Sepagi ini ruang makan sudah hidup dengan kehadiran Adrian dan kedua anaknya yang membantu Ajeng menghidangkan sarapan.Di meja makan, aroma nasi goreng dan kopi segar menyatu, menciptakan suasana hangat di pagi yang cerah. Adrian tersenyum melihat kedua anaknya sibuk membantu Ajeng. "Maaf ya tan, anak-anak memang sudah terbiasa membantu omanya tiap pagi. Maaf jika kehadiran mereka mengganggu aktivitas tante pagi ini"Ajeng tersenyum ramah, "Tidak masalah, Adrian. Mereka malah membuat pagi ini lebih ceria." Ajeng memandang anak-anak Adrian dengan penuh kehangatan.Anak-anak itu, dengan penuh semangat, terus membantu Ajeng menata hidangan di meja. "Oma, kue-kue ini cantik sekali!" seru Ratu sambil mengamati kue-kue yang tersusun rapi. Ajeng tersenyum bangga."Nih, cicipilah. Oma mau ke kamar tante Anna dulu ya."Ratu dan Raja menerima kue dengan senyuman cerah. Sementara mereka asyik menikmati kue, Adrian menghampiri Dirgantara yang baru saja keluar dari kamarnya."Selamat pagi Om, sar
Malam ini, merupakan malam yang paling sibuk bagi keluarga Dirgantara. Pasalnya sehari setelah Anna memutuskan untuk menerima Adrian, rupanya keluarga Adrian begitu antusias dan mendadak malam ini akan berkunjung untuk menetapkan hari pernikahan mereka. Entah, ini terjadi begitu cepat bagi Anna.Semua hidangan sudah siap diatas meja, keluarga besar dirgantara kini sudah berkumpul. Semua sudah siap."Dek, ponakanku mana?" tanya Alin, adik dari Dirgantara yang sengaja datang jauh-jauh demi melihat calon suami keponakannya."Dikamar tuh, mungkin dia lagi siap-siap" jawab Dirgantara santai, melanjutkan obrolan bersama keluarga besarnya sembari menunggu kedatangan keluarga Adrian.Alin mengangguk, ia pun bergegas menghampiri Anna. Dibukanya pintu kamar Anna, Alin tersenyum saat melihat Anna tengah duduk gelisah dimeja riasnya. Anna merasa seperti berada dalam pusaran peristiwa tak terduga."Ponakan aunty, cantik banget. Sudah siapkan?" tanya Alin mendekati Anna.Anna menoleh, ia berdiri da
Malam sudah beranjak mendekati fajar. Namun, Mario masih saja belum bisa memejamkan mata. Ia masih terpekur didalam doanya. Ingin rasanya ia protes pada sang pencipta namun ia sadar jika ia hanyalah manusia yang tengah menjalani skenario yang sudah dibuat tuhannya.Namun, lagi Mario mengeluh. Mengapa takdir untuknya seakan mempermainkan dan sungguh menyesakkan. Sebagai muslim yang tengah berusaha taat, Mario paham setelah ikhtiar dengan maksimal kini saatnya ia bertawakal. Tak bosan-bosannya ia berdoa dalam shalat istikhorohnya, meminta agar dijodohkan dengan Anna namun hati kecilnya meyakini jika Anna bukan wanita yang akan menjadi jodohnya."Ya allah, aku baru saja berhijrah. Tetapi ujian yang kau berikan sudah begitu berat" keluh Mario didalam doanya.Usai bermunajat, Mario segera bergegas pergi kemesjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah yang sudah sebulan ini rutin ia lakukan.Di dalam masjid yang sunyi, Mario merenungi kehidupannya. Setelah shalat, ia duduk di sudut ruang
Hari ini adalah hari yang begitu berat bagi Anna, tak pernah terbersit dibenakanya sekali pun jika ia akan dipinang oleh CEO berstatus duda beranak dua itu. Sungguh Anna tak pernah membayangkan bisa menerima seseorang yang bahkan tidak ia cintai. Jika takdir bisa ditawar, Anna mungkin akan meminta hari ini dinikahkan dengan Mario bukan dengan Adrian yang bahkan ia tidak mengenal jauh tentang lelaki itu. Tapi, ini memang takdirnya yang harus ia jalani suka tidak suka. Helaan nafas berat beberapa kali keluar dari mulut mungilnya, matanya memandang pantulan wajahnya yang begitu cantik. Berbeda dari biasanya, bibirnya berusaha ia coba membentuk lengkungan bulan sabit. Berusaha sekuat tenaga untuk terus tersenyum, namun bayangan Mario saat Anna memutuskannya berkeliaran dipikirannya bagai kaset kusut membuat hatinya terasa nyeri."Maaf, bukan aku menghianatimu. Tapi takdir tak membiarkan kita untuk bersama" lirih Anna. Pertahannanya runtuh, senyum yang sudah ia usahakan kini menghilang di
Acara resepsi sudah selesai satu jam yang lalu, dan kini Anna tengah berada dikamar hotel yang sengaja dipesan bersamaan gedung untuk resepsi pernikahan mereka. Seraya menghembuskan napas lega, Anna mengambil beberapa kapas serta cairan pembersih make up.Sementara Adrian masih saja berbincang dengan keluarganya dilobi hotel, tak lupa sikembar pun masih tetap setia menguntit kemana pun Adrian pergi hari ini.Berapa kali pun Rama membujuknya, Raja dan Ratu masih kekeh ingin bersama ayahnya. Entah kenapa, keduanya bahkan kelewat manja hari ini."Ayah, bunda mana?" tanya Ratu dipangkuan Adrian. Kedua alis Adrian bertaut sempurna, panggilan bunda dari mulut Ratu begitu aneh ditelinganya."Bunda?" kalimat tanya itu tak sengaja meluncur dari mulut Adrian yang sampai sekarang begitu kebingungan atas pertanyaan yang dilontarkan puteri kecilnya itu."Ish, bunda Anna." geramnya Ratu."Oh, bunda Anna. Dikamar, lagi istirahat cape kali" jawabnya Adrian."Bunda Anna aja istirahat, masa kalian engg
Paginya setelah shalat subuh, Anna membantu Adrian memasukan kebutuhan mereka kedalam koper. Rencananya siang ini Adrian akan membawa Anna dan sikembar pulang kerumah barunya untuk sementara."Kamu gak papa kan kalau tinggal dirumah sederhana? Gak kecil-kecil amat sih, tapi gak besar juga. Ruangnya pun banyak yang belum diisi perabotan. Gak papa kan ya?" tanya Adrian dengan khawatir, takut-takut Anna tak suka dengan rumah yang ia beli tiga bulan lalu.Anna menggeleng, ia masih fokus memasukan pakaian dirinya dan Adrian kedalam koper.Melihat respon Anna, membuat hati Adrian lega. Setidaknya Anna tidak akan kecewa jika nanti tiba dirumahnya."Mas, anak-anak kemana?" tanya Anna yang menyadari jika sedari pagi setelah ia beres mandi tadi ia tak melihat Raja dan Ratu berada dikamar hotel.Adrian tersenyum, ia membantu Anna menutup kopernya. "Anak-anak tadi dijemput Rama pulang, katanya eyangnya kangen" jawab Adrian, lagi Anna hanya mengangguk sebagai respon."Udah selesaikan? Gak ada bara
Setelah cukup puas menjelajahi rumah baru, Anna memutuskan untuk membereskan pakaiannya dan pakaian Adrian. Sementara itu, Adrian memutuskan untuk memilih untuk duduk di sofa dengan laptop dipangkuannya. Ya, meskipun hari ini ia dan Rama tidak masuk kerja, tetap saja keadaan kantor ia pantau dari layar monitor sembari menyelesaikan berkas-berkas yang harus ia pelajari untuk meeting besok pagi.Saat keduanya sibuk dalam kerjaannya masing-masing, tiba-tiba saja bel berbunyi membuat Anna segera beranjak ke pintu utama."Sebentar," teriak Anna sembari menuruni tangga.Dibukanya pintu utama dengan perlahan, terlihat senyum manis sikembar menjadi pemandangan utama disusul dengan Rama dibelakangnya yang berjalan setengah lari mendekat kearah si kembar."Bunda udah disini rupanya," ucap Raja menyalami tangan Anna dengan takzim sementara Ratu dengan polosnya merentangkan tangan ingin digendong.Anna yang menyadari hal itu, segera menunduk dan membawa Ratu kedalam gendongan."Darimana aja kalia
Beberapa kali Adrian beristigfar, ia buru-buru pergi ke kamar berusaha untuk meredakan emosinya. Masalah yang rumit dikantor membuat dirinya tak bisa mengontrol emosi.Setelah dirasa emosi cukup reda, ia memutuskan untuk memberishkan tubuhnya, air hangat malam hari mungkin cukup merilekskan pikiran.Adrian membiarkan air hangat mengalir menutupi tubuhnya. Rasanya seperti sedang dibawa perlahan-lahan ke dalam alam yang tenang. Namun, meskipun air hangat telah memberinya sedikit kenyamanan, pikirannya masih terus melayang-layang ke masalah di kantor.Dia merenung, apakah semua ini sepadan? Apakah segala usahanya di kantor sebanding dengan stres dan tekanan yang dirasakannya? Tapi dia tahu, dia tidak bisa hanya lari dari masalahnya. Dia harus menemukan cara untuk menghadapinya.Sambil berendam, Adrian mencoba mengingat kembali nasihat ayahnya, yang selalu mengatakan bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada hikmahnya. Tapi kadang-kadang, sulit baginya untuk melihatnya.Air hangat mulai mene
Suara kumandang adzan subuh terdengar saling bersahutan dibeberapa mesjid yang tak jauh dari kediaman rumah megah tiga lantai itu yang mereka sebut dengan mansion itu berdiri paling mewah disekitaran perumahan warga. Didalamnya, gemericik suara air keran berjatuhan membelah kesunyian. Nampak, seorang wanita yang sudah mengenakan mukena berwarna putih itu bersandar di ambang pintu. Menatap remang-remang cahaya dihadapannya, menunggu kehadiran sang suami yang sepertinya tengah berwudhu.Seorang pria dewasa, berkoko putih lengkap dengan sarung hitamnya keluar dari kamar mandi dengan pandangan menunduk membuat rambutnya yang basah terkena air wudhu itu menetes. Tangannya cukup sibuk menurunkan lengan baju kokonya yang tersingkap. Matanya memindai kearah lemari, hendak mencari kopiah yang akan dikenakannya untuk shalat subuh hari ini. Setelah menemukannya, ia kenakan rapih kopiah ke kepalanya dengan sedikit menunduk, ia mendongak. Lantas terperanjat kaget saat melihat siluet berwarna puti
"Assalamualaikum, bu. Saya MUA yang dipesan bapak Adrian, bolehkah saya masuk"Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya. "Waalaikumsalam," jawabnya akhirnya, sambil membuka pintu untuk MUA yang datang.Seorang wanita muda dengan riasan wajah profesional dan perlengkapan lengkap memasuki kamar. "Selamat pagi, Bu Anna. Kita akan mulai dengan riasan dan hijab stylish. Bapak Adrian sudah memesan semua perlengkapan yang dibutuhkan."Anna mengangguk, berusaha tenang. "Silakan, mari kita mulai."Selama proses riasan, hai Anna mulai tidak enak pasalnya riasan yang sedang MUA itu lakukan padanya seperi riasan untuk seorang pengantin dan itu membuat Anna terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi. Masa iya Anna akan menjadi pengantin lagi? Ia kan hanya mengajukan syarat agar Adrian melakukan ijab kabul saja didepan orang tua dan saksi. Udah itu aja, bukan meminta mengadakan pesta besar-besaran. Saat MUA menyelesaikan riasan dan Anna berdiri di
Seminggu telah berlalu, Adrian kini masih berada di kediamannya Anna. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan dalam seminggu ini Adrian hanya tidur sendiri di ranjang besar milik istrinya itu. Sementara Anna memilih untuk tidur disofa yang lumayan besar disudut kamarnya. Cukup nyamanlah untuk dipakai tidur. Seperti malam ini, Anna baru saja memasuki kamarnya dan terkejut saat menoleh pada Adrian yang kini tengah merebahkan tubuhnya disofa yang biasa Anna tempati sembari menonton beberapa siaran berita seputaran bisnis minggu ini. "Awas," usir Anna dengan cepat. Adrian mendongak, "mau tidur sekarang?" tanyanya bangkit dari pembaringan. Anna mengangguk, berjalan mengambil bantal dan selimut didalam lemari. "Jangan tidur dulu ya, mas mau ngobrol." pinta Adrian lembut. Anna mendengus sebal, ia meletakan bantal yang dibawanya keatas sofa. "Ngapain? Udah malam, aku ngantuk" tolak Anna halus.Anna malah merebahkan tubuhnya diatas sofa, padahal Adrian masih duduk disana.Adrian melihat ra
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap hujan yang terus menerpa jendela kamar. Suasana di luar yang dingin dan suram mencerminkan perasaannya saat ini. Suara tetesan hujan yang monoton dan gelegar petir membuat suasana hatinya semakin berat. Ia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Hujan ini seolah memberikan penekanan pada kebingungan dan rasa sakit yang ia rasakan. Hujan diluar nampaknya mulai agak mereda, membuat Anna bangkit untuk membuka jendela sekedar untuk menghirup udara pagi ini. Ia harap bau basah tanahnya yang menguar akan mampu menenangkan pikirannya dan berharap Adrian segera pergi dari rumahnya setelah ia menolak untuk bertemu dengannya.Jujur saja, Anna masih merasakan sakit hati atas perbuatan Adrian padanya tapi ia juga merindukananya namun logika Anna kali ini sedang berjalan, ia tidak akan luluh begitu saja saat ibunya bilang jika Adrian tidak memberikan surat yang Anna maksud melainkan Adrian datang ingin memperbaiki hubungan mereka. Jujur s
Sesubuh ini, hujan deras sudah melanda kota Surabaya. Sesekali petir menyambar bumi, dan Anna kini tengah memanfaatkan keadaan, seusai shalat subuh ia masih setia duduk diatas sejadah dengan menengadah berdoa sebanyak mungkin. Anna percaya, salah satu waktu mustajabnya doa ialah diwaktu hujan turun, dan Anna yakin Allah akan mendengar segala keluh kesah serta doa-doa dirinya.Anna memejamkan matanya, membiarkan suara hujan dan petir mengisi kesunyian sekelilingnya. Dalam kegelapan pagi itu, pikirannya melayang jauh, menelusuri berbagai harapan dan impian yang belum terwujud. Ia berdoa untuk kesehatan orang-orang tercintanya, untuk ketenangan dalam hidupnya, dan untuk petunjuk yang jelas dalam menghadapi jalan hidup yang penuh ketidakpastian, terutama untuk keutuhan rumahtangganya. Anna harap, Adrian tidak sungguh-sungguh dengan perceraian itu. Tak lama setelah ia berdoa, samar-samar ia mendengar bell rumah berbunyi. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Anna membuka matanya perlahan d
Setelah kepergian Aruni beberapa menit yang lalu, Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan kepala yang menengadah, menatap langit-langit. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ucapan Aruni seperti perintah baginya, namun apakah harus secepat ini? Bahkan Adrian belum memiliki persiapan untuk bertemu dengan Anna beserta mertuanya. Tiba-tiba tubuh Adrian bergidik ngeri saat mengingat wajah ayah mertuanya yang terlihat begitu tegas nan berwibawa. Ia begitu malu, jika harus menghadap Dirgantara malam itu juga. Entahlah, nyali Adrian selalu menciut jika dirinya tau sudah melakukan kesalahan. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalanya pening. Lebih baik ia sekarang bergegas pulang, menemui anak-anaknya. Rindu sekali ia bercanda dengan mereka. Ia pun bergegas pulang, mengendarai mobilnya sendiri tanpa ditemani Rama. Sengaja beberapa minggu ini Adrian membiarkan Rama untuk menjaga Aruni, menemani adik kesayangannya itu agar traumanya cepat sembuh. Seper
1 bulan kemudian ...Tepat satu bulan pertengkaran itu, rupanya Anna benar-benar pergi dari kehidupan Adrian dan kedua anaknya. Dengan terpaksa Anna tidak menuruti permintaan Raja kala itu, Anna benar-benar sakit mengingat Adrian mengajaknya bercerai kala itu. Padahal secara logika, Anna tidak salah dalam hal apa pun justru Anna hanya membantu agar emosi Adrian tidak menambah permasalahan kala itu. Namun, Adriaj terlalu emosi, ia mengartikan semua pembelaan dan kalimat penenangnya hanya untuk Mario, demi kebaikan mantan pacarnya itu.Dan sudah satu bulan ini hidup Adrian dan anak-anaknya begitu menyedihkan. Raja tak ingin berbicara dengannya sampai saat ini bahkan ia memilih untuk tinggal di pesantren al-anwar bersama jiddah dan jaddunnya sebelum Adrian membawa Anna kembali. Sementara Ratu, sampai sekaran putri kecilnya itu begitu murung, bahkan sering sakit-sakitan menggumamkan nama Anna sebagai bunda kesayangannya.Sudah berkali-kali Melati dan Darius menasehati agar Adrian menemui
"Bunda kenapa? Kok matanya bengkak, nangis ya?" kira-kira begitulah Ratu bertanya ketika menemui bundanya yang tengah melamun sendirian menghadap jendela kamar mereka. Anna tersenyum tipis, ia menyambut hangat putri Adrian yang semakin hari semakin cantik dan menggemaskan."Bunda ih katanya dirumah nenek, tapi pas kita kesana gak ada" kesal Raja yang tiba-tiba datang ke kamar mereka. Wajah tampannya menyiratkan kekesalan. Anna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan."maaf ya, tiba-tiba kepala bunda pusing. Makannya bunda pulang duluan darisana, oh iya padahal disana masih ada ayah kalian loh kenapa malah buru-buru pulang?"Ratu dan Raja saling bertukar pandang, tampak bingung sekaligus khawatir. Raja yang biasanya tegas kini menunjukkan sisi lembutnya ketika melihat ekspresi Anna."Bunda pusing kenapa? Udah minum obat atau mau abang ambilkan sesuatu buat bunda?" tanyanya Raja dengan penuh khawatir dan perhatian, ia mendekat kearah Anna dan mengulu
Aruni terduduk dan termenung di kamarnya sejak sejam yang lalu. Meratapi nasibnya sekarang ini. Apakah ia akan sanggup menjalani hidup setelah ini? Apakah ia akan sanggup mengurus bayi tidak berdosa diperutnya itu? Entahlah, Aruni hilang arah. Dia marah, terluka, kecewa. Kalau saja malam itu ia tidak menolong Mario, mungkin sekarang Aruni akan baik-baik saja atau bahkan ia sudah berada di Surabaya menyusul pria yang dicintainya. "ARGHHHH!" teriakan amarah dari dalam kamar itu terdengar begitu memilukan, Melati dan Anna berusaha untuk mencoba memasuki kamar Aruni kembali namun tidak bisa. Sejam yang lalu, Aruni mengusir keduanya saat dokter Tia menyarankan agar Aruni dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Aruni menolak. Ia sudah tau hasilnya dan ia yang merasakannya, bahkan gelagat dokter Tia yang mencurigakan itu membuatnya gampang ditebak. Brak ... Prang ...Suara barang pecah dan berjatuhan membuat Melati dan Aruni panik, keduanya memutuskan untuk menghubung