“Apa, Inayah? Aku tidak dengar,” ujar Izzan sebab suara Inayah betul-betul pelan. Inayah menoleh ke arahnya. “Terima kasih.”Izzan tersenyum, lalu mengangguk. “Sama-sama, Inayah. Aku senang kalau Athar senang.”‘Aku tidak mungkin membuat Kak Irsyad kecewa di atas sana kalau aku membuat putramu kecewa, Inayah,’ sambung Izzan dam hati. Sesekali Izzan melirik Inayah yang nampak bahagia keyiak melihat sang putra terus saja tersenyum bahagia, seakan bahagia terus saja mengiringinya padahal sebenarnya sisa hidup Athar tidak lama lagi. Setiba di Bandara Ngurah Rai Bali, tepat pukul 16.00 WITA, di Bali perputaran waktu brbeda satu jam dengan Indonesia. Ketiga orang itu langsung saja menuju ke hotel mereka. Izzan lebih dulu berjalan ke bagian resepsionis untuk check ini. Setelah mendapatkan kunci kamar, ketiga orang itu bergegas menuju ke lift.Tingg! Pintu lift terbuka dan mereka memasukinya, Athar menarik tangan Inayah sambil bertanya, "Bu, Ayo kita ke pantai sekarang!
Izzan mengangguk dan berusaha menetralisirkan jantungnya yang mulai berdetak tak beraturan. Melihat langit yang begitu indah membuat Inayah pun ikut duduk di samping Athar sambil menikmati matahari tenggelam. "Memandangi langit sore seperti ini sungguh sangat menyejukkan mata, menghilangkan kepenatan tersendiri..." Inayah mengatupkan bibirnya ketika menghentikan kalimat yang terlontar dari bibirnya. Entah kenapa saat itu Inayah teringat dengan seseorang, matanya berlinang, seseorang yang masih ada di hatinya kini masih tetap bersemayam di relung hati terdalam. "Sakit itu ketika kamu masih ada di hatiku namun kita tidak ditakdirkan bersama." Siapa sangka Izzan sejak tadi memandangi Inayah yang sedang termenung, lamunannnya bersemayam di dalam jiwanya. Tak terasa buliran bening tiba-tiba saja berjatuhan di pipinya membuat sang anak langsung menyentuh jemari Inayah sambil bersandar di bahu Inayah. "Apakah Ibu merindukan ayah?" tanya Athar spontan. Mendengar itu Inayah terte
"Maafin Atahr ya, Bu," ucapnya untuk kedua kali. Izzan yang melihat itu pun langsung mengajak Inayah dan Athar untuk makan malam bersama, menyelusuri sebuah restoran outdor yang ada di dekat pantai membuat Athar berlarian kecil dan berdiri di tepi pantai sambil berteriak, "Bu, Pemandangan mlam begitu indah ya," pujinya tersenyum bahagia."Iya, sayang," jawab Inayah sambil berdiri tepat di samping putranya. Izzan memanggil Inayah dan Athar untuk menikmati makam malam bersama dan seteah itu pria tampann itu berniat untuk mengajaknya menghidupkan api unggun di ruang bawah dekat gazebo di tepi pantai, "Ayo Athar, duduklahdi sini," ajaknya sambil menarik kursi dan mempersilahkan anak kecil itu duduk."Kau bisa duduk di sini, Naya," sambung Izzan melakukan hal yang sama kepada perempuan berhijab itu. Seperti pada umunya ketiga orang itu menjaga adab makan dengan bungkam dan setelah makan barulah Izzan menoleh ke arah Athar, "Apakah Athar sudah siap buat api unggun?" tanyanya ter
Inayah yang melihat itu spontan saja memanggil nama putranya begitu histeris, "Athar," panggil Inayah beberapa kali. Mata Athar mengerjap perlahan dan kemudian anak kecil itu membuka matanya, "Ibu," panggilnya menatap Inayah. Segera saja perempuan itu langsung mengenggam erat tangan Athar sambil bertanya, "Ada apa sayang?" tanyanya dengan tatapan begitu tajam."Athar igin pulang, Bu.""Iya, sayang. Kamu hars sembuh dulu baru bisa pulang," balas Inayah mencoba menenangkan Athar. Entah kenapa sang buah hatinya tiba-tiba saja mau pulang secara mendadak seperti itu, tetapi melihat Athar yang sudah sangat gelisah membuat Inayah mulai khawatir, "Apakah Athar merasakan sakit?" Athar menggelengkan kepalanya seraya melirik pak guru, "Athar ingin pulang ke Jakarta saja, Pak Guru.""Iya, Athar tenang ya? Kalau Dokter sudah mengijinkan kamu boleh pulang maka kita akan pulang hari ini juga." Izzan dan Inayah saling beradu pandang satu sama lain, mereka merasa bingung dengan sika
Setiba di bandara, kedatangan Izzan disambut hangat oleh seorang gadis berambut panjang yang sejak tadi melambaikan tangannya, Izzan bergerak cepat berjalan ke arah Halwa, ya gadis itu tak lain adalah Halwa."Apakah kakek baik-baik saja?" tanya Izzan menatap Halwa dengan serius."Beliau hanya kelelahan saja," jawab Halwa sedikit sinis melirik Inayah yang kini berada di samping Izzan sementara Athar terus saja bergelayut manja dengan sang kekasih."Ayo, Zan kita ke rumah sakit langsung," ajak Halwa berniat ingin menyindir Inayah agar menjauh dari kekasihnya. Perempuan cantik itu langsung menyambar tangan Athar sambil berkata, "Sayang ayo kita pulang duluan, sepertinya taksi online kita sudah datang tuh," bujuk Inayah kepada anaknya yang tak mau melepaskan genggaman tangan Izzan."Kenapa pulang? Athar harus periksa dulu ke rumah sakit, benar 'kan Wa?" ucap Izzan melirik kekasihnya."Oh iya," jawab Halwa sedikit mendengus kesal karena dia tahu betul sudah pasti Izzan akan mengaja
"Maaf, Zan. Aku hanya sedang memikirkanmu." Pria tampan itu mengerutka dahinya sambil bertanya, "Apa yang kau pikirkan tentang kita?""Aku hanya sedang berpikir betapa beruntungnya aku memilikimu." Izzan mengakhiri pergerakannya dan menatap Halwa, "Kau terlalu berlebihan, Wa." Pria tampan itu langsung bangun dari duduknya dan langsung meninggalkan Hlwa yang masih bengong hingga Izzan sampai berkata, "Aku mau ke ruangan kakek dulu ya.""Zan, tapi kau belum memijat kakiku?" tanyanya sedikit berteriak."Kau berdiri saja dulu," titahnya sambil menutup pintu. Halwa mengepalkan jemarinya sebal karena melihat Izzan yang asal meninggalkannya namun siapa sangka ternyata Halwa bisa berdiri tanpa merasakan nyeri sedikitpun, "Izzan," sebutnya malu sendiri karena telah berpikir negatif pada sang kekasih. Sementara di ruangan lain, Izzan mengetuk pintu ketika mendapati sang kakek terbaring di atas tempat tidur dengan tangan kirinya diinfus, "Assalamu'alaikum, Kek.""Wa'alaikumsalam,
Membuka kaca mobil agar diketahui oleh Inayah, si empunya mobil tersenyum ketika menatap Athar yang nampak murung, raut wajahnya bak pakaian kusut."Ayo masuk ke dalam mobil," ucapnya hendak keluar dan membukakan pintu mobil."Pak Guru, hore Pak Guru datang," teriak Athar yang baru menyadari bahwa empunya mobil adalah gurunya. Inayah tak bisa berkata apa pun, melihat raut wajah Athar yang awalnya dan saat ini merasa sungguh membuatnya tersenyum tipis, dia tidak menyangka bila Izzan mampu mengubah mood putranya itu. Menyambar tangan Athar dan membawa anak itu segera masuk ke dalam mobilnya. Sementara Izzan terus melirik Inayah, tak lupa mempersilahkan perempuan itu untuk masuk ke dalam mobil. Suasana begitu canggung karena Izzan dan Inayah tak berbicara sama sekali hingga membuat Athar yang berada di dalam mobil terus menguap sambil berbicara, "Ibu, apakah dengan keomterapi lanjutan, Athar akan bisa sembuh?" Inayah tertegun dan sedikit menghela napas beratnya, Inayah b
Di situ ustadzah menceritakan bahwa Inayah seorang penulis yang baru saja akan merintis karirnya. Memiliki sebuah forum kepenulisan, "Entah apakah bu Inayah masih menggeluti bidang itu atau tidak, mengingat putranya mengidap penyakit seperti ini.""Iya Ustadzah. Terima kasih informasinya." Tak lama melihat Athar sudah nampak lelah, pria tampan itu mendekatinya sambil bertanya, "Apakah kamu sudah lelah?""Iya, Pak. Athar mau istirahat dulu ya.""Anak-anak yang sholeh dan sholehah. Mainnya di stop dulu ya karena Athar mau pulang dan istirahat.""Ok, Pak Guru. Athar cepet sehat ya," ucap teman akrabnya sambil melambaikan tangan."Terima kasih teman-teman," jawab Athar membalas lambaian tangan temannya. Inayah juga berpamitan kepada ustadzah sambil membungkukkan tubuhnya, rencananya perempuan itu ingin pulang dengan taksi online namun Izzan melarangnya. "Tadi kalian pergi bersamaku dan pulang pun harus bersamaku.""Bu, perut Athar tidak enak, rasanya mau..." Athar belum melanjutk
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua