Ketika matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. April mulai terbangun dari tidurnya. Dia mengerjabkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya ruangan.
“Sean?” ucap April tatkala mendapati Sean yang saat ini sedang terlelap persis beberapa senti depan wajahnya.
Sean tertidur dengan kaki yang berada di lantai sedangkan kepalanya bertumpu di ranjang April.
Jadi… Semalam Sean tidur di sini?
Tangan April terulur hendak menyentuh pundak Sean untuk membangunkannya, namun tidak jadi.
Pasti bocah itu kurang tidur mengingat posisi tidurnya saat ini terlihat sangat tidak nyaman.
“Makasih, ya, Sean.”
April tersenyum dan mengusap pipi Sean dengan pelan. Takut apabila dia terbangun.
“Makasih karena semalem udah ngerawat aku...."
"Makasih karena ketika Tuhan ngambil semuanya dari aku. Kamu, yang bahkan bukan siapa-siapa aku tetep mau berada di sam
Hari demi hari berganti merajut bulan. Sudah beberapa bulan yang lalu Tara meninggal dunia. Kesedihan yang dirasakan April perlahan mulai memudar. Karena ada benarnya juga kata Sean. Sesedih apa pun seseorang, tetap saja hidup terus berlanjut, bukan? “Pagi Mbak April. Lagi apa, nih, sama Masnya? Rajin banget jam segini udah bersih-bersih aja?” tanya Budhe Narsih—tetangga sebelah rumah—yang saat ini sedang berdiri melonggokkan kepalanya pada pagar pembatas rumah mereka. “Ah, cuma lagi nyapu teras, kok, Budhe,” balas April sambil tersenyum ramah. Sedangkan Sean yang saat ini sedang mencuci motornya pun hanya mengedikkan bahu, cuek. Sebenarnya, sih, Sean bisa saja pergi ke tempat pencucian motor. Tapi Sean sedang malas keluar. Lebih enakan mencuci motor sendiri, tinggal disemprot saja menggunakan air keran, bukan? Gosok-gosok sedikit selesai. Astaga. Apa jangan-jangan ini semua karena efek tinggal satu rumah dengan April yang perhitungan
“Yang ini namanya bunga,” ucap Sean sambil menunjukkan gambar di tablet pintarnya kepada Riri yang saat ini sedang dipangkunya. “Unga....” Anak kecil itu meniru ucapan Sean meskipun belum terlalu lancar berbicara. “Pinternya.” Sean tertawa kemudian menciumi pipi tembam gadis kecil itu. April yang sedang berkutat di dapur mininya diam-diam melirik ke arah Sean melalui sudut matanya. Pipi April bersemu melihat kedekatan Sean dengan Riri. Memang lelaki yang suka dengan anak kecil selalu berhasil membuat para wanita meleleh, ya, ketika melihatnya. “Nah, Riri Sayang. Kalau itu namanya Tante galak,” ucap Sean sambil menunjuk ke arah April yang saat ini sedang mendengus kesal. Sean memang sengaja ingin memancing kemarahan April. Karena wajah April saat marah sangat imut sekali. “Nte Gayak?” ucap Riri membeo. April mendelik melihatnya. Lihatlah, baru saja dia memuji bocah sableng itu tampan. Tapi sekarang sifat menyebalka
Mendengar hal tersebut Budhe April saling bertatapan dengan teman yang berada di sebelahnya. "Oh. Ahahaha. Ternyata April udah punya pacar. Duh, Budhe nggak tahu. Kenapa tadi April nggak ngenalin pacarnya ke kita?" Aduh. Mati, mati, mati! Bagaiman bisa April menghadapi semua ini? April berdiri sambil tersenyum kaku, enggan menjawab pertanyaan Budhenya. "Ternyata pacar April masih muda, ya. Mama agak kaget, loh, April pacaran sama yang lebih muda. Tapi Pril. Mama saranin kamu pacaran jangan cuma haha-hihi, doang. Contohnya kayak Monna, sekalinya cari pacar yang mapan dan biar enak sampai ke pelaminan," ucap Mama tidak mau tersaingi. Sean mengamati pacar saudara April yang dibilang mapam tersebut. Kemudian Sean hanya tersenyum mengejek. Heh, yang benar saja. Memang seberapa kayanya pacar saudari April itu? Belum tahu, ya, kalau isi di dalam saldo ATM-ya banyak? Kalau masalah banding-bandingan harta, mah, kecil. Sean hendak beruca
Lengang terasa di antara mereka. Saling diam dalam kebisuan dan hanya terdengar suara klakson yang saling bersaut-sahuan padahal lampu merah baru saja menyala dua detik lalu. Manusia zaman sekarang memang benar-benar tidak sabaran.“Eh, iya, Sean. Aku penasaran... kok, kamu nggak cerita sama aku, sih, kalau kamu punya mobil mewah?!” teriak April ketika tersadar akan apa yang hendak ia tanyakan sejak tadi.“Kenapa emangnya?” jawab Sean santai. Bahkan wajahnya sangat datar.“Kok, kenapa, sih.”Setelah itu April terdiam. Tapi benar juga, ya. Kalau pun Sean punya mobil mewah. Tidak mungkin juga, kan, dia wajib menceritakan kepadanya?“Sean....""Apa?""Aku mau tanya....""Apa?""Um, Sean... tapi ini beneran mobil punya kamu?” tanya April hati-hati sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Sean yang sedang sibuk menyetir.“Iyalah! Ya, kali, Pril, kamu juga mikir i
Di rumah Omanya Sean, April sangat dimanja. Banyak makanan enak yang dihidangkan. Terlebih lagi Omanya Sean itu sangat baik hati. Bahkan Omanya sampai menciumi pipi April. Kalau sudah seperti ini, April jadi malas pulang ke rumah. Dia ingin tinggal di sini selamanya. Bodohnya Sean yang malahan mau-maunya tinggal di rumah kandang ayamnya tiga petak itu daripada tinggal di istana ini."Ah... nikmatinya. Berasa di syurga," ucap April sambil meregangkan tubuhnya sembari menikmati sejuknya angin sepoi-sepoi yang menerpa kulit tubuhnya.Saat ini April sedang duduk santai di gazebo yang berada di dekat kolam renang rumah Sean sambil menunggui bocah itu selesai berenang.Diseduhnya teh pemberian Oma yang sangat enak ini. Lidah April mengecap, meskipun memang rasa tehnya agak sepat seperti kebanyakan teh pada umumnya. Tapi teh ini segar. Mungkin karena masih alami tidak mengandung bahan pengawet seperti yang kebanyakan dijual di toko-toko."Makan terus. Dasar baab
"Eh. Maksudnya?" ucap April sambil mengernyit, tidak paham dengan apa yang sedang Sean ucapkan."Cerita keluargaku rumit, Pril.""Tapi aku punya banyak waktu, kok, buat ngedengerinnya," balas April sambil tersenyum hangat kepadanya."Mamaku... dia... dia istri ke dua."April cukup terkejut mendengarnya. Dia hanya mengerjabkan mata.Be-benarkah?"Papaku satu garis keluarga sama Oma. Dia orang tionghoa. Sedangkan Mama sendiri orang Jawa."April tersenyum mendengarnya. "Pantesan kulit kamu putih dan hidungmu mancung banget."Sean ikut terkekeh mendengarnya."Oh, ya?""Iya. Boleh nggak aku nyentuh hidung kamu? Habisnya mancung banget."Mungkin April sudah hilang akal sampai tiba-tiba mengucapkan hal tersebut kepada Sean. Bahkan Sean pun juga mengernyit tidak percaya."Boleh."Setelah itu jari telunjuk April terulur untuk menyentuh hidung mancung Sean."Kayak hidungnya orang bule,"
"Papaku orangJawa. Mamaku orangJawa. Tapi kenapa kamu bukanlahJAWAban dari doa-doaku?"-Sean Ganteng***"April... kamu mau nggak nikah sama aku?" ucap Sean sambil tersenyum manis kepadanya membuat April cukup terkejut.Bukan hanya itu saja. Tanpa terduga sama sekali, tiba-tiba Sean merengkuh tangan wanita tersebut kemudian menyematkan cincin pada jari manisnya. Tak lupa juga Sean mengecup punggung tangan April membuatnya semakin bersemu.Kalau saja April tidak ingat jika Sean adalah pria yang usianya terpaut empat tahun di bawahnya alias 'berondong'. Pasti April akan terbang ke awan-awan.Hampir saja terlena dengan sikap manis Sean. Kini April berganti menampilkan ekspresi sebal supaya wajahnya yang memerah tidak ketara oleh Sean.Dasar bocah sableng!Bisa-bisanya dia mengajak menikah seo
Ketika selesai mengantarkan April berangkat kerja. Entah ada angin apa sampai Sean menepikan motornya sejenak ke salah satu tempat perhiasan untuk membeli sesuatu."Mbak, ada cincin yang bagus nggak?" tanya Sean kepada pegawai toko tersebut."Ada, Kak. Mau cari cincin untuk acara apa? Untuk pernikahan atau untuk hadiah?""Buat pacar sayalah. Jadi pilihin cincin yang paling bagus dan paling mahal di sini," kata Sean dengan jumawa membuat pegawai toko tersebut tersenyum kemudian mengambilkan beberapa koleksi cincin di toko mereka untuk Sean.Sean bingung lantaran tidak tahu mana yang nantinya akan disukai April."Yang ini bagus, Kak," ucap pegawai tersebut sambil memperlihatkan cincin dengan permata mengelilingi bagian atas sisinya.Dahi Sean mengerut, dia tidak terlalu suka dengan model yang seperti itu, terlalu heboh.Kemudian dia menggeleng. "Yang lain, dong, Mbak. Yang paling mahal lagi ada?"Kemudian Sean mengamati lagi tiga
Sean: Woi Bocil! Jangan lupa jemput putri kesayangan Om di sekolahannya, ya. Soalnya sopir Om lagi nganterin Tantemu ke kondangan. Ais yang membaca pesan masuk dari Om Sean pun mendengus sebal. Padahal dulu waktu kecil ia sangat mengidolakan Om Sean karena selalu membelikannya mainan. Tapi setelah masuk SMP, Ais merasa Om Sean terkadang tingkahnya kekanakan di usianya yang sudah tidak lagi muda. Ais memasukkan HP-nya kembali ke kantung seragam. Dia masih kelas satu SMP, jadi wajar saat ini dia curi-curi kesempatan membawa HP ke sekolahan secara semunyi-sembunyi. Mumpung sedang ekstrakulikuler pramuka. Pulang pramuka Ais dan Aim meng-gowes sepedanya untuk menuju ke sekolahan Sheril—anak perempuan Om Sean. Sekolahan Ais dengan sekolahan Sheril memang berdekatan. Hanya beberapa blok saja. “Is. Tahu nggak, anak Om Sean cakep, lho. Nanti aku kenalin ke dia, deh,” celetuk Aim ketika diperjalanan. Sedangkan yang di
Malamnya… Di hari pernikahan. Gemerlap cahaya lampu menerangi sekitar. Huru-hara tamu undangan ikut meramaikan suasana. Dan juga, lantunan lagu terdengar mengalun merdu mengiringi acara.Sean saat ini sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam, ia terlihat semakin gagah. Perasaannya harap-harap cemas, menunggu sang pujaan hati untuk ikut bergabung di bawah sini bersamanya.Tadi pagi Sean dan April sudah melangsungkan acara ijab kabul dengan lancar, sedangkan sore sampai malamnya Sean mengadakan resepsi serta pesta dansa ala orang Eropa.Sebenarnya April menginginkan pernikahan yang sederhana. Tidak perlu sampai dibuatkan pesta segala, ijab kabul saja sudah cukup. Tetapi dari pihak keluarga Sean sendiri menginginkan adanya pesta dansa. Katanya Sean adalah putra kesayangan mereka, mereka ingin membuat pernikahan yang berkesan untuk Sean. Jadi, mau tak mau akhirnya April menurut keinginan mereka.
“BURUAN masuk, ih. Ngapain aja bengong di sana!” teriakan April menyadarkan Sean akan lamunannya. Sean masih mengamati sekitar, ia seolah bernostalgia dengan masa lalu yang indah. Pagar rumah dengan bunga mawar hampir mati di pojokannya.Ah, Sean juga masih mengingat Miri, anak tetangga April yang lucu itu. Ah, mungkin sekarang dia sudah besar.Begitu juga ketika Sean memasuki rumah tiga petak ini. Bayangan April yang memasak di dapur, April yang hobi berteriak-teriak sampai rasanya memekakkan telinga, dan juga kenangan di mana pertama kali Sean mencium April pun Sean masih ingat. Akhirnya dia kembali ke sini lagi!Di bagian kamar. Sean berdecak kagum saat jari telunjuknya mengusap meja wadah buku-bukunya ketika masih kuliah dulu. Bahkan tidak ada debunya sama sekali seolah April rutin membersihkannya tiap hari.“Wih, tumben kamarku bersih banget?” celetuk Sean ketika melihat kamarnya yang ternyata masih tertata rapi se
TIGA tahun berlalu, banyak hal silih berganti. Diantaranya Sean sudah menyelesaikan S2-nya tepat waktu. Sean juga diamanahi Pak Hans untuk mengembangkan anak perusahaannya. Dan yang lebih membahagiakannya lagi adalah Mama Sean, alias Bu Linda, sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya. Mungkin itu semua karena Bu Linda tinggal dekat dengan putranya serta mendapatkan penangan medis oleh tenaga professional. Pandangan Sean tertunduk, ia menekuri ponselnya untuk mengirimi pesan kepada seseorang. Sean: Lokasinya bener di Jalan Sadewa, kan, Mbak? Ketik Sean dengan saksama. Dina: Iya, Kak. Lokasinya strategis, lho, Kak. Deket tempat kuliahan, deket jalan raya. Harganya cuma 300 juta aja. Yuk, buruan dibeli, Kak. Sean menghela napas pelan, seolah ada beban berat yang bertauh-tahun di benaknya. Lucu sekali bukan? Dia sok-sokan mengabaika
Sambil mencari berkas April. Sean berjalan pelan menuju jendela kaca ruangan yang membentang lebar. Menampilkan tingginya bangunan pencakar langit.Dahi Sean mengernyit. Tampak dari atas sini Sean melihat April berada di depan kantor sambil memeluk helm di depan tubuhnya.Tebakan Sean mungkin April sedang menunggu Dina mengeluarkan motornya dari parkiran.Sean mengamatinya dalam diam. Andai saja April mendongak ke atas. Pasti April akan mendapati Sean yang berdiri di sini.Tiga tahun waktu yang lama. Harusnya Sean sudah bahagia dengan hidupnya yang sekarang.Saat ini dia sudah mengembangkan anak perusahaan milik Kokonya dalam waktu singkat. Hanya dalam hitungan waktu, pasti anak perusahaan ini akan menjadi perusahaan yang besar.Sean sudah punya segalanya.Dan, Tiga tahun dia berusaha mati-matian melupakan April. Mengabaikan semua notifikasi masuk dari April tetapi kenyataannya Sean tidak kuat untuk tidak mengintip pesan
Beberapa menit lagi tes psikotes akan segera dimulai. Sebagian pelamar bahkan sudah berdiri di depan pintu ruangan untuk bersiap-siap. Sedangkan April dan Dina masih duduk di salah satu kursi."Udah, Pril. Jangan nangis lagi, ya."Dina mengusap punggung April berusaha menenangkan sahabatnya.Huh, keponakan Pak Hans itu sungguh sangat menyebalkan!Mentang-mentang sekarang dia sudah menjadi orang penting, bukan berarti dia bisa memperlakukan April seenaknya, bukan!Apa bocah itu tidak ingat kalau bukan karena April, mana mungkin Bu Linda bisa ditemukan!Dina menggerutu dalam hati.Seorang staf keluar dari dalam ruangan, menyuruh para pelamar kerja untuk masuk ke dalam.April berdiri kemudian mengusap air mata yang tersisa di pipinya membuat Dina mengernyit.Kenapa April berdiri? Apa dia akan masuk ke dalam?"Kamu serius masih mau ngelamar kerja di sini?! Pulang aja, deh, Pril!"Dina tidak dapat memba
April melihat ulang jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya sebelah kiri.Tes pertama yaitu psikotest baru akan dimulai sekitar kurang lebih empat puluh menitan lagi.Masih agak lama, mungkin Aprilnya saja yang datangnya kepagian karena takut terlambat.April menengok ke sekitar, di sini juga baru ada satu dua pelamar kerja yang lain.Bosan menunggu, Dina yang perutnya sudah keroncongan sejak tadi pun merengek mengajak April untuk pergi ke kantin mencari camilan."Kamu kenapa, sih, Pril? Kok, dari tadi kelihatannya lesu banget. Kamu sakit?" tanya Dina sambil memasukkan makanan ke dalam mulut.Malas menjawab, April hanya menggelengkan kepala."Kalau kamu sakit, kita pulang aja. Nggak usah maksain diri. Kesehatan kamu lebih penting tahu.""Nggak, kok. Aku baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir. Mungkin karena semalem aku kurang tidur aja," ucap April sembari menghela napas pelan."Masa, sih? Orang wajahmu puc
Jangan karena aku mudah memaafkan. Lantas kau bisa seenaknya menyakitkan.-Sean***"Pril. Jawab aku, Pril! Siapa yang udah ngelakuin ini semua ke kamu?!"Sean menangkup wajah April yang berlinang air mata.April menggeleng pelan, tidak mau menjawab. Dia takut apabila masalah ini menjadi panjang jika Sean tahu Eriklah yang telah melakukan ini kepadanya.Akhirnya April memilih membuang muka ke samping untuk menghindari Sean."Kamu pergi aja, Sean. Aku pengin sendiri dulu," ucap April lirih, suaranya tercekat di tenggorokan, teredam tangisan.Bagaimana Sean bisa membantu jika April tidak mau memberitahunya?"Pril. Jawab aku, siapa yang ngelakuin ini," ulang Sean lagi, tidak gencar, bedanya kali ini nada bicara Sean terdengar penuh penekanan, menuntut jawaban.Sean tidak akan memaafkan siapa pun yang sudah menyakiti April. Cukup sebutkan satu nama, pasti Sean akan membalas orang itu
"Mo-Monna!"April benar-benar tidak percaya saat ini ia melihat saudara angkatnya sedang berada di rumah Erik dengan tubuh terbungkus selimut putih yang April yakini pasti di baliknya Monna tidak mengenakan pakaian sama sekali."Ini maksudnya apa, Rik?" ucap April menuntut jawaban kepada Erik yang hanya diam di depannya."Kamu main gila sama adik sepupuku sendiri?!"Napas April memburu, tangannya mengepal erat-erat.Dia seolah tidak dapat membedakan apakah ini semua nyata atau tidak."Yaudahlah, Beb. Dia udah telanjur tahu sekalian aja kamu jelasin ke dia kalau kita udah pacaran," sela Monna dengan sambil melenggang mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu Erik."Kalian bener-bener selingkuh di belakang aku?!"April tak habis pikir. Kalau Erik niat berselingkuh kenapa tidak dengan wanita lain saja selain Monna? Sampai-sampai adik dari pacarnyadiembatjuga.Erik mengusap pelan tengkuk belakangnya. Dari