"Apa yang akan dia lakukan?" Reta menggerutu kesal.Jujur saja, Reta tidak mempermasalahkan tindakan Vanya. Mentari pantas mendapatkan hal itu. Enam tahun lalu Reta sebenarnya tidak ingin mengalah. Namun, dia lebih tidak ingin Ranggi tetap berhubungan dengan Mentari. Reta sengaja memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memisahkan Ranggi yang sudah cinta mati kepada Mentari.Dengan susah payah Reta menahan hasrat balas dendamnya. Mentari justru kembali muncul, meskipun kata Sasi, mereka mendaftarkan anaknya ke sekolah yang sama dengan Danta hanyalah kebetulan. Bisa saja, kan, mereka sengaja? Pengganggu tetaplah pengganggu."Mukamu menyeramkan, Sensei. Murid-muridmu ketakutan nanti."Reta seketika menoleh pada pria yang baru datang. Dia adalah Emir, seniornya di tempat belajar karate dulu. Jika Reta sering menyumbangkan piala dari sektor putri, maka Emir rajanya dari sektor putra. Saat ini keponakan pria itu menjadi salah satu anak didik Reta. Emir juga calon adik ipar dari Xavier, sahab
"Kalian saling mengenal?" tanya Bentala seraya menatap Sasi dan Emir bergantian.Sasi menggeleng. "Tidak. Tadi pagi aku dan Bunda ke rumahnya.""Oh, yang mau hajat itu?""Kita juga sempat bertemu di dojo kemarin," ucap Emir. Dia lantas bertanya, "Apa ada saudaramu yang belajar karate di sana?""Tidak," jawab Sasi malas."Mau apa kamu ke tempat belajar karate, Nak?"Inilah yang membuat Sasi malas. Bentala pasti akan menceramahinya jika tahu Sasi menemui Reta, apalagi sampai menantangnya. "Tidak ada apa-apa, Yah. Sekadar lewat saja.""Masa? Aku tidak sengaja memergokimu sedang berdebat dengan guru di sana."Sasi seketika memicing sinis kepada pria tukang ikut campur itu. Menyebalkan sekali."Berdebat?" Bentala beralih kepada Emir, meminta penjelasan lebih."Iya, Pak. Kebetulan saya sedang mengantar keponakan saya ke sana, lalu saya melihat putri Bapak sedang beradu argumen dengan salah satu guru. Namanya Reta."Ah! Sasi menepuk jidat. Dia lantas pura-pura mengalihkan pandangan. "Pertand
Emir bilang dia melihat vidio resepsi Ranggi dan Mentari. Ranggi sendiri melihat bayangan Mentari menjadi seorang pengantin. Namun, orang-orang terdekatnya termasuk Xavier yang sangat dia percaya mengatakan, Ranggi tidak jadi menikahi Mentari karena perempuan itu memilih ayahnya Sasi. Faktanya, saat ini Mentari seorang ibu tunggal."Mungkin sudah bercerai dengan ayahnya Sasi," batin Ranggi.Akan tetapi, percakapan yang Ranggi dengar seperti mengarah jika Bentala bukan ayah dari Rai, bocah yang sejak kelahirannya menarik perhatian Ranggi. Bocah yang selama enam tahun ini selalu membuat Ranggi penasaran akan perkembangannya."Mbak Tari memintaku memberi nama untuk Rai."Sejak awal Ranggi merasa aneh. Hubungan mereka memburuk karena masa lalu, juga upaya balas dendam yang membahayakan Sasi. Namun, kenapa Mentari sampai menyuruh Ranggi ikut menyumbang nama kepada anaknya hanya karena ingin berterima kasih? Bukankah hal itu sedikit berlebihan untuk kedua kubu yang bermusuhan?Ranggi bangkit
"Bunda! Bunda! Ada yang mengaku jadi ayahku." Rai menggoyangkan kardigan yang Mentari kenakan.Mentari yang sedang membuat adonan bolu untuk pesanan tetangga seketika menunduk, menatap putranya. "Apa?"Rai mengangguk cepat. "Om-om yang waktu di TK."Perempuan itu membelalak. Refleks dia mengatakan, "Ranggi?""Iya! Om Ranggi. Nama depan om itu mirip kayak nama aku. Katanya dia juga yang kasih aku nama. Benar, Bunda?"Mentari menelan ludah. Ranggi sudah tahu? Apa ingatannya sudah kembali? Mentari mendadak gemetar. Entah dia harus merasa sedih atau bagaimana."Ka-kapan om itu bilang ke kamu?" tanyanya."Barusan. Omnya juga ada di depan."Mentari lekas mencuci tangan, kemudian memakai kerudung. Dia nyaris terjatuh karena menginjak ujung rok yang dia kenakan akibat berjalan terlalu cepat. Namun, begitu tiba di depan pintu, Mentari mendadak bergeming.Perempuan itu mengatur napas. Dia dan Ranggi sudah bukan pasangan suami istri lagi. Mentari harus bisa mengendalikan diri. Ada batasan-batasa
"Beraninya kamu bertindak tanpa sepengetahuanku, Van! Apa maksudnya kamu menyebarkan masa lalu Mbak Tari ke orang tua anak TK?" tanya Ranggi marah."Aku cuma mau mereka berhati-hati agar kejadian yang menimpa Kak Suri tidak terjadi lagi," sahut Vanya.Ranggi sontak mengetatkan rahang. "Manusia seperti kamu inilah yang membuat orang-orang tidak jadi bertaubat! Mau disebut anak buah iblis kamu? Kayak sendirinya paling suci saja."Vanya melebarkan mata. "Kamu tega banget bilang aku seperti itu.""Terus apa?" Ranggi sama sekali tidak merasa bersalah karena sudah berkata cukup kasar. Dia benar-benar kesal karena tindakan Vanya berdampak juga pada Rai."Kenapa Om membela pelakor itu sampai segininya?" Reta yang memang sedang di rumah Ranggi segera melibatkan diri."Rai dijauhi anak-anak lain karena Vanya!" Ranggi sampai menunjuk perempuan itu saking tidak bisa menahan emosi. "Bagaimana jika psikis Rai terganggu?""Bukan karena Kak Vanya, tapi karena pelakor itu sendiri. Psikisku juga tergan
"Mari kita membuka lembaran baru, Mbak, menjauhi hal-hal yang hanya menghalangi kita bahagia."Ucapan Ranggi masih terngiang dengan jelas. Tampaknya memang menggiurkan. Mengasingkan diri bersama ke suatu tempat yang jauh. Mungkin tidak akan ada lagi pengganggu. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan jika Ranggi tidak memiliki Vanya dan anaknya yang lain. Terlepas dari perasaan pria itu kepada Vanya, kedudukan seorang istri jelas jauh lebih utama daripada Mentari yang sudah bukan siapa-siapa.Mentari tidak ingin mengulangi kisah yang sama, meskipun kasus yang dia hadapi saat ini berbeda. Cukup Reta yang dia ubah menjadi seorang pendendam. Jangan ada anak lain."Bun.""Bundaaaa."Ah! Mentari seketika terperanjat. Dia lantas menoleh putrinya yang sedang menatap sambil menggeleng pelan."Pasti Bunda melamunkan Om Ranggi," ucap Sasi.Mentari tersenyum simpul. "Ada apa, Bulanku?""Cuma mau mengingatkan kalau besok kita harus mengirim orderan Bu Lova yang fruit honey mousse cream.""Oh, iya, b
Danta memiliki intoleransi laktosa yang membuatnya tidak memakan atau minum produk-produk olahan susu. Namun, pagi tadi, Vanya teledor membiarkannya mencoba salad buah dengan campuran mayones, yoghurt, dan keju. Kontan saja hal itu mengakibatkan Danta diare, sampai muntah.Tanpa berpikir panjang Ranggi langsung membawa Danta ke rumah sakit. Sekarang dia sudah diobati. Akan tetapi, tidak ingin Ranggi tinggal pergi. Memang seperti itu jika Danta sedang sakit.Ranggi menghela napas resah. Hari sudah semakin siang. Rai pasti menunggunya."Sudah tahu anak tidak bisa makan olahan susu, masih dikasih juga," gerutu Ranggi.Vanya yang berada di sisi lain langsung menyahut, "Namanya juga lupa," ucapnya tidak terima disalahkan. "Kamu kayak tidak pernah bikin salah saja."Kronologi sebenarnya, Vanya yang sedang memakan salad buah itu. Danta kemudian ingin mencicipi. Vanya yang katanya lupa soal kondisi Danta, justru membiarkan anak itu memakannya. Karena suka, Danta menyantap salad sampai habis. V
"Calon istri? Serius?" Reta ikut pergi dari kedai es krim tersebut bersama Emir dan Khaira."Serius." Khaira yang menjawab."Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Emir. Kamu tidak tahu siapa dia dan keluarganya," ucap Reta.Perihal perjodohan tidak pernah dibahas lagi di rumah. Lagi pula, hal itu hanya candaan Chloe kakak sepupu Emir. Dia sendiri terkejut saat Khaira memanggil Sasi sebagai calon istrinya. Namun, mendengar ucapan Reta, pria itu jadi penasaran."Memangnya siapa mereka?" tanya Emir."Ibunya itu pelakor," jawab Reta. Sorot matanya menajam menyiratkan kebencian."Pelakor itu apa?" Khaira menyeletuk.Emir membelalak, tersadar masih bersama keponakannya. "Petani pakai kolor," sahut Emir asal.Anak itu mengangguk. "Oh.""Kalau kamu mau tahu lebih lanjut soal keluarga mereka, aku tidak keberatan menjelaskan," kata Reta.Emir sebetulnya bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi, entah kenapa, sejak mendengar Bentala menyebut Reta seorang psikopat, Emir sediki
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka