"Apakah kau baik-baik saja, Nay?" tanya Izzan menatapnya begitu dalam."Iya, aku baik-baik saja kok!" Inayah tersenyum tipis namun tubuhnya masih begitu lemah."Apa kalian yakin akan membawa Inayah pulang di saat kondisinya seperti ini?" tanya Daniel ingin tahu, sejujurnya dia tidak rela bila Inayah dibawa pergi namun dia harus melakukan itu agar kejahatannya tidak diketahui."Tentu saja, kami akan membawa Inayah ke rumah sakit," sambung Aldi menimpali karena menurutnya Daniel seolah tidak rela bila Inayah pulang."Iya, ada baiknya Inayah kembali ke rumahnya bersama Alita, menghindari fitnah buruk!""Apa maksudmu?" ucap Daniel seelah tak senang."Bagi seorang perempuan itu tidak baik tinggal satu atap sama pria yang bukan mahromnya."Izzan menjelaskan bila hal itu terus terjadi maka akan ada saja fitnah dan menghindari hal yang tidak diinginkan lebih baik, bukan? Sungguh hal tersebut membuat Daniel menghela napas kasarnya, bagaimana tidak sepertinya pria yang bernama Izzan ini sang
Sepeninggal semua teman prianya, Inayah merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya menatap Alita yang begitu sibuk menyusun semua obat yang ada di dalam kantong plastik putih itu, ia tidka tega melihat wajah Inayah yang begitu pucat."Kenapa kau tidak mau ke rumah sakit, Nay? Tubuhmu lemah sekali," ujarnya melirik Inayah."Aku rasa tak perlu ke rumah sakit, Ta. Lagian di rumah Daniel dia telah memanggil dokter dan aku sudah diperiksa kok.""Sepertinya Izzan sangat marah padamu," jawab Alita melirik Inayah."Marah? Biarkan saja, namanya juga anak muda kok. Memang suka ngeyel kalau dibilangin." Inayah membenarkan posisinya untuk duduk."Aku tahu, tapi Izzan adalah satu-satunya orang yang sangat mengkhawatirkanmu saat kau mendengar kau diculik, bahkan dia rela pulang dari luar kota demi memastikan keadaanmu. Namun, ternyata memang jau telah diculik."Deg!! Jantung Inayah berdegup kencang dan benar-benar tak menyangka bila Izzan sebegitu berusaha untuk mencari keberadaannya, panta
"Kau benar, bisa saja orang yang dipercayai itu adalah pelakunya," sambung Alita sedikit paham."Aku akan tetap menyelidiki hal ini namun jangan sampai Inayah tahu." Aldi menyeruput kopinya sampai habis dan tidak lama berpamitan pulang, "Kau harus tetap di sini temani Inayah, aku takut bila penculik itu akan datang lagi untuk menculiknya karena satu teman penculik itu belum ditemukan.""Iya, Al. Aku akan menginap di sini dan menemani Inayah. Kau tenang saja dan semoga pelaku cepat ditemukan." Alita juga meminta Aldi untuk terus mengabarinya bila saja apa yang dikhawatirkannya itu benar terjadi."Itu hanya menurut instingku saja, belum tentu juga benar kok." Aldi melangkah keluar dan pulang. Sementara Alita masih berdiri di depan pintu menatap Aldi yang telah pergi dengan mobil mewahnya, tetapi apa yang dikatakan Aldi itu juga benar, sangat mustahil bila Inayah ditemukan pingsan di jalan. "Benar juga kata, Aldi." Alita menutup pintu dan langsung masuk ke dalam, sejujurnya dia
"Aku sangat yakin kok! Aku tidak akan menyesal karena aku sudah berulang kali mendapat petunjuk dan berusaha mencari solusi dari masalahku namun memang Inayah yang kini ada di hatiku.""Jika itu memang keputusanmu dan kau tak akan menyesal di kemudian hari maka aku akan mendukungmu." Jody juga meminta saran pada Izzan, bagaimana bisa di seyakin itu meninggalkan Halwa. "Lantas apakah Halwa setuju dengan keputusanmu ini?" tanya Jody ingin tahu."Sejujurnya dia tidak terima namun aku harus bagaimana lagi, ini demi kebaikannnya. Daripada aku melukainya lebih dari ini?""Kau benar, itu lebih sakit." Izzan juga meminta Jody untuk tetap mengawasi Inayah dari jauh, tetapi tiba-tiba saja muncul sebuah pesan singkat di layar ponselnya, ketika menatap ponsel tersebut. Matanya terbelalak kaget ketika mendapati bahwa di rumah ada seorang pengintai. "Sepertinya aku harus ke rumah Inayah dulu," ucap Jody seraya bangun dari duduknya."Haruskah aku ikut denganmu?" tanya Izzan nampak panik,"Taak p
"Kenapa kau bisa berpaling dariku, Zan? Apa yang kurang dariku? Mengapa kau lebih memilih dia daripada aku?" Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan Halwa kepada mantan kekasihnya itu namun Izzan hanya bungkam sehingga membuat Halwa mulai hilang kesabaran dan bertanya, "Beri aku jawaban, Zan? Aku butuh itu?" tanyanya sangat marah."Aku diam karena aku tidak tahu harus menjawab apa? Rasa itu hadir dengan sendirinya, tanpa diminta. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu, Wa." Izzan menatap lekat ke arah Halwa, dia mengatakan kejujuran di dalam hatinya karena dia juga tidak tahu kenapa bisa jatuh cinta pada Inayah hanya saja dia merasa bila Inayah adalah perempuan unik yang mampu menggetarkan jantungnya itu."Hentikan, Zan! Aku memang bukan kekasihmu lagi namun aku tidak senang kau memuji perempuan lain, mungkin saat ini aku belum bisa move on darimu namun aku akan berusaha untuk melupakanmu, meski sulit.""Inilah yang aku takutkan bila kita terus saja bertemu, kau akan terl
"Mungkin kebanyakan orang beranggapan seperti itu namun aku merasa sangat bahagia sekali dengan rasa cintaku ini?" Inayah menyeka air matanya seraya bangun dari duduknya dan kini dia berjalan ke arah balkon sambil memandangi langit indah malam itu. Alita yang ikut berjalan mengikuti Inayah sontak menghentikan langkahnya ketika melihat perempuan itu tersenyum manis, "Sebenarnya aku begitu beruntung bisa mencintai Irsyad dan diberikan kesempatan untuk bisa bertemu dengannya.""Kenapa kau merasa beruntung padahal kalian tidak bisa bersama?" Inayah tersenyum tipis, "Tidak perlu harus bisa bersama untuk mencintai karena bagiku melihatnya bahagia saja aku sudah sangat bahagia.""Kau memang sangat aneh, Naya," timpal Alita mengelengkan kepalanya. Di kesunyian malam itu sungguh membuat kenyamanan tersendiri, melihat bintang yang indah nan mampu menyejukkan sejauh mata memandang. "Indahnya malam ini sama halnya seperti indahnya kenanganku bersamanya." Alita tersenyum tipis keti
Melihat pria berhidung mancung itu dengan begitu tajam, Inayah mencoba mengucek kedua bola matanya bila saja dia salah lihat namun ternyata itu nyata dan benar adalah pria yang dikenalnya. "Bukankah itu Daniel, Nay?" tanya Alita ingin menyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah."Iya, itu adalah Daniel." Inayah hendak keluarr dari mobilnya dan berniat ingin menanyakan mobil tadi. Namun, Alita menghentikannya. "Tidaksekarang, Naya. Lebih baik kita biarkan dia pergi dulu saja abru kita tanyakan hal ini pada penjaga rumahnya. Aku takut bila kita bertanya sekarang malah akan membahayakan diri kita.""Baikah," jawab Inayah singkat. Alita mengerutkan dahinya heran, kenapa si Daniel bisa ada di rumah mewah itu dan mobil itu juga kenapa ada di sini. Bukankah itu sangat aneh bila tidak ada keterkaitan, "Sepertinya ini bukan kebetulan, sebenarnya da apa dnegan mobl itu, Naya?" tanya Alita ingin memastikan dugaannya itu benar atau salah."Sebenarnya mobil itu adalah mobil yang membawaku
“Sebenarnya apa, Pak?” Desakan dari Inayah membuat Pak Derajat bingung bukan main. Pria paruh baya tersebut menengok ke kanan dan ke kiri, mendapati tatapan orang-orang di sekeliling yang hanya terfokus padanya seolah mereka memiliki pertanyaan yang sama dengan Inayah. Pak Derajat menelan salivanya, bingung apakah dia harus berkata jujur atau tidak. Tapi, kalau pun dia ingin membatalkan niatnya untuk mengungkapkan apa yang terjadi, sekarang sudah terlambat sebab tadi dia sudah bilang akan berkata jujur.“Aku terpaksa melakukan ini semua,” cicit Pak Derajat. Meski awalnya kalimat itu sempat menyumpal tenggorokannya, kini akhirnya dia bisa mengeluarkan kalimat tersebut. Lagi-lagi dia menatap ke sekelilingnya, ingin tahu bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya.“Aku tidak mengerti,” sahut Alita. Inayah mengangguk setuju dengan pendapat sahabatnya.“Apa maksudnya kau terpaksa, Pak? Memangnya ada seseorang yang memaksamu?” tanya Inayah lagi, kali ini jauh lebih spesifik.
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua