Membuka kaca mobil agar diketahui oleh Inayah, si empunya mobil tersenyum ketika menatap Athar yang nampak murung, raut wajahnya bak pakaian kusut."Ayo masuk ke dalam mobil," ucapnya hendak keluar dan membukakan pintu mobil."Pak Guru, hore Pak Guru datang," teriak Athar yang baru menyadari bahwa empunya mobil adalah gurunya. Inayah tak bisa berkata apa pun, melihat raut wajah Athar yang awalnya dan saat ini merasa sungguh membuatnya tersenyum tipis, dia tidak menyangka bila Izzan mampu mengubah mood putranya itu. Menyambar tangan Athar dan membawa anak itu segera masuk ke dalam mobilnya. Sementara Izzan terus melirik Inayah, tak lupa mempersilahkan perempuan itu untuk masuk ke dalam mobil. Suasana begitu canggung karena Izzan dan Inayah tak berbicara sama sekali hingga membuat Athar yang berada di dalam mobil terus menguap sambil berbicara, "Ibu, apakah dengan keomterapi lanjutan, Athar akan bisa sembuh?" Inayah tertegun dan sedikit menghela napas beratnya, Inayah b
Di situ ustadzah menceritakan bahwa Inayah seorang penulis yang baru saja akan merintis karirnya. Memiliki sebuah forum kepenulisan, "Entah apakah bu Inayah masih menggeluti bidang itu atau tidak, mengingat putranya mengidap penyakit seperti ini.""Iya Ustadzah. Terima kasih informasinya." Tak lama melihat Athar sudah nampak lelah, pria tampan itu mendekatinya sambil bertanya, "Apakah kamu sudah lelah?""Iya, Pak. Athar mau istirahat dulu ya.""Anak-anak yang sholeh dan sholehah. Mainnya di stop dulu ya karena Athar mau pulang dan istirahat.""Ok, Pak Guru. Athar cepet sehat ya," ucap teman akrabnya sambil melambaikan tangan."Terima kasih teman-teman," jawab Athar membalas lambaian tangan temannya. Inayah juga berpamitan kepada ustadzah sambil membungkukkan tubuhnya, rencananya perempuan itu ingin pulang dengan taksi online namun Izzan melarangnya. "Tadi kalian pergi bersamaku dan pulang pun harus bersamaku.""Bu, perut Athar tidak enak, rasanya mau..." Athar belum melanjutk
"Tidak masalah kok, aku juga yang ingin lebih dekat denganmu karena kau adalah masa lalu kakakku," ungkapnya menatap serius ke arah Inayah."Masa lalu kakakmu? Apa maksudnya?" tanya Inayah mengerutkan dahinya heran. Izzan hendak menceritakan perihal sepupunya namun perawat memanggil Inayah begitu histeris, "Ibu Inayah, Athar sudah siuman." Setelah mendengar itu Inayah lekas berlari mengikuti perawat dan menatap putranya dengan seuntai senyuman yang mengembang di sudut bibirnya. "Athar," panggil Inayah pelan."Ibu," jawabnya tersenyum. Anak itu bangun dari duduknya dan langsung merentangkan kedua tangannya, lekas saja Inayah menghampiri Athar dan memeluknya begitu erat, "Apa kamu baik-baik saja?""Tentu saja, Bu. Aku baik-baik saja kok." Athar tak lupa menyapa Izzan dengan begitu sopan, "Seperti apa yang Bapak guru katakan aku seorang Iron man, harus kuat dong.""Bagus, Athar memang anak yang kuat kok!" serunya tersenyum sambil menyentuh puncak kepala Athar. Namun, pria
"Itu tidak seperti apa yang kau pikirkan, Wa? Aku hanya..." Entah kenapa Izzan merasa bingung untuk menmjawab apa, selah lidahnya terasa keluh."Kenapa kau diam, Zan? Jawab pertanyaanku?" tanya Halwa dengan menelisik tajam. Izzan meneguk salivanya dengan kasar, mencoba menetralisirkan rongga dadanya, barulah pria tampan itu menjawab, "Aku hanya menganggap Inayah sebagai kakakku sendiri dan aku peduli padanya.""Tetapi rasa pedulimu itu sangat kelewat batas, Zan. Kau malah mementingkan Inayah daripada kekasihmu sendiri.""Aku ingin kita seperti dulu, Zan. Di mana selalu bersama, makan malam bersama, jalan-jalan bersama." Halwa menatap Izzan begitu dalam, bohong bila dia tidak merindukan Izzan karena semenjak kehadiran Inayah di tengah-tengah hubungan mereka hubungannya dengan Izzan seolah merenggang. Bukan itu saja terkadang Izzan tak memiliki waktu untuk dirinya ditambah kondisi Athar yang terkadang menurun. "Maafkan aku, Wa. Prioritasku saat ini adalah Athar dan Inayah.""Lalu aku a
"Kondisi Athar sedikit memburuk," ucap Halwa berlarian melangkah masuk ke dalam ruangan Athar dirawat."Apa?!" seru Inayah tertegun, matanya mulai berlinang."Kau tenanglah, Dokter pasti bisa hadapi ini," sambung Izzan berusaha menenangkan Inayah padahal sebenarnya pria tampan itu nampak panik sekali mendengar kondisi Athar sedikit memburuk. Mondar-mandir di depan ruangan Athar, Inayah tak berhenti terus mengucap zikir, dia juga berdo'a di dalam hati agar Allah memberikan kekuatan kepada buah hatinya."Ya Allah berikan kekuatan pada Athar dan hilangkan rasa sakitnya." Izzan yang memandangi Inayah nampak begitu khawatir, menyentuh pundak perempuann itu seraya berkata, "Yakinlah Athar bisa melewati semua ini!" Perempuan cantik itu hanya mengangguk pelan dan tak lama kemudian Halwa keluar dari ruangan tersebut."Apakah Athar baik-baik saja, Dok?" tanya Inayah berjalan medekati dokter Halwa. "Alhamdulillah dia berhasil melewati kondisi kritisnya," jawabnya tersenyum tipis.
Inayah langsung menoleh ke asal suara sambil meneguk salivanya dengan kasar, "Tapi..." Perempuan cantik itu mengatupkan bibirnya ketika melihat Izzan yang langsung mengelus puncak kepala Athar pelan sambil memotong pembicaraan Inayah."Baiklah, Pak Guru akan menemani Athar malam ini kok!" "Izinkanlah aku menemani Athar malam ini," ucap Izzan menoleh ke arah Inayah."Terserah kau saja karena aku tidak bisa melarangmu." Tak lama kemudian, Inayah menghempaskan tubuhnya di atas sofa karena Izzan menyuruhnya untuk beristirahat. menatap si pria tampan itu begitu gesit merawat Athar yang sangat manja dengan Izzan membuat Inayah meneteskan air matanya mengingat almarhum suaminya. "Sepertinya Athar merindukan ayahnya.""Tapi aku tidak bisa membiarkan Izzan terus menemani Athar, bagaimana bila dokter Halwa marah karena masalah ini," desahnya bingung. Sebagai seorang perempuan mungkin Inayah sudah sangat merepotkan Izzan karena sudah hadir di antara kehidupannya dan Athar, ia merasa san
“Aku tahu kalau kau mungkin masih merasa bersalah atas kecelakaan itu. Tapi, penyakit Athar kali ini tidak ada hubungannya dengan kejadian itu, ‘kan? Lalu, apa yang membuatmu masih saja selalu menyanggupi permintaan Athar?” Melihat Izzan yang tak kunjung memberikan jawaban, Inayah terpaksa harus mendesak pria itu. Entah kenapa, Inayah merasa jika ada sesuatu yang salah dengan sikap Izzan. Seorang guru yang bahkan awalnya tidak begitu dekat dengan Athar membuat Athar begitu manja dan bergantung kepadanya. Izzan membuka mulutnya, namun ia mengatupkan bibirnya kembali. Pria itu masih ragu apakah dia harus berkata jujur kepada Inayah mengenai siapa dirinya sekarang ataukah dia masih harus menunggu. Karena jujur saja, Izzan merasa kalau sekarang belum waktu yang tepat untuk dia mengungkapkan siapa dia yang sebenarnya.“Zan, jawab!” desak Inayah lagi.‘Mungkin ini adalah waktunya untuk aku mengungkapkan tentang siapa diriku kepada Inayah,’ ucap Izzan dalam hati. Izzan menarik na
Dua minggu berlalu, Inayah masih bergelut dengan kesedihan sepeninggal kepergiaan Athar. Liburan adalah cara terbaik buat Inayah untuk melupakan kesedihannya. Berjalan menelusuri pantai hanya butuh beberapa menit untuk mencapai pantai dari hotel. Suasana yang nampak begitu cerah membuat banyka sekali orang-orang yang beralu-lalang menikmati langit malam yang dipenuhi dengan bintang-bintang. Menatap jauh ke laut lepas yang gelap gulita, Inayah melanjutkan langkahnya ke tepi pantai, seberkas cahaya dari lampu blizt menusuk matanya, nampak sepasang pasangan suami istri dan juga seorang anak kecil sedang berfoto dengan pose yang beraneka ragam dan tertawa bahagia. Entah kenapa hati perempuan berhijab itu mendadak nyeri memerhatikan satu keluarga itu. Mungkin tidak hampir satu bulan lalu, Inayah ada di sini bersama sang buah hatinya. Ia duduk di atas pepasiran seraya memandangi ombak laut menyalakan api unggun bersama, berharap semua akan baik-baik saja, "Kau perempuan kuat, Naya."
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua