"Lebih baik aku cepat pulang ke Kota Aven untuk menemani ayahku."Zion hanya bisa mematung di tempat dengan ekspresi putus asa.....Setelah resmi mengundurkan diri dari rumah sakit, Tiffany menerima telepon dari Bronson."Tiff." Suara Bronson di ujung telepon terdengar agak berat. "Aku sudah melihat isi konferensi pers tadi. Apa kamu ... menyembunyikan sesuatu?"Tiffany menggigit bibirnya dan memandang matahari di langit. Hari ini, cahaya matahari terasa menyilaukan.Dia mengangkat tangan untuk menutupi matanya, lalu berjalan menuju tempat parkir sambil menyahut dengan nada datar, "Ayah, jangan khawatirkan aku.""Lima tahun lalu saat Ibu meninggal, kamu selalu bersamaku. Kamu pasti tahu betapa beratnya tekanan yang kualami.""Maaf kalau aku nggak mewarisi ketegaran mental kalian berdua. Aku ingin istirahat sejenak dari dunia ini. Soal masa depan ... masih bisa dipikirkan nanti."Bronson menghela napas panjang di seberang telepon. "Aku baru saja memarahi Cathy habis-habisan. Aku cuma t
Setelah kembali dari rumah sakit, Tiffany mulai berkemas.Meskipun sebelumnya Sean mengatakan bahwa dia akan membawa anak-anak sehari lebih lambat dari yang dijadwalkan, mengingat sifatnya yang seenaknya, Tiffany merasa dia lebih baik membawa lebih banyak pakaian sebagai persiapan.Saat dia selesai mengemas pakaian dan barang-barang untuk kedua anaknya serta dirinya sendiri, waktu sudah menunjukkan pukul 1.30 siang.Dia menarik napas dalam-dalam. Ketika hendak berbaring untuk beristirahat sejenak, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang tergesa-gesa dari luar.Tiffany mengernyit, mengira itu adalah Sean. Dia bangkit dengan sedikit rasa kesal untuk membuka pintu.Bagaimanapun, hanya sedikit orang yang mengetahui alamat rumahnya. Xavier jarang datang ke sini, sedangkan Julie selalu menghubunginya terlebih dahulu jika ingin mengajaknya keluar. Jadi, satu-satunya orang yang bisa datang tanpa pemberitahuan seharusnya hanya Sean."Hai." Begitu pintu terbuka, ternyata orang yang berdiri
"Kamu bilang, kebiasaan seperti ini menjijikkan atau nggak?"Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu langsung membuka pintu lebar-lebar. "Kalau kalian datang ke sini cuma untuk menghinaku, silakan angkat kaki dari sini.""Hidup seperti apa yang kujalani, pilihan apa yang kubuat, itu adalah urusanku sendiri, nggak ada hubungannya dengan kalian."Setelah mengatakan itu, dia tersenyum dingin. "Atau mungkin kalian sudah nggak sabar aku kembali ke Keluarga Japardi dan bersaing dengan kalian untuk mendapatkan hak waris?"Cathy tersenyum. "Tiffany, lihat cara bicaramu. Kalaupun kami nggak datang, memangnya kamu akan menyerahkan hak warismu?""Jangan bercanda. Kalau kamu benar-benar bisa melepaskannya, kenapa di konferensi pers kemarin kamu masih menyembunyikan kebenaran tentang apa yang terjadi saat itu?"Tiffany juga tersenyum. "Kalau kamu sudah tahu aku nggak akan menyerah, untuk apa repot-repot melakukan hal yang nggak berguna seperti ini? Atau kamu pikir dengan mempertaruhkan profesi dan
"Sean, dasar licik!" Setelah melontarkan kata-kata itu dengan marah, Cathy menarik tangan Mason, lalu berbalik dan pergi dengan kesal menggunakan sepatu hak tingginya.Melihat punggungnya yang menjauh, tiba-tiba Tiffany merasakan kepuasan yang luar biasa dalam hatinya. Dia menoleh, melirik Sean, lalu tersenyum padanya. "Terima kasih.""Untuk apa berterima kasih padaku?" Pria itu melangkah masuk, menutup pintu dengan santai, lalu menatapnya dengan senyuman tipis. "Lagian, aku pernah bilang kalau aku nggak suka ucapan terima kasih yang cuma sebatas kata-kata."Tiffany menggigit bibirnya. Entah apa yang merasukinya, dia tiba-tiba melangkah maju, berjinjit, dan mengecup bibir pria itu.Saat bibir lembutnya menyentuh bibir Sean yang dingin, keduanya terkejut sejenak. Seperti ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh mereka.Jantung Tiffany mulai berdetak kencang, wajahnya memanas dan memerah. Kemudian, dia baru menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan sesuatu yang tak seharusnya
Tiffany tidak ingin merasakannya! Meskipun begitu, saat dia menutup matanya, dia tetap merasa senang.Pria ini memiliki hasrat yang begitu kuat, tetapi demi dirinya, dia sanggup menahan diri selama lima tahun. Jika ini terjadi pada orang lain, Tiffany pasti akan berseru heboh, ini cinta sejati! Menikah!Namun, hubungan antara dirinya dan Sean .... Pada akhirnya, dia menarik napas dalam-dalam, lalu memeluknya erat. "Sean, menurutmu, kita masih punya kemungkinan?"Pria itu mengecup bibirnya. "Selama kamu menginginkannya.""Lalu, kalau aku nggak menginginkannya?""Kalau begitu, aku akan mengejarmu sampai kamu berubah pikiran."....Sore harinya, Sean pergi bersama Tiffany untuk menjemput Arlo dan Arlene dari taman kanak-kanak."Wow! Bu Tiffany, itu suamimu? Ganteng banget!""Selama ini Bu Tiffany selalu bilang dia nggak punya suami. Aku sampai mengira kamu ibu tunggal. Ternyata suamimu seganteng ini?""Iya, pantas saja Arlo seganteng itu. Lihat saja, dia mirip sekali dengan ayahnya!""Ben
"Hore, ada yang enak!" seru Arleen sambil melompat kegirangan.Arlo meliriknya sinis, "Dasar norak."Tiffany dan kedua anaknya berjalan keluar dari taman kanak-kanak sambil bercanda dan tertawa.Sementara itu, Sean duduk di dalam mobil dan menatap melalui jendela yang sedikit terbuka. Matanya tertuju pada Tiffany yang menggandeng kedua anak mereka sambil berjalan keluar dari dalam gedung. Di dalam hatinya, muncul perasaan bahagia dan kebanggaan.Tiffany-nya telah tumbuh dewasa.Sekarang, dia sudah menjadi ibu yang baik.Anak-anak yang digenggamnya adalah harapan mereka berdua di kehidupan ini.Sean yang tidak bisa menahan gejolak hatinya, melangkah mendekat dan langsung mengulurkan tangan untuk memeluk Tiffany."Pak Sean." Arlo menghalangi di depan Tiffany dengan sigap, "Anda belum boleh meluk Mama-ku ....""Aku ...."Sebelum Arlo menyelesaikan ucapannya, Sean telah berjongkok dan memeluknya. "Aku tahu, kalau mau meluk Mama kamu, aku harus peluk kamu dulu."Suara Sean yang rendah serta
Namun, dia selalu mengira bahwa kedua anak ini adalah milik Xavier ....Seketika, Zion langsung menepuk jidatnya. "Seharusnya aku sadar dari awal!"Sean memperlakukan Tiffany dengan begitu baik hingga membuat orang lain iri dan Tiffany pun selalu menatap Sean dengan penuh perasaan .... Dia seharusnya sudah menyadari sejak awal bahwa mereka memang sepasang kekasih!Melihat ekspresi Zion yang tiba-tiba menyadari sesuatu, Tiffany hanya tersenyum samar, lalu menepuk bahunya dengan santai. "Jangan kepo.""Sekarang kamu sudah kembali kerja, fokus sama kerjaanmu sendiri. Oh ya, ngomong-ngomong, utang 100 juta yang kamu pinjam dariku, kapan rencananya mau dibayar?"Ekspresi Zion langsung berubah muram. "Dok Tiff, masa kamu masih ingat soal utang itu ...."Tiffany menjawab dengan serius, "Tentu saja. Uang 100 juta itu aku dapatkan dari kerja keras sedikit demi sedikit."Mana mungkin dia bisa melupakannya!Zion tertawa kecil. "Tapi, bukannya Pak Sean kaya sekali? Kenapa Dokter Tiffany masih mau
Tiffany tidak pernah menyembunyikan identitas asli kedua anaknya.Bagaimanapun, wajah Arlo sudah jelas menunjukkan segalanya. Bahkan jika dia bersikeras mengatakan bahwa Arlo bukan anak Sean, tidak akan ada yang percaya.Namun, kedua anak ini dibesarkan olehnya seorang diri. Hubungannya dengan Sean sekarang juga tidak lebih dari sekadar teman yang sedikit lebih dekat. Jadi, saat Sanny tiba-tiba menyuruh anak-anaknya menggunakan marga Tanuwijaya, Tiffany hanya merasa hal itu benar-benar menggelikan.Apa mereka mengira karena dia orang yang sabar, jadi dia akan membiarkan anak-anaknya masuk ke dalam kendali Keluarga Tanuwijaya begitu saja?Melihat ekspresi Tiffany yang mulai kesal, Sean mengernyit dan mengangkat tangan untuk menahan tangan Sanny."Kak, anak-anak ini dilahirkan Tiffany. Selama lima tahun ini, dia membesarkan mereka sendiri dengan penuh perjuangan. Jadi, soal nama belakang atau apa pun, itu keputusannya."Sanny mengerutkan alisnya. Bukan berarti dia tidak menghargai semua
Tiffany menghentikan langkahnya. Dia tentu ingat gadis bernama Lena ini.Bukan hanya karena gadis ini kemarin menerobos masuk ke ruang privat tempat dia dan anak-anak makan, tetapi juga karena kesombongannya di bandara.Dengan tenang, Tiffany mengangkat pandangannya dan menatap Lena yang duduk di dalam Porsche merah. Tatapannya jernih dan datar. "Siapa kakakmu?"Lena tertawa dingin. "Kamu nggak tahu?"Tiffany mengangguk santai. "Memang nggak tahu.""Heh." Lena tertawa ringan. "Kakakku adalah penyelamat nyawa mantan suamimu!""Kalau bukan karena kakakku yang mempertaruhkan nyawanya waktu itu, kamu nggak akan bisa bertemu Sean lagi, apalagi berpikir untuk memperbaiki hubungan dengannya!"Tiffany hanya bergumam pelan. "Begitu ya. Baiklah, sampaikan kepada kakakmu, aku nggak ingin menemuinya."Setelah berkata demikian, Tiffany mengangkat tangannya yang menjinjing tas, lalu berbalik pergi dengan anggun.Lena membelalakkan mata. Dia segera menginjak pedal gas untuk mengejar Tiffany. "Tiffany
Keesokan harinya setelah tiba di Kota Aven, Tiffany langsung menghubungi dokter yang direkomendasikan Direktur Rumah Sakit Kintan kepadanya."Dokter Tiffany ya?" Dokter di ujung telepon terdengar sangat antusias. "Akhirnya kamu menghubungi kami!""Kami dari lembaga penelitian Kota Aven. Saat Pak Morgan merekomendasikanmu kepada kami, kami sangat senang! Kami nggak nyangka kamu benar-benar menghubungi kami!"Tiffany sedikit terkejut. "Kamu bilang dari ... lembaga penelitian Kota Aven?""Ya!"Suara dokter di telepon terdengar sangat ramah. "Apa kamu punya waktu untuk datang dan wawancara? Kalau kamu sedang berada di luar kota, kami bisa menunggu kok ....""Nggak perlu." Tiffany menarik napas dalam, suaranya mengandung kegembiraan yang sulit disembunyikan. "Aku bisa datang sore ini."Tepat pukul 2 siang, Tiffany tiba di depan gedung lembaga penelitian. Direktur mereka, Edwin, langsung menyambutnya dengan antusias. "Dok Tiff, aku sudah sering mendengar tentang pencapaian dan pengalaman ker
"Kak!"Lena mendorong pintu kamar rumah sakit dengan kesal dan langsung duduk di tepi tempat tidur Vivi dengan wajah cemberut."Kak! Aku sudah bilang dari dulu kalau Sean itu nggak bisa diandalkan! Seharusnya kamu langsung memastikan hubungan kalian tiga tahun lalu! Tapi kamu malah menolaknya! Sekarang lihat hasilnya! Dia bukan cuma bawa mantan istrinya kembali, tapi juga bawa dua anaknya!"Lena mengangkat tangannya dan menunjukkan tinggi anak-anak itu dengan gerakan dramatis. "Dua anak itu sudah sebesar ini!""Kalau kamu benar-benar menikah sama dia sekarang, kamu harus jadi ibu tiri!""Harusnya tiga tahun lalu kamu menikah sama dia, lalu melahirkan anak untuknya juga! Dengan begitu, nggak ada yang perlu jadi ibu tiri bagi siapa pun!"Ketika mengingat ekspresi dingin Sean saat di restoran tadi, Lena merasa semakin marah dan cemas."Kak, sekarang mantan istrinya sudah kembali! Dia pasti nggak akan memperlakukan kita seperti dulu lagi! Dia nggak akan memberikan uang untuk biaya perawata
Setelah memastikan semuanya, Sean tetap duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Tiffany yang terlelap. Dia tidak bergerak sedikit pun atau menunjukkan tanda-tanda bosan. Seperti seorang anak kecil yang tengah menatap mainan favoritnya.Melihat punggung Sean seperti itu, hati Arlo juga ikut merasa lega. Sepertinya, hanya orang yang benar-benar menyayangi seseorang yang bisa duduk diam dan menatapnya seperti itu, 'kan?Lagi pula, kalau dia disuruh menatap Arlene dalam waktu lama, dia pasti sudah bosan sejak tadi.Tiffany tidur sangat nyenyak. Dari luar pintu, Arlo bahkan masih bisa mendengar napas ibunya yang teratur dan tenang. Arlo menggelengkan kepalanya pelan.Di mata orang lain, ibunya adalah sosok dokter yang tegas, dingin, dan sulit didekati. Namun, hanya di depan orang-orang terdekatnya, Tiffany berubah menjadi seseorang yang ceroboh, tidak terlalu peduli dengan penampilannya, dan sering kali bertingkah konyol.Itulah keunikannya, sekaligus kelemahannya.Tiffany hanya menunjukk
Rumah Keluarga Tanuwijaya masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu Genta menghentikan mobil di depan pintu utama, Sean langsung turun dengan Tiffany dalam gendongannya.Sementara itu, Arlo duduk di kursinya dengan frustrasi sambil memeluk Arlene yang tertidur nyenyak di pundaknya dan bahkan sampai mengences. Dia ingin sekali menggendong adiknya turun dari mobil secara langsung agar tidak mengganggu istirahatnya.Akan tetapi, dia baru berusia lima tahun!Adiknya juga lima tahun!Meskipun Arlene sedikit lebih kecil darinya, Arlo tetap saja tidak punya tenaga untuk menggendongnya. Arlo awalnya berpikir bahwa Sean akan kembali ke mobil setelah mengantar Tiffany ke kamar dan membantunya membawa Arlene.Namun, setelah menunggu sekian lama, Sean tidak juga muncul kembali. Saat itulah Arlo menyadari bahwa Arlene dan dirinya tidak mendapat perlakuan yang sama dengan ibu mereka!Dasar pria kejam!Bukankah katanya seorang pria yang sudah punya anak biasanya akan mulai mengabaikan istrinya? Ke
Melihat Sean seperti ini, Tiffany tidak bisa lagi mengucapkan kata-kata yang lebih ketus. Pada akhirnya, dia hanya bisa menghela napas pelan."Baiklah. Tapi aku mau kamu segera menyelesaikan semuanya dengannya. Tadi adik orang itu menerobos ruangan sampai ngagetin anak-anak. Aku nggak mau lihat kejadian seperti hari ini terulang lagi."Sean mengatupkan bibirnya dan mengangguk tegas. "Aku janji."Mendengar jawaban yang meyakinkan darinya, Tiffany akhirnya menghela napas panjang, lalu tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke bahu Sean. "Aku capek sekali."Tiffany benar-benar merasa lelah. Bukan hanya karena perjalanan panjang hari ini, tetapi juga karena beban emosional yang terus menghimpitnya. Setiap hari yang dia habiskan bersama Sean selalu penuh tekanan dan kecemasan.Untuk saat ini, Zara masih bisa mengurus Keluarga Japardi di Elupa. Namun, bagaimana jika suatu hari nanti para pemegang saham mengetahui bahwa dia dan Sean masih berhubungan baik? Apa reaksi mereka?Tiffany tahu dia tida
Tiffany mengerutkan alisnya dan segera berusaha melepaskan diri dari pelukan Sean. "Pulang ke mana?"Di Kota Aven, dia sudah lama tidak punya rumah lagi. Namun, tenaganya jelas tidak sebanding dengan Sean. Pria itu tetap memeluknya erat dan membujuk dengan penuh kesabaran."Tiffany, kamu sudah lima tahun nggak kembali. Kak Rika dan yang lainnya rindu sekali sama kamu. Apa kamu benar-benar nggak mau pulang dan melihat mereka? Lalu, pohon yang dulu kamu tanam di halaman dan ...."Tatapan Sean beralih ke kedua anak mereka. "Anak-anak juga belum pernah melihat tempat di mana kita dulu tinggal bersama."Tiffany tetap terperangkap dalam pelukannya. Usahanya untuk melepaskan diri berakhir sia-sia dan pada akhirnya, dia hanya bisa menatap Sean dengan tatapan kesal."Aku sudah bilang, selesaikan dulu masalah sama penyelamat hidupmu sebelum datang mencariku!""Nggak ada yang perlu diselesaikan." Mata Sean yang hitam pekat, menatap Tiffany dengan erat. "Kami nggak ada hubungan apa pun. Kenapa dia
Sean sudah memperingatkan bahwa jika Tiffany tetap membawa anak-anaknya menginap di hotel, dia akan memerintahkan Chaplin dan beberapa pengawal untuk berjaga di depan hotel, bahkan melakukan pemeriksaan keamanan terhadap tamu-tamu lain. Alasannya adalah karena dia khawatir ada orang yang akan menyakiti anak-anaknya.Bagaimanapun, status Sean di Kota Aven telah membuatnya memiliki banyak musuh.Tiffany tidak ingin ribet. Itulah alasannya dia setuju untuk tinggal di rumah Keluarga Tanuwijaya untuk sementara waktu. Namun, dilihat dari kondisinya sekarang ....Arlene menatap Tiffany dengan mata membelalak. "Mama, bukannya kita tinggal di rumah Paman Ganteng?"Tiffany tersenyum tipis dan menggendong Arlene dengan santai. "Pacarnya Paman Ganteng nggak akan setuju." Setelah berkata demikian, dia melirik ke arah Arlo.Arlo langsung mengerti maksud Tiffany. Dia buru-buru melompat turun dari kursi dan mengambil tas Tiffany. "Mama, ayo pergi!"Sean mengerutkan alisnya, lalu mengangkat tangannya u
Menghadapi sikap Lena yang begitu agresif, Sean hanya mengernyitkan dahi. "Kapan Vivi pernah keluar dari rumah sakit?"Lena terdiam.Benar juga.Dia mendengus sinis. "Kamu masih sadar soal itu? Sejak Vivi mengenalmu, dia selalu berada di rumah sakit! Sedangkan kamu? Kamu bersenang-senang di sini, sementara dia sendirian menanggung rasa sakit di rumah sakit!"Setelah berkata demikian, Lena langsung menoleh ke Tiffany.Tanpa memedulikan bahwa ada dua anak kecil di sana, dia menunjuk tepat ke wajah Tiffany dengan senyum penuh ejekan. "Kamu ini mantan istrinya Sean, 'kan?""Aku nggak peduli kenapa kalian dulu berpisah. Yang jelas, kalau sudah cerai, artinya kalian memang nggak cocok, bukan? Sekarang di sisi Sean ada kakakku, Vivi. Tapi tiba-tiba kamu muncul kembali bersamanya di Kota Aven, bahkan membawa kedua anak ini.""Apa kamu baru sadar ingin kembali setelah melihat ada yang mencoba merebutnya darimu?"Tiffany mendengar semua itu dengan ekspresi bingung. Alisnya berkerut ringan saat d