Kupandangi wajahku di cermin dengan pasrah. Masih tak menyangka, bahwa tadi aku dan Athar hampir saja berciuman. Amsyong, sungguh amsyong! Hanya gara-gara dua ekor curut yang gak ada akhlak akhirnya kami harus berakhir dengan saling memendam gondok. Andai. Aku gak begitu parno sama hewan bercicit itu mungkin sekarang aku dan Athar sudah ... ah! Sudah, sudah Kania! Oh ya Allah, mau ditaruh di mana coba mukaku ini?Jujur saja, akibat tragedi di gudang tadi yang memalukan pikiranku serasa terkotori.Setiap mau melakukan sesuatu, anehnya benakku selalu saja teringat pada adegan Athar yang sudah siap melahap bibirku.Oh Tuhan! Entah apa yang merasukiku, hingga gara-gara itu di setiap sudut kamar ini aku hanya terbayang wajah Athar yang lagi 'nganu'. Kenapa coba Athar melakukan itu? Apa dia benar-benar mau menciumku? Atau hanya terbawa suasana? Padahal kan kami juga belum saling menyatakan cinta.Duh.Aku tidak tahu harus bagaimana menunjukan sikap jika Athar pulang ke kamar selepas meny
Jantan. Mungkin itulah satu kata yang bisa melukiskan sikap Athar saat ini. Setelah adegan kekacauan yang kubuat Athar berinisiatif mengajakku pergi menjauh dari rumah peninggalan bapaknya memakai motor Ducati yang sudah ia parkir di depan rumah.Dengan perasaan tak menentu, aku naik ke motor Athar. Secara perlahan, aku mencengkram ujung jaket Athar seolah sedang mencari kekuatan. Kuakui, malam ini hatiku teramat sedih dan tidak tahu harus menunjukannya seperti apa.Athar melirikku sekilas lewat spion. "Kita berangkat, ya?" ajaknya.Aku mengangguk dan motor pun melaju meninggalkan rumah megah nan pongah itu. Setelah setengah jam berlalu, tiba-tiba motornya berhenti di depan sebuah penjaja angkringan di sisi jalan yang nggak begitu ramai. Tumben. Ada angkringan di sini, aku kira hanya di daerah Geger Kalong saja bisa menemukan sate telur puyuh, nasi kucing dll."Kita makan dulu," ujarnya seraya memberi kode padaku untuk turun. "Mbak, lapar, kan?" "Lapar. Ayo!"Aku mengangguk menyetuj
Baper setengah mati pun nggak ada gunanya di depan Athar. Dia tetap cengengesan seolah apa yang dia katakan tentang 'buat anak' itu adalah hal yang biasa dan bukan istimewa. Aku kembali mendengkus ketika mengingat ucapannya beberapa saat yang lalu. "Bercanda kali Mbak, jangan sampai syok gitu. Ya ... kecuali kalau Mbak mau. Saya mah ayo aja. Seneng malah."Begitulah, jawaban Athar saat aku terkejut karena mendengarnya mengatakan mau buat keturunan malam ini.Nyebelin banget, kan? Emang! Dasar perjaka sok ganteng! Bisa-bisanya dia menggoda mantan janda.Namun, sebagai janda berpengalaman sepertinya aku harus sudah tahan bantingan. Biar harapanku gak pupus sebelum bermekaran.Aku harus melupakannya!Supaya tidak terlalu menyikapi berlebihan tingkah ajaib Athar, aku memutuskan untuk mengabaikan perasaan aneh ini dan membersihkan diri lebih dulu. Setelah berganti baju dan membereskan barang, kuputuskan untuk sedikit menikmati suasana kamar dalam kesendirian sebelum Athar selesai mandi.
Aku berjalan gontai dan lemah begitu sampai ke lantai lima belas, di mana di sinilah ruangan tempat Athar memanggilku berada. Entah apa yang diinginkan Athar, tapi kurasa sudah sepantasnya aku bersikap profesional. Tidak lagi menghindarinya atas dasar masalah pribadi.Honestly.Melihat kemarahan Athar, hatiku begitu berkecamuk dan gugup untuk bertemu dengannya. Aku takut Athar akan mempermasalahkan persoalan semalam. Bagaimana jika dia bertanya? Atau haruskah aku jujur mengenai kekuranganku yang tak bisa berhubungan selayaknya suami-istri? Oh Tuhan. Aku sungguh tidak mau mengecewakannya. "Ya Allah bantu aku. Redakan kemarahan suamiku." Aku terus memikirkan tentang lelaki itu sambil mencari keberadaannya. Dengan gerakan slow motion kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mencari ruangan yang diinfokan oleh Athar. Katanya dia berada di ruang meeting XV, tapi aneh sejauh memandang tak kutemukan ruangan tersebut. Berhubung ini kali pertama menjejakkan kaki di lantai khusus para
Aku tahu, rasanya tidak dipercaya sama orang yang kita cintai itu sangat menyakitkan. Hingga perasaan trauma itu sangat membekas apalagi jika berkenaan dengan orang ketiga. Tanpa disadari, jiwaku selalu ingin memberontak dan tidak mau bersinggungan. Masih teringat jelas di saat dulu aku hampir depresi akibat Hans lebih percaya Anita dibanding aku yang notabene istri sah. Hans yang terus membela Anita meski saat itu Anita-lah yang salah. Dan bukan Hans saja, tapi hampir semua keluarga Hans mendukung Anita ketika Hans dan Anita ketahuan berselingkuh.Jujur. Itu adalah babak paling hancur yang pernah ada dalam hidupku dan aku tidak mau menjadi sampah lagi untuk meminta belas kasihan dan pembelaan. Sial-sial, kejadian itu terulang lagi tapi bukan Anita yang jadi lawanku tapi Clara. Haruskah aku terus jadi wanita korban playing victim seperti ini? Haruskah aku terluka untuk kesekian kali?Aku mengangkat kepala, menatap langit-langit ruangan berukuran 4x5 yang merupakan ruang kerja raha
POV AuthorKania membersihkan rumahnya dengan perasaan yang tak menentu, dia bahkan mengambil alih tugas Bik Imas saking gabutnya. Entah mengapa usai Athar pergi menghadiri undangan makan malam di rumah Clara, sejak tadi hatinya tak tenang seolah dicampur-adukkan oleh sesuatu. Gadis itu tidak bisa memungkiri kalau hatinya cemburu juga ragu ketika mengingat kalau Athar akan cukup lama berada di rumah Clara. Kejadian di mana Clara menyiramkan kopi dan membuat pertengkaran dengannya cukup bikin Kania ragu bahwa gadis itu tidak akan menggoda suaminya.Setelah bersih-bersih sembari melamunkan Athar dalam kegelisahan selama satu jam, akhirnya Kania memutuskan untuk beristirahat di kamar. Sambil merebahkan diri di kamar, dalam hati gadis cantik itu terus bertanya-tanya. Apa Athar sudah tiba di rumah Clara? Gimana makan malamnya? Apa misinya berhasil? Dan banyak lagi kekhawatiran Kania lainnya.Jenuh. Dalam suasana kamar yang begitu hening, Kania mengambil ponselnya untuk kembali membaca pe
Kania terperanjat saat melihat Athar pulang dengan tatapan mata yang begitu sayu. Lelaki yang katanya mau menunaikan misi itu malah pulang dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Semalaman di luar nyatanya membuat tampilan Athar teramat kusut di pandangan Kania yang telah mencemaskannya.Tentu pemandangan ini membuat Kania bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada suaminya? Kenapa pulang dari rumah Clara jadi seperti ini? Berbagai macam pertanyaan dan hipotesis mulai muncul di benak Kania. Namun, sayangnya belum juga itu terjawab, Athar sudah lebih dulu berjalan masuk melewati istrinya dengan tatapan kemarahan. Lelaki itu mengarahkan kakinya ke dapur meninggalkan Kania yang masih melongo kebingungan. "Thar, kenapa? Kamu haus?" kejar Kania cemas. Athar tak mengindahkan pertanyaan Kania. Athar lebih fokus untuk membuka kulkas untuk mengambil botol minum berisi air es dan lalu meminumnya hingga tandas. Akan tetapi, meski sudah beberapa kali menegak minuman sialnya rasa panas yang membakar tu
POV AuthorMata Athar mengerjap pelan ketika dia melihat tubuh atas Kania yang ter-ekspos setelah istrinya tersebut menanggalkan baju piyama. Ini untuk pertama kalinya Kania berani membuka pakaiannya di depan Athar. Melihat pemandangan ekslusif ini, Athar tidak menyangka kalau Kania memiliki banyak luka di sana sini, ada luka pukulan sampai goresan semua ada. Athar yakin semua itu bukti kekerasan Hans yang entah mengapa belum sembuh walau sudah sekian lama berlalu. Sebaliknya, Kania pun terkejut melihat penampakan punggung Athar yang kini bisa dilihatnya dengan jelas. Jujur. Kania tidak menyangka kalau Athar juga memliki bekas luka bakar di tubuhnya. Kata Athar itu terjadi karena dulu almarhum bapaknya sempat memukulinya karena berani menantang Bu Maryam. Mereka pun saling iba terhadap kondisi masing-masing dan berjanji akan saling melindungi, walau tidak terucap secara langsung."Mbak, kenapa Mbak gak pernah bilang kalau punya luka seberat ini? Ini harus divisum Mbak. Kita harus m