Seminggu berlalu, masa pemulihan Anna dirumah sakit ternama itu sudah selesai. Kedua orang tua Anna kini tengah bersiap membereskan baju-baju Anna.Seminggu itu pula, Adrian tidak lagi menemuinya. Semua seperti biasanya, mereka kembali terasa asing."Pah, bagaimana dengan kabar Adrian?" tanya Anna tiba-tiba membuat kedua orang tua yang tengah sibuk mengemas keperluan Anna menoleh bingung."Apakah ayah tidak salah dengar bund? Anak kita nanyain siapa tadi?" Sedikit menggoda anna, Herman bertanya kepada istrinya."Iya pah, bunda juga dengar. Adrian ya" jawab istrinya sembari cekikikan.Mendengar hal itu, membuat pipi Anna merona. Entahlah, sejak seminggu ini Anna begitu bimbang dengan perasaannya. Satu sisi Anna masih mencintai Mario, di satu sisi Anna mengagumi keberanian Adrian seminggu lalu."Ih ..." rengek Anna dengan malu."Kenapa sayang, apa yang belum kita ketahui tentang Adrian? Apa Adrian membuat masalah sama kamu?" tanya ibunya dengan mendekati Anna.Anna memandang ibunya deng
Hari-hari telah berlalu, kini Anna telah sembuh total dari penyakit mematikan itu. Ia pun kini sudah mulai beraktivitas seperti biasa, berkutat dengan obat-obatan di ruang apoteker.Namun, setiap kali Anna melihat botol obat dengan label yang akrab, ingatannya selalu membawanya kembali pada masa-masa sulit saat dirinya terbaring lemah. Jika bukan karena beberapa orang, mungkin saat ini Anna masih harus berjuang dengan penyakitnya, terus menerus meminum obat yang sama tanpa tau kesembuhannya kapan."Jangan dipikirkan, itu sudah masa lalu. Fokuslah dengan kehidupanmu yang sekarang"Seketika Anna mengerjap, mendengar ucapan seseorang dibalik kaca."Kamu," lirih Anna.Adrian tersenyum, matanya menyipit memperhatikan wajah Anna dari balik kaca tersebut."Apa kabar, senang bisa melihatmu bekerja kembali" sapa Adrian. Anna menggeleng, ia berusaha menetralkan degup jantungnya."Alhamdulillah, ada perlu apa kesini? Mau tebus obat? Buat siapa?""Tanyanya bisa satu-satu bu? Saya bingung mau jawa
Hari-hari terus berjalan, atmosfer di antara Anna dan Adrian tetap tegang namun penuh ketidakpastian. Kehadiran Mario sebagai kekasih Anna menjadikan setiap pertemuan itu menjadi sumber dilema bagi keduanya.Seperti saat ini, keduanya tidak sengaja bertemu di mall dengan si kembar dikedua sisi Adrian yang menyapa Anna dengan antusias."Tante Cantik!" Ratu terus saja berteriak kegirangan. Anna tersenyum, ia terpaksa menghampiri ketiganya."Hallo Ratu Raja, apa kabar?" tanya Anna ramah sedikit membungkuk mensejajarkan tubuhnya dengan kedua anak lucu itu."Alhamdulillah kami baik, tante apa kabar? Katanya tante sakit, sekarang udah gak sakit lagikan ya?"Anna tersenyum lembut, "Alhamdulillah, sekarang sudah jauh lebih baik, sayang."Adrian berdiri di sebelah Anna dengan senyum tipis. Mata mereka bertemu sejenak, menciptakan keheningan yang tidak nyaman. Ratu yang peka merasakan atmosfer yang berubah, bertanya dengan polos, "Ayah, kenapa mukanya gitu?"Anna tersenyum mencoba menyamarkan
"Assalamualaikum, Anna pulang" lirih Anna berusah untuk tidak menangis nyatanya tidak bisa ia lakukan. Air matanya kini mengalir deras ke pipinya, Anna terisak berlari menuju kamarnya menghiraukan ayah dan ibunya yang tengah berada diruang tengah."Kamu kenapa nak?!" tanya Dirgantara sembari berteriak khawatir.Anna tak menggubris, ia berlari ke kamar dengan bergetar hebat. Melihat hal itu, membuat Dirgantara dan Ajeng khawatir."Ada yang tidak beres ini, pasti gara-gara Mario. Anak itu ..." Kesal Dirgantara menuduh Mario yang menjadi penyebab utama kesedihan putrinya itu."Hush, jangan suudzon dulu. Papah tunggu disini, biar mamah yang menghampiri Anna. Biar mamah yang tanya" ucap Ajeng dengan segera berjalan menuju kamar Anna.Dirgantara yang masih tersulut emosi, segera mengambil ponsel dan menelpon Mario untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.Membuka pintu kamar Anna langsung menjatuhkan tubuhnya keatas kasur, tangisnya pecah seketika. Teringat ucapan Mario yang tidak mempe
Sepagi ini ruang makan sudah hidup dengan kehadiran Adrian dan kedua anaknya yang membantu Ajeng menghidangkan sarapan.Di meja makan, aroma nasi goreng dan kopi segar menyatu, menciptakan suasana hangat di pagi yang cerah. Adrian tersenyum melihat kedua anaknya sibuk membantu Ajeng. "Maaf ya tan, anak-anak memang sudah terbiasa membantu omanya tiap pagi. Maaf jika kehadiran mereka mengganggu aktivitas tante pagi ini"Ajeng tersenyum ramah, "Tidak masalah, Adrian. Mereka malah membuat pagi ini lebih ceria." Ajeng memandang anak-anak Adrian dengan penuh kehangatan.Anak-anak itu, dengan penuh semangat, terus membantu Ajeng menata hidangan di meja. "Oma, kue-kue ini cantik sekali!" seru Ratu sambil mengamati kue-kue yang tersusun rapi. Ajeng tersenyum bangga."Nih, cicipilah. Oma mau ke kamar tante Anna dulu ya."Ratu dan Raja menerima kue dengan senyuman cerah. Sementara mereka asyik menikmati kue, Adrian menghampiri Dirgantara yang baru saja keluar dari kamarnya."Selamat pagi Om, sar
Malam ini, merupakan malam yang paling sibuk bagi keluarga Dirgantara. Pasalnya sehari setelah Anna memutuskan untuk menerima Adrian, rupanya keluarga Adrian begitu antusias dan mendadak malam ini akan berkunjung untuk menetapkan hari pernikahan mereka. Entah, ini terjadi begitu cepat bagi Anna.Semua hidangan sudah siap diatas meja, keluarga besar dirgantara kini sudah berkumpul. Semua sudah siap."Dek, ponakanku mana?" tanya Alin, adik dari Dirgantara yang sengaja datang jauh-jauh demi melihat calon suami keponakannya."Dikamar tuh, mungkin dia lagi siap-siap" jawab Dirgantara santai, melanjutkan obrolan bersama keluarga besarnya sembari menunggu kedatangan keluarga Adrian.Alin mengangguk, ia pun bergegas menghampiri Anna. Dibukanya pintu kamar Anna, Alin tersenyum saat melihat Anna tengah duduk gelisah dimeja riasnya. Anna merasa seperti berada dalam pusaran peristiwa tak terduga."Ponakan aunty, cantik banget. Sudah siapkan?" tanya Alin mendekati Anna.Anna menoleh, ia berdiri da
Malam sudah beranjak mendekati fajar. Namun, Mario masih saja belum bisa memejamkan mata. Ia masih terpekur didalam doanya. Ingin rasanya ia protes pada sang pencipta namun ia sadar jika ia hanyalah manusia yang tengah menjalani skenario yang sudah dibuat tuhannya.Namun, lagi Mario mengeluh. Mengapa takdir untuknya seakan mempermainkan dan sungguh menyesakkan. Sebagai muslim yang tengah berusaha taat, Mario paham setelah ikhtiar dengan maksimal kini saatnya ia bertawakal. Tak bosan-bosannya ia berdoa dalam shalat istikhorohnya, meminta agar dijodohkan dengan Anna namun hati kecilnya meyakini jika Anna bukan wanita yang akan menjadi jodohnya."Ya allah, aku baru saja berhijrah. Tetapi ujian yang kau berikan sudah begitu berat" keluh Mario didalam doanya.Usai bermunajat, Mario segera bergegas pergi kemesjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah yang sudah sebulan ini rutin ia lakukan.Di dalam masjid yang sunyi, Mario merenungi kehidupannya. Setelah shalat, ia duduk di sudut ruang
Hari ini adalah hari yang begitu berat bagi Anna, tak pernah terbersit dibenakanya sekali pun jika ia akan dipinang oleh CEO berstatus duda beranak dua itu. Sungguh Anna tak pernah membayangkan bisa menerima seseorang yang bahkan tidak ia cintai. Jika takdir bisa ditawar, Anna mungkin akan meminta hari ini dinikahkan dengan Mario bukan dengan Adrian yang bahkan ia tidak mengenal jauh tentang lelaki itu. Tapi, ini memang takdirnya yang harus ia jalani suka tidak suka. Helaan nafas berat beberapa kali keluar dari mulut mungilnya, matanya memandang pantulan wajahnya yang begitu cantik. Berbeda dari biasanya, bibirnya berusaha ia coba membentuk lengkungan bulan sabit. Berusaha sekuat tenaga untuk terus tersenyum, namun bayangan Mario saat Anna memutuskannya berkeliaran dipikirannya bagai kaset kusut membuat hatinya terasa nyeri."Maaf, bukan aku menghianatimu. Tapi takdir tak membiarkan kita untuk bersama" lirih Anna. Pertahannanya runtuh, senyum yang sudah ia usahakan kini menghilang di
Suara kumandang adzan subuh terdengar saling bersahutan dibeberapa mesjid yang tak jauh dari kediaman rumah megah tiga lantai itu yang mereka sebut dengan mansion itu berdiri paling mewah disekitaran perumahan warga. Didalamnya, gemericik suara air keran berjatuhan membelah kesunyian. Nampak, seorang wanita yang sudah mengenakan mukena berwarna putih itu bersandar di ambang pintu. Menatap remang-remang cahaya dihadapannya, menunggu kehadiran sang suami yang sepertinya tengah berwudhu.Seorang pria dewasa, berkoko putih lengkap dengan sarung hitamnya keluar dari kamar mandi dengan pandangan menunduk membuat rambutnya yang basah terkena air wudhu itu menetes. Tangannya cukup sibuk menurunkan lengan baju kokonya yang tersingkap. Matanya memindai kearah lemari, hendak mencari kopiah yang akan dikenakannya untuk shalat subuh hari ini. Setelah menemukannya, ia kenakan rapih kopiah ke kepalanya dengan sedikit menunduk, ia mendongak. Lantas terperanjat kaget saat melihat siluet berwarna puti
"Assalamualaikum, bu. Saya MUA yang dipesan bapak Adrian, bolehkah saya masuk"Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya. "Waalaikumsalam," jawabnya akhirnya, sambil membuka pintu untuk MUA yang datang.Seorang wanita muda dengan riasan wajah profesional dan perlengkapan lengkap memasuki kamar. "Selamat pagi, Bu Anna. Kita akan mulai dengan riasan dan hijab stylish. Bapak Adrian sudah memesan semua perlengkapan yang dibutuhkan."Anna mengangguk, berusaha tenang. "Silakan, mari kita mulai."Selama proses riasan, hai Anna mulai tidak enak pasalnya riasan yang sedang MUA itu lakukan padanya seperi riasan untuk seorang pengantin dan itu membuat Anna terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi. Masa iya Anna akan menjadi pengantin lagi? Ia kan hanya mengajukan syarat agar Adrian melakukan ijab kabul saja didepan orang tua dan saksi. Udah itu aja, bukan meminta mengadakan pesta besar-besaran. Saat MUA menyelesaikan riasan dan Anna berdiri di
Seminggu telah berlalu, Adrian kini masih berada di kediamannya Anna. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan dalam seminggu ini Adrian hanya tidur sendiri di ranjang besar milik istrinya itu. Sementara Anna memilih untuk tidur disofa yang lumayan besar disudut kamarnya. Cukup nyamanlah untuk dipakai tidur. Seperti malam ini, Anna baru saja memasuki kamarnya dan terkejut saat menoleh pada Adrian yang kini tengah merebahkan tubuhnya disofa yang biasa Anna tempati sembari menonton beberapa siaran berita seputaran bisnis minggu ini. "Awas," usir Anna dengan cepat. Adrian mendongak, "mau tidur sekarang?" tanyanya bangkit dari pembaringan. Anna mengangguk, berjalan mengambil bantal dan selimut didalam lemari. "Jangan tidur dulu ya, mas mau ngobrol." pinta Adrian lembut. Anna mendengus sebal, ia meletakan bantal yang dibawanya keatas sofa. "Ngapain? Udah malam, aku ngantuk" tolak Anna halus.Anna malah merebahkan tubuhnya diatas sofa, padahal Adrian masih duduk disana.Adrian melihat ra
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap hujan yang terus menerpa jendela kamar. Suasana di luar yang dingin dan suram mencerminkan perasaannya saat ini. Suara tetesan hujan yang monoton dan gelegar petir membuat suasana hatinya semakin berat. Ia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Hujan ini seolah memberikan penekanan pada kebingungan dan rasa sakit yang ia rasakan. Hujan diluar nampaknya mulai agak mereda, membuat Anna bangkit untuk membuka jendela sekedar untuk menghirup udara pagi ini. Ia harap bau basah tanahnya yang menguar akan mampu menenangkan pikirannya dan berharap Adrian segera pergi dari rumahnya setelah ia menolak untuk bertemu dengannya.Jujur saja, Anna masih merasakan sakit hati atas perbuatan Adrian padanya tapi ia juga merindukananya namun logika Anna kali ini sedang berjalan, ia tidak akan luluh begitu saja saat ibunya bilang jika Adrian tidak memberikan surat yang Anna maksud melainkan Adrian datang ingin memperbaiki hubungan mereka. Jujur s
Sesubuh ini, hujan deras sudah melanda kota Surabaya. Sesekali petir menyambar bumi, dan Anna kini tengah memanfaatkan keadaan, seusai shalat subuh ia masih setia duduk diatas sejadah dengan menengadah berdoa sebanyak mungkin. Anna percaya, salah satu waktu mustajabnya doa ialah diwaktu hujan turun, dan Anna yakin Allah akan mendengar segala keluh kesah serta doa-doa dirinya.Anna memejamkan matanya, membiarkan suara hujan dan petir mengisi kesunyian sekelilingnya. Dalam kegelapan pagi itu, pikirannya melayang jauh, menelusuri berbagai harapan dan impian yang belum terwujud. Ia berdoa untuk kesehatan orang-orang tercintanya, untuk ketenangan dalam hidupnya, dan untuk petunjuk yang jelas dalam menghadapi jalan hidup yang penuh ketidakpastian, terutama untuk keutuhan rumahtangganya. Anna harap, Adrian tidak sungguh-sungguh dengan perceraian itu. Tak lama setelah ia berdoa, samar-samar ia mendengar bell rumah berbunyi. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Anna membuka matanya perlahan d
Setelah kepergian Aruni beberapa menit yang lalu, Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan kepala yang menengadah, menatap langit-langit. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ucapan Aruni seperti perintah baginya, namun apakah harus secepat ini? Bahkan Adrian belum memiliki persiapan untuk bertemu dengan Anna beserta mertuanya. Tiba-tiba tubuh Adrian bergidik ngeri saat mengingat wajah ayah mertuanya yang terlihat begitu tegas nan berwibawa. Ia begitu malu, jika harus menghadap Dirgantara malam itu juga. Entahlah, nyali Adrian selalu menciut jika dirinya tau sudah melakukan kesalahan. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalanya pening. Lebih baik ia sekarang bergegas pulang, menemui anak-anaknya. Rindu sekali ia bercanda dengan mereka. Ia pun bergegas pulang, mengendarai mobilnya sendiri tanpa ditemani Rama. Sengaja beberapa minggu ini Adrian membiarkan Rama untuk menjaga Aruni, menemani adik kesayangannya itu agar traumanya cepat sembuh. Seper
1 bulan kemudian ...Tepat satu bulan pertengkaran itu, rupanya Anna benar-benar pergi dari kehidupan Adrian dan kedua anaknya. Dengan terpaksa Anna tidak menuruti permintaan Raja kala itu, Anna benar-benar sakit mengingat Adrian mengajaknya bercerai kala itu. Padahal secara logika, Anna tidak salah dalam hal apa pun justru Anna hanya membantu agar emosi Adrian tidak menambah permasalahan kala itu. Namun, Adriaj terlalu emosi, ia mengartikan semua pembelaan dan kalimat penenangnya hanya untuk Mario, demi kebaikan mantan pacarnya itu.Dan sudah satu bulan ini hidup Adrian dan anak-anaknya begitu menyedihkan. Raja tak ingin berbicara dengannya sampai saat ini bahkan ia memilih untuk tinggal di pesantren al-anwar bersama jiddah dan jaddunnya sebelum Adrian membawa Anna kembali. Sementara Ratu, sampai sekaran putri kecilnya itu begitu murung, bahkan sering sakit-sakitan menggumamkan nama Anna sebagai bunda kesayangannya.Sudah berkali-kali Melati dan Darius menasehati agar Adrian menemui
"Bunda kenapa? Kok matanya bengkak, nangis ya?" kira-kira begitulah Ratu bertanya ketika menemui bundanya yang tengah melamun sendirian menghadap jendela kamar mereka. Anna tersenyum tipis, ia menyambut hangat putri Adrian yang semakin hari semakin cantik dan menggemaskan."Bunda ih katanya dirumah nenek, tapi pas kita kesana gak ada" kesal Raja yang tiba-tiba datang ke kamar mereka. Wajah tampannya menyiratkan kekesalan. Anna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan."maaf ya, tiba-tiba kepala bunda pusing. Makannya bunda pulang duluan darisana, oh iya padahal disana masih ada ayah kalian loh kenapa malah buru-buru pulang?"Ratu dan Raja saling bertukar pandang, tampak bingung sekaligus khawatir. Raja yang biasanya tegas kini menunjukkan sisi lembutnya ketika melihat ekspresi Anna."Bunda pusing kenapa? Udah minum obat atau mau abang ambilkan sesuatu buat bunda?" tanyanya Raja dengan penuh khawatir dan perhatian, ia mendekat kearah Anna dan mengulu
Aruni terduduk dan termenung di kamarnya sejak sejam yang lalu. Meratapi nasibnya sekarang ini. Apakah ia akan sanggup menjalani hidup setelah ini? Apakah ia akan sanggup mengurus bayi tidak berdosa diperutnya itu? Entahlah, Aruni hilang arah. Dia marah, terluka, kecewa. Kalau saja malam itu ia tidak menolong Mario, mungkin sekarang Aruni akan baik-baik saja atau bahkan ia sudah berada di Surabaya menyusul pria yang dicintainya. "ARGHHHH!" teriakan amarah dari dalam kamar itu terdengar begitu memilukan, Melati dan Anna berusaha untuk mencoba memasuki kamar Aruni kembali namun tidak bisa. Sejam yang lalu, Aruni mengusir keduanya saat dokter Tia menyarankan agar Aruni dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Aruni menolak. Ia sudah tau hasilnya dan ia yang merasakannya, bahkan gelagat dokter Tia yang mencurigakan itu membuatnya gampang ditebak. Brak ... Prang ...Suara barang pecah dan berjatuhan membuat Melati dan Aruni panik, keduanya memutuskan untuk menghubung