"Mari kita membuka lembaran baru, Mbak, menjauhi hal-hal yang hanya menghalangi kita bahagia."Ucapan Ranggi masih terngiang dengan jelas. Tampaknya memang menggiurkan. Mengasingkan diri bersama ke suatu tempat yang jauh. Mungkin tidak akan ada lagi pengganggu. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan jika Ranggi tidak memiliki Vanya dan anaknya yang lain. Terlepas dari perasaan pria itu kepada Vanya, kedudukan seorang istri jelas jauh lebih utama daripada Mentari yang sudah bukan siapa-siapa.Mentari tidak ingin mengulangi kisah yang sama, meskipun kasus yang dia hadapi saat ini berbeda. Cukup Reta yang dia ubah menjadi seorang pendendam. Jangan ada anak lain."Bun.""Bundaaaa."Ah! Mentari seketika terperanjat. Dia lantas menoleh putrinya yang sedang menatap sambil menggeleng pelan."Pasti Bunda melamunkan Om Ranggi," ucap Sasi.Mentari tersenyum simpul. "Ada apa, Bulanku?""Cuma mau mengingatkan kalau besok kita harus mengirim orderan Bu Lova yang fruit honey mousse cream.""Oh, iya, b
Danta memiliki intoleransi laktosa yang membuatnya tidak memakan atau minum produk-produk olahan susu. Namun, pagi tadi, Vanya teledor membiarkannya mencoba salad buah dengan campuran mayones, yoghurt, dan keju. Kontan saja hal itu mengakibatkan Danta diare, sampai muntah.Tanpa berpikir panjang Ranggi langsung membawa Danta ke rumah sakit. Sekarang dia sudah diobati. Akan tetapi, tidak ingin Ranggi tinggal pergi. Memang seperti itu jika Danta sedang sakit.Ranggi menghela napas resah. Hari sudah semakin siang. Rai pasti menunggunya."Sudah tahu anak tidak bisa makan olahan susu, masih dikasih juga," gerutu Ranggi.Vanya yang berada di sisi lain langsung menyahut, "Namanya juga lupa," ucapnya tidak terima disalahkan. "Kamu kayak tidak pernah bikin salah saja."Kronologi sebenarnya, Vanya yang sedang memakan salad buah itu. Danta kemudian ingin mencicipi. Vanya yang katanya lupa soal kondisi Danta, justru membiarkan anak itu memakannya. Karena suka, Danta menyantap salad sampai habis. V
"Calon istri? Serius?" Reta ikut pergi dari kedai es krim tersebut bersama Emir dan Khaira."Serius." Khaira yang menjawab."Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Emir. Kamu tidak tahu siapa dia dan keluarganya," ucap Reta.Perihal perjodohan tidak pernah dibahas lagi di rumah. Lagi pula, hal itu hanya candaan Chloe kakak sepupu Emir. Dia sendiri terkejut saat Khaira memanggil Sasi sebagai calon istrinya. Namun, mendengar ucapan Reta, pria itu jadi penasaran."Memangnya siapa mereka?" tanya Emir."Ibunya itu pelakor," jawab Reta. Sorot matanya menajam menyiratkan kebencian."Pelakor itu apa?" Khaira menyeletuk.Emir membelalak, tersadar masih bersama keponakannya. "Petani pakai kolor," sahut Emir asal.Anak itu mengangguk. "Oh.""Kalau kamu mau tahu lebih lanjut soal keluarga mereka, aku tidak keberatan menjelaskan," kata Reta.Emir sebetulnya bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi, entah kenapa, sejak mendengar Bentala menyebut Reta seorang psikopat, Emir sediki
"Aku kangen Bundaaa," teriak Rai sambil berlari kecil dan membentangkan kedua tangan. Dia langsung memeluk erat Mentari.Mentari menghela napas lega saat Ranggi mengantar Rai pulang padanya. Pria itu memang sudah meminta izin akan membawa Rai menemui Danta. Mentari tidak melarang. Namun, dia tidak menyangka akan sampai malam.Mentari sempat berpikir Rai hendak menginap, makanya dia khawatir. Selain Rai yang sulit tidur di tempat asing, di sana juga ada Vanya yang pasti tidak menyukai keberadaan anak itu."Bunda juga kangen kamu, Rai," balas Mentari seraya mengusap bagian belakang kepala anak itu.Perhatian Mentari kemudian beralih pada Ranggi yang menenteng tas mungil milik Rai. "Rai merengek ingin pulang, padahal aku dan Danta berharap dia bermalam di sana," ujar pria itu, "Danta senang punya saudara.""Aku tidak bisa tidur tanpa Bunda," kata Rai. Pelukannya pada pinggang Mentari semakin erat.Rai memang masih tidur dengan Mentari. Jika usianya sudah menginjak tujuh tahun dan masuk S
Mentari senantiasa menasihati Sasi agar menolak secara baik-baik lelaki yang menyatakan cinta kepadanya. Sasi menurut. Gadis itu sering beralasan belum ingin berhubungan asmara dengan siapa pun karena memprioritaskan pendidikan. Cara ini biasanya efektif memukul mundur tanpa harus menyinggung apalagi merendahkan mereka yang mengajak Sasi pacaran. Namun, akan selalu ada pengecualian."Jawaban klise," ucap seorang pria yang mengaku bernama Jaki. Katanya dia senior Sasi di kampus. Entahlah. Sasi sama sekali tidak mengenalnya."Kalau kamu memang tidak suka, bilang saja tidak suka," sambung Jaki sedikit sinis."Aku memang tidak menyukaimu," batin Sasi. Sasi bahkan baru melihatnya hari ini. Bagaimana mungkin Sasi menerimanya?Sasi menghela napas. Jangan sampai dia terpancing emosi. "Aku memang tidak tertarik pacaran, Kak. Masih banyak hal yang harus diutamakan," sahut Sasi, berusaha sesantai mungkin."Halah! Aku tahu kamu jual mahal karena sok cantik. Merasa laku kamu, ya?" Jaki malah menud
Sasi pamit pulang beberapa detik setelah Reta bergabung bersamanya. Aura permusuhan memang terpancar dari sorot tajam keduanya yang sempat berserobok pandang. Sang pemilik rumah sampai menahan napas karena tegang, khawatir akan ada pertikaian. Namun, beliau bersyukur tidak terjadi apa-apa. Sasi pergi dengan tenang, meskipun wajahnya diliputi kemarahan.Perempuan paruh baya itu lantas beralih pada tamu yang satunya. "Kamu mau menjenguk Emir? Anaknya ada di atas. Mungkih masih tidur," ucap Lova.Akan tetapi, Reta justru merespons hal lain. "Apa yang dia lakukan di sini, Tante?""Maksud kamu Sasi? Dia hanya mengantar dessert," jawab Lova."Aku sudah mengatakan ini ke Emir, kalau kalian sebaiknya berhati-hati kepada dia dan keluarganya."Lova sudah tahu alasan Mentari dan Reta berselisih. Dia sama sekali tidak ingin berkomentar karena bukan urusannya. Emir sendiri mewanti-wanti untuk menjaga jarak agar keluarga mereka tidak terlibat pertikaian. Lova hanya akan bersikap netral."Terima kas
Sasi tidak bisa berhenti menangis, apalagi setelah mengetahui kondisi Emir. Pria itu terkena siraman air keras yang membuat sebagian wajahnya terluka cukup parah. Dia memang sempat mendapat pertolongan pertama. Bentala langsung membantunya membasuh area luka dengan air mengalir saat menunggu ambulans. Namun, dampak air keras tersebut tetap merusak paras tampan Emir."Seharusnya aku yang kena," ucap Sasi kepada keluarga Emir. "Kalau Emir tidak menolongku, dia pasti tidak akan seperti ini," sambung gadis itu. Air matanya bertambah deras.Rasa bersalah Sasi memang menganga sangat besar. Emir sama sekali tidak memiliki masalah dengan Jaki. Sejak awal Sasi-lah yang menjadi target pria gila itu."Nak, kamu tidak perlu bersimpuh," kata ayahnya Emir, "Ini musibah kita bersama.""Benar." Kakak pertama Emir yang bernama Almaira ikut berkomentar seraya menarik Sasi agar kembali berdiri. Perempuan itu lantas mengelus punggung Sasi. "Jangan menyalahkan diri sendiri. Kesalahan ada di pelaku.""Tapi
"Aku turut berduka, Emir," ucap Reta yang datang menjenguk.Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menemui Emir tergantung izin darinya. Reta dipersilakan karena Emir yakin Reta tidak akan banyak bicara kepada tentang kondisinya kepada orang lain, apalagi wartawan."Hmmm." Emir hanya merespons berupa gumaman."Kamu seperti ini karena menolong Sasi. Sangat disayangkan," kata Reta."Jangan ingatkan aku tentang hal itu!" Akhirnya Emir bersuara. Emir memang menyesali perbuatan heroiknya. Jika dia tidak menolong Sasi, mungkin sebagian wajah Emir tidak akan rusak yang membuatnya enggan becermin."Keluarga mereka memang pembawa sial," ujar Reta."Tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang membawa kesialan, Reta." Sang mama yang memang selalu berada di sisi Emir ikut berkomentar. "Takdir baik dan buruk sudah ada catatannya masing-masing, termasuk apa yang menimpa Emir. Tidak perlu menyalahkan Sasi," sambung beliau.Mamanya memang orang yang terlalu positif. Beliau selalu menasihati E
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka