Sinar matahari menembus jendela, menyinari ruangan dengan cahaya hangat yang terang dan indah.Di bawah sinar matahari, wajah Tiffany yang merah akibat mabuk terlihat semakin menawan.Sean menyimpan rekaman di ponselnya. Dengan puas, dia menatapnya sambil tersenyum, "Kamu bilang aku orang baik. Apa itu pujian darimu?"Tiffany tertegun sejenak, lalu buru-buru menggeleng. "Nggak ... bukan begitu. Aku benar-benar merasa kamu sangat baik. Kalau bukan karena kamu ...."Wanita itu menatap wajah Sean dengan tatapan linglung. Senyumannya begitu polos. "Kalau nggak ada kamu, aku benaran nggak tahu harus gimana hari ini .... Selain itu ...."Dia mengambil botol anggur, menuang segelas penuh, lalu meneguknya habis. "Tanpamu, aku nggak akan berpikir sejauh ini, nggak akan menyadari Bu Filda bisa melakukan hal seperti itu ...."Usai berbicara, Tiffany menatap Sean lagi, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah tampan pria itu. "Sean, kamu ini malaikat ya?""Kenapa ... setiap kali kamu muncu
"Ya, ini aku." Sean berbicara dengan tenang, "Pak Xavier, sudah lama nggak bertemu.""Bagimu mungkin sudah lama, tapi bagiku nggak. Pagi ini aku bahkan melihatmu di televisi."Suara Xavier masih sama seperti lima tahun lalu, ada sedikit nada menggoda dan ceria. "Gimana keadaan Tiffany?""Aku menemaninya minum beberapa gelas, sekarang dia sudah tidur."Xavier tertawa getir. "Bagus kalau begitu.""Apa yang sebenarnya terjadi tiga tahun lalu?" Sean menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara rendah.Selama bertahun-tahun, Sean tidak berhubungan dengan Tiffany. Hanya saja, dia tahu Xavier dan Tiffany sangat dekat karena hubungan Tiffany dengan Niken. Jadi, Xavier pasti mengetahui semua yang terjadi tiga tahun lalu."Tiffany nggak mengizinkanku mengatakannya." Pria di ujung telepon tertawa. "Secara pribadi, aku sebenarnya ingin kasih tahu.""Tapi Tiffany pernah bilang, kalau aku membocorkannya, dia akan putus hubungan denganku. Aku sangat menyukainya, tentu saja aku nggak ingin kehilang
Tiffany menggigit bibirnya, melirik Sean dengan tatapan sebal. Namun, dia harus mengakui bahwa pria ini sangat perhatian.Kalau Sean tidak menyiapkan surat itu terlebih dahulu, hal pertama yang akan dia lakukan setelah bangun tidur adalah menulis surat pengunduran sendiri.Tiffany menarik napas dalam, mengambil pena di atas meja, lalu menandatangani namanya di surat itu."Setelah ini, rencanamu apa?" Setelah Tiffany selesai menandatangani, Sean bertanya dengan tenang."Belum terpikirkan." Tiffany menggigit bibirnya, menghela napas dengan sedikit putus asa. "Yang pasti aku harus berhenti bekerja dulu, baru setelah itu aku pikirkan lagi pekerjaan yang cocok untukku."Setelah berkata begitu, dia tersenyum canggung, seolah-olah takut Sean mengkhawatirkannya. "Aku ingat dulu kamu pernah bilang kalau aku cocok jadi guru, 'kan? Mungkin aku bisa mencoba. Ya, jadi guru. Lagian, belajar memang keahlianku!"Sean menyandarkan kepalanya di ujung tempat tidur, melipat kedua tangan di belakang kepala
"Baiklah." Sean tersenyum, mengeluarkan ponselnya, lalu menelepon seseorang. "Pesan tiket pesawat."Tiffany meliriknya dengan dingin sebelum berbalik dan masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap....."Tiff, keputusanmu sudah bulat?" Di dalam kantor direktur, Morgan menatap Tiffany dengan penuh penyesalan. "Selama ini, kamu telah memberikan begitu banyak kontribusi luar biasa untuk rumah sakit. Aku bisa mengabaikan pendapat orang lain dan tetap membiarkanmu bekerja di sini."Tiffany menggeleng. "Lupakan saja, Pak Morgan. Kamu selalu dikenal sebagai sosok yang adil dan jujur. Rumah sakit ini sudah cukup dengan satu wakil direktur yang bermasalah. Jangan biarkan dirimu ikut terseret."Ruangan itu langsung sunyi. Morgan menatap Tiffany, tatapannya penuh dengan rasa sesal dan kekecewaan. "Sepertinya kalau kamu pergi, Julie juga akan ikut."Tiffany tersenyum. "Itulah kenapa aku menyarankan agar kalian mempekerjakan Zion kembali. Dia adalah dokter yang sangat berbakat. Setelah aku dan Julie p
Tiffany tersenyum tipis saat menatap Zion. "Sama seperti kamu yang dulu rela menanggung semua kesalahan demi aku, sama seperti kamu yang nggak ingin mengungkit masa lalu demi Bu Filda, aku juga punya seseorang yang sangat penting untuk kulindungi."Sinar matahari pagi menyinari wajahnya, membuat senyumannya seperti berlapis cahaya keemasan. Dia menatap Zion dengan lembut. "Aku tahu kamu pasti bersedia menjaga rahasiaku."Zion menggigit bibirnya. Sebenarnya, dia benar-benar tidak ingin menyimpan rahasia ini. Dia sangat ingin berdiri di depan semua orang dan memberi tahu mereka bahwa Tiffany bukanlah seperti yang mereka katakan!Tiffany memang cedera dan tidak bisa lagi melakukan operasi sendiri ....Namun, ketika melihat sorot mata tulus dari Tiffany, Zion hanya bisa menghela napas dalam-dalam. "Baiklah."Meskipun tahu kebenarannya, dia tidak bisa menentang keinginan Tiffany. Ini adalah urusan Tiffany sendiri. Sebesar apa pun rasa kagumnya terhadap Tiffany, sebesar apa pun penyesalannya
"Lebih baik aku cepat pulang ke Kota Aven untuk menemani ayahku."Zion hanya bisa mematung di tempat dengan ekspresi putus asa.....Setelah resmi mengundurkan diri dari rumah sakit, Tiffany menerima telepon dari Bronson."Tiff." Suara Bronson di ujung telepon terdengar agak berat. "Aku sudah melihat isi konferensi pers tadi. Apa kamu ... menyembunyikan sesuatu?"Tiffany menggigit bibirnya dan memandang matahari di langit. Hari ini, cahaya matahari terasa menyilaukan.Dia mengangkat tangan untuk menutupi matanya, lalu berjalan menuju tempat parkir sambil menyahut dengan nada datar, "Ayah, jangan khawatirkan aku.""Lima tahun lalu saat Ibu meninggal, kamu selalu bersamaku. Kamu pasti tahu betapa beratnya tekanan yang kualami.""Maaf kalau aku nggak mewarisi ketegaran mental kalian berdua. Aku ingin istirahat sejenak dari dunia ini. Soal masa depan ... masih bisa dipikirkan nanti."Bronson menghela napas panjang di seberang telepon. "Aku baru saja memarahi Cathy habis-habisan. Aku cuma t
Setelah kembali dari rumah sakit, Tiffany mulai berkemas.Meskipun sebelumnya Sean mengatakan bahwa dia akan membawa anak-anak sehari lebih lambat dari yang dijadwalkan, mengingat sifatnya yang seenaknya, Tiffany merasa dia lebih baik membawa lebih banyak pakaian sebagai persiapan.Saat dia selesai mengemas pakaian dan barang-barang untuk kedua anaknya serta dirinya sendiri, waktu sudah menunjukkan pukul 1.30 siang.Dia menarik napas dalam-dalam. Ketika hendak berbaring untuk beristirahat sejenak, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang tergesa-gesa dari luar.Tiffany mengernyit, mengira itu adalah Sean. Dia bangkit dengan sedikit rasa kesal untuk membuka pintu.Bagaimanapun, hanya sedikit orang yang mengetahui alamat rumahnya. Xavier jarang datang ke sini, sedangkan Julie selalu menghubunginya terlebih dahulu jika ingin mengajaknya keluar. Jadi, satu-satunya orang yang bisa datang tanpa pemberitahuan seharusnya hanya Sean."Hai." Begitu pintu terbuka, ternyata orang yang berdiri
"Kamu bilang, kebiasaan seperti ini menjijikkan atau nggak?"Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu langsung membuka pintu lebar-lebar. "Kalau kalian datang ke sini cuma untuk menghinaku, silakan angkat kaki dari sini.""Hidup seperti apa yang kujalani, pilihan apa yang kubuat, itu adalah urusanku sendiri, nggak ada hubungannya dengan kalian."Setelah mengatakan itu, dia tersenyum dingin. "Atau mungkin kalian sudah nggak sabar aku kembali ke Keluarga Japardi dan bersaing dengan kalian untuk mendapatkan hak waris?"Cathy tersenyum. "Tiffany, lihat cara bicaramu. Kalaupun kami nggak datang, memangnya kamu akan menyerahkan hak warismu?""Jangan bercanda. Kalau kamu benar-benar bisa melepaskannya, kenapa di konferensi pers kemarin kamu masih menyembunyikan kebenaran tentang apa yang terjadi saat itu?"Tiffany juga tersenyum. "Kalau kamu sudah tahu aku nggak akan menyerah, untuk apa repot-repot melakukan hal yang nggak berguna seperti ini? Atau kamu pikir dengan mempertaruhkan profesi dan
Suara lembut Tiffany seperti suntikan adrenalin yang langsung membuat jantung Sean berdebar kencang.Pria itu mengatupkan bibirnya. Nada bicaranya rendah dan menyiratkan kelembutan saat dia meraih tangan Tiffany dengan jemarinya yang panjang dan kokoh. "Aku cuma mau nyalain panel listrik.""Aku nyalain dulu ya, tunggu di sini."Tiffany menggigit bibir, lalu mengangguk pelan sambil menggumam, "Iya ...." Namun, tangannya masih enggan melepaskan pinggang Sean.Dia menggigit bibir bawahnya sedikit lebih keras. "Bawa aku juga."Sean tersenyum tak berdaya. "Aku cuma turun satu lantai. Kamu tunggu sini sebentar, ya.""Nggak mau."Sejak mereka bertemu kembali, Tiffany sudah jarang bermanja-manja seperti ini pada Sean. "Aku mau ikut.""Aku ...."Di tengah kegelapan, wajah Tiffany mulai terasa panas.Di saat-saat seperti ini, dia justru merasa bersyukur karena listrik tidak menyala. Kalau Sean melihat wajahnya yang memerah, Tiffany pasti sudah diledek habis-habisan ....Suara manjanya membuat Se
"Dia itu pria idaman di Kota Aven, dari wanita usia 18 sampai 80 tahun semuanya ingin menikah sama dia!""Kalau aku tahu siapa yang dia suka, siapa yang mau dia tembak, aku pasti akan langsung wawancara wanita itu. Gimana caranya dia bisa mendapatkan Sean, si suami idaman!"Tiffany menirukan ucapan itu dengan begitu mirip, bahkan ekspresi wajah dan gayanya pun sama persis.Sean terdiam. "Sebenarnya aku nggak sampai segitu disukainya sama wanita, aku ....""Hentikan."Tiffany mengangkat tangan. "Disukai atau nggak, bukan kamu yang nentuin, tapi perempuan.""Pokoknya, aku putuskan mau izin besok, kerja di rumah urus urusan akademik. Nanti kalau situasi sudah mereda, baru aku masuk kerja lagi. Sekalian, aku akan terbitkan makalah terbaruku.""Sekarang antar aku ke lembaga penelitian untuk ambil datanya dulu."Sean menarik napas panjang, akhirnya hanya bisa pasrah dan mengangguk. Dia pun mengambil kunci mobil dari Genta dan resmi menjadi sopir pribadi Tiffany malam itu.Saat tiba di lembag
Tiffany membuka pintu ruang ICU. Dari luar, Lena langsung menerjang ke arahnya dan menatapnya dengan marah. "Kamu apakan kakakku?""Nggak ada." Tiffany melepas jas dokternya dengan anggun dan meletakkannya di kursi di samping. Kemudian, dia menoleh dengan tenang pada para dokter yang sedang menunggu dengan cemas di luar."Kalian boleh masuk. Dia seharusnya sebentar lagi sadar." Para dokter saling berpandangan, lalu buru-buru bergegas masuk ke dalam ruang ICU.Melihat para dokter sudah masuk, Lena juga cepat-cepat menyusul.Sesaat kemudian, terdengar suara Lena yang begitu emosional dari dalam ruangan, "Kak! Akhirnya kamu sadar juga! Huhu! Kamu bikin aku takut setengah mati!"Mendengar suara wanita itu dari dalam, Sean melirik sekilas ke arah Tiffany dan tersenyum tipis. "Hebat juga, ya?""Penyakit hati tentu harus disembuhkan dengan obat untuk hati."Tiffany mengangkat kepala dan tersenyum cerah padanya. "Mau masuk lihat-lihat?"Mata Sean sedikit memicing dan bibirnya mengangkat senyum
Setelah semua orang pergi, Tiffany yang mengenakan jas dokter putih dengan anggun berjalan ke pintu dan menutupnya, lalu mengambil ponselnya. Sambil memainkan ponsel, tanpa sadar dia melirik dingin ke arah Vivi yang masih "pingsan" di atas tempat tidur."Bu Vivi, sekarang cuma ada kita berdua. Kamu nggak usah pura-pura lagi."Wanita yang terbaring di tempat tidur tidak bergerak sedikit pun, seolah benar-benar pingsan. Namun, Tiffany tahu bahwa dia sebenarnya sadar. Sebab, waktu Tiffany baru saja berbicara tadi, dia melihat dengan jelas bahwa ritme pada monitor EKG Vivi menjadi kacau.Itu adalah tanda terkejut. Mungkin Vivi sama sekali tidak menyangka Tiffany akan tiba-tiba berbicara padanya, sehingga dia merasa agak panik."EKG-mu sudah membocorkan rahasiamu."Tiffany menguap, lalu tetap menatap Vivi dengan tenang. "Tapi kalau Bu Vivi mau terus akting, aku juga nggak akan membongkarnya.""Lagian kamu sudah berakting selama tiga tahun, bukan?"Begitu ucapan itu dilontarkan, Tiffany kemb
Lena tidak menyangka Tiffany akan bersikap seperti ini. Dia tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar dan berteriak, "Tiffany, apa maksudmu?""Kamu nggak ngerti bahasaku?" Tiffany tersenyum sinis. "Harus aku ulang dalam bahasa lain? Tapi, dengan ijazah SMP-mu, sepertinya kamu tetap nggak akan paham ya?""Kalau bodoh, belajarlah lebih giat. Jangan cuma mengandalkan jasa kakakmu untuk bertindak sewenang-wenang. Memangnya kamu pantas?" Tatapan Tiffany sedingin suaranya.Lena terdiam, lalu menggertakkan gigi. "Apa maksudmu?"Sambil berkata, dia langsung maju, berniat menyerang Tiffany. Dia paling benci diejek soal pendidikannya! Ini bukan karena dia bodoh!Tahun itu saat orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan, dia tidak ingin menjadi beban bagi kakaknya. Makanya, dia sendiri yang meminta untuk berhenti sekolah.Dia sebenarnya anak yang sangat pengertian, tetapi banyak orang yang malah menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan!"Maksudnya sesuai dengan yang kukatakan." Tiffany meliriknya s
"Saat Bu Vivi mengalami kecelakaan, Bu Lena memaksa kami mencari mawar untuk kakaknya di lantai bawah ...."Sean mengaktifkan pengeras suara sehingga suara pria di ujung telepon terdengar jelas oleh Tiffany.Sambil memegang anggur merah di satu tangan dan mengetuk meja pelan dengan tangan lainnya, Tiffany mencerna informasi itu.Dari penjelasan pria itu, dia bisa menebak apa yang baru saja terjadi di rumah sakit. Kemungkinan besar, Vivi dan Lena melihat video yang beredar di internet.Vivi mengeluh karena tidak mendapatkan mawar, jadi Lena yang tidak terima dengan hal itu pun memaksa para pengawal mengikutinya mencari mawar untuk kakaknya!Namun, seluruh mawar di kota sudah diborong oleh Sean. Hal ini jelas diketahui oleh Vivi. Meskipun demikian, dia tetap meminta adiknya membawa orang-orang untuk mencarikannya bunga.Alasannya hanya satu, yaitu menciptakan situasi di mana tidak ada yang bisa menjaganya, sehingga dia bisa terluka dengan sempurna.Trik ini memang sangat cerdik. Tiffany
Iring-iringan mobil berhias mawar melaju melewati sebagian besar kota sebelum akhirnya berhenti di depan Restoran Proper.Di sana, Mark, pemilik Restoran Proper, sudah berdiri di depan pintu bersama para manajer dan koki untuk menyambut kedatangan mereka.Melihat Mark yang biasanya tampil gagah dalam setelan jas kini berdiri seperti seorang pelayan hanya untuk menyambutnya, Tiffany merasa cukup puas.Terlebih setelah mengingat bagaimana Mark memperlakukan Julie dulu, kini melihatnya berdiri dengan patuh sesuai arahan Sean, membuat Tiffany merasa semakin puas.Pintu mobil terbuka. Dengan bantuan Sean, Tiffany turun dengan anggun layaknya seorang ratu.Begitu turun, dia melirik sekilas ke arah Mark yang berdiri di kejauhan. "Wah, sejak kapan pemilik restoran punya waktu luang untuk menyambutku secara langsung?"Mark memasang senyuman tipis. "Kenapa aku di sini? Orang lain mungkin nggak tahu alasannya, tapi kamu pasti tahu, 'kan?""Kamu pasti lebih paham bagaimana sifat tunanganmu ini. Ka
Namun, Tiffany benar-benar tidak menyangka Sean akan menggunakan lamaran seromantis ini untuk mengumumkan bahwa hubungan mereka telah kembali seperti semula.Dia tahu dengan lamaran sebesar ini, tak akan butuh waktu lama sebelum berita ini tersebar hingga ke luar negeri. Para senior Keluarga Japardi akan segera melihatnya.Mungkin Vivi dan Lena juga akan marah besar? Namun, apakah semua itu penting? Tidak ada yang lebih penting dibandingkan pria yang kini berada di hadapannya, Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Sean. "Tebak, aku terima atau nggak?"Senyuman malu-malu di wajahnya sudah menjawab semuanya.Sean mengatupkan bibirnya, tak lagi meragu. Dia segera meraih tangan Tiffany dan menyematkan cincin di jarinya. "Aku tebak, kamu sangat ingin menikah denganku."Setelah mengatakan itu, Sean langsung menariknya ke dalam pelukan.Sorakan dan tepuk tangan dari kerumunan terdengar bergemuruh.Tiffany bersandar di dadanya, merasa malu
Ketika Tiffany baru saja selesai mengobrol dengan rekan kerjanya, di kejauhan Sean sudah melihat sosok mungil wanita itu.Dengan senyuman tipis di wajah, pria itu membawa sebuket besar mawar dan melangkah perlahan ke arah Tiffany.Tiffany mendengar jelas suara tarikan napas terkejut dari para rekan kerja wanita di sekitarnya. Dia menggigit bibirnya dan tetap berdiri di tempat, meskipun hatinya sudah penuh kegelisahan.Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, yang tidak pernah dia duga adalah Sean tiba-tiba berhenti dua langkah di depannya, lalu berlutut dengan satu kaki dan menatapnya sambil memegang buket.Di wajah Sean yang selalu terlihat tegas, kini penuh dengan kelembutan yang mendalam. "Tiff."Suara bariton yang dalam memanggil nama Tiffany dengan lembut. Nada penuh kasih itu seketika membuat kegelisahan Tiffany menghilang.Tiffany menunduk, menatap wajah pria itu. "Hmm."Teriakan dan gumaman dari rekan-rekan wanita kembali terdengar. Mereka mulai bergosip dengan heboh.