"Ini baju buat bobo bagus, kan? Suka gak?" Tanya Suci dengan lembut pada anak sambungnya.
"Suka banget, mah. Makasih, ya. Lain kali ajak aku kalau beli baju," ungkap gadis kecil itu.
Andhika, ayahnya yang masih selonjoran sambil memainkan ponselnya, tampak cuek dan dingin. Putri mendekatinya, menatap wajahnya dan tiba-tiba saja mencium keningnya.
"Selamat tidur, pah. Aku mau bobo sama oma, lain kali kita jalan bertiga, ya. Biar rame, Papa kan jarang banget ngajak aku main, nganter ke sekolah juga jarang, teman aku malah suka difoto sama papanya, kok aku enggak?"
Ucapan manis yang terlontar dari mulut mungil itu menyentuh hati ayahnya yang fokus memegang ponsel. Andhika merangkul Putri namun ditolak.
"Kenapa? Marah sama Papa?"
"Enggak, janji ya. Papa ngajak jalan aku sama Mama juga," ungkap Putri.
Pandangan mata Putri t
"Boss, hari minggu begini masih mau cari barang bukti itu?" Tanya Doni."Iya, keluarga Sanjaya memang ambisius ingin secepatnya terbongkarnya, kamu siap-siap sekarang. Jangan sampai kita kesiangan lagi, pastinya aku mau ketemu sama pihak rumah sakit itu," kata Sofyan.Doni sang asisten tak mampu menolak perintah atasannya. Ia bergegas menyiapkan mobil dan sarapan sebelum berangkat. Tapi, ia teringat sesuatu."Bukannya aku udah kasih dia bukti kemarin?" Gumamnya.Sofyan menyantap sarapannya yang tersedia. Dan Doni memandangnya keheranan. Ia pun ikut menyantap sarapan roti dan telur dadarnya."Yang aku kasih kemarin di tas hitam bukannya itu sudah cukup? Aku dapat dari cctv pemilik ruko," ungkap Doni."Belum cukup, gak akurat sama sekali," tegas Sofyan. "Seorang detektif harus punya bukti akurat demi membongkar kasus kema
"Suci!" Panggil Andhika. Namun belum ada sahutan dari istrinya. Dan ia memanggilnya lebih keras lagi. "Suciii!"Suci baru saja masuk kamarnya lagi. Ia segera menghampiri suaminya yang sedang di kamar mandi."Iya, sebentar. Ada apa sih!""Ambilkan saya handuk, cepetan gak pake lama!" Pinta Andhika.Suci memberikan handuk yang ia keluarkan dari lemari. Ia memberikan handuk itu sambil menutupi matanya."Ini, handuknya. Lain kali jangan lupa bawa handuk, dong. Masa mau mandi gak inget handuk. Ada-ada aja."Andhika bergegas memakai handuknya lalu dia keluar kamar mandi dengan rambut yang masih dipenuhi busa sampo."Kamu jangan protes, ya. Saya sibuk sabunan, nih. Mumpung hari libur, kapan lagi bisa begini!""Iya, iya. Boleh, silakan saja. Cepat mandi lagi, kan kita mau main sama Putri," kata Suci. "Kalau udah
"Putri, ayo kan mau main bareng sama Papa sama Mama juga," sapa Andhika, ayahnya.Putri lantas berlari kemudian memeluk ayahnya. Namun, setelah kemunculan bi Lela dan bi Nani, kedua mata mereka terbelalak melihat pesona Papa ganteng nan menawan. Wajah brewoknya dan badan kekar mampu menghipnotis kaum hawa di sekitarnya."Ngapain kalian di sini? Mana ibu Marlina dan Pak Adi? Mereka udah sarapan, kan?"*Glek*Konsentrasi mereka buyar ketika tatapan maut sang majikan berbicara."Katanya mau ikut juga nemenin Putri main keluar, tapi gak biasanya Pak Andhika mau main?" Tanya bi Lela."Emang gak boleh saya nemenin Putri main? Sekali-kali, dong. Biar dia gak stress," kata Andhika.Kemudian, Suci dan kedua orang tua baru saja menghampiri. Andhika terkejut melihat ayah ibu kandungnya memakai baju kasual pula
Hari senin tiba. Sofyan bergegas memeriksa rekaman di cctv di kediamannya. Seperti biasa, Doni sang asisten setia menemani bahkan menyiapkan sarapan untuknya.Ketika di meja makan itu, Sofyan menyaksikan rekaman cctv sambil meneguk kopi. Dahinya mengernyit ketika video itu menemukan seseorang dengan jelas. Motor kuning, helm hitam dan jas dari bahan jeans biru."Apa! Dia kayak melihat sesuatu yang ditargetkan," gumam Doni."Itu dia, aku pikir begitu," tukas Sofyan.Kemudian dalam durasi berikutnya menunjukan motor itu sengaja berjalan ke pinggir. Sofyan tertegun, ia menopang dagunya kemudian menghabiskan kopi itu."Kamu habiskan kopi biar otakmu lebih gesit berpikir?" Tanya Doni."Kalau kita satukan video ini mungkin bukti bertambah tapi, belum seberapa. Wajahnya saja gak kelihatan jelas," kata Sofyan.Sofyan mengeluarkan handphone mi
Sofyan masih ingin memutar semua rekaman cctv itu di laptop miliknya setelah kepergian Andhika dan ayahnya. Sebenarnya dalam hatinya masih dipenuhi kekalutan antara pemecahan misteri penyebab kematian nenek Diana dan juga rasa cinta dan peduli terhadap wanita yang sudah dinikahi oleh orang lain.Detektif tampan dan cerdas itu hanya bisa duduk termenung, menelaah semua rekaman cctv tersebut. Video itu beberapa kali pakai zoom agar terlihat lebih jelas lagi. Dahi Sofyan mengernyit saat si pelaku menggunakan ponselnya sebelum beraksi."Sial! ternyata aku kurang teliti.""Kenapa lagi, boss? ada yang ketinggalan, ya?" tanya Doni. "Sudah aku bilang, kalau menelaah sesuatu itu harusnya dalam kondisi fresh. Segar otak segar badan segar pikiran. Tapi, aku lihat kamu barusan terbawa emosi."Mata Sofyan mendelik. Lalu ia pejamkan matanya dan bergumam dalam hatinya."Iya,
Andhika rela mengantarkan istri, anak dan ibunya ke sebuah pusat perbelanjaan meski dalam hatinya masih diliputi gundah gulana. Akhir-akhir ini ia lebih hangat, tak seperti es batu yang terus membeku. Karena perubahan sikapnya yang hanya lima persen saja mampu membuat Putri berani bercakap-cakap."Aku mau beli baju sama kuncir rambut juga, pa," ucapnya. "Tapi, temanku semuanya kalau pergi pasti antar mamanya periksa adek bayi yang di perut."Ucapan itu membuat mereka terenyuh tapi mengejutkan. Ibu Marlina menahan tawanya sedangkan Suci masih salah tingkah."Boleh, sayang. Kamu boleh beli apapun yang kamu mau," sahut Andhika, ayahnya. "Tapi untuk adik bayi kayaknya--""Nanti juga kamu punya ade bayi, sayang. Gak sabar jadi kakak, ya? sejak nenek Diana wafat di rumah dia kesepian terus," sambung ibu Marlina, omanya.Suci masih belum mau bergeming juga. Ia mencoba memper
Tiba di rumah waktu malam hari. Andhika tak segan lagi buka-bukaan di depan istrinya. Suci saat itu sudah memakai baju tidur yang cantik dan Andhika yang melihatnya saja sudah terpancing gairahnya."Mas, kita ngopi dulu, yuk," ajak Suci."Malam begini kamu mau minum kopi? bisa begadang semalaman, kayak mau sibuk saja," kata Andhika.Suci tak menghiraukan suaminya itu. Ia tetap ke meja makan dan langsung menyeduh kopi. Tak disangka ternyata Andhika menyambanginya juga. Ia lantas duduk dan mengambil buah jeruk."Mau kopi juga?" tanya Suci."Enggak."Tiba-tiba terdengar suara bi nani yang menyambangi meja makan. "Aduh, kenapa sih malam begini rame amat, ada tikus kali, ya?"Bi Nani terkejut ketika majikannya sibuk di meja makan. Apalagi menyaksikan Suci meneguk kopi hangat."Bukan tikus, bi. Ini kita lagi mau ngemi
"Iya, aku si penabrak nenek anda. Semuanya saya lakukan karena sakit hati yang selama ini saya terima dari perlakuan bengis saat kerja di kantor Sanjaya Group," tegasnya. Andra segera menutup ponselnya. Lalu tertawa geli. Kemudian ia berbaring dan berusaha tertidur. Dalam kondisi rumah dan finansial pas-pasan, pemuda itu tetap bersikeras bersembunyi di ruko area rumah sakit dan menyamar menjadi orang biasa. Motor kuning yang sempat ia gunakan untuk menabrak nenek Diana ia simpan di kamar kosong. "Gue aman hidup di sini meski sendirian," gumamnya. Siang hari tiba. Andra pergi menemui tantenya yang bekerja di kantor BUMN. Ia disambut hangat seperti ibu menyambut anak dan mereka berdua pergi ke cafe untuk berbincang-bincang. "Aku mau cerita sama tante Rena, karena selama ini cuma tante yang sayang sama aku," kata Andra. "Mau cerita apa? k
"Jujur saja kamu mau menyingkirkan Suci dari hidup saya," ucap Andhika. "Sayangnya, gagal!""Aaarrrghhh!" Indah berteriak. Dokter itu menutup telinganya sambil terisak-isak. "Kamu gak pernah menghargai cinta aku, Andhika!""Karena demi cinta kamu menghalalkan segala cara. Padahal masih ada pria lain yang mau menikahi kamu. Sayangnya, rencana kamu untuk menghancurkan rumah tangga saya sudah gagal. Saya terlanjur mencintai Suci," terang Andhika. "Yang kamu lakukan itu menyakitkan, saya gak pernah menyakiti kamu.""Mungkin bagi dokter Indah sangat menyakitkan, tapi waktu saya tertimpa gosip perselingkuhan itu memang benar-benar mengecewakan, perilaku kamu gak bisa dimaafkan, Indah," tegas Sofyan.Sofyan mengeluarkan sebuah borgol di hadapan Indah . Pemandangan itu tentunya membuat Indah sesak nafas dan panik."Sekarang saya tanya, apa kamu pelaku penusukan sewaktu di Monas?" Tanya Andhika. "Apa buktinya kalau aku pelakunya?" Tanya Indah."Waktu saya lap sepatu kamu dengan tissue. Saya
"Perlu kamu ingat, jangan sekali-kali lagi kamu sebarkan gosip mengenai saya dan istri. Akhir-akhir ini saya mendapat musibah, kenapa kamu gak sebarkan saja beritanya, biar semua orang tahu kalau orang jahat berkeliaran di sekitar," ucap Andhika. Andhika tampaknya tidak mau berlama-lama berhadapan dengan Revi. Ia menghindar dari pertemuan itu sampai Indah menyusulnya. "Katanya mau ketemuan, tapi malah kabur," protes Sofyan. "Sorry, saya harus tugas sekarang," pamit Revi. Kemudian, staf khusus kantor muncul. Seorang pria tampak geram berhadapan dengan Revi. Ia berkata," Saya sudah mendengar percakapan kamu sama dia. Revi, sejak kapan kamu jadi MC di infotainment? Acara apaan itu?" Lantas, Sofyan menunjukkan sebuah borgol besi di hadapan gadis itu dan berkata," Anda tahanan kami." Revi melunglai, dia duduk dahulu di sofa dan mulai terisak-isak. "Kenapa? Apa ada peran lain di belakang kamu? Kalau masih menutupi kasus terpaksa saya akan laporkan kamu ke pengadilan, bisa dikenai hu
"Kan ada aku, Mas? Aku istri kamu," ucap Suci. "Aku yang lebih berhak melayani kamu. Selama jadi istri ya aku yang harusnya layani suami.""Maaf, aku lagi gak butuh kamu," tukas Andhika. Tiga hari kemudian, Andhika pulang ke rumah. Tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya kecuali kepada sang gadis kecilnya."Mana anak Papa?" "Ini, Papa," sahut Putri. Meskipun dalam kondisi belum pulih, Andhika tetap menggendong gadis kecilnya."Mas, hati-hati," pinta Suci."Pa, Mama bilang hati-hati tapi kok diem aja?" Tanya Putri. "Lagi berantem, ya?""Enggak, Sayangku. Malam ini kamu tidur temenin Papa ya, biar ada teman ngobrol, udah lama Papa gak masuk ke dunia kamu," ucapnya. Andhika lantas mengajak Putri ke kamarnya.Sementara itu, Suci menyambangi dapur, menyiapkan masakan untuk keluarganya. Ketika, mengiris sayuran, tiba-tiba mertuanya menyapa. "Suci, kamu masak buat kapan?" Tanya Pak Adi."Makan malam nanti, aku mau buatkan makanan yang enak buat keluarga, anggap saja ini perayaan ke
Suci memeluk Sofyan dengan erat sambil terisak-isak. "Makasih sudah menolong Mas Andhika, ya? Kalau gak ada kamu, aku gak tahu harus minta tolong ke siapa," ucapnya. Sofyan melepas pelukan itu. Lalu menyeka air mata Suci. "Kamu udah cinta sama Andhika, ya? Syukurlah kalau begitu, pertahanan rumah tangganya ya, jangan cerai," pinta Sofyan. "Aku pergi dulu." Tak berselang lama, muncul Ibu Marlina dan Pak Adi. Kepanikan terjadi bahkan ibu kandung Andhika itu meraung-raung di depan ruang rawat. "Gimana kronologisnya?" Tanya Pak Adi. "Anak saya jadi begini, korban kriminal yang tidak tahu diri." "Saya sedang berusaha mencari pelakunya," sahut Sofyan. "Mohon doanya ya, biar kasusnya cepat selesai." "Apa semua ini gara-gara kamu, Suci! Anak saya stress karena berita kamu sama detektif ini, kalau terbukti berselingkuh silahkan kalian hengkang dari kehidupan kami!" Tegas Ibu Marlina. "Suci tidak bersalah apapun," sangkal Sofyan. "Ada pihak lain." "Pokoknya saya lagi gak mau baikan sam
"Terus, siasat kamu ke depannya mau apa?" Tanya Indah. "Kalau bisa libatkan aku juga ya biar bisa bantu kamu." Andhika tersenyum tipis. Ia menyambangi ruang tamu kemudian duduk di sofa. "Kamu bisa duduk di depan saya?" Tanya Andhika. Indah menuruti apa kata Andhika. Gadis itu tampak pasrah saja. "Saya sudah melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, tinggal mencari orangnya, siapa dalang di balik menyebarnya gosip. Reporter itu yang harus kami usut," ucap Andhika. Wajah Indah memerah, mulutnya tampak gemetaran. "Kenapa? Kamu panik?" Tanya Andhika. Ia lantas ke dapur dan kembali lagi sambil menenteng air hangat. Air hangat itu dia berikan pada Indah dan berkata," Ini buat kamu biar gak panik." Indah tercekat, melihat segelas air hangat yang masih beruap, apalagi Andhika yang tampan yang menyodorkan segelas air itu. "Kamu gak pernah lupa memperhatikan aku," ucap Indah. Lalu, dia menerima segelas air hangat dan diteguk sampai habis. Indah berurai air mata. Bulir bening itu sem
"Suci, bisa saya jelaskan dulu, itu cuma gosip," ucap Andhika. "Iya itu cuma gosip. Pastinya kamu lebih memilih menyelamatkan nama baik keluarga dibanding aku. Selama ini aku cuma jadi korban," keluh Suci. Ia mulai terisak-isak. Kemudian, Sofyan menghadap Suci yang sedang menyeka air matanya. Seraya memberikan selembar tissue dan berkata," Dari tangisnya, saya bisa menebak kamu membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Kasus ini bisa selesai dalam waktu satu atau dua bulan ke depan, saya akan berjuang demi kamu." Mungkin, jika Suci belum menjadi istri orang lain, pasti sudah memeluk Sofyan. "Aku masih bisa menghadapi ini, makasih tawarannya, kamu gak perlu berjuang demi aku. Karena Mas Andhika sudah berjuang lebih dulu," ucap Suci. "Dengar itu, Pak Andhika," tegas Sofyan. Istri Anda ternyata sudah membela mati-matian. Sayangnya, Anda kurang tahu diri. Ingat! Kasus ini semakin rumit, mungkin saja butuh waktu untuk menemukan titik terangnya." "Saya bisa mencari detektif yang lebih
"Sekarang, sekalian aku mau ajak Carla," sahut Sofyan. Dia meraih tangan Carla lalu merangkul pinggang bak biola itu. Suci menyusul setelah mereka keluar kantor. Apalagi melihat pemandangan bak sepasang kekasih. "Mereka bukan orang asing, mereka temanku. Apa aku harus siap kehilangan Sofyan," gumamnya. "Kenapa aku merasa keberatan Sofyan dekat sama Carla. Temanku yang hampir hilang dari ingatanku." Saking penasarannya, Suci menguntit dua orang itu ke tempat tujuan. Sebuah perusahaan televisi swasta ternama yang selalu memberitakan gosip miring mengenai keluarga Andhika. Namun, langkah Suci terhenti di sana. Seraya berbalik arah dan pergi. Sementara itu, Sofyan memaksa Carla untuk menemui manajer perusahaan televisi. Sayangnya, Carla tampak keberatan. "Kamu bisa bantu, kan? Saya dapat tugas khusus dari Andhika," ucapnya sambil memelas. "Mau bantuin apa? Kenapa juga kamu bawa aku ke sini?" Protes Carla. "Tanyakan reporter wanita yang katanya teman kamu itu," suruh Sofyan. Ca
Tak ada cara lain, Suci bermurah hati menerima gulungan tissue dan hendak mengelap baju Indah. Namun, Andhika merebut tissue itu dan berkata," Saya yang salah, kenapa harus istri saya yang melakukan. Kamu bukan barang suruhan orang." Andhika lantas mengelap cairan jus di baju Indah. Meski gulungan tissue itu habis, tidak akan bisa membersihkan nodanya karena sudah terserap kain. Tapi, Indah tidak menolak kebaikan Andhika. Dokter cantik itu tampak menikmati meksipun berdiam diri. "Kalian tahu? Suci itu memang wanita biasa tapi cerdas. Dia mampu menghormati siapapun, memperlakukan orang sekitarnya dengan baik dan tulus. Itulah kenapa saya bertahan dengan dia," terang Andhika. Gulungan tissue itu hampir habis. Andhika menunjukkan sisanya di depan mata Indah. "Noda di baju kamu susah hilang, lebih baik dicuci saja atau mau ganti dengan yang baru?" Tanya Andhika. "Urusan baju itu bukan perkara hati. Aku bisa beli yang lebih bagus lagi," ucap Indah. "Gak usah banyak penjelasan soal k
Dan mereka menjadikan malam untuk berbaikan, saling meminta maaf. Andhika memanfaatkan waktu tersebut menjadi momen yang penuh kasih sayang, mesra dan saling memuaskan. Pagi hari tiba, jam sembilan yang sudah cerah, Andhika dan Suci tampak semangat untuk pergi. Mengenakan baju yang elegan dan perhiasan yang mewah. "Kita berangkat sekarang," ajak Andhika."Kamu semangat banget sih, gak biasanya," ucap Suci. "Yakin mau ketemu Sofyan? Kemarin sempat marah gara-gara aku nyebut nama dia.""Orang arogan itu kadang mikirnya pendek, tapi setelah dipikir-pikir ada benarnya juga," ucap Andhika. "Kamu segar banget hari ini. Apa karena udah disembur malam tadi ya? Sampai kamu mengejang kenikmatan, kayaknya harus rajin.""Mas, gak usah dibikin serius, kita cuma nikah kontrak, gak lebih," sangkal Suci."Sssstttt, jangan bahas itu, kita pergi sekarang," ajak Andhika.Tiba di kantor kerja Sofyan, mereka berpapasan dengan Indah dan seorang teman wanitanya. Tetapi, Andhika tidak menyapa lebih dulu."