu hamilnya.“Mau sampai kapan kita seperti ini?” tanya Waldi dengan suara cukup keras.Mila langsung menghentikan langkahnya. “Jawabannya ada di tangan kamu.” Lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar yang semalam ia tempati.Waldi tidak tinggal diam, lelaki itu mengejar Mila, mencekal pergelangan tangan istrinya itu supaya tidak masuk ke