Amel membawa bubur ke ruang tengah dengan wajah masam, ia tidak ingin berpura-pura bahagia karena bisa diandalkan mertua. Oh no, ia sadar tengah di manfaatkan."Oke. Mama minta tolong juga Mel, jemuran itu udah pada kering. Kaki Mama lagi pegel-pegel buat ngambil," ucap Mama mertua."Boleh 'kan Vin?" tanyanya meminta persetujuan Alvin."Hmm." Alvin hanya menjawab dengan gumaman.Amel hendak memperotes, namun ia tahan karena si mertua kembali berkata-kata. "Bakti sama mertua apa susahnya tho ya.""Iya Amel ambilkan," balas Amel pasrah, ia berjalan lunglai ke belakang, lalu naik tangga dan mengambil jemuran di sana. Setelahnya, ia langsung turun dan membawanya ke ruangan dekat ruang tengah, tempat dimana baju-baju yang belum dilipat menunggu."Sekalian lipatin Mel, biar nggak numpuk. Soalnya Mama belum sempat."Amel langsung menjatuhkan dengan kasar baju-baju yang telah ia putiki. Menyesal karena telah mengiyakan permintaan Mama mertuanya itu."Dia itu suka banget sih nyuruh-nyuruh oran
Bapak Amel mempersilakan masuk perempuan yang sepertinya tak beda jauh umurnya dengan sang anak itu. Amel yang melihatnya hanya mendengus, ia merasa tidak enak untuk tidak menyutujui sikap sang Bapak yang terlewat ramah."Kamu duduk aja disini," ucap Amel pada Wati yang terus-terusan mengedar pandang ke seluruh ruangan.Amel memilih untuk pergi ke kamar, bukan ke dapur untuk membuatkan minuman atau menyajikan makanan untuk Wati."Mas," panggil Amel. Namun Alvin seperti tidak mendengar.Alvin yang sedari tadi fokus menatap ponsel, masih tidak menyadari keberadaan sang istri."Mas, ada Wati," ucap Amel lagi.Kekesalan atas kedatangan Wati yang tiba-tiba di pagi buta ditambah kuping sang suami yang sepertinya jarang dibersihkan itu, membuat Amel seketika berlari dan langsung menepuk bahu Alvin keras-keras."Aw!" pekik Alvin, lalu menatap kesal ke arah sang istri. "Kenapa kamu?" tanyanya."Tuli apa ya? Aku udah bilang dari tadi ada Wati," geram Amel yang menyilangkan tangan di depan dada.
"Rafa tunggu Abang!" teriak Alvin sambil berusaha mengejar adik Iparnya yang tampak marah itu."Rafa!" teriak Alvin lagi, ia berlari sekuat tenaga hingga tangannya mampu menggapai bahu Rafa. Ia membalik tubuh anak baru puber itu, untuk menghadap ke arahnya. Namun, betapa terkejut saat melihat wajah Rafa sudah memerah, nafasnya tidak beraturan."Rafa, dengerin penjelasan Abang," pinta Alvin dengan nada lembut. Berbicara kepada anak muda begini yang masih labil emosinya memang harus berhati-hati. Tidak boleh main kasar."Aku terlalu pintar untuk tahu apa yang Abang lakuin di belakang Kakakku," ucap Rafa dingin. Ia menepis kasar tangan Kakak iparnya dari pundak. "Rafa, Abang mohon, dengerin Abang dulu ya. Kita duduk, terus ngobrol santai," ajak Alvin."Santai? udah ketahuan masih bisa santai? Aku nggak nyangka Abang begini orangnya. Aku kira, setia, ternyata aku lupa, kita sama. Kita laki-laki, bisa memanfaatkan perasaan perempuan seenaknya, ya 'kan?" sahut Rafa dengan kekehan di akhirn
Amel buru-buru menutup mulut adiknya. Rafa yang kesal memberontak, ia langsung menggelitiki kakaknya."Rafa!" pekik Amel, ia berusaha agar bagaimana sang adik tidak membocorkan rahasia ia dan Alvin. Ia memukuli pelan bahu adiknya."Kalian kenapa?" tanya Bapak heran. Alvin hanya meringis."Dek, tolong ya," bisik Amel ditengah aktivitasnya memukuli sang adik."Iya!" pekik Rafa kesal, ia mendorong tubuh kakaknya agar menjauh. "Iya iya, stop!" suara Rafa mulai melemah.Ia menggaruk kepalanya, "Ini nih Pak, aku mau beli poster blackpink aja nggak boleh sama dia, aku 'kan pakai duit sendiri," jelas Rafa dengan ekspresi merengut. Ia menatap ke arah Amel dengan kesal."Blackpink apa itu? makanan?" tanya Bapaknya Amel polos, membuat Amel harus menahan tawa."Bukan Pak," ucap Amel sambil terkekeh kecil. "Itu loh artis-artis korea, langsing, cantik, nyanyi-nyanyi di tivi," jelas Amel merasa begitu lega karena adiknya ternyata bisa diajak kerjasama.Alvin yang sedari tadi menyimak juga mengurut d
Alvin hanya bisa mengelus dada sementara semenjak Rafa tiba-tiba mau bersedia di ajak kerjasama. Entah apa alasan remaja itu tiba-tiba ikut menutupi kebohongan besarnya.Mata Alvin tidak lepas dari memperhatikan istrinya yang tengah mematut diri di cermin sambil berkali-kali membongkar pasang kerudungnya. Padahal, semenjak pemakaian pertama, menurutnya sudah bagus-bagus saja. Wanita yang kini menjadi istrinya itu adalah anak baik-baik dari seorang Ayah yang baik pula. Alvin tidak lupa, bagaimana pertolongan Pak Haris -Ayah Amel- kepadanya saat dimana ia tengah terpuruk, kehilangan kasih sayang keluarga, serta hanya ingin hidup untuk foya-foya tanpa memikirkan hal lain. Nasi goreng dan es teh yang kerap kali dinikmati oleh dirinya, serasa bukan hanya mengisi tenggorokan dan perutnya semata, tapi mengisi kekosongan hatinya. Ia merasa tenang dan senang begitu berinteraksi Pak Haris. Tutur kata yang lemah lembut itu mampu selalu membuatnya tersenyum dan melupakan apa yang tengah terjadi.
Amel hanya bisa berujar lirih dengan mata yang melebar. Sedangkan Alvin yang juga melihat adegan di balik pintu hotel yang tidak tertutup itu dengan cepat menarik tangan sang istri untuk menjauh.Tubuh Amel tertarik begitu saja, awalnya ia ingin berteriak karena seseorang menarik tangannya. Tapi, tidak jadi karena mulutnya sudah terkunci.Alvin membawa Amel ke sisi dinding yang tertutup. Tangannya langsung menutup mulut istrinya yang hendak berteriak."Diem Mel," titahnya pada sang istri. Alvin menengok lagi keluar, sepertinya dua orang tadi tidak ada yang melihat mereka.Posisi ia dan istri yang begitu dekat, entah mengapa membuat jantungnya berdetak kencang. Ia bisa merasakan hembusan nafas Amel ditangannya. Mata mereka bertemu sesaat. Alvin baru tersadar saat tangannya di tepis kasar oleh sang istri. "Pengap tau!" kesal Amel yang membuat Alvin meminta maaf."Iya maaf," katanya lirih, lalu kembali menengok ke balik dinding yang menghalangi mereka."Itu tadi, Mama?" tanya Amel masih
"Apa maksud kamu? Menyentuhku?" ulang Amel. Ia sudah cukup umur untuk mengerti kearah mana pembicaraan Alvin. Tapi, bagaimana bisa pria itu yang katanya sudah berjanji tidak akan macam-macam malah meminta haknya malam ini? Amel paham, ia seorang istri. Tapi, ini tetap tidak dibenarkan.Wajah Alvin semakin mendekat ke arah Amel. Hampir saja menciumnya, jika Amel tidak segera berpaling. Kakinya yang bebas, langsung menginjak kaki Alvin. Membuat si empunya meringis.Amel segera berlari, menuju kamar untuk mengurung diri agar kebuasan Alvin tidak berakibat buruk padanya. Ia merutuk makanan yang sembarang ia terima dari pelayan hotel. Sebenarnya siapa yang memesan dan kenapa malah ada racun yang membuat suaminya sangat mengerikan.Tangan Amel cepat-cepat menutup pintu, namun naas, sang suami lebih cepat menahan dengan sekuat tenaga sepertinya. Amel bahkan kewalahan, ia langsung berlari di susul Alvin. Mereka berdua saling kejar-kejaran. Amel berlari ke atas kasur, ia mengambil bantal lalu
âSetelah ini, rencana kita apa?â tanya Amel ketika dirinya dan suami sudah berada di dalam mobil, bersiap melakukan perjalan pulang. Alvin menoleh, menghela nafas.âNanti kita pikirkan lagi. Jalanin aja hari-hari kita yang hanya tinggal sedikit,â balas Alvin, lalu mendekat ke arah Amel. Menatap wajah seorang wanita yang pasti ia rindukan nanti.âIh apaan sih.â Amel semakin memundurkan wajahnya yang tiba-tiba memerah, begitu Alvin mendekat. âAku mau ingat-ingat wajah cewek yang bernama Amel,â ucap Alvin seraya terkekeh geli. Sedangkan Amel berdecak kecil. Hanya membutuhkan waktu dua jam di perjalanan, akhirnya mereka sampai di kegiaman keluarga besar Alvin. Mobil Ayah Alvin yang sudah berada di pelataran rumah, menandakan bahwa si empunya sudah berada di rumah. âKamu istirahat aja di kamar kalau capek,â ucap Alvin pada Amel. Namun, langkah mereka harus terhenti begitu Wati tiba-tiba menghadang di depan pintu utama, menyilangkan tangan di depan dada.âJadi ini alasan kamu ngelarang a