Aiden benar-benar mengikuti Emma yang keluar kediaman pangeran kelima. Namun, Emma sama sekali tidak sadar dengan penunggang kuda yang memakai tudung topi itu. Hingga kereta yang ditumpangi Emma berhenti di dalam kediaman Barnes. Saat itu juga Aiden mulai memacu kuda untuk menjauh."Kau bisa menyerahkan suratnya padaku, tuan Barnes sudah istirahat."Di dalam kediaman, Emma dicegah oleh pelayan pribadi Aaron Barnes. "Kalau begitu saya akan menunggu.""Menunggu hingga pagi? Lekaslah kembali sebelum tengah malam tiba."Pelayan pribadi Aaron ini merampas paksa surat dari tangan Emma. Bahkan menghindar dan menyuruh pelayan lain untuk membawa Emma keluar dari kediaman. Rupanya Aiden masih ada di sana, dan tetap mengikuti Emma yang kembali dengan kereta kuda dari belakang."Pelayan kecil itu mengirim surat ke kediaman Count Barnes." Itulah yang dilaporkan oleh Aiden begitu sampai dan berada di ruang kerja Yuksel."Benarkah?""Tapi tidak lama langsung keluar lagi, pelayan kecil itu nampak mur
"Di labirin juga, kita bisa menikmati sesuatu yang tidak bisa didapatkan di kedai mana pun," lanjut Yuksel dengan mata menatapnya antusias.Sementara Kimberly gelagapan sendiri. Apalagi ketika Emma, meski mulut diam dan pandangan tertunduk. Tapi, mata menunjukkan keingin tahuan atas kenikmatan yang ditawarkan labirin itu. "Omong kosong," keluhnya hendak menutup mulut Yuksel, supaya tak bertingkah.Tapi, tangannya langsung dicekal. "Istriku, jangan buat Emma terkejut."Justru Kimberly yang tertegun. Benar, jika sampai tangannya membungkam mulut Yuksel secara langsung. Maka kematian akan menimpanya. Lantas menimbulkan kegaduhan karena Emma menjerit cemas."Aku juga ingin bicara dengan ayahku, jadi biarkan aku pergi dan jangan mengikutiku," pintanya.***Entah mengapa, ketika Kimberly mengungkit ayahnya. Lalu ada hal serius yang ingin ia katakan. Yuksel mengizinkan untuk makan di luar dan tidak akan mengikuti dengan alasan ada pekerjaan mendadak.Makan itu hanya sebuah alasan. Sejujurny
Pembicaraan antara Yuksel dan Aaron ternyata berakhir baik. Serta Aaron orang yang bisa diajak tukar pendapat. Setidaknya itulah yang Aiden simpulkan. "Mungkin saat ini Kimberly masih di rumahmu, Tuan Aaron," ujar Yuksel memberi tahu."Ada keperluan apa dia ke rumah saya?"Yuksel menatap surat yang sudah hangus menjadi abu itu. "Karena dia tak kunjung mendapat balasan."Aaron membisu. Karena tak dibalas, sang anak justru menemui langsung untuk mendengarkan langsung. Sorot mata Aaron ikut membingkai kertas berwarna abu yang sempat menyita perhatian Yuksel itu."Bujuk Kimberly untuk tidak cerai," pinta Yuksel.Tepat seperti apa yang Yuksel katakan. Begitu kembali dari pertemuan rahasia. Aaron mendapati cerita dari pelayan, kalau Kimberly telah datang dan sekarang sudah pergi. Aaron terlambat sedikit dari perkiraan, padahal sudah memacu kereta kuda lebih cepat."Ayah!"Dari kejauhan, Rosalind mendekat. Dia berlari, namun tetap terlihat anggun. Meski melihat sang anak yang cantik luar bi
Selepas makan malam. Kimberly dan Yuksel berada di depan labirin ajaib. Kimberly melotot, ada apa dengannya? Kenapa ia menurut saja dibawa ke labirin. Padahal harusnya menolak."Aku sedang tidak enak badan," tolaknya membuat Yuksel melirik."Bisakah kita jalan-jalan saja di sekitar taman? Taman yang jauh dari labirin," lanjutnya.Meski kelihatannya, Yuksel enggan untuk pergi dari area labirin. Tapi, begitu melihat sorot matanya yang dipenuhi kebimbangan. Yuksel mengangguk mengerti dan mulai menggenggam tangannya.Netra Kimberly membingkai tangannya. Ah, ternyata tangannya lebih kecil dari Yuksel. Hingga tatapan begitu fokus pada sarung tangan yang membalut kulit suaminya. Pernah ia melihat langsung tangan yang putih pucat itu."Sejak kapan kau memakainya?" Pada akhirnya, Kimberly penasaran.Yuksel menoleh. "Memakai apa?""Sarung tangan.""Pastinya aku tidak tahu, tapi kalau tidak salah saat kecil. Ketika seluruh pelayan di kediamanku mati satu persatu."Sontak, Kimberly langsung menol
Malam yang dihuni gonggongan anjing. Yuksel terus saja tersenyum, sembari tangan sibuk mengelus wajah Kimberly dengan balutan sarung tangan. Di atas ranjang, pria itu jelas tak ingin membuat Kimberly menghadapi maut untuk kedua kalinya.Namun, sorot mata Yuksel menjadi serius. Tepat ketika terdengar ketukan pada pintu yang lumayan sopan itu. Meski begitu, tetap saja membuat Yuksel kesal. Terburu, Yuksel menuruni ranjang hanya untuk membuka pintu, sebelum keributan sederhana itu membangunkan Kimberly dari tidur."Kenapa kau tengah malam begitu mengganggu?" celetuk Yuksel begitu menemukan Aiden."Grand Duke, kakak--""Kau mau memberi tahu, kalau Rosalind telah kembali ke kediamannya?" tebak Yuksel sekaligus memotong pembicaraan."Benar sekali Tuan."Yuksel menarik napas kesal, sang pengawal satu ini selalu saja ketinggalan informasi. "Ya. Wanita itu bahkan datang langsung ke sini, dengan dalih ingin bertemu Kimberly."Seketika wajah Aiden menunjukkan keterk
Kimberly melihat sebuah pena kecil yang ketika ditekan, akan berubah menjadi tongkat. Jelas Kimberly kaget dengan perubahan yang tiba-tiba ini. Sementara Yuksel mengambil alih tongkat dari tangannya."Ini lebih disebut alat melarikan diri ketimbang alat sihir," ujar Yuksel membuat Kimberly penasaran."Alat melarikan diri? Bagaimana cara kerjanya."Mata Yuksel menyipit. "Aku tidak akan mengajarimu cara kerjanya."Mendengarnya Kimberly langsung berdecak kesal. Salahnya telah membuka hati dan mulai memandang pria ini baik. Tentunya sifat tidak bisa diubah, Yuksel tetaplah pria yang menyebalkan."Kalau begitu malam ini tidak usah ke labirin," ancamnya.Rupanya berhasil, sampai membuat Yuksel menyentuh tangannya. "Bagaimana bisa begitu? Kau yang sudah menjanjikannya padaku, mana boleh ingkar."Kimberly mendelik kesal. "Kalau begitu segera beri tahu aku cara menggunakannya.""Aku tidak mau karena takut, kalau kau tahu kemungkinan kau akan menggunakannya untuk lari dariku."Mata Kimberly men
Kimberly mengangkat gelas kecil berisi teh. "Tuan Yuksel jangan bercanda.""Aku sama sekali tidak bercanda."Saat itu juga, Kimberly yang menyesap teh langsung tersedak. Tepatnya atas ucapan dari Yuksel yang dianggapnya omong kosong, rupanya sebuah keseriusan. Yuksel ingin menjadikan Kimberly sebagai Grand Duchess. Posisi yang kosong selama bertahun-tahun."Sudah seharusnya istri dari Grand Duke mendapatkan gelar Grand Duchess," ujar Yuksel masih terdengar serius."Itu berlaku hanya jika kau memiliki satu istri saja," sahutnya berusaha mengingatkan.Gelar Grand Duchess tidak bisa mudah didapatkan begitu saja. Meski Kimberly tetap memiliki darah bangsawan, tapi mendapatkan gelar itu melalui pernikahan dirasa kurang pantas. Apalagi mengingat istri Yuksel ada banyak, tentunya ada banyak anggota yang bisa menjadi nyonya rumah."Aku akan menceraikan mereka semua," ujar Yuksel.Kali ini bukan Kimberly yang tersedak, tapi Aiden. Bahkan terbatuk cukup lama karena ucapan dari Yuksel. Membuat m
Yuksel semakin berlari terburu. Apalagi ketika melihat di depan kamar Kimberly ada beberapa pelayan. Yuksel langsung membuka pintu dan terenyuh, begitu melihat Kimberly yang ternyata masih belum terbangun dari tidur. Di sudut lantai samping ranjang, terlihat Emma yang menangis tersedu. Seolah benar-benar telah kehilangan sang nyonya. Langkah kaki Yuksel sedikit tertatih, ketika menghampiri Kimberly."Istriku," sebut Yuksel dengan nada sendu.Dalam beberapa langkah yang sulit. Yuksel telah berhasil melewati Emma dan duduk di tepi ranjang. Terburu mengambil tangan Kimberly dan merasakan denyut nadi yang sangat lemah.Saat itu juga. Semua kesedihan dalam diri Yuksel perlahan lenyap. Pria itu terburu bangkit dari ranjang dan mulai mengusir Emma dengan tangan sendiri. "Tuan! Biarkan saya tetap di sisi Lady, sampai Lady dimakamkan," rengek Emma yang diseret paksa oleh Yuksel untuk keluar."Kimberly tidak meninggal, tutup mulutmu dan hapus air matamu."Emma telah berada di luar kamar. Tepa
Kabar mengenai perjodohan antara putri tangan kanan Raja dengan Pangeran Noah menyebar dengan cepat di telinga para warga ibukota Kairi. Terdengar juga gosip lainnya. Bahwa banyak yang patah hati atas perjodohan itu. Tentu saja dari pihak yang menyukai Noah juga Prisa. Namun, tak sedikit juga orang yang memberi selamat atas perjodohan itu. Karena merasa memang mereka berdua sangat cocok.Sementara Noah berdiri di hadapan gerbang rumah Prisa dengan kereta kuda terparkir. Nampak menanti sosok Prisa yang keluar kediaman dengan mengenakan dress berwarna peach dengan corak bunga sederhana. Bibir Prisa tersenyum malu saat Noah berjalan mendekat dan menawarkan tangan."Padahal saya bisa jalan sendiri Pangeran," ujar Prisa sangat pelan."Tidak, biarkan aku yang membantumu berjalan hingga menaiki kereta," sahut Noah terdengar ramah.Noah sudah berjanji membawa Prisa mengelilingi ibukota Kairi lewat jalur sungai. Kejernihan warna sungai dengan sekitar dihuni para pedagang sepanjang perjalanan.
Malam harinya. Kimberly mendudukkan diri di sudut ranjang. Mata membingkai sosok Yuksel yang membawa pekerjaan ke kamar. Rasa kesal membuatnya menampar dokumen dari tangan suaminya.Hingga mata Yuksel melirik. "Sayang.""Apa ini ruang kerjamu?" Nada suaranya terdengar mengeluh.Yuksel yang mengerti langsung menutup dokumen dan meletakkan di meja samping ranjang. Lantas merentangkan tangan dengan tubuh masih menyender pada board ranjang. Kimberly menjadi tersenyum dan mulai menempatkan diri di pelukan suaminya."Ingin membicarakan sesuatu?" tanya Yuksel.Kepala Kimberly pun mengangguk. "Iya, aku ingin bicara.""Soal Noah dan Prisa?" tanya Yuksel lagi mulai mengerti.Lagi, kepalanya mengangguk. "Iya, suamiku."Jemari Yuksel mengusap kepalanya. "Ayo bicara padaku."Kimberly menggerakkan tubuhnya, mencari tempat yang paling nyaman. Yuksel tersenyum atas kelakuan darinya. "Aku benar-benar ingin Prisa dan Noah bisa bersama," ujarnya."Bukankah ayah sudah menyarankan soal perjodohan?" singg
Setelah beberapa hari berlalu, Kimberly selalu saja mendapat kabar. Kalau ketiga putri sangat akur satu dengan lainnya. Hal yang selalu membuat Kimberly tersenyum senang.Kimberly sendiri dalam perjalanan menuruni anak tangga. Setelah mendengar kalau Emma akan berkunjung. Dengan membawakan buah yang baru saja dipanen."Emma," sebutnya dengan senang begitu melihat istri dari Aiden ini.Emma sendiri sempat ikut tersenyum, namun sedetik kemudian menunjukkan wajah heran. "Tumben hari ini Ratu saya bisa tersenyum lebar begini."Mendengarnya Kimberly langsung tertawa. "Aku merasa sangat senang."Mata Emma membulat terkejut. "Apa Yang Mulia mengandung anak kelima?"Anak kelima, kata yang selalu Yuksel bicarakan padanya. Saking bosannya, Kimberly langsung menghela napas. Emma yang merasa tebakan salah, menjadi lebih penasaran."Memangnya bukan ya?""Bukan itu, tapi akhirnya ada hari di mana ketiga putriku itu akur. Aku merasa sangat bahagia," ujarnya dengan tersenyum lebar.Setelah tahu apa y
Beberapa saat kemudian. Yuksel terlihat duduk di ruang kerja, tak lama pintu diketuk dan dibuka oleh pelayan. Terlihat Noah berjalan masuk ditemani oleh Yoshi.Mata Yuksel menatap sang putra yang sudah berusia 14 tahun. Noah memiliki tubuh yang tinggi dan berisi, serta ketampanan dari Yuksel benar-benar menurun pada Noah. Hingga terkenal di kalangan bangsawan dan juga putri para menteri."Kau sudah dengar masalah bencana di kota sebelah?" singgung Yuksel.Noah duduk di kursi sekitar Yuksel. "Sudah, Ayah.""Apa kau memiliki solusi?"Dan Yuksel selalu bertanya pada sang putra. Setiap kali ada masalah yang melibatkan kerajaan. Karena, Yuksel ingin Noah lebih cepat memahami dan ketika mewarisi tahta tidak akan terkejut begitu beratnya tanggung jawab seorang raja."Jumlahnya cukup banyak, jika membantu maka banyak dana yang harus dikeluarkan. Alangkah baiknya menyediakan lahan dan bantuan medis saja. Untuk dana Ayah bisa berikan seperlunya saja."Yuksel langsung tersenyum. "Ayah juga beren
Yuksel dan Kimberly terpaksa kembali ke kediaman dengan cepat. Karena malamnya akan menghadiri pernikahan dari Liliana dan Julian. Kemudian mereka menikmati pesta yang diadakan di istana dengan meriah.Meski di dalam pesta itu, ada seorang wanita yang hanya bisa menahan kemarahan di pojok ruangan. Tentunya dia adalah mantan Putri Mahkota yang hanya dijadikan selir. "Dia hanya anak ingusan, tapi berani sekali merebut Raja dari tangan Anda."Wanita itu menoleh ke arah Arabella. "Bukankah kau juga sama? Kau waktu itu kalah dari anak ingusan seperti Ratu Kimberly."Arabella menatap kesal pada selir Raja ini. Namun tak bisa berbuat apa pun, karena selain berada di pesta. Derajat Arabella juga tidak sebanding.Sementara Kimberly yang mulai lelah. Memutuskan duduk di kursi khusus yang disediakan untuknya. Yuksel yang semula berbicara dengan Yoshi dan Liliana, langsung melirik ke arahnya."Aku akan ke istriku," ujar Yuksel.Yoshi menatap sang adik yang sejak tadi sedang diawasi oleh Julian,
Pagi harinya, mereka semua sarapan bersama. Madam Ane pun mengulas senyum selama mengawasi suasana ruang makan yang dulu begitu sepi. Sekarang sangat ramai, apalagi Alesha yang selalu berteriak pada Isabella."Katanya rumah Kakek Aaron ada di kota ini juga?" Noah memulai kata setelah sarapan selesai.Mendengar hal itu, Aaron menoleh. "Benar, Nak.""Apa aku boleh berkunjung?" tanya Noah.Isabella menjadi bersemangat. "Aku juga! Aku ingin melihat kediaman Kakek!"Mendengar hal itu, Aaron langsung melirik ke arah Kimberly dan Yuksel. Meski sang kakek merasa tidak sedikit masalah. Tapi, ada pihak lain yang kemungkinan tidak akan setuju."Lebih baik tidak usah ya, tidak ada yang bisa dilihat dari kediaman kakek itu," tolak Aaron.Kimberly menatap pada sang ayah. Mungkin Aaron tidak ingin anak-anaknya tahu, kondisi seperti apa dirinya ketika tumbuh sewaktu dulu. Karena masa lalu yang buruk memang sebaiknya tidak diceritakan dan lebih baik dilupakan."Hanya melihat dari depan juga tidak bole
Beberapa minggu berlalu. Kimberly dan keluarganya telah tiba di kediaman Pangeran kelima, perjalanan membutuhkan waktu kurang dari dua hari untuk tiba. Karena mereka memilih jalan pintas dan tercepat.Isabella berdecak kagum melihat taman di kediaman lama. "Wah indahnya, Bu aku jadi ingin tinggal di rumah Kakek."Pangeran kelima tersenyum mendengar hal itu. "Benarkah? Apa Isabella tidak takut tinggal sendirian di sini?""Kenapa begitu Kek?"Noah melintasi Isabella dan menyahut dingin, "bukankah sudah jelas? Kau ingin tinggal di sini, sementara kami semua pulang ke ibukota."Isabella langsung cemberut. Meski begitu, anak keduanya itu berlari menyusul Noah yang berjalan mendekatinya. Kimberly sesekali tersenyum dan berbincang dengan ibunya."Bu, ayah di mana?" tanya Noah begitu berjalan di sampingnya.Mendengar anak mencari sang ayah, membuat Kimberly hanya bisa tersenyum. Namun, Noah teringat sendiri hingga memutuskan untuk tidak bertanya lagi.Kimberly mengusap kepala putranya. Jujur
"Apa yang membuat istriku ini sangatlah bergembira?"Kimberly menoleh dan tersenyum begitu mendapati Yuksel berjalan mendekat bersama Yoshi. Sementara Emma hendak bangkit berdiri lagi dan menyapa. Namun, Yuksel lebih dulu melarang."Wanita hamil tidak boleh banyak gerak, duduklah."Kimberly masih tersenyum. "Suamiku, apa yang membawamu ke sini?"Yuksel mendekatinya dan ikut tersenyum. "Aku hanya ingin melihat apa yang kau lakukan Sayang.""Aku menyulam," sahutnya dengan ceria.Jemari Yuksel mengusap kepalanya. Menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Kemudian mengambil hasil sulaman setengah jadi miliknya."Bagus," puji Yuksel."Terima kasih suamiku."Isabella yang melihat keberadaan sang ayah. Langsung berhenti bermain dan segera menghampiri Yuksel sembari berteriak memanggil ayah. Yuksel sendiri bangkit dari duduk dan mendekat.Alesha yang melihat Isabella sudah sangat dekat. Membuat putri kecil itu terburu berlari tertatih demi bisa mencapai Yuksel lebih dulu. Noah, Prisa dan para pe
Yuksel menatap ke arahnya. "Sayang, apa kau yakin Alesha tidak akan terbangun lagi?"Atas pertanyaan tersebut, Kimberly menatap suaminya. "Benar. Kalau sampai petir datang lagi, Alesha terbangun saat kita sedang ...."Kimberly tak melanjutkan ucapannya. Karena Yuksel pun sudah paham meski dirinya tak bicara lagi. Hingga kepala Yuksel mengangguk, dan tangan mengusap wajahnya."Tidak baik melakukannya saat anak terbangun," sambung Yuksel.Kimberly menarik napas. "Kalau begitu mari kita tidur."Yuksel mengusap wajahnya. "Ya Sayang."Dengan Alesha menjadi penghalang di antara Kimberly dan Yuksel. Namun, Yuksel malah mendekatkan diri demi bisa menjadikan tangan sebagai bantal tidur untuknya. Kimberly tersenyum senang dan mulai memejamkan mata.***Esoknya. Di ruang kerja, Yuksel kedatangan Putra Mahkota yang seharusnya sudah pulang. Justru terlihat enggan untuk kembali."Bukankah kau sudah mengerti cara kerja dan risiko dari obat yang diberikan?" tanya Yuksel."Bisakah aku tinggal di sini