"Aku rasa kamu akhir-akhir ini terlalu santai, sampai otakmu nggak bisa berpikir dengan benar ya? Pergi teliti proyek yang kamu bicarakan denganku sebulan lalu! Dalam satu minggu, aku ingin melihat inovasi dan perubahan yang kamu buat dalam penelitian itu!""Pak ...." Tiffany bahkan belum sempat membela diri, tetapi pintu kantor direktur sudah tertutup dengan keras. Brak!"Dok Tiff." Melihat Tiffany baru saja dimarahi lagi oleh Morgan, Filda berpura-pura tersenyum dan menepuk bahunya dengan ramah. “Akhir-akhir ini, Pak Morgan sedang banyak masalah di rumah. Makanya, suasana hatinya sedang buruk. Jangan menambah bebannya lagi."Tiffany mengatupkan bibirnya. Dalam hati, dia mengingat rencana yang sebelumnya dikatakan oleh Sean kepadanya. Dengan pasrah, dia hanya bisa menghela napas dan menatap Filda."Kamu juga tahu, kondisi Zion sekarang sangat sulit." Setelah mengatakan itu, Tiffany menggeleng. "Apa aku boleh duduk di kantormu sebentar? Aku ingin berbincang denganmu."Filda langsung be
Sean tersenyum. "Aku senang kamu berpikir seperti itu."Sanny mencebik. "Kamu senang buat apa? Yang penting itu kamu harus segera mendapatkannya kembali.""Beberapa hari ini, aku dengar dari para suster tentang kehidupannya dalam 2 tahun terakhir. Pria yang mengejarnya banyak sekali. Kalau kamu nggak berusaha lebih keras, anak-anakmu akan memanggil orang lain sebagai ayah!"Mata Sean sedikit meredup, tetapi dia tetap mengupas apel dengan tenang. "Mereka nggak akan punya kesempatan itu."Conan dan Sanny bertatapan. Detik berikutnya, apel dan pisau di tangan Sean kembali direbut. Conan langsung menariknya dan mendorongnya keluar dari kamar. "Jangan buang waktu di sini, kakakmu ada aku yang menjaganya. Pergi temui Dokter Tiffany!"Begitu ucapan itu dilontarkan, bam! Pintu kamar langsung tertutup rapat.Sean berdiri di luar pintu, menatap pintu yang tertutup rapat itu, lalu menghela napas pelan. Ternyata cinta benar-benar bisa mengubah seseorang.Jika 5 tahun lalu Sanny sudah bertemu Conan
Filda menatap Tiffany untuk waktu yang cukup lama. "Kamu bilang ... Keluarga Japardi yang di Elupa itu?"Marga ini sangatlah istimewa. Filda pernah mendengarnya saat belajar di Elupa dulu. Mereka adalah keluarga dengan kekuatan besar.Kini, Tiffany mengatakan bahwa dirinya bermarga Japardi. Selain keluarga itu, tidak ada keluarga lain yang terpikirkan olehnya."Benar." Tiffany tersenyum santai pada Filda. "Kamu pernah mendengar tentang keluarga kami?""Tentu saja ... pernah." Filda tersenyum, tetapi dalam hatinya mengejek habis-habisan, 'Keluarga Japardi? Jangan bercanda!'Keluarga Japardi adalah keluarga bangsawan di Elupa! Mana mungkin seorang putri dari keluarga bangsawan pergi ke kota kecil seperti Kota Kintan hanya untuk menjadi dokter biasa? Jangan kira dirinya tidak tahu apa-apa!Bahkan, apartemen yang Tiffany tinggali sekarang pun adalah fasilitas kecil yang dia dapatkan dari rumah sakit ketika pertama kali datang! Wanita ini berani mengaku sebagai anggota Keluarga Japardi? Das
Tatapan Tiffany menjadi suram. Saat berikutnya, dia melangkah dengan cepat menuju meja perawat dan berhenti tepat di depannya.Sean membelakangi Tiffany, sama sekali tidak menyadari bahwa dia sudah datang. Sebaliknya, seorang suster yang jeli langsung melihat kehadiran seorang wanita yang berdiri di belakangnya dengan aura penuh amarah."Dok ... Tiff ...." Begitu mendengar suara suster itu, semua orang langsung terdiam.Sean menoleh dan melirik Tiffany, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah saat tertangkap basah. Bahkan, dia tersenyum lembut kepadanya. "Hai."Pria itu terlihat begitu tenang, tetapi para suster di sekitar justru tidak bisa santai. Mereka semua melirik Tiffany dengan hati-hati. Kenapa rasanya Tiffany terlihat tidak senang? Apa dia baru saja dimarahi oleh Filda?"Kalian nggak ada kerjaan?" Tiffany mengerutkan kening. Dari jauh tadi, dia tidak bisa mendengar percakapan mereka. Namun, sekarang saat sudah dekat, dia bisa mendengar suara bel panggilan perawat terus berb
Saat melewati Sean, Julie tersenyum tipis. "Demi menyingkirkan para pengganggu, aku terpaksa mengorbankan kakakmu."Sean tertawa pelan. "Dia pasti sangat senang."Julie mendengus, lalu pergi bersama para dokter muda. Seketika, ruangan itu hanya tersisa Tiffany dan Sean.Tiffany menutup pintu kantor, lalu menoleh ke arah Sean. "Barusan, kamu bertanya tentang aku ke para suster?""Kalau nggak?" Sean tersenyum tipis. "Aku sama sekali nggak tertarik pada mereka."Tiffany terdiam. Meskipun dalam hatinya dia selalu berpikir bahwa mereka tidak punya hubungan lagi, entah kenapa, kata-kata itu membuat hatinya terasa agak hangat.Wanita itu menggigit bibirnya, lalu berdeham dengan pelan. "Mereka bilang apa lagi padamu?""Banyak." Sean duduk di kursi Tiffany, lalu menyilangkan kaki dan membuka berkas di meja Tiffany, sebelum akhirnya melirik ke layar komputernya."'Presdir, Istrimu Kabur Lagi'?" Sean menaikkan alisnya dan menatap Tiffany dengan tatapan penuh makna. "Siapa yang bilang dia sudah ng
"Menawar harga saat belanja di pasar? Bukankah itu hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu?" Tiffany melirik Sean dengan kesal. Nada suaranya terdengar kurang yakin.Meskipun membantah, Tiffany tahu bahwa sejak datang ke Kota Kintan, tidak ada satu pun tindak-tanduknya yang mencerminkan identitasnya sebagai putri Keluarga Japardi.Namun, dirinya memang seperti itu. Sejak kecil, dia tumbuh di Desa Maheswari dan tidak pernah hidup bergelimang harta, juga tidak iri pada kehidupan seperti itu. Bahkan, dia menyukai kehidupannya yang sekarang.Yang jelas, Tiffany sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Filda dan memberinya peringatan. Jika Filda tidak mau percaya, itu salahnya sendiri karena terlalu picik.Tiffany menarik napas dalam, lalu menatap Sean. "Jadi, selanjutnya kita tinggal menunggu musuh terjebak dalam perangkap?"Sean mengangguk dan tersenyum. "Sambil menunggu, kamu bisa jalan-jalan dengan Julie."Tiffany mengernyit. "Jalan-jalan?""Benar." Tatapan Sean memancarkan sediki
Julie termangu sejenak. Tiffany sedang bad mood? Kenapa rasanya justru sebaliknya? Sepertinya suasana hati Tiffany sedang sangat bagus belakangan ini?Setiap hari, Sean selalu mengikuti Tiffany ke mana pun dia pergi. Sudah lama Julie tidak melihat Tiffany tertawa sebahagia ini."Sudah kuputuskan! Aku akan minta izin ke Direktur dan Kepala Departemen untukmu!" Sesudah mengatakan itu, Tiffany langsung menutup telepon dengan wajah riang.Di sisi lain, Sanny tampak terkejut saat melihat Julie. "Tiffany mau pergi jalan-jalan?"Julie mengernyit. Karena Tiffany, dia selalu memiliki kesan kurang baik terhadap Sanny. Sekarang, melihat Sanny begitu antusias malah membuatnya merasa kurang nyaman."Conan!" Sanny memberi isyarat mata kepada Conan.Conan segera mengeluarkan kartu hitam dari tas. "Kartu ini unlimited. Kamu temani Tiffany jalan-jalan. Apa pun yang dia suka, belikan saja untuknya."Julie terkejut menatap Sanny. "Kartu hitam unlimited ... kamu memercayakannya kepadaku begitu saja?""Kar
Karena perilaku aneh Tiffany dalam beberapa hari terakhir, Morgan selalu merasa bahwa ada yang tidak beres dengannya.Jadi, ketika Tiffany meminta izin ke Morgan dan Kenji untuk pergi jalan-jalan bersama Julie, Morgan langsung memberi isyarat mata kepada Kenji.Kenji segera tersenyum dan menandatangani surat izin. "Tiff, kalau kamu sedang bad mood, lebih baik jalan-jalan dan jangan terlalu banyak berpikir!""Julie adalah sahabat terbaikmu, biarkan dia menemanimu dan membantu menyelesaikan masalah di hatimu! Nikmati saja jalan-jalanmu selama 2 hari, lalu kembali bekerja dengan semangat ya!"Tiffany tersenyum dan mengangguk sebelum berbalik pergi. Namun, begitu keluar dari kantor kepala departemen, dia menyadari bahwa surat izinnya tertulis untuk 2 hari.Dia pun mengernyit. Padahal, dia hanya meminta izin untuk sehari. Tanpa berpikir, dia berbalik dan membuka kembali pintu kantor.Di dalam ruangan, Kenji sedang berbicara di telepon. "Julie? Iya, iya, aku sudah mengizinkannya.""Pak Morga
Ketika Tiffany baru saja selesai mengobrol dengan rekan kerjanya, di kejauhan Sean sudah melihat sosok mungil wanita itu.Dengan senyuman tipis di wajah, pria itu membawa sebuket besar mawar dan melangkah perlahan ke arah Tiffany.Tiffany mendengar jelas suara tarikan napas terkejut dari para rekan kerja wanita di sekitarnya. Dia menggigit bibirnya dan tetap berdiri di tempat, meskipun hatinya sudah penuh kegelisahan.Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, yang tidak pernah dia duga adalah Sean tiba-tiba berhenti dua langkah di depannya, lalu berlutut dengan satu kaki dan menatapnya sambil memegang buket.Di wajah Sean yang selalu terlihat tegas, kini penuh dengan kelembutan yang mendalam. "Tiff."Suara bariton yang dalam memanggil nama Tiffany dengan lembut. Nada penuh kasih itu seketika membuat kegelisahan Tiffany menghilang.Tiffany menunduk, menatap wajah pria itu. "Hmm."Teriakan dan gumaman dari rekan-rekan wanita kembali terdengar. Mereka mulai bergosip dengan heboh.
Jadi, ini bukan salah siapa-siapa. Ini salahnya sendiri yang buta, yang tidak pandai bicara!Saat Tiffany tiba di pintu depan, rombongan mobil panjang yang dipenuhi mawar itu sudah berhenti tepat di depan institut. Hampir semua karyawan wanita di institut sudah berkumpul di sana.Sebenarnya, semua orang punya satu pemikiran yang sama. Bagaimana kalau mereka adalah orang yang dicari? Kalaupun bukan, bisa berfoto dengan mobil yang dipenuhi mawar sebanyak ini juga sudah cukup pantas!Beberapa rekan wanita bahkan mengajak Tiffany mengobrol santai, "Dok Tiff, kamu masih lajang?"Tiffany menggigit bibirnya, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Anakku sudah 5 tahun.""Begitu rupanya." Rekan kerja itu menghela napas dengan agak kecewa. "Aku pikir ini hari pertama kamu bekerja, jadi ada yang datang dengan rombongan mobil seperti ini untuk menyatakan cinta padamu."Setelah berkata begitu, dia menatap Tiffany dengan ekspresi agak malu. "Kalau anakmu sudah 5 tahun, berarti kamu dan suamimu termasuk
"Wah, wah, wah! Aku nggak salah lihat, 'kan? Rombongan mobil panjang itu benar-benar bergerak ke arah lembaga penelitian kita!""Ya ampun, apa ada yang ingin menyatakan cinta pada orang di institut ini? Ini terlalu mewah dan romantis!""Ya Tuhan, aku harus merekam ini dan mengunggahnya ke internet ...."....Tiffany keluar dari kamar mandi, lalu melihat seluruh jendela di sepanjang koridor sudah dipenuhi oleh orang-orang.Para rekan kerja perempuan tampak iri dan kagum, sementara para rekan pria hanya menatap dengan dingin. Tiffany ingin sekali bersembunyi.Ini baru hari pertamanya bekerja, tetapi dia sudah membuat seluruh institut memiliki "kesan mendalam" seperti ini. Bagaimana dia bisa menjalani hari-harinya nanti?Tiffany berniat menyelinap keluar melalui pintu belakang. Faktanya, dia sudah berkemas dan hanya perlu kabur.Namun, kebetulan sekali, dia malah bertemu dengan Risyad di pintu belakang. Risyad menatapnya sambil tersenyum ramah. "Tiff."Orang lain mungkin tidak tahu apa ma
"Dulu Julie sudah rela tinggalkan semuanya demi dia dan akhirnya malah dia yang mengusir Julie pergi. Dia sendiri yang bilang seumur hidup nggak mau lihat Julie lagi. Sekarang ... maksudnya apa coba?""Baru nyesal setelah putus?" Semakin berbicara, Tiffany semakin kesal. "Kalau dari awal memang nggak bisa benar-benar melepaskan, kenapa dulu tega melepaskan begitu saja!""Hmm." Sean menghela napas pelan. "Makanya, Tiff."Suara pria itu terdengar serius. "Aku benar-benar merasa sangat beruntung ... karena kamu bersedia menerimaku kembali."Tangan Tiffany yang menggenggam ponsel terhenti sejenak. Dia terpaku sejenak dan baru menyadari ucapan barusan membuat Sean mengingat kembali dirinya sendiri."Hari ketiga setelah kita berpisah ... aku sudah menyesal." Sean berdiri di puncak gedung tinggi milik Grup Tanuwijaya sambil menatap jalanan kota yang sibuk. Suaranya lembut dan penuh perasaan."Tapi waktu itu ... kamu sudah pergi. Aku pikir kamu pasti kecewa berat sama aku. Aku pikir ... mungki
"Baiklah." Julie menghela napas, "Lagian, sudah banyak rahasia yang kujaga, nggak masalah kalau nambah satu lagi."Sambil berbicara, Julie mengambil cangkir kopi dan menyesapnya. "Gimana kerjaan barumu?"Tiffany tersenyum. "Sejauh ini, pekerjaan baruku lumayan bagus. Di lembaga riset, nggak ada yang peduli soal masa laluku. Suasananya juga harmonis dan penuh pengertian. Aku baru kerja belum genap sehari, tapi sejauh ini rasanya menyenangkan."Julie mengangguk. "Syukurlah kalau begitu. Kamu 'kan orangnya lembut banget, aku sempat khawatir kamu bakal ditindas di sana.""Kebanyakan mikir!" Tiffany tersenyum lebar, lalu mengambil teko kopi dan menuangkan ke cangkirnya dan milik Julie. "Kalau kamu sendiri? Setelah balik ke Kota Aven, mau cari kerja apa?""Atau ... mau aku tanya ke kepala lembaga? Siapa tahu mereka lagi buka lowongan.""Jangan, jangan!" Julie cepat-cepat melambaikan tangannya. "Aku nggak cocok kerja di tempat seperti lembaga riset yang tiap hari cuma duduk diam di kantor. Bu
Sean menatap ke kejauhan. Suaranya tenang, sejauh pandangannya melayang. "Karena ingin dikenang untuk waktu yang lama, aku minta orang untuk membuat album kenangan itu dengan bahan logam berlapis emas ....""Awalnya, aku cuma mau album itu bisa bertahan lama. Tapi ternyata ... dalam kebakaran tiga tahun lalu, album itu ikut hilang."Saat berkata, dia menggeleng dengan ekspresi menyesal. "Mark menduga, karena sampul album itu berlapis emas, kemungkinan besar ada orang yang menemukannya lalu mengambilnya untuk dilebur jadi emas ...."Lalu pria itu menunduk dan mencubit lembut ujung hidung Tiffany. "Sayang sih, tapi yang penting kamu sudah kembali. Mulai sekarang, kita masih punya banyak hal yang bisa kita kenang bersama."Tiffany terdiam dan bibirnya terkatup rapat. Dia hanya menggenggam tangan Sean tanpa berkata apa pun. Mana mungkin dia memberi tahu Sean bahwa album kenangan itu ... masih ada.Terselip rapi di lapisan dalam koper yang dia bawa.Album itu tidak pernah hilang. Tidak ada
Tiffany baru saja akan membalas ucapan Sean, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar pintu. "Tuan, Nyonya, makan malam sudah siap," suara Rika terdengar dari luar.Barulah Tiffany buru-buru melepaskan diri dari pelukan Sean. Mereka pun turun ke bawah dengan masih bergandengan tangan.Di ruang makan, Kendra dan Indira sudah duduk di meja bersama Arlo dan Arlene. Melihat Tiffany dan Sean bergandengan tangan saat turun dari tangga, Kendra dan Indira saling melirik, lalu tersenyum penuh arti.Sementara itu, Arlo duduk dengan tangan bersilang di dada. Wajah kecilnya yang imut tampak kesal. Sebaliknya, Arlene justru luar biasa bersemangat. Dia bertepuk tangan dan berseru, "Selamat ya, Paman Ganteng! Sekarang sudah bisa gandeng tangan Mama cantikku!""Terima kasih, Arlene." Sean tersenyum sambil menggandeng Tiffany menuju meja makan, lalu menarikkan kursi untuknya dengan sopan.Setelah Tiffany duduk, barulah Sean duduk di seberangnya. Makan malam keluarga pun dimulai."Ngomong-ngomon
Setelah telepon ditutup, Tiffany mengangkat pandangannya menatap Sean. Di saat yang sama, Sean juga menundukkan kepala menatap Tiffany.Setelah beberapa saat berlalu, keduanya tiba-tiba tertawa bersamaan.Sean merentangkan lengannya dan menarik Tiffany ke dalam pelukannya. "Sudah senang sekarang?""Dasar nakal.""Aku nakal, ya?"Tiffany mencemberutkan bibirnya, lalu menyandarkan wajahnya ke dada Sean sambil menggoda. "Kalau dibandingkan sama penyelamat hidupmu yang cuma minum seteguk obat pencahar terus pura-pura pingsan ... aku ini jauh lebih baik, 'kan?"Sean mengangguk setuju, lalu mengecup lembut pipinya. "Benar juga."Setelah itu, Sean menghela napas dan ekspresi wajahnya berubah sedikit sendu. "Padahal dulu Vivi nggak seperti itu. Setiap kali Lena bikin masalah, dia pasti langsung menegur adiknya dengan tegas. Makanya aku dulu sangat percaya sama dia.""Tapi sekarang dia berubah. Sepertinya, aku juga bersalah. Mungkin karena aku terlalu baik padanya, sampai dia lupa siapa dirinya
Wajah Tiffany langsung merah padam. Dia memalingkan wajahnya dan melangkah mundur untuk menjaga jarak dari Sean."Kapan aku bilang mau milih kamu?"Pria itu melangkah depan dengan berani. "Sejak kamu ikut pulang ke Kota Aven bersamaku, aku tahu, kamu sudah memilihku.""Tiffany." Mata Sean yang hitam pekat menatap Tiffany dengan dalam. Di dalamnya menyiratkan perasaan yang begitu mendalam. "Tiff, aku ingin mengulang semuanya dan hidup bersama denganmu. Aku manggil kamu Nyonya Tanuwijaya dan kamu panggil aku Sayang .... Boleh nggak?"Tiffany tertegun sejenak. Dia sama sekali tidak menyangka Sean akan bicara begini padanya dalam situasi seperti ini. Seketika, kepanikan langsung merayap di hatinya.Tiffany mengatupkan bibir dan berkata, "Sean, apa ... kamu nggak terlalu gegabah?""Apa iya?" Sean mendekapnya dalam pelukan, lalu mengecup dahinya. "Kalau begitu, bisa nggak Nyonya Tanuwijaya bilang padaku, cara seperti apa yang dianggap nggak gegabah?"Tiffany terdiam. Dia juga tidak tahu!Nam