TIGA tahun berlalu, banyak hal silih berganti. Diantaranya Sean sudah menyelesaikan S2-nya tepat waktu. Sean juga diamanahi Pak Hans untuk mengembangkan anak perusahaannya. Dan yang lebih membahagiakannya lagi adalah Mama Sean, alias Bu Linda, sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya. Mungkin itu semua karena Bu Linda tinggal dekat dengan putranya serta mendapatkan penangan medis oleh tenaga professional.
Pandangan Sean tertunduk, ia menekuri ponselnya untuk mengirimi pesan kepada seseorang.
Sean: Lokasinya bener di Jalan Sadewa, kan, Mbak?
Ketik Sean dengan saksama.
Dina: Iya, Kak. Lokasinya strategis, lho, Kak. Deket tempat kuliahan, deket jalan raya. Harganya cuma 300 juta aja. Yuk, buruan dibeli, Kak.
Sean menghela napas pelan, seolah ada beban berat yang bertauh-tahun di benaknya.
Lucu sekali bukan? Dia sok-sokan mengabaika
“BURUAN masuk, ih. Ngapain aja bengong di sana!” teriakan April menyadarkan Sean akan lamunannya. Sean masih mengamati sekitar, ia seolah bernostalgia dengan masa lalu yang indah. Pagar rumah dengan bunga mawar hampir mati di pojokannya.Ah, Sean juga masih mengingat Miri, anak tetangga April yang lucu itu. Ah, mungkin sekarang dia sudah besar.Begitu juga ketika Sean memasuki rumah tiga petak ini. Bayangan April yang memasak di dapur, April yang hobi berteriak-teriak sampai rasanya memekakkan telinga, dan juga kenangan di mana pertama kali Sean mencium April pun Sean masih ingat. Akhirnya dia kembali ke sini lagi!Di bagian kamar. Sean berdecak kagum saat jari telunjuknya mengusap meja wadah buku-bukunya ketika masih kuliah dulu. Bahkan tidak ada debunya sama sekali seolah April rutin membersihkannya tiap hari.“Wih, tumben kamarku bersih banget?” celetuk Sean ketika melihat kamarnya yang ternyata masih tertata rapi se
Malamnya… Di hari pernikahan. Gemerlap cahaya lampu menerangi sekitar. Huru-hara tamu undangan ikut meramaikan suasana. Dan juga, lantunan lagu terdengar mengalun merdu mengiringi acara.Sean saat ini sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam, ia terlihat semakin gagah. Perasaannya harap-harap cemas, menunggu sang pujaan hati untuk ikut bergabung di bawah sini bersamanya.Tadi pagi Sean dan April sudah melangsungkan acara ijab kabul dengan lancar, sedangkan sore sampai malamnya Sean mengadakan resepsi serta pesta dansa ala orang Eropa.Sebenarnya April menginginkan pernikahan yang sederhana. Tidak perlu sampai dibuatkan pesta segala, ijab kabul saja sudah cukup. Tetapi dari pihak keluarga Sean sendiri menginginkan adanya pesta dansa. Katanya Sean adalah putra kesayangan mereka, mereka ingin membuat pernikahan yang berkesan untuk Sean. Jadi, mau tak mau akhirnya April menurut keinginan mereka.
Sean: Woi Bocil! Jangan lupa jemput putri kesayangan Om di sekolahannya, ya. Soalnya sopir Om lagi nganterin Tantemu ke kondangan. Ais yang membaca pesan masuk dari Om Sean pun mendengus sebal. Padahal dulu waktu kecil ia sangat mengidolakan Om Sean karena selalu membelikannya mainan. Tapi setelah masuk SMP, Ais merasa Om Sean terkadang tingkahnya kekanakan di usianya yang sudah tidak lagi muda. Ais memasukkan HP-nya kembali ke kantung seragam. Dia masih kelas satu SMP, jadi wajar saat ini dia curi-curi kesempatan membawa HP ke sekolahan secara semunyi-sembunyi. Mumpung sedang ekstrakulikuler pramuka. Pulang pramuka Ais dan Aim meng-gowes sepedanya untuk menuju ke sekolahan Sheril—anak perempuan Om Sean. Sekolahan Ais dengan sekolahan Sheril memang berdekatan. Hanya beberapa blok saja. “Is. Tahu nggak, anak Om Sean cakep, lho. Nanti aku kenalin ke dia, deh,” celetuk Aim ketika diperjalanan. Sedangkan yang di
“Tante tahu nggak kenapa lebih banyak yang nge-likenovel ini daripada yang komen?Karena kenyataannya lebih banyak di antara kita yang diam-diam menyukai tapi tidak berani mengungkapkan.”
"Kadang aku lebih suka bermimpi.Karena ketika mataku terpejam. Aku bisa lari sejenak dari pahitnya kehidupan."
"Mungkin Tuhan mempertemukan kita karena kau ditakdirkan sebagai pelengkap cerita."(Sean)***
"Pacaran itu sama anak IT.Titik koma coding aja diperhatiin. Apalagi kamu?"(Sean)***Pak Hans mengembuskan napas berat dan menggelengkan kepala.“Nggak mungkin. Mama kamu udah lama nggak ada, Sean. Bahkan kamu tahu itu.”Sean memang sudah kehilangan Mamanya sejak kecil. Terakhir kali ingatan Sean mengenai Mamanya adalah ketika Mamanya menjemputnya saat pulang sekolah. Dari jalan seberang Mamanya terlihat merentangkan tangannya menunggu Sean untuk menyebrang jalan dan memberikan pelukan kepadanya.Namun belum sempat Sean menyebrang, beberapa pria dewasa dengan wajah bengis menarik paksa tangan Mamanya dan membawanya masuk ke dalam mobil hitam.Sejak itulah Mamanya menghilang entah ke mana. Bahkan sampai sekarang pun Sean belum pernah bertemu lagi dengan Mamanya.
"Kamu April, kan?" tanya Sean sambil menunjuk wanita yang sedang dicarinya.Ya, iyalah April! Masak Milea. Huh! Sepertinya keponakan Pak Hans ini agak tidak waras, deh."Apa?!" jawab April dengan ketus. Namun yang diajak bicara malahan tersenyum senang."Eh, iya. Kalau nggak salah katanya kamu lagi nyewain rumah, ya? Nah, kebetulan aku lagi nyari tempat tinggal dan aku mau nempatin rumah kamu.""Nggak! Nggak jadi aku sewain!" kata April sambil memutar badannya menghadap layar komputer lagi.Sean mengernyitkan dahi. Loh, kenapa pula wanita galak ini jadi berubah pikiran seperti itu?Lebih baik April tidak menyewakan rumahnya kepada bocah itu daripada dia mati muda karena darah tinggi."Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang lagi nyari orang buat nyewa rumah kamu? Gimana kalau satu juta per bulan?" tawar Sean dengan saksama.Lantaran April itu mata duitan. Mendengar nominal satu juta yang baru saja diucapkan oleh Sean pun mem
Sean: Woi Bocil! Jangan lupa jemput putri kesayangan Om di sekolahannya, ya. Soalnya sopir Om lagi nganterin Tantemu ke kondangan. Ais yang membaca pesan masuk dari Om Sean pun mendengus sebal. Padahal dulu waktu kecil ia sangat mengidolakan Om Sean karena selalu membelikannya mainan. Tapi setelah masuk SMP, Ais merasa Om Sean terkadang tingkahnya kekanakan di usianya yang sudah tidak lagi muda. Ais memasukkan HP-nya kembali ke kantung seragam. Dia masih kelas satu SMP, jadi wajar saat ini dia curi-curi kesempatan membawa HP ke sekolahan secara semunyi-sembunyi. Mumpung sedang ekstrakulikuler pramuka. Pulang pramuka Ais dan Aim meng-gowes sepedanya untuk menuju ke sekolahan Sheril—anak perempuan Om Sean. Sekolahan Ais dengan sekolahan Sheril memang berdekatan. Hanya beberapa blok saja. “Is. Tahu nggak, anak Om Sean cakep, lho. Nanti aku kenalin ke dia, deh,” celetuk Aim ketika diperjalanan. Sedangkan yang di
Malamnya… Di hari pernikahan. Gemerlap cahaya lampu menerangi sekitar. Huru-hara tamu undangan ikut meramaikan suasana. Dan juga, lantunan lagu terdengar mengalun merdu mengiringi acara.Sean saat ini sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam, ia terlihat semakin gagah. Perasaannya harap-harap cemas, menunggu sang pujaan hati untuk ikut bergabung di bawah sini bersamanya.Tadi pagi Sean dan April sudah melangsungkan acara ijab kabul dengan lancar, sedangkan sore sampai malamnya Sean mengadakan resepsi serta pesta dansa ala orang Eropa.Sebenarnya April menginginkan pernikahan yang sederhana. Tidak perlu sampai dibuatkan pesta segala, ijab kabul saja sudah cukup. Tetapi dari pihak keluarga Sean sendiri menginginkan adanya pesta dansa. Katanya Sean adalah putra kesayangan mereka, mereka ingin membuat pernikahan yang berkesan untuk Sean. Jadi, mau tak mau akhirnya April menurut keinginan mereka.
“BURUAN masuk, ih. Ngapain aja bengong di sana!” teriakan April menyadarkan Sean akan lamunannya. Sean masih mengamati sekitar, ia seolah bernostalgia dengan masa lalu yang indah. Pagar rumah dengan bunga mawar hampir mati di pojokannya.Ah, Sean juga masih mengingat Miri, anak tetangga April yang lucu itu. Ah, mungkin sekarang dia sudah besar.Begitu juga ketika Sean memasuki rumah tiga petak ini. Bayangan April yang memasak di dapur, April yang hobi berteriak-teriak sampai rasanya memekakkan telinga, dan juga kenangan di mana pertama kali Sean mencium April pun Sean masih ingat. Akhirnya dia kembali ke sini lagi!Di bagian kamar. Sean berdecak kagum saat jari telunjuknya mengusap meja wadah buku-bukunya ketika masih kuliah dulu. Bahkan tidak ada debunya sama sekali seolah April rutin membersihkannya tiap hari.“Wih, tumben kamarku bersih banget?” celetuk Sean ketika melihat kamarnya yang ternyata masih tertata rapi se
TIGA tahun berlalu, banyak hal silih berganti. Diantaranya Sean sudah menyelesaikan S2-nya tepat waktu. Sean juga diamanahi Pak Hans untuk mengembangkan anak perusahaannya. Dan yang lebih membahagiakannya lagi adalah Mama Sean, alias Bu Linda, sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya. Mungkin itu semua karena Bu Linda tinggal dekat dengan putranya serta mendapatkan penangan medis oleh tenaga professional. Pandangan Sean tertunduk, ia menekuri ponselnya untuk mengirimi pesan kepada seseorang. Sean: Lokasinya bener di Jalan Sadewa, kan, Mbak? Ketik Sean dengan saksama. Dina: Iya, Kak. Lokasinya strategis, lho, Kak. Deket tempat kuliahan, deket jalan raya. Harganya cuma 300 juta aja. Yuk, buruan dibeli, Kak. Sean menghela napas pelan, seolah ada beban berat yang bertauh-tahun di benaknya. Lucu sekali bukan? Dia sok-sokan mengabaika
Sambil mencari berkas April. Sean berjalan pelan menuju jendela kaca ruangan yang membentang lebar. Menampilkan tingginya bangunan pencakar langit.Dahi Sean mengernyit. Tampak dari atas sini Sean melihat April berada di depan kantor sambil memeluk helm di depan tubuhnya.Tebakan Sean mungkin April sedang menunggu Dina mengeluarkan motornya dari parkiran.Sean mengamatinya dalam diam. Andai saja April mendongak ke atas. Pasti April akan mendapati Sean yang berdiri di sini.Tiga tahun waktu yang lama. Harusnya Sean sudah bahagia dengan hidupnya yang sekarang.Saat ini dia sudah mengembangkan anak perusahaan milik Kokonya dalam waktu singkat. Hanya dalam hitungan waktu, pasti anak perusahaan ini akan menjadi perusahaan yang besar.Sean sudah punya segalanya.Dan, Tiga tahun dia berusaha mati-matian melupakan April. Mengabaikan semua notifikasi masuk dari April tetapi kenyataannya Sean tidak kuat untuk tidak mengintip pesan
Beberapa menit lagi tes psikotes akan segera dimulai. Sebagian pelamar bahkan sudah berdiri di depan pintu ruangan untuk bersiap-siap. Sedangkan April dan Dina masih duduk di salah satu kursi."Udah, Pril. Jangan nangis lagi, ya."Dina mengusap punggung April berusaha menenangkan sahabatnya.Huh, keponakan Pak Hans itu sungguh sangat menyebalkan!Mentang-mentang sekarang dia sudah menjadi orang penting, bukan berarti dia bisa memperlakukan April seenaknya, bukan!Apa bocah itu tidak ingat kalau bukan karena April, mana mungkin Bu Linda bisa ditemukan!Dina menggerutu dalam hati.Seorang staf keluar dari dalam ruangan, menyuruh para pelamar kerja untuk masuk ke dalam.April berdiri kemudian mengusap air mata yang tersisa di pipinya membuat Dina mengernyit.Kenapa April berdiri? Apa dia akan masuk ke dalam?"Kamu serius masih mau ngelamar kerja di sini?! Pulang aja, deh, Pril!"Dina tidak dapat memba
April melihat ulang jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya sebelah kiri.Tes pertama yaitu psikotest baru akan dimulai sekitar kurang lebih empat puluh menitan lagi.Masih agak lama, mungkin Aprilnya saja yang datangnya kepagian karena takut terlambat.April menengok ke sekitar, di sini juga baru ada satu dua pelamar kerja yang lain.Bosan menunggu, Dina yang perutnya sudah keroncongan sejak tadi pun merengek mengajak April untuk pergi ke kantin mencari camilan."Kamu kenapa, sih, Pril? Kok, dari tadi kelihatannya lesu banget. Kamu sakit?" tanya Dina sambil memasukkan makanan ke dalam mulut.Malas menjawab, April hanya menggelengkan kepala."Kalau kamu sakit, kita pulang aja. Nggak usah maksain diri. Kesehatan kamu lebih penting tahu.""Nggak, kok. Aku baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir. Mungkin karena semalem aku kurang tidur aja," ucap April sembari menghela napas pelan."Masa, sih? Orang wajahmu puc
Jangan karena aku mudah memaafkan. Lantas kau bisa seenaknya menyakitkan.-Sean***"Pril. Jawab aku, Pril! Siapa yang udah ngelakuin ini semua ke kamu?!"Sean menangkup wajah April yang berlinang air mata.April menggeleng pelan, tidak mau menjawab. Dia takut apabila masalah ini menjadi panjang jika Sean tahu Eriklah yang telah melakukan ini kepadanya.Akhirnya April memilih membuang muka ke samping untuk menghindari Sean."Kamu pergi aja, Sean. Aku pengin sendiri dulu," ucap April lirih, suaranya tercekat di tenggorokan, teredam tangisan.Bagaimana Sean bisa membantu jika April tidak mau memberitahunya?"Pril. Jawab aku, siapa yang ngelakuin ini," ulang Sean lagi, tidak gencar, bedanya kali ini nada bicara Sean terdengar penuh penekanan, menuntut jawaban.Sean tidak akan memaafkan siapa pun yang sudah menyakiti April. Cukup sebutkan satu nama, pasti Sean akan membalas orang itu
"Mo-Monna!"April benar-benar tidak percaya saat ini ia melihat saudara angkatnya sedang berada di rumah Erik dengan tubuh terbungkus selimut putih yang April yakini pasti di baliknya Monna tidak mengenakan pakaian sama sekali."Ini maksudnya apa, Rik?" ucap April menuntut jawaban kepada Erik yang hanya diam di depannya."Kamu main gila sama adik sepupuku sendiri?!"Napas April memburu, tangannya mengepal erat-erat.Dia seolah tidak dapat membedakan apakah ini semua nyata atau tidak."Yaudahlah, Beb. Dia udah telanjur tahu sekalian aja kamu jelasin ke dia kalau kita udah pacaran," sela Monna dengan sambil melenggang mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu Erik."Kalian bener-bener selingkuh di belakang aku?!"April tak habis pikir. Kalau Erik niat berselingkuh kenapa tidak dengan wanita lain saja selain Monna? Sampai-sampai adik dari pacarnyadiembatjuga.Erik mengusap pelan tengkuk belakangnya. Dari