Sepeninggal Athar dan Anita, aku memutuskan untuk merebahkan diri karena rasa lelah yang menyiksa selepas perjalanan. Namun, alih-alih tertidur aku malah merasa sepi, sedih dan hampa. Mungkin ini karena aku hanya sendirian berada di kamar Athar yang cukup mewah tapi minimalis ini.Aku mendesah seraya memandang langit-langit kamar. Pikiranku melanglang buana ke semua hal, dari mulai teringat Mamah sampai ke memikirkan pekerjaan yang telah lama dilupakan karena aku sedang berduka.Agh, aku benci jadi kesepian dan menyesal merelakan Athar pergi bersama Anita yang telah merebut suamiku.Seharusnya aku larang saja Athar, dibanding aku yang merana. Dasar bodoh! Dasar lemah! Benar kata sahabatku Kiki yang kini sedang ada di luar pulau, bisa jadi hatiku terlalu surabi buat hati Anita yang Dunkin Donut. Aku yang gak tega melihatnya kesakitan, memilih menjadi kesepian.Akibat tak tahan lagi, akhirnya aku duduk sembari menghembuskan napas berat. Kulirik jam dinding yang menunjukan jam 12.00 sian
Jangan coba-coba berurusan dengan pelakor. Itulah yang selalu didendangkan Mamah selama dia masih hidup. Almarhumah Mamah bercerita dulu, Mamah pun hampir bernasib sepertiku tapi beruntung Bapak masih kuat iman.Tadinya aku pikir, seorang Kania gak bakal diganggu oleh pelakor tapi ternyata oh ... ternyata. Bukan hanya suami pertamaku yang direbut pelakor kini suami keduaku pun takdirnya malah menjadi adik tiri dari si pelakor. Lucu bukan? Ya, sangat lucu siapa sangka Anita hanyalah anak dari lelaki lain yang dibawa Bu Maryam. Dulu, aku mengira Anita adalah kakak kandung tapi untungnya dia hanya kakak tiri yang sepantasnya harus aku labrak. Sheh! Emang Anita itu wanita gila! Udah jelas-jelas tadi yang mencoba memelukku adalah Hans, dia malah gak percaya dan malah menghinaku secara kejam."Aku benci. Benci!"Saat tengah misuh-misuh sambil berurai air mata di kamar akibat kejadian tidak menyenangkan tadi siang di dapur, tetiba seseorang membuka pintunya."Kenapa Mbak? Kok, nangis?" tany
Sejak awal aku memang tidak berharap bahwa pernikahanku dengan Athar akan gemah, ripah dan loh jinawi. Namun, aku juga tidak berharap kalau masalahnya bakalan seribet ini. Terutama setelah hadirnya Clara yang datang dengan penuh drama dan air mata buaya. Sesuai dugaan dia langsung mendominasi permainan di rumah ini. Bahkan aku dan Athar yang berencana keluar pun harus mengikuti alurnya. Jadi ... ya sudah, kami tidak jadi pergi ke kota atau sekedar jajan di emperan. Setelah kedatangan Clara posisiku jadinya tersudut karena wanita cantik berambut ikal itu merebut perhatian semua orang tak terkecuali Athar. Walau hanya menatap datar pada Clara tapi aku tahu lelaki itu cukup perhatian. Itu terlihat dari bagaimana dia menyimak semua perkataan Clara yang sedang mengobrol dengan Bu Maryam dan Anita. Lalu, di mana Hans? Ah, entah aku tak perduli. Lagian, ada bagusnya pasangan iblis itu gak barengan kayak gini, bisa-bisa aku keki akibat kejadian di dapur tadi.Huft! Tenang, Kania! Tenang. Ja
Kupandangi wajahku di cermin dengan pasrah. Masih tak menyangka, bahwa tadi aku dan Athar hampir saja berciuman. Amsyong, sungguh amsyong! Hanya gara-gara dua ekor curut yang gak ada akhlak akhirnya kami harus berakhir dengan saling memendam gondok. Andai. Aku gak begitu parno sama hewan bercicit itu mungkin sekarang aku dan Athar sudah ... ah! Sudah, sudah Kania! Oh ya Allah, mau ditaruh di mana coba mukaku ini?Jujur saja, akibat tragedi di gudang tadi yang memalukan pikiranku serasa terkotori.Setiap mau melakukan sesuatu, anehnya benakku selalu saja teringat pada adegan Athar yang sudah siap melahap bibirku.Oh Tuhan! Entah apa yang merasukiku, hingga gara-gara itu di setiap sudut kamar ini aku hanya terbayang wajah Athar yang lagi 'nganu'. Kenapa coba Athar melakukan itu? Apa dia benar-benar mau menciumku? Atau hanya terbawa suasana? Padahal kan kami juga belum saling menyatakan cinta.Duh.Aku tidak tahu harus bagaimana menunjukan sikap jika Athar pulang ke kamar selepas meny
Jantan. Mungkin itulah satu kata yang bisa melukiskan sikap Athar saat ini. Setelah adegan kekacauan yang kubuat Athar berinisiatif mengajakku pergi menjauh dari rumah peninggalan bapaknya memakai motor Ducati yang sudah ia parkir di depan rumah.Dengan perasaan tak menentu, aku naik ke motor Athar. Secara perlahan, aku mencengkram ujung jaket Athar seolah sedang mencari kekuatan. Kuakui, malam ini hatiku teramat sedih dan tidak tahu harus menunjukannya seperti apa.Athar melirikku sekilas lewat spion. "Kita berangkat, ya?" ajaknya.Aku mengangguk dan motor pun melaju meninggalkan rumah megah nan pongah itu. Setelah setengah jam berlalu, tiba-tiba motornya berhenti di depan sebuah penjaja angkringan di sisi jalan yang nggak begitu ramai. Tumben. Ada angkringan di sini, aku kira hanya di daerah Geger Kalong saja bisa menemukan sate telur puyuh, nasi kucing dll."Kita makan dulu," ujarnya seraya memberi kode padaku untuk turun. "Mbak, lapar, kan?" "Lapar. Ayo!"Aku mengangguk menyetuj
Baper setengah mati pun nggak ada gunanya di depan Athar. Dia tetap cengengesan seolah apa yang dia katakan tentang 'buat anak' itu adalah hal yang biasa dan bukan istimewa. Aku kembali mendengkus ketika mengingat ucapannya beberapa saat yang lalu. "Bercanda kali Mbak, jangan sampai syok gitu. Ya ... kecuali kalau Mbak mau. Saya mah ayo aja. Seneng malah."Begitulah, jawaban Athar saat aku terkejut karena mendengarnya mengatakan mau buat keturunan malam ini.Nyebelin banget, kan? Emang! Dasar perjaka sok ganteng! Bisa-bisanya dia menggoda mantan janda.Namun, sebagai janda berpengalaman sepertinya aku harus sudah tahan bantingan. Biar harapanku gak pupus sebelum bermekaran.Aku harus melupakannya!Supaya tidak terlalu menyikapi berlebihan tingkah ajaib Athar, aku memutuskan untuk mengabaikan perasaan aneh ini dan membersihkan diri lebih dulu. Setelah berganti baju dan membereskan barang, kuputuskan untuk sedikit menikmati suasana kamar dalam kesendirian sebelum Athar selesai mandi.
Aku berjalan gontai dan lemah begitu sampai ke lantai lima belas, di mana di sinilah ruangan tempat Athar memanggilku berada. Entah apa yang diinginkan Athar, tapi kurasa sudah sepantasnya aku bersikap profesional. Tidak lagi menghindarinya atas dasar masalah pribadi.Honestly.Melihat kemarahan Athar, hatiku begitu berkecamuk dan gugup untuk bertemu dengannya. Aku takut Athar akan mempermasalahkan persoalan semalam. Bagaimana jika dia bertanya? Atau haruskah aku jujur mengenai kekuranganku yang tak bisa berhubungan selayaknya suami-istri? Oh Tuhan. Aku sungguh tidak mau mengecewakannya. "Ya Allah bantu aku. Redakan kemarahan suamiku." Aku terus memikirkan tentang lelaki itu sambil mencari keberadaannya. Dengan gerakan slow motion kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mencari ruangan yang diinfokan oleh Athar. Katanya dia berada di ruang meeting XV, tapi aneh sejauh memandang tak kutemukan ruangan tersebut. Berhubung ini kali pertama menjejakkan kaki di lantai khusus para
Aku tahu, rasanya tidak dipercaya sama orang yang kita cintai itu sangat menyakitkan. Hingga perasaan trauma itu sangat membekas apalagi jika berkenaan dengan orang ketiga. Tanpa disadari, jiwaku selalu ingin memberontak dan tidak mau bersinggungan. Masih teringat jelas di saat dulu aku hampir depresi akibat Hans lebih percaya Anita dibanding aku yang notabene istri sah. Hans yang terus membela Anita meski saat itu Anita-lah yang salah. Dan bukan Hans saja, tapi hampir semua keluarga Hans mendukung Anita ketika Hans dan Anita ketahuan berselingkuh.Jujur. Itu adalah babak paling hancur yang pernah ada dalam hidupku dan aku tidak mau menjadi sampah lagi untuk meminta belas kasihan dan pembelaan. Sial-sial, kejadian itu terulang lagi tapi bukan Anita yang jadi lawanku tapi Clara. Haruskah aku terus jadi wanita korban playing victim seperti ini? Haruskah aku terluka untuk kesekian kali?Aku mengangkat kepala, menatap langit-langit ruangan berukuran 4x5 yang merupakan ruang kerja raha