Author POVHei kalian, ada yang komen di bab Yang Kedua, bab yang otor kunci pakai Candy, nah itu tandanya, kalian bisa ya cara membukanya? tinggal klik cerita > terus klik Lollipop > kebuka deh. Biar lbih jelas, buka BAB PENGUMUMAN YA🤗 sayang loh, ketinggalan 3 bab hehe."Ya udah, kalau gitu aku duluan ya," pamit Tiara pada Amel, setelah wanita itu ikut membantu membereskan sisa-sisa party beberapa jam lalu. Teman-teman sekelas Amel sudah pulang semua sejak setengah jam lalu.Selain Tiara, ada satu pria yang masih setia disini, dengan tangan yang masih mengepel etalase kaca yang kini sudah di penuhi dengan beberapa stock hijab."Udah Kak, biar aku aja, sini lapnya," ucap Amel merasa tidak nyaman, karena pria ini sudah sangat membantu dan bekerja keras hanya untuk pembukaan tokonya ini. Tangan Amel sudah menengadah, meminta lap."Sedikit lagi Mel," balas Ramdan setelah menoleh sebentar dengan senyum manisnya.Amel menghela nafas, lebih memilih duduk di kursi sambil memainkan ponsel.
Amel membawa bubur ke ruang tengah dengan wajah masam, ia tidak ingin berpura-pura bahagia karena bisa diandalkan mertua. Oh no, ia sadar tengah di manfaatkan."Oke. Mama minta tolong juga Mel, jemuran itu udah pada kering. Kaki Mama lagi pegel-pegel buat ngambil," ucap Mama mertua."Boleh 'kan Vin?" tanyanya meminta persetujuan Alvin."Hmm." Alvin hanya menjawab dengan gumaman.Amel hendak memperotes, namun ia tahan karena si mertua kembali berkata-kata. "Bakti sama mertua apa susahnya tho ya.""Iya Amel ambilkan," balas Amel pasrah, ia berjalan lunglai ke belakang, lalu naik tangga dan mengambil jemuran di sana. Setelahnya, ia langsung turun dan membawanya ke ruangan dekat ruang tengah, tempat dimana baju-baju yang belum dilipat menunggu."Sekalian lipatin Mel, biar nggak numpuk. Soalnya Mama belum sempat."Amel langsung menjatuhkan dengan kasar baju-baju yang telah ia putiki. Menyesal karena telah mengiyakan permintaan Mama mertuanya itu."Dia itu suka banget sih nyuruh-nyuruh oran
Bapak Amel mempersilakan masuk perempuan yang sepertinya tak beda jauh umurnya dengan sang anak itu. Amel yang melihatnya hanya mendengus, ia merasa tidak enak untuk tidak menyutujui sikap sang Bapak yang terlewat ramah."Kamu duduk aja disini," ucap Amel pada Wati yang terus-terusan mengedar pandang ke seluruh ruangan.Amel memilih untuk pergi ke kamar, bukan ke dapur untuk membuatkan minuman atau menyajikan makanan untuk Wati."Mas," panggil Amel. Namun Alvin seperti tidak mendengar.Alvin yang sedari tadi fokus menatap ponsel, masih tidak menyadari keberadaan sang istri."Mas, ada Wati," ucap Amel lagi.Kekesalan atas kedatangan Wati yang tiba-tiba di pagi buta ditambah kuping sang suami yang sepertinya jarang dibersihkan itu, membuat Amel seketika berlari dan langsung menepuk bahu Alvin keras-keras."Aw!" pekik Alvin, lalu menatap kesal ke arah sang istri. "Kenapa kamu?" tanyanya."Tuli apa ya? Aku udah bilang dari tadi ada Wati," geram Amel yang menyilangkan tangan di depan dada.
"Rafa tunggu Abang!" teriak Alvin sambil berusaha mengejar adik Iparnya yang tampak marah itu."Rafa!" teriak Alvin lagi, ia berlari sekuat tenaga hingga tangannya mampu menggapai bahu Rafa. Ia membalik tubuh anak baru puber itu, untuk menghadap ke arahnya. Namun, betapa terkejut saat melihat wajah Rafa sudah memerah, nafasnya tidak beraturan."Rafa, dengerin penjelasan Abang," pinta Alvin dengan nada lembut. Berbicara kepada anak muda begini yang masih labil emosinya memang harus berhati-hati. Tidak boleh main kasar."Aku terlalu pintar untuk tahu apa yang Abang lakuin di belakang Kakakku," ucap Rafa dingin. Ia menepis kasar tangan Kakak iparnya dari pundak. "Rafa, Abang mohon, dengerin Abang dulu ya. Kita duduk, terus ngobrol santai," ajak Alvin."Santai? udah ketahuan masih bisa santai? Aku nggak nyangka Abang begini orangnya. Aku kira, setia, ternyata aku lupa, kita sama. Kita laki-laki, bisa memanfaatkan perasaan perempuan seenaknya, ya 'kan?" sahut Rafa dengan kekehan di akhirn
Amel buru-buru menutup mulut adiknya. Rafa yang kesal memberontak, ia langsung menggelitiki kakaknya."Rafa!" pekik Amel, ia berusaha agar bagaimana sang adik tidak membocorkan rahasia ia dan Alvin. Ia memukuli pelan bahu adiknya."Kalian kenapa?" tanya Bapak heran. Alvin hanya meringis."Dek, tolong ya," bisik Amel ditengah aktivitasnya memukuli sang adik."Iya!" pekik Rafa kesal, ia mendorong tubuh kakaknya agar menjauh. "Iya iya, stop!" suara Rafa mulai melemah.Ia menggaruk kepalanya, "Ini nih Pak, aku mau beli poster blackpink aja nggak boleh sama dia, aku 'kan pakai duit sendiri," jelas Rafa dengan ekspresi merengut. Ia menatap ke arah Amel dengan kesal."Blackpink apa itu? makanan?" tanya Bapaknya Amel polos, membuat Amel harus menahan tawa."Bukan Pak," ucap Amel sambil terkekeh kecil. "Itu loh artis-artis korea, langsing, cantik, nyanyi-nyanyi di tivi," jelas Amel merasa begitu lega karena adiknya ternyata bisa diajak kerjasama.Alvin yang sedari tadi menyimak juga mengurut d
Alvin hanya bisa mengelus dada sementara semenjak Rafa tiba-tiba mau bersedia di ajak kerjasama. Entah apa alasan remaja itu tiba-tiba ikut menutupi kebohongan besarnya.Mata Alvin tidak lepas dari memperhatikan istrinya yang tengah mematut diri di cermin sambil berkali-kali membongkar pasang kerudungnya. Padahal, semenjak pemakaian pertama, menurutnya sudah bagus-bagus saja. Wanita yang kini menjadi istrinya itu adalah anak baik-baik dari seorang Ayah yang baik pula. Alvin tidak lupa, bagaimana pertolongan Pak Haris -Ayah Amel- kepadanya saat dimana ia tengah terpuruk, kehilangan kasih sayang keluarga, serta hanya ingin hidup untuk foya-foya tanpa memikirkan hal lain. Nasi goreng dan es teh yang kerap kali dinikmati oleh dirinya, serasa bukan hanya mengisi tenggorokan dan perutnya semata, tapi mengisi kekosongan hatinya. Ia merasa tenang dan senang begitu berinteraksi Pak Haris. Tutur kata yang lemah lembut itu mampu selalu membuatnya tersenyum dan melupakan apa yang tengah terjadi.
Amel hanya bisa berujar lirih dengan mata yang melebar. Sedangkan Alvin yang juga melihat adegan di balik pintu hotel yang tidak tertutup itu dengan cepat menarik tangan sang istri untuk menjauh.Tubuh Amel tertarik begitu saja, awalnya ia ingin berteriak karena seseorang menarik tangannya. Tapi, tidak jadi karena mulutnya sudah terkunci.Alvin membawa Amel ke sisi dinding yang tertutup. Tangannya langsung menutup mulut istrinya yang hendak berteriak."Diem Mel," titahnya pada sang istri. Alvin menengok lagi keluar, sepertinya dua orang tadi tidak ada yang melihat mereka.Posisi ia dan istri yang begitu dekat, entah mengapa membuat jantungnya berdetak kencang. Ia bisa merasakan hembusan nafas Amel ditangannya. Mata mereka bertemu sesaat. Alvin baru tersadar saat tangannya di tepis kasar oleh sang istri. "Pengap tau!" kesal Amel yang membuat Alvin meminta maaf."Iya maaf," katanya lirih, lalu kembali menengok ke balik dinding yang menghalangi mereka."Itu tadi, Mama?" tanya Amel masih
"Apa maksud kamu? Menyentuhku?" ulang Amel. Ia sudah cukup umur untuk mengerti kearah mana pembicaraan Alvin. Tapi, bagaimana bisa pria itu yang katanya sudah berjanji tidak akan macam-macam malah meminta haknya malam ini? Amel paham, ia seorang istri. Tapi, ini tetap tidak dibenarkan.Wajah Alvin semakin mendekat ke arah Amel. Hampir saja menciumnya, jika Amel tidak segera berpaling. Kakinya yang bebas, langsung menginjak kaki Alvin. Membuat si empunya meringis.Amel segera berlari, menuju kamar untuk mengurung diri agar kebuasan Alvin tidak berakibat buruk padanya. Ia merutuk makanan yang sembarang ia terima dari pelayan hotel. Sebenarnya siapa yang memesan dan kenapa malah ada racun yang membuat suaminya sangat mengerikan.Tangan Amel cepat-cepat menutup pintu, namun naas, sang suami lebih cepat menahan dengan sekuat tenaga sepertinya. Amel bahkan kewalahan, ia langsung berlari di susul Alvin. Mereka berdua saling kejar-kejaran. Amel berlari ke atas kasur, ia mengambil bantal lalu
Bagi Amel, peristiwa yang ia alami mendadak ini terasa seperti mimpi di sore hari. Setelah hatinya memantapkan untuk kembali melabuhkan hati pada seseorang, akhirnya kini tubuhnya merela untuk duduk sembari mendengar seorang pria mengucap janji suci.Ketika Amel mengatakan pada sang Ayah bahwa ia telah siap kembali menikah dengan Alvin, sepertinya Haris tidak ingin membuang banyak waktu, selain segera menghubungi pihak KUA untuk menikahkan putrinya yang sudah dua kali gagal menikah. Kini, ia percaya dan penuh harap semoga rumah tangga yang akan dibina oleh dua orang yang ia sayangi itu, akan menemukan bahagia.Sedangkan Alvin, ia juga tidak kalah syok karena setelah Haris kembali ke ruangannya tanpa Amel, pria paruh baya itu mengatakan dengan tegas bahwa akad mendadak akan dilaksanakan sore hari, menjelang Maghrib. Tanpa bisa membantah, Alvin hanya mengiyakan walau dadanya berdebar tidak karuan."Secepat itu," batin Alvin. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih dalam keadaan belum pul
"Kamu belum bisa melupakan Ramdan?” lirih Haris, wajahnya terlihat sedih. Amel menghela nafas, ia tahu, Ayahnya sedang berusaha membujuknya.“Bukan begitu Pak."“Terus apa alasan kamu? Karena dia kekurangan fisik?” tanya Haris memastikan. Ia tahu, pasti berat bagi putrinya yang tiba-tiba ditawarkan seorang pria yang kekurangan secara fisik.“Bukan itu juga. Begini Pak, walau Pak Haikal itu kekurangan fisik, apa dia mau sama aku? Janda dua kali ini? Ck, aku rasa perjaka semacam dia, enggan. Pasti mencari perawan,” jelas Amel sembari menggelengkan kepalanya. Ia sadar diri, sebagai seorang janda, tentu tidak percaya diri menikahi seorang pria yang benar-benar baru, belum pernah menikah sama sekali. Apalagi, Haikal cukup tampan dan cerdas. Ah, Amel tidak bisa membayangkan bisa bersanding dengan pria itu.“Anak Bapak juga masih perawan. Apa lagi yang diragukan?” tanya Haris yang memang tahu, putrinya masih perawan. Bukankah Amel tempo hari menceritakan jika Ramdan tidak pernah menyentuhnya
Awalnya Amel hendak melipir dan bersembunyi, walau matanya sudah terlanjur bertemu dengan Wati. Pertemuan ini pasti akan terasa aneh. Amel menghirup nafas dalam-dalam, ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan dua orang itu.“Untuk apa aku takut bertemu mereka?” batin Amel. Akhirnya ia memberanikan diri untuk tetap tegap dan berjalan lurus ke depan.“Kamu dari tempat Alvin?” tanya Wati langsung setelah ia berhenti di depan Amel.“Iya. Kalian mau berkujung juga?” tanya Amel dengan wajah ramah, melirik sekilas kepada Ramdan yang tampak canggung. Sedangkan Wati, tersenyum sumir, ketika melihat mantan madunya nampak baik-baik saja.“Mereka memang tampak serasi sebagai suami istri,” batin Amel.Wati menganggukkan kepala, “Apa tidak ada yang aneh? Mantan istri mengunjungi mantan suami. Padahal sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi, kamu baru saja cerai dari Ramdan, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa?” sindir Wati tajam. “Pasti ada sesuatu Jangan bilang, setelah ini kamu akan balikka
Mengingat sang Ayah tersenyum penuh arti. Amel menjadi kepikiran jika pria paruh baya itu benar-benar akan menjodohkannya dengan Bos Konveksi itu. Haikal.Selama packing hijab pesanan pelanggannya pun, Amel masih tidak bisa tenang. Jangan sampai Ayahnya menawarkannya pada Haikal. Mau ditaruh dimana muka ini? batin Amel.Akhirnya, karena kegalauannya, ia memutuskan untuk sekedar refreshing ke cafe. Bersama siapa lagi, jika bukan Tiara. "Gimana kabarmu? aku liat, pipimu baik-baik aja?" tanya Tiara sembari menyeruput Americanonya.Amel tersenyum masam. "Haruskah aku kurus gara-gara cerai?"Tiara tertawa. "Ya nggak lah. Tapi, mengingat dia pria yang sangat kamu kagumi. Apa nggak susah lupainnya?" tanya Tiara. Ia turut bersedih ketika Amel bercerita padanya via telpon bahwa rumah tangga wanita itu dengan Ramdan telah kandas gara-gara ada orang ketiga. Dan parahnya, orang ketiganya telah hamil."Susah. Cuma, kalau ingat dia telah menghamili wanita lain, aku menjadi sedikit, gimana gitu. Ent
Bagi seorang Ayah, akan sangat tidak tega membiarkan putrinya menyimpan luka sendirian. Haris, terus memantau keadaan Amel yang ia tahu, putrinya berusaha terlihat baik-baik saja. Dan Amel, berusaha keras agar Ayahnya percaya.Hari demi hari terlewati, Amel terlihat semakin ceria. Banyak senyum dan tertawa. Tidak ada rona kecewa dan kesedihan di sana. Dan hal itu, membuat Haris justru makin khawatir, takut anaknya menyembunyikan rasa stress yang dialaminya seorang diri.“Rafa! Sarapan!” teriak Amel sambil menggedor-gedor kamar sang adik.Haris yang melihatnya, hanya menatap nanar putrinya. Tidak mungkin, bagi wanita bercerai akan bangkit secepat itu.“Eh Bapak! Ayo makan, kita tinggalin Rafa!” ucap Amel saat ia menolah mendapati sang Ayah yang tengah berdiri dan menatapnya.Haris tersenyum. “Ayo!”Keluarga kecil itu kembali pada rutinitas seperti biasanya. Seperti sebelum Amel di boyong oleh suami ke rumah mertuanya. Pagi-pagi, Amel yang menyajikan berbagai menu makanan. Haris yang me
“Mau kemana kalian?” tanya Melani yang sedang berbincang dengan suaminya. Amel yang masih menitikkan air mata, menyekanya, mengulas senyum namun tidak kuat untuk mengatakan bahwa dia dan Ramdan telah bercerai.“Nak, kenapa kamu membawa koper?” tanya Melani lagi, kini wanita paruh baya itu menghampiri Amel dan Ramdan yang berdiri. “Ramdan, kenapa Amel menangis?” Melani masih terus bertanya. Ramdan menghela nafas.“Kami sudah bercerai Bu,” lirih Ramdan. Amel tersenyum paksa, ia menggenggam tangan Ibu mertuanya yang dingin. Terlihat raut wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu begitu terkejut.“Maafkan Amel Bu,” ujar Amel. “Maaf, karena Amel tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”“Ramdan, apa yang kamu lakukan pada Amel?” tanya pria paruh baya. Ayahnya Ramdan.Ramdan yang mendapat pertanyaan penuh intimidasi itu menundukkan kepala, tidak berani menatap sang ayah. “Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kalian bercerai?” tanya Ayah Ramdan.“Nanti. Aku akan jelaskan. Ayo.” Ramdan mem
Amel tidak kuasa menahan tangis. Ia berteriak dengan cairan bening yang terus menetes."Sama. Laki-laki semuanya sama ketika berbohong," batin Amel walau tidak ia suarakan di hadapan Ramdan. Saat di perjalanan menuju rumah Ramdan. Pria itu tiba-tiba mendapat telpon entah dari siapa."Kenapa nggak diangkat Kak? siapa tau penting," ujar Amel yang penasaran mengapa Ramdan tidak mengangkat."Aku lagi mengemudi, takut nggak fokus, apalagi lagi bawa kamu." Ramdan beralasan.Amel mengangguk saja, ia lebih memilih memejamkan mata. Hingga setelah cukup lama ia di posisi begitu, suara dering telpon, kembali terdengar. Namun, ia tetap berpura-pura tidur."Nanti, aku telpon lagi." Sepertinya Ramdan mengangkat telpon, hanya itu yang terdengar oleh Amel.Sesampainya di rumah. Ramdan menyuruh Amel ke kamar lebih dulu, karena pria itu beralasan akan mengecek sesuatu dulu di mobil. Ada yang tidak beres dalam mesinnya. Amel hanya mengiyakan, walau ia tidak benar-benar pergi dari sana."Kenapa menelpon?
Amel kembali ke kamarnya, menyisir rambutnya dengan tenang. Ketukan pintu membuatnya segera memakai kerudung lagi. Ia tahu, yang akan datang pasti suaminya.“Gimana keadaan kamu?” tanya Ramdan yang langsung berjalan mendekat, lalu memeluk Amel dengan erat dan mengelus punggung wanita itu.“Aku sudah baikkan Kak. Tadi habis di lap sama Ibu. Oh ya, Bapakku katanya udah siuman. Yuk, jenguk ke sana dulu,” ajak Amel dengan senyum mengembang, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia memang pengecut, coba saja tadi langsung melabrak Wati dan Ramdan, namun, itu hanya khayalan di kepalanya. Menegur mereka, bukanlah pilihan yang tepat sementara ini.Ramdan mengangguk, ia lalu menggandeng tangan Amel. “Rafa sekolah ‘kan?” tanya Amel saat mereka berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ramdan mengangguk.“Awalnya dia mau aku boongin kamu, minta izin nggak sekolah. Tapi karena kamu, aku nggak biarin dia,” ucap Ramdan terkekeh mengingat rayuan Rafa padanya, untuk izin tidak masuk sekolah, namun i
"Sedari kami SMA. Aku mengenal dia dengan sangat baik. Entah mengapa dia tidak mengenalkan aku padamu. Kalau saja kita tidak bertemu secara tidak sengaja di tempat konveksi, mungkin kamu tidak bakal tau tentang hubunganku dengan Alvin," jelas Haikal, lalu menatap ke arah Alvin lagi, ia mengerti wanita disampingnya tidak nyaman ditatap olehnya seperti tadi.Bukan tanpa alasan, hanya saja seorang Haikal merasa heran apa sebenarnya keistimewaan seorang Amelia hingga Alvin mau berkorban untuk wanita yang telah bersuami itu."Kamu mungkin dulu bukan orang yang pantas tahu cerita hidupnya. Tapi, melihat fakta perasaannya padamu saat ini, rasanya kamu harus tahu. Dia anak broken home. Bapaknya menikahi wanita lain, saat Ibunya sakit. Dia menjadi anak yang memberontak, sering kena SP sewaktu SMA. Kamu sudah tau cerita ini?" tanya Haikal. Memastikan, jika Amel belum pernah mendengar cerita tentang Alvin.Amel hanya mengangguk. "Dia akan bercerita pada orang yang ia anggap dekat. Berarti, kamu