Bab 34"Ba, gimana kalau malam ini kamu nginep di rumahku aja?" Kamila menawarkan sebuah alternatif.Wanita itu tak tega jika membiarkan sahabatnya harus tinggal sendirian di rumah, dengan pikiran yang terus berkecamuk seperti ini. Setidaknya jika Heba menginap di rumahnya, Kamila sendiri bisa memastikan Heba baik-baik saja."Gak bisa, Mil. Kalau aku nginep di rumah kamu dan Mas Nathan pulang, gimana jadinya?" Heba menyeka air mata dan menggeleng pelan.Kamila sendiri mendengkus. Bagaimana caranya mengajarkan Heba agar tidak terlalu memikirkan suaminya yang tidak tahu diri itu? Kamila sendiri yakin, jika sekarang Nathan tengah bersenang-senang dengan Anya."Apa tadi Nathan bilang dia mau pulang, Ba? Nggak kan? Dia malah nyuruh kamu gak datang lagi ke kantor dengan penampilan seperti ini. Aku percaya, Ba, Nathan gak akan pernah dengerin apa kata kamu," tutur Kamila yang sudah sangat kesal pada kelakuan suami dari sahabatnya itu.Sementara Heba hanya terdiam. Terlalu sedih membuat otakny
Bab 35Tak seperti anggapan Heba yang berpikiran bahwa Nathan tak akan pulang. Rupanya, lelaki yang satu itu telah sampai rumah tepat pada pukul sepuluh malam.Akan tetapi, tujuannya tentu saja bukan untuk memenuhi keinginan Heba tadi siang. Nathan hanya pulang untuk mengambil beberapa baju ganti."Kenapa sepi begini?" tanya Nathan saat ia baru saja keluar mobil, dan mendapati rumahnya dalam keadaan gelap gulita.Ia masuk ke dalam rumah berbekal kunci cadangan yang dimiliki. Segera menyalakan lampu, yang Nathan dapati hanyalah kekosongan. Celah pintu kamarnya pun menunjukkan bahwa di dalam sana sama-sama gelap seperti tadi. Itu menandakan, bahwa tak ada orang di rumah ini."Ke mana si Heba? Aku udah pulang kok dia gak ada di rumah?" Nathan kebingungan, tapi tak lupa tetap mencibir lantaran ia mendadak kesal."Kalau dia gak ada di rumah kayak gini, terus ngapain tadi siang mohon-mohon supaya aku pulang? Emang dasar," gerutunya lagi.Nathan tak terima jika istrinya pergi entah ke mana. M
Bab 36Sudah beberapa hari ini Anisa merasa heran dengan aktivitas Anya yang begitu padat. Setiap hari putri sambungnya itu pulang larut malam, dan akan segera berangkat saat pagi-pagi buta, bahkan ketika matahari belum nampak di ufuk timur."Kamu mau berangkat sekarang, Nya? Ini masih pagi banget lho, Mama belum siapin sarapan buat kamu," tanya Anisa yang baru keluar dari kamar dengan wajah menahan kantuk.Ini baru jam lima pagi kurang lima belas menit, dan Anya sudah rapi juga cantik. Anisa jadi bertanya-tanya pada pukul berapa Anya bangun, sampai bisa menyempatkan diri untuk berdandan terlebih dahulu."Aku masih ada urusan sama temenku, mau cek sampel buat beberapa kebutuhan di salon," jawab Anya sedikit ketus, pertanda masih belum memaafkan Anisa atas ucapan perempuan paruh baya itu pada Nathan.Sementara Anisa menghela napas panjang. "Tunggu sebentar, biar Mama buatkan dulu kamu susu hangat sama roti lapis supaya kamu bisa sarapan di mobil."Awalnya Anya ingin menolak, lantaran ia
Bab 37"Aku duluan ya, Mas!" pamit Anya keluar dari mobil lebih dulu."Iya, Nya. Hati-hati," balas Nathan dengan senyum riang.Mereka memang selalu berangkat dan pulang bekerja bersama. Kadang menggunakan mobil Nathan, tapi lebih sering menggunakan mobil Anya yang mahal agar lebih nyaman.Setelah Anya keluar, Nathan tak langsung mengikuti langkah wanita itu. Ia menunggu selama beberapa menit, agar tak ada orang yang curiga dengan hubungan mereka berdua.[Aku udah ada di atas.]Satu pesan dari Anya baru saja masuk ke ponsel Nathan, sehingga ia bisa segera keluar dari mobil dan berjalan ke dalam kantor. Lelaki itu bersiul-siul santai, sambil menyapa beberapa rekan yang cukup dekat dengannya."Kemarin ke mana, sih? Udah ditungguin tapi gak jadi makan sama-sama!" protes salah satu teman Nathan."Sorry, Bro, kemarin aku ada urusan mendesak, jadi gak sempet nyusul. Lain kali ajalah kita makan lagi di luar."Teman Nathan yang satu itu mendengkus, tapi akhirnya tak ambil pusing dan mereka dud
Bab 38[Aku ada di rumah Mama karena ada perlu. Kalau kamu udah selesai belanja sama Mama Anisa, kabarin aku, ya, biar kita bisa pulang sama-sama.]Pesan manis dari Nathan berhasil membuat Anya mengulum senyum, sampai ia tak sadar jika Anisa sudah masuk ke dalam mobil dan menatapnya keheranan."Kamu kenapa, Nya? Ada yang bikin seneng, ya?" tanya Anisa setengah menggoda, tentunya bahagia melihat Anya bisa tersenyum seperti orang yang sedang dimabuk cinta seperti sekarang."Hah? Nggak kok, Ma. Ini barusan temen aku ngirimin stiker lucu," kilah Anya segera memasukkan ponsel ke dalam tas setelah membalas pesan Nathan.Anisa percaya itu sehingga tak menyimpan rasa curiga sedikit pun. Bahkan ia tak mencoba mengintip ponsel Anya, padahal beberapa saat lalu punya banyak kesempatan untuk melakukan itu. Mereka pun langsung berangkat ke pusat perbelanjaan."Tadi Papa nanya kamu berangkat jam berapa, terus ya Mama jawab jujur aja," ungkap Anisa melapor."Aku takut deh, kalau nanti Papa marah soal
Bab 39Selesai mengantarkan Heba pulang dengan selamat ke rumahnya, Rani pun bergegas untuk pulang ke rumah sendiri. Di sana, rupanya sudah ada Kamila yang baru kembali dari tempat kerja. Lantaran Rani masih merasa kesal dengan sikap Anya dan Anisa di toko tadi, ia langsung berniat untuk menceritakan saja semuanya agar hatinya terasa lebih lega.Rani langsung duduk di meja makan, berhubung Kamila tengah menyantap camilan sore di sana."Tadi Mama ketemu sama Bu Anisa dan Anya di toko tas," papar Rani dengan wajah masih menyimpan sedikit kekesalan."Oh, ya? Bukannya Ibu pergi sama Heba? Jadi mereka juga ketemu dong?" tanya Kamila mulai tertarik.Rani mengangguk pelan, lantas tertuturlah cerita dari mulutnya, soal bagaimana Anisa begitu condong pada Anya. Rani sungguh tak habis pikir, mengapa di dunia ini ada ibu semacam Anisa yang tidak peduli terhadap anak kandungnya sendiri."Ya begitulah, Bu. Menurutku, Heba memang perlu didukung, mengingat dia gak dapat kasih sayang dari suami sama
Bab 40"Anya gak salah nawarin aku mobil bekas?" tahya Nathan dalam hati, melirik sebentar ke arah perempuan di sebelahnya.Sebenarnya tak ada yang salah dengan tawaran itu. Hanya saja, Nathan sudah punya harapan yang lebih besar. Ia pikir Anya akan menawarkan mobil baru padanya dan meminta Nathan untuk memilih secara langsung, mengingat Anya punya banyak sekali uang dan bisa membeli apa pun dengan kedipan mata saja."Kok kamu diem, Mas?" Anya menggoyangkan lengan Natah, meminta jawaban saat itu juga.Sementara Nathan hanya mengerjap dan menggaruk tengkuk, sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia juga bingung ingin menjawab apa."Mobilku itu masih bagus, Mas, tapi kalau kamu mau beli mobil baru, ayo kita berangkat ke showroom besok siang," bujuk Anya.Nathan sudah sangat senang, karena inilah yang ia harapkan sejak tadi. Namun, tentu saja ia tak boleh langsung menganggukkan kepala. Melainkan sekarang, Nathan berpikir kalau ia harus tetap menjaga sikap. Terlihat seperti lelaki berwibaw
Bab 41"Kamu sudah tanyakan soal tawaran saya sama Heba, Mil?"Tebakan Kamila sangat tepat, maka dari itu ia memutuskan untuk keluar dari mobil selama beberapa saat agar Heba tak perlu mendengar percakapan ini."Sudah, Bos, barusan aja, dan Heba bilang mau memikirkan tawaran dari Bos terlebih dahulu," jawab Kamila jujur.Di seberang sana, Noah menghembuskan napas pelan. "Kenapa dia mau pikir-pikir dulu?""Karena Heba masih punya tanggung jawab di toko Ibu saya, Bos." Kamila kembali menjelaskan semuanya, agar Noah juga tak terus menekan dirinya untuk meyakinkan Heba.Sudah Kamila tegaskan pada diri sendiri, kalau semua keputusan harus berasal dari hati nurani Heba. Ia tak mau sahabatnya menerima pekerjaan ini, hanya karena terbebani sebab Noah yang menawarkan secara langsung."Maaf, Bos, tapi kenapa Bos tidak mencoba bicara saja sama Heba? Kebetulan saya lagi sama dia. Mau saya sampaikan langsung?""Tidak usah!" tolak Noah cepat. Di sisi lain ia ingin Heba segera menerima tawarannya da
109Hari Sabtu akhirnya tiba. Seperti janjinya pada Shanti, Heba akan berkunjung ke rumah wanita paruh baya itu untuk mengobrol dan membuat kue kering.Sebelum datang ke sana, terlebih dahulu Heba mampir sebentar ke kedai buah, untuk membeli beberapa jenis buah-buahan, yang pastinya akan disukai oleh Shanti.Bertahun-tahun menjadi sekretaris Pratama, tentunya Heba mengetahui dengan pasti makanan dan minuman apa yang disukai oleh keluarga atasannya itu.Setelah dari kedai buah, Heba menaiki ojek online untuk sampai di rumah Shanti. Tiba di sana, ia disambut oleh Shanti yang sudah menunggu."Akhirnya kamu datang juga. Saya pikir kamu nggak jadi datang ke sini," ucap Shanti yang tak ragu menggiring Heba masuk ke dalam rumahnya.Heba tertawa pelan atas perkataan Shanti. "Saya pasti datang kok, Bu. Sekarang bagaimana, Ibu percaya 'kan sama saya?"Giliran Shanti yang tertawa dan mengangguk cepat. "Kamu memang tidak pernah berubah. Sejak dulu kamu selalu menepati janji dan datang tepat waktu
108Heba tidak bisa tinggal diam saja. Pagi ini juga setelah sampai di kantor, ia sudah bertekad untuk bicara dengan Noah soal masalah kemarin. Jangan sampai ada kesalahpahaman di antara mereka berdua.Sebab Heba begitu yakin, kalau itu semua akan mempengaruhi pekerjaan antara sekretaris dan atasan, yang tiap hari harus bertemu dan melakukan komunikasi.Dengan kedua kaki yang melangkah pasti, Heba menemui Noah di ruangannya. Ia membawakan jadwal atasannya itu dan memaparkan seperti biasa. Namun, tentu saja ia juga akan membicarakan masalah yang ada di antara mereka berdua."Sudah, Ba?" tanya Noah, yang kentara tidak melakukan kontak mata dengan sekretarisnya sendiri."Kalau urusan pekerjaan sudah selesai, Pak. Tapi saya mau bicara soal lain," jawab Heba meminta izin agar Noah memberinya sedikit waktu."Soal apa?" tanya lelaki itu setelah berdehem pelan."Soal saya dan Bapak." Heba menatap Noah, sehingga lelaki yang ada di depannya pun terpaksa melakukan hal serupa.Noah terdiam. Harus
107"Kita pergi saja dari sini," ajak Noah hendak menggamit tangan Heba, tetapi Anisa lebih dulu mencegahnya."Jangan ke mana-mana, Ba. Mama mohon sama kamu, kamu harus bantuin Mama," pinta Anisa yang lagi-lagi diucapkan tanpa rasa malu sedikit pun.Heba sendiri benci melihat bagaimana Anisa begitu berusaha. Ia marah, tetapi tidak mau menunjukkannya, karena tenaganya akan terkuras habis. Maka dari itu, ia mengangguk pada Noah dan mereka pun pergi dari rumah Luqman saat itu juga.Menghela napas panjang, Heba menghembuskannya sangat perlahan. Ia mencoba untuk tetap tenang saat masuk ke dalam mobil. Sementara Noah hanya melihat sekilas wanita di sebelahnya, kemudian melajukan mobil.Heba begitu sibuk memikirkan bagaimana caranya ia menyadarkan Anisa, agar tak lagi mendesaknya untuk memperjuangkan Nathan. Tanpa sadar Heba mengepalkan tangan dan menggerutu pelan, dan Noah hanya melihat itu tanpa melakukan apa pun.Sedetik kemudian, Heba tersadar jika ia masih melakukan perjalanan bersama No
Bab 106Hari berganti cukup cepat bagi Heba, lantaran ia tengah merasakan ketenangan yang luar biasa. Hidupnya begitu damai, setelah Heba menjauh perlahan tapi pasti dari Anisa, juga Nathan dan keluarganya.Wanita itu fokus pada diri sendiri, mengembangkan berbagai macam bakat yang selama ini terpendam karena tak pernah mendapatkan ruang selama menikah dengan Nathan."Makan siang di mana kita hari ini?" tanya Noah melihat penunjuk waktu, yang mana setengah jam lagi, mereka akan mendapatkan jatah istirahat."Cuaca di luar sedang bagus, Pak. Bagaimana kalau makan siang di restoran yang baru saja buka?" Heba teringat pada restoran baru, yang letaknya tak jauh dari kantor."Boleh, kita coba makan di sana." Noah setuju.Maka cepat-cepat Heba akan menghubungi restoran untuk melakukan reservasi, agar mereka mendapatkan meja. Namun, tangannya berhenti bekerja saat ia mendapat panggilan dari Luqman."Ada apa, ya?" tanya Heba, tak sadar sudah mengeluarkan suara, sehingga Noah menoleh."Kenapa?"
Bab 105"Kemarin kamu makan malem sama keluarganya Pak Bos, ya?" tanya Kamila seraya berbisik.Sejak tadi ia memicingkan mata dan mengirimkan kode agar sahabatnya bercerita. Namun, sayang sekali Heba benar-benar tidak peka. Sehingga Kamila akhirnya harus bertanya secara gamblang."Ba? Iya atau nggak?" desak Kamila."Kamu tau dari mana?" Heba malah balik bertanya. Seingatnya, ia tak mengatakan pada siapa pun. Lantas dari mana Kamila bisa tahu semuanya?"Itu artinya bener?"Heba mengangguk, tak mungkin menyembunyikan apa pun dari Kamila. Lagi pula, tak ada yang aneh dari makan malam kemarin."Sekarang aku tanya sekali lagi, kamu kok bisa tau?" Heba menatap heran, tetapi Kamila malah terkikik saja."Iyalah aku tau! Orang aku ngikutin kamu sama Pak Bos!" Kamila menjawab jujur.Betul adanya kalau kemarin, diam-diam dirinya mengikuti Heba dan Noah. Sebetulnya Kamila tak memiliki niat seperti itu. Hanya saja, ia penasaran mengapa Heba tampak sedih.Niat untuk menegur Heba dan mengajaknya pul
Bab 104"Kamu harus berani, Sayang," ucap Nathan saat mobilnya sudah tiba di depan rumah Luqman.Anya mengangguk, tetapi tidak juga membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan roda empat tersebut."Yang terpenting kamu jangan ikut emosi. Kita harus tunjukkan sama Mama Anisa dan Papa Luqman, kalau hubungan kita ini sangat serius.""Iya, Mas. Aku akan jaga emosiku di depan Papa sama Mama," balas Anya berjanji.Nathan memang benar, kalau ia harus bersikap lebih dewasa, agar pilihannya untuk menjalin kedekatan dengan Nathan tak disepelekan. Lantas keduanya pun turun dari mobil.Anya masuk lebih dulu ke dalam rumah, diikuti oleh Nathan di belakangnya. Di dalam ruang keluarga, sudah ada Anisa di sana. Awalnya wanita paruh baya itu terlihat senang dengan kehadiran Anya, sehingga ia berdiri dan bergegas menghampiri.Akan tetapi saat melihat ternyata Nathan ikut hadir, senyum di bibir Anya langsung hilang seketika. Ia terang-terangan menatap tak suka pada lelaki yang masih jadi menantunya it
Bab 103Sejak pagi tadi, perasaan Nathan sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Itu semua dikarenakan kedatangan Anisa yang hanya ingin marah-marah kepadanya.Untung saja ada Luqman yang menjadi penengah, tetapi lelaki paruh baya itu sama sekali tidak membela. Setidaknya, Nathan bisa bernapas lebih lega, karena ia tak mendapatkan masalah apa pun di kantor.Tepat jam lima sore ketika semua pekerjaannya sudah selesai, Nathan memutuskan untuk pulang ke rumah Ratih. Awalnya ia akan berkunjung sebentar ke apartemen untuk mengambil beberapa helai pakaian.Akan tetapi niat itu diurungkan, karena Nathan harus menghindari Anisa, yang kemungkinan akan memantau di sana.Nathan sengaja memasang wajah lesu ketika ia membuka pintu rumah. Sehingga Anya yang melihat pun langsung menghampiri dengan perasaan khawatir."Muka kamu kenapa begitu sih, Mas? Kerjaan di kantor banyak banget, ya?" Anya bertanya penuh perhatian, juga segera mengambil tas kerja di tangan kekasihnya."Kerjaan di kantor masih ringan
Bab 102Pagi-pagi sekali Anisa sudah pergi dari rumahnya, tanpa diketahui oleh Luqman. Ia berencana hendak mendatangi Heba dan memohon sekali lagi. Harapannya memang ada pada Heba, maka dari itu Anisa tak akan menyerah."Waktu itu Heba masih marah." Anisa bergumam sendiri. "Harusnya aku nanya sama dia gimana kondisinya, supaya dia juga mau dengerin permintaanku."Anisa memang agak menyesal karena ia tak mengatur strategi yang bagus. Andai saja otaknya bekerja lebih baik, mungkin ia tak perlu repot-repot mendatangi Heba seperti sekarang."Udahlah, aku memang harus berjuang supaya Anya pisah dari Nathan, dan dia mau pulang ke rumah." Anisa mengangguk yakin, dan keluar dari mobil.Berjalan beberapa langkah, ia pun mengetuk pintu rumah Heba yang masih tertutup."Heba? Ini Mama."Di dalam rumah, Heba yang tengah bersiap-siap pun segera mengenakan kerudung dan membuka pintu. Sesaat ia menatap Anisa."Ada apa, Ma?" tanya Heba memaksa senyum di bibir."Mama mau bicara sama kamu, Ba.""Aku gak
Bab 101"Noah, Papa, ayo!" ajak Shanti yang bingung mengapa anak dan suaminya malah diam dan tak mengikuti langkahnya menuju ruang makan."Ayo, Pa!" Noah pun mengajak Pratama.Lelaki paruh baya itu mengangguk. Ia menebak jika Noah memiliki maksud, sampai memberitahunya hal pribadi tentang Heba. Padahal selama ini, Pratama tak pernah sekali pun bertanya soal suami dari mantan sekretarisnya itu.Pratama sangat paham batasan mana yang tak boleh ia langgar. Sehingga selama masa kerjanya dengan Heba bertahun yang lalu, ia pun kurang tahu bagaimana nasib wanita yang satu itu di kehidupan pribadinya."Makan yang banyak ya, Ba." Shanti sangat senang melayani Heba. Mulai dari menyendokkan nasi, mengisi gelas, sampai menawarkan berbagai macam menu yang ada di atas meja makan."Makasih ya, Bu," ucap Heba yang tak tahu lagi harus berkata apa.Heba juga senang karena Shanti menerimanya dengan baik tiap kali bertamu ke rumah ini. Ia merasa seperti mendapatkan sosok ibu yang baru, yang begitu hangat