"Menawar harga saat belanja di pasar? Bukankah itu hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu?" Tiffany melirik Sean dengan kesal. Nada suaranya terdengar kurang yakin.Meskipun membantah, Tiffany tahu bahwa sejak datang ke Kota Kintan, tidak ada satu pun tindak-tanduknya yang mencerminkan identitasnya sebagai putri Keluarga Japardi.Namun, dirinya memang seperti itu. Sejak kecil, dia tumbuh di Desa Maheswari dan tidak pernah hidup bergelimang harta, juga tidak iri pada kehidupan seperti itu. Bahkan, dia menyukai kehidupannya yang sekarang.Yang jelas, Tiffany sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Filda dan memberinya peringatan. Jika Filda tidak mau percaya, itu salahnya sendiri karena terlalu picik.Tiffany menarik napas dalam, lalu menatap Sean. "Jadi, selanjutnya kita tinggal menunggu musuh terjebak dalam perangkap?"Sean mengangguk dan tersenyum. "Sambil menunggu, kamu bisa jalan-jalan dengan Julie."Tiffany mengernyit. "Jalan-jalan?""Benar." Tatapan Sean memancarkan sediki
Julie termangu sejenak. Tiffany sedang bad mood? Kenapa rasanya justru sebaliknya? Sepertinya suasana hati Tiffany sedang sangat bagus belakangan ini?Setiap hari, Sean selalu mengikuti Tiffany ke mana pun dia pergi. Sudah lama Julie tidak melihat Tiffany tertawa sebahagia ini."Sudah kuputuskan! Aku akan minta izin ke Direktur dan Kepala Departemen untukmu!" Sesudah mengatakan itu, Tiffany langsung menutup telepon dengan wajah riang.Di sisi lain, Sanny tampak terkejut saat melihat Julie. "Tiffany mau pergi jalan-jalan?"Julie mengernyit. Karena Tiffany, dia selalu memiliki kesan kurang baik terhadap Sanny. Sekarang, melihat Sanny begitu antusias malah membuatnya merasa kurang nyaman."Conan!" Sanny memberi isyarat mata kepada Conan.Conan segera mengeluarkan kartu hitam dari tas. "Kartu ini unlimited. Kamu temani Tiffany jalan-jalan. Apa pun yang dia suka, belikan saja untuknya."Julie terkejut menatap Sanny. "Kartu hitam unlimited ... kamu memercayakannya kepadaku begitu saja?""Kar
Karena perilaku aneh Tiffany dalam beberapa hari terakhir, Morgan selalu merasa bahwa ada yang tidak beres dengannya.Jadi, ketika Tiffany meminta izin ke Morgan dan Kenji untuk pergi jalan-jalan bersama Julie, Morgan langsung memberi isyarat mata kepada Kenji.Kenji segera tersenyum dan menandatangani surat izin. "Tiff, kalau kamu sedang bad mood, lebih baik jalan-jalan dan jangan terlalu banyak berpikir!""Julie adalah sahabat terbaikmu, biarkan dia menemanimu dan membantu menyelesaikan masalah di hatimu! Nikmati saja jalan-jalanmu selama 2 hari, lalu kembali bekerja dengan semangat ya!"Tiffany tersenyum dan mengangguk sebelum berbalik pergi. Namun, begitu keluar dari kantor kepala departemen, dia menyadari bahwa surat izinnya tertulis untuk 2 hari.Dia pun mengernyit. Padahal, dia hanya meminta izin untuk sehari. Tanpa berpikir, dia berbalik dan membuka kembali pintu kantor.Di dalam ruangan, Kenji sedang berbicara di telepon. "Julie? Iya, iya, aku sudah mengizinkannya.""Pak Morga
"Aku bahkan pernah lihat Bu Filda bertengkar dengan Pak Morgan hanya untuk memperjuangkan kesempatan bagi Zion!""Filda pernah bilang secara langsung kalau dia ingin membimbing Zion sampai sukses. Kalau bukan karena kedatanganmu, dia pasti sudah berhasil sekarang ...."Tiffany terdiam. Apa yang dikatakan Julie ... sama sekali tidak diketahuinya. Namun, setelah dipikir-pikir, ada beberapa hal yang kini mulai teringat kembali.Sepertinya ... memang ada saat-saat di mana dia dan Zion berada di posisi sebagai pesaing. Namun, karena mereka selalu bekerja sama dan punya hubungan yang cukup baik, Tiffany sama sekali tidak pernah menyadarinya.Kini setelah Julie mengungkitnya, semuanya menjadi jelas. Ternyata, Filda sudah lama menyimpan dendam padanya.Tiffany menghela napas. Semuanya sudah terjadi. Dia hanya bisa menjalani semuanya satu langkah demi satu langkah.Julie menemani Tiffany berkeliling mal untuk waktu yang cukup lama. Tiffany memang tidak terlalu tertarik pada barang-barang mewah,
Mata Jayla langsung membelalak!"Tiffany, maksudmu apa?" Dia menatap Tiffany dengan penuh amarah. "Kamu bilang aku jelek?""Nggak juga." Tiffany tersenyum tipis, lalu menyerahkan lipstik yang baru saja dicobanya kepada pegawai di kasir. "Aku ambil warna ini, tolong siapkan satu untukku."Pegawai itu dengan sigap mengambil lipstik dan segera pergi. Baru setelah itu, Tiffany menoleh ke arah Jayla yang masih berdiri di ambang pintu."Aku cuma mengatakan fakta. Saat ini aku nggak pakai riasan. Kamu pasti bisa melihat perbedaan antara dirimu yang memakai riasan dengan aku yang tanpa riasan.""Dan jangan asal menuduh. Aku nggak pernah bilang kalau kamu jelek. Itu ... kata-katamu sendiri."Selesai berbicara, Tiffany menguap, lalu melirik Jayla sekali lagi. "Biasanya di saat seperti ini, kamu pasti akan berbalik dan pergi dengan marah.""Di luar kelihatan seperti nggak mau mempermasalahkan, tapi sebenarnya dalam hati sadar kalau nggak punya bukti kuat untuk membantahku. Tapi, sekarang kamu mas
"Silakan bayar di sini."Tiffany menggigit bibirnya dan refleks melirik ke arah Julie.Saat masuk ke toko ini, dia hanya berencana membeli satu lipstik. Dia ingin membuat Filda berpikir bahwa dirinya sedang berpura-pura menjadi putri Keluarga Japardi. Jadi, dia tidak membawa uang sebanyak itu.Awalnya, Tiffany mengira 4 juta sudah lebih dari cukup. Ternyata, dua lipstik saja seharga 7,2 juta.Di sampingnya, Jayla menguap. "Cepat sedikit, aku masih menunggu lipstik yang kamu janjikan lho!"Setelah berkata demikian, tatapan Jayla yang mengandung sedikit ejekan menyapu ke arah Tiffany. "Jangan bilang kalau kamu nggak membawa cukup uang? Atau mungkin kamu nggak rela menghabiskan uangmu dan ingin menarik kembali perkataanmu?"Pegawai yang berdiri di samping Jayla tersenyum tipis ke arah Tiffany. "Bu, kalau kamu merasa lipstik ini kurang cocok, kami masih punya pilihan lain dengan harga berbeda ....""Aku cuma tertarik dengan warna dan model ini." Jayla menyilangkan tangan di dada, menunjukk
Jayla membuka matanya lebar-lebar. Dia memeriksa kartu itu dengan sangat teliti dari depan ke belakang, dan ternyata memang benar ada tulisan Tanuwijaya!Tiffany mengernyitkan alisnya dengan kesal saat menatap Jayla. "Bu Jayla, ini kartu temanku, tolong kembalikan pada kami. Aku cuma berjanji membelikanmu satu lipstik, tapi aku nggak pernah janji mau kasih kartu temanku padamu!"Jayla mendengus dingin, lalu menyelipkan kartu hitam itu ke tangan Tiffany. "Yakin kartu ini milik temanmu, bukan milikmu sendiri?"Wanita itu tertawa sinis. "Kartu ini jelas bertuliskan Tanuwijaya.""Setahuku, nggak banyak orang yang bermarga Tanuwijaya, dan yang bisa punya kartu hitam eksklusif seperti ini, jumlahnya jauh lebih sedikit. Sedangkan temanmu, sepertinya nggak ada hubungan sama Keluarga Tanuwijaya."Sambil berbicara, tatapannya yang dingin tertuju pada Tiffany. "Pantas saja kamu berani datang ke pusat perbelanjaan mewah dan beli lipstik semahal ini. Rupanya kamu sudah menjalin hubungan lagi sama K
Melihat jempol yang diacungkan oleh sahabatnya, Tiffany hanya mengangkat bahu dan menyerahkan kartu hitam itu kepada Julie. "Sepertinya ini semua berkat ajaran guru yang baik."Setelah berkata demikian, dia menundukkan kepalanya dan menatap kartu hitam yang barusan dikaitkan oleh Jayla dengan Sean. Kartu hitam ini memang memiliki simbol Keluarga Tanuwijaya.Di antara semua kartu eksklusif, kartu hitam dengan tulisan " Tanuwijaya" ini memiliki level tertinggi. Bahkan bisa dibilang, hanya orang seperti Sean dan Sanny yang bisa memiliki kartu ini.Tiffany menggoyangkan kartu itu di tangannya, lalu menatap Julie. "Kartu ini benar-benar milikmu?"Julie refleks menghindari tatapan Tiffany, lalu tersenyum canggung. "Ini ... kartu yang diberikan seorang teman padaku. Katanya, dia ingin meminjamkannya padaku supaya aku bisa membeli beberapa pakaian yang lebih bagus."Tiffany sama sekali tidak memercayai satu kata pun dari ucapan itu.Temannya melihat selera berpakaian Julie buruk, lalu langsung
Tiffany baru saja akan membalas ucapan Sean, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar pintu. "Tuan, Nyonya, makan malam sudah siap," suara Rika terdengar dari luar.Barulah Tiffany buru-buru melepaskan diri dari pelukan Sean. Mereka pun turun ke bawah dengan masih bergandengan tangan.Di ruang makan, Kendra dan Indira sudah duduk di meja bersama Arlo dan Arlene. Melihat Tiffany dan Sean bergandengan tangan saat turun dari tangga, Kendra dan Indira saling melirik, lalu tersenyum penuh arti.Sementara itu, Arlo duduk dengan tangan bersilang di dada. Wajah kecilnya yang imut tampak kesal. Sebaliknya, Arlene justru luar biasa bersemangat. Dia bertepuk tangan dan berseru, "Selamat ya, Paman Ganteng! Sekarang sudah bisa gandeng tangan Mama cantikku!""Terima kasih, Arlene." Sean tersenyum sambil menggandeng Tiffany menuju meja makan, lalu menarikkan kursi untuknya dengan sopan.Setelah Tiffany duduk, barulah Sean duduk di seberangnya. Makan malam keluarga pun dimulai."Ngomong-ngomon
Setelah telepon ditutup, Tiffany mengangkat pandangannya menatap Sean. Di saat yang sama, Sean juga menundukkan kepala menatap Tiffany.Setelah beberapa saat berlalu, keduanya tiba-tiba tertawa bersamaan.Sean merentangkan lengannya dan menarik Tiffany ke dalam pelukannya. "Sudah senang sekarang?""Dasar nakal.""Aku nakal, ya?"Tiffany mencemberutkan bibirnya, lalu menyandarkan wajahnya ke dada Sean sambil menggoda. "Kalau dibandingkan sama penyelamat hidupmu yang cuma minum seteguk obat pencahar terus pura-pura pingsan ... aku ini jauh lebih baik, 'kan?"Sean mengangguk setuju, lalu mengecup lembut pipinya. "Benar juga."Setelah itu, Sean menghela napas dan ekspresi wajahnya berubah sedikit sendu. "Padahal dulu Vivi nggak seperti itu. Setiap kali Lena bikin masalah, dia pasti langsung menegur adiknya dengan tegas. Makanya aku dulu sangat percaya sama dia.""Tapi sekarang dia berubah. Sepertinya, aku juga bersalah. Mungkin karena aku terlalu baik padanya, sampai dia lupa siapa dirinya
Wajah Tiffany langsung merah padam. Dia memalingkan wajahnya dan melangkah mundur untuk menjaga jarak dari Sean."Kapan aku bilang mau milih kamu?"Pria itu melangkah depan dengan berani. "Sejak kamu ikut pulang ke Kota Aven bersamaku, aku tahu, kamu sudah memilihku.""Tiffany." Mata Sean yang hitam pekat menatap Tiffany dengan dalam. Di dalamnya menyiratkan perasaan yang begitu mendalam. "Tiff, aku ingin mengulang semuanya dan hidup bersama denganmu. Aku manggil kamu Nyonya Tanuwijaya dan kamu panggil aku Sayang .... Boleh nggak?"Tiffany tertegun sejenak. Dia sama sekali tidak menyangka Sean akan bicara begini padanya dalam situasi seperti ini. Seketika, kepanikan langsung merayap di hatinya.Tiffany mengatupkan bibir dan berkata, "Sean, apa ... kamu nggak terlalu gegabah?""Apa iya?" Sean mendekapnya dalam pelukan, lalu mengecup dahinya. "Kalau begitu, bisa nggak Nyonya Tanuwijaya bilang padaku, cara seperti apa yang dianggap nggak gegabah?"Tiffany terdiam. Dia juga tidak tahu!Nam
"Sejak kapan Sean datang? Lena juga kenapa bisa menangis?"Tiffany menonton pertunjukan itu dengan senyum sinis. "Tadi kamu pingsan, jadi adikmu panik dan menangis. Sean juga naik ke atas karena khawatir melihatmu.""Pingsan?" Lena memasang wajah bingung. "Aku nggak pingsan kok .... Aku cuma minum air yang diberikan Kak Rika, lalu merasa agak ngantuk dan ketiduran."Tiffany pura-pura tersenyum. "Kalau begitu, tidurnya nyenyak nggak?""Cukup ... cukup nyenyak." Vivi tersenyum kikuk, lalu melirik tajam ke arah Lena. "Dasar kamu ini, suka panik berlebihan. Pasti bikin Sean dan Bu Tiffany ketakutan. Aku cuma ketiduran!"Lena cemberut dan tidak berbicara lagi karena kesal."Sudahlah, yang penting sudah sadar." Sejak tidak merasakan apa pun setelah meminum air tersebut, Sean sudah bisa menebak trik apa yang sedang dimainkan oleh Vivi. Hanya saja, dia malas mengungkapkannya."Kami turun dulu. Vivi, aku masih bisa menoleransi kamu tidur di rumahku kali ini, tapi aku nggak mau lihat hal seperti
Tiffany menaikkan alisnya. Harus diakui, kemampuan Lena dalam berpura-pura memang hebat. Saat berada di hadapannya, Lena mencerca kedua anaknya tanpa ampun. Namun, saat berada di hadapan Sean, dia malah mengatakan bahwa anak-anak tidak tahu apa pun, semuanya adalah ajaran orang tua?"Tapi, tadi aku sudah tanya sama anakku."Tiffany mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara tenang, "Anakku bilang, dia cuma menaruh tablet vitamin yang biasa aku hancurkan dan larutkan dalam air, ke dalam gelas air Vivi."Lena tertegun, lalu langsung menunjuk hidung Tiffany dan mulai memaki. "Vitamin? Kalau cuma vitamin, kenapa kakakku langsung pingsan setelah minum? Jelas-jelas itu racun!""Huh, demi menutupi kejahatan mengajari anakmu meracuni orang, kamu malah bilang itu cuma vitamin?"Suara Lena sangat kuat dan tajam saat menuding Tiffany, "Orang seperti kamu masih berani mengaku-ngaku sebagai dokter hebat? Hebat jadi algojo mungkin ya?"Tiffany tersenyum tenang, "Hebat jadi dokter atau algojo, kamu
Arlo mengangguk pelan, meskipun masih belum sepenuhnya mengerti. "Aku paham. Aku nggak akan diam-diam memasukkan obat pencahar ke dalam minuman orang lain lagi ...."Tiffany menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Arlo dengan lembut. Namun, tiba-tiba tangannya yang sedang mengusap kepala anaknya itu terhenti."Tunggu ... barusan kamu bilang ... yang kamu masukkan itu obat pencahar?""Iya." Arlo cemberut. "Itu obat pencahar yang Mama bawa dari rumah sakit untuk Paman Xavier yang sembelit. Paman bilang obatnya sangat manjur, jadi aku diam-diam mengambil sedikit ...."Tiffany sungguh kehabisan kata-kata. Anak macam apa yang dia besarkan ini? Obat pencahar untuk Xavier pun dicuri?"Katakan yang sejujurnya, selain ini, apa lagi yang sudah kamu ambil dari Paman Xavier tanpa sepengetahuanku?""Banyak ...." Arlo menggigit bibirnya. Dengan wajah polos, dia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Mama, apa sekarang wanita itu sudah mulai sakit perut? Mau ... kasih dia obat diare nggak?"Ucapan Ar
"Arlo!" Begitu keluar dari kamar tamu, Tiffany langsung mendorong pintu kamar anak tempat Arlo dan Arlene berada.Saat ini, Arlo dan Arlene sedang berbaring di sisi kiri dan kanan Kendra, mendengarkan cerita yang sedang diceritakan.Melihat Tiffany masuk, Arlo langsung merasa bersalah dan melirik ke arah wanita yang berdiri di ambang pintu dengan perasaan bersalah. "Ma ... Mama, kenapa tiba-tiba naik?"Melihat ekspresi bersalahnya, Tiffany langsung tahu bahwa ini pasti ulahnya. Bocah ini memang cerdas dan dewasa seperti ayahnya, tetapi dia tetap mewarisi beberapa sifat dari Tiffany, yaitu tidak bisa berbohong.Tiffany menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya. Dia menatap Arlo. "Sebelum aku benar-benar marah, lebih baik kamu segera mengaku. Apa yang kamu masukkan ke air yang kamu berikan kepada Bibi Rika?"Kendra yang sedang menikmati momen hangat bersama kedua anak itu pun mengerutkan kening. Dia tidak menyukai nada bicara Tiffany. "Tiff, kenapa marah-marah?""Arlo ini anak yang pa
"Kebetulan, adik perempuan Mark, Valerie, punya Porsche yang sudah nggak dipakai lagi. Jadi, aku kasih saja ke mereka ...."Penjelasan Sean membuat Tiffany hampir tidak bisa menahan tawa. Jika Lena tahu bahwa rumah yang dibanggakannya sebenarnya hanya standar fasilitas karyawan, dan mobil yang dipamerkannya hanyalah mobil bekas yang sudah tidak diinginkan Valerie, apakah dia masih bisa begitu arogan?"Aku juga ingin ganti mobil," ucap Tiffany sambil mengerutkan kening.Sean tertegun sesaat, lalu segera memahami maksudnya. Dia pun merangkul bahu Tiffany. "Nanti biar Genta membawamu ke garasiku, lihat saja mobil mana yang kamu suka."Tiffany mendongak meliriknya. "Kamu juga ingin aku mengendarai mobil bekas?"Sean tertawa. "Kalau mobilku diberikan kepadamu, mana bisa disebut mobil bekas? Atau kamu bisa mulai cari mobil yang kamu inginkan. Aku akan membelikannya untukmu."Setelah mengatakan itu, Sean melirik Tiffany dengan ekspresi pasrah. "Takutnya, meskipun aku beli kasih kamu, kamu ngg
Kata-kata selanjutnya tentu tidak keluar dari mulut Tiffany. Saat dia hendak berbicara, suara Lena yang penuh kepanikan tiba-tiba terdengar dari lantai atas. "Kak!!!"Tiffany dan Sean sama-sama mengernyit."Kamu naik dan lihatlah," kata Tiffany, meskipun sebenarnya dia sama sekali tidak tertarik untuk melihat kedua saudari munafik itu. Bagaimanapun, ini adalah rumah Sean. Kalau sesuatu benar-benar terjadi pada mereka, akan sulit untuk menjelaskannya.Sean langsung menggenggam tangannya. "Ayo."Tiffany berusaha menarik tangannya, mencoba melepaskan. "Aku nggak mau pergi. Mereka ada hubungannya denganmu, tapi nggak ada hubungannya denganku.""Tapi, kamu ini dokter." Sean menghela napas dengan pasrah, lalu menariknya ke pelukannya. Dengan lembut, dia mengusap kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Selain itu, kalau aku sendiri ...."Sean mengangkat dagunya, membuat mata mereka saling bertemu. "Kamu nggak cemburu?"Tiffany mendengus dan memutar bola matanya. "Aku nggak cemburu."Jika d