"Sepuluh ribu nggak cukup lho, Mama."Arlo berkedip dengan wajah polos, lalu menatap Tiffany. "Mama, turun beli garam itu butuh tenaga. Aku perlu satu es krim untuk mengembalikan kaloriku. Dan aku juga nggak bisa makan es krim sendirian di depan Arlene. Jadi, Mama, kamu harus kasih aku uang untuk beli dua es krim!"Tiffany menatap putranya yang baru berusia lima tahun tapi sudah sangat cerdas dalam berhitung. "Dasar bocah cerdik."Sambil menghela napas, dia mengambil uang 20 ribu dari sakunya dan menyerahkannya pada Arlo. "Hari ini kamu boleh beli dua es krim yang enak.""Hore!" Arlene yang memakai piama pink bergambar kelinci langsung bertepuk tangan dengan gembira. "Mama memang yang terbaik!"Tiffany hanya bisa tersenyum pasrah lalu menatap Arlo. "Pergi dan cepat kembali.""Siap!"Setelah mendengar jawaban putranya, Tiffany berbalik menuju dapur.Sementara itu, Arlo mengganti sepatunya dan bersiap turun. Sebelum pergi, dia masih menyempatkan diri untuk menoleh ke adiknya. "Tunggu aku
"Paman, kenapa Paman nggak suka makan stroberi?"Di sofa, Arlene yang mengenakan piama pink bergambar kelinci menggigit sebuah stroberi segar dengan lahap. Matanya yang besar dan jernih menatap Sean dengan penasaran. "Stroberi itu enak sekali! Kenapa Paman nggak suka?""Yah, cuma nggak suka saja."Sean duduk di sebelahnya, tersenyum kecil saat melihatnya makan dengan penuh semangat. "Kamu suka makan stroberi?""Suka!"Arlene mengangguk dengan semangat. "Tapi Kakak bilang stroberi itu mahal. Nggak bisa selalu minta Mama membelinya. Mama capek!"Tatapan Sean sedikit meredup. "Mama yang bilang sama kamu begitu atau Kakak?""Kakak!" Arlene tersenyum cerah. "Kakak bilang Mama capek sekali. Tapi Mama bilang, Mama nggak capek."Gadis kecil itu mengerutkan kening dengan wajah bingung. "Aku jadi pusing. Aku nggak tahu Mama benar-benar capek atau nggak."Sean mengulurkan tangan dan mengusap lembut rambut hitamnya. "Mama-mu pasti capek.""Kakak juga bilang begitu!"Sean mengangguk kecil. Merawat
Stroberi segar lebih enak daripada es krim stroberi!Setelah Arlene menghabiskan es krimnya perlahan, makanan di meja makan sudah hampir dingin.Melihat adiknya masih santai dan tidak terburu-buru, Arlo berjalan mendekat, lalu mengusap sisa es krim di sudut bibirnya. "Cuci tangan dulu, lalu makan!"Arlene mengerutkan alis kecilnya. "Aku sudah kenyang."Tadi di rumah paman tetangga, dia sudah makan banyak stroberi. Ditambah satu es krim, sekarang perutnya terasa penuh dan tidak bisa makan apa pun lagi.Tiffany mengernyit. "Cuma makan segini saja?"Es krim yang dibeli Arlo bukan ukuran besar, hanya sekitar 50 gram. Meskipun es krim mengandung banyak kalori, tidak mungkin hanya dengan itu Arlene sudah merasa kenyang."Iya." Arlene mengusap perutnya dengan malu-malu. "Sudah nggak muat lagi!""Mama, Kakak, kalian makan saja. Aku mau nonton kartun dulu!"Tiffany kembali duduk di meja makan, menatap Arlo dengan curiga, lalu merendahkan suaranya. "Kamu kasih adikmu makan apa tadi?"Arlo menger
Tiffany hanya mengangkat bahu dan melirik Arlene melalui kaca spion. Wajah mungilnya masih memerah karena menangis. "Kalau kamu tega, kamu saja yang tangani dia."Arlo terdiam sejenak, lalu menoleh ke adiknya.Gadis kecil itu masih mengusap air mata dengan tangan mungilnya dan menatap Arlo dengan mata yang penuh kesedihan. "Kakak, apa Kakak sudah nggak sayang lagi sama Arlene?"Suara mungilnya terdengar manja dan sedikit terisak, berpadu dengan ekspresi polos khasnya .... Tubuh Arlo langsung menegang.Beberapa detik kemudian, dia membuang muka dan berpura-pura menatap keluar jendela. Dengan nada jengkel, dia bergumam, "Yang jadi ibu itu Mama, kenapa harus aku yang jadi penjahat?"Tiffany terkekeh pelan.Dua anak ini ....Meskipun Arlo hanya lebih tua lima menit dari adiknya, dia jauh lebih dewasa. Di luar sikapnya yang selalu tampak kesal terhadap adiknya, Tiffany tahu betul, tidak ada yang lebih menyayangi Arlene selain kakaknya.Tiffany melirik kaca spion lagi, melihat Arlene yang ma
'Sepertinya aku harus mencari waktu untuk berkenalan dengan tetangga baru.'Dengan pemikiran itu, Tiffany membuka pintu dan membawa kedua anaknya masuk ke rumah.Begitu masuk, Arlo langsung membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah puzzle, lalu menuangkannya di atas karpet ruang tamu. "Mama, puzzle ini adalah hadiah dari guru TK hari ini!"Tiffany melirik puzzle di lantai dan langsung mengenalinya.Puzzle ini ....Dulu, Arlo memang sangat menyukai mainan edukatif seperti ini. Suatu kali, ketika dia dan Xavier pergi berbelanja, pria itu ingin membelikan puzzle serupa untuk Arlo, tetapi Tiffany menolaknya.Alasannya?Terlalu mahal.Satu set puzzle ini hampir seharga sepuluh juta!Xavier bahkan sempat menggoda Tiffany, menyebutnya terlalu pelit pada anaknya sendiri. Namun, ini bukan soal pelit atau tidak. Tiffany selalu memastikan bahwa kedua anaknya memiliki kehidupan yang layak, tanpa merasa rendah diri dibandingkan anak-anak lain.Dari makanan hingga pakaian, dia selalu berusaha member
Arlene berdiri di atas karpet merah muda di depan pintu apartemen Sean dan mengeluarkan kartu akses dari saku piamanya dengan hati-hati. Dengan gerakan kecil, dia menggesek kartu di pintu."Beep!"Pintu terbuka.Di dalam, suasana masih sunyi, tidak ada siapa pun. Namun, di atas meja kopi di ruang tamu, masih ada sepiring besar stroberi segar, sama seperti kemarin.Mata Arlene langsung berbinar!Keputusannya tidak meminta Mama membeli stroberi tadi sangat tepat! Stroberi di pasar mana mungkin sebagus yang ada di rumah Paman tetangga ini! Rasanya juga pasti lebih enak!Karena nafsu makannya, gadis kecil itu berlari dengan gembira ke arah stroberi.Satu buah, dua buah, tiga buah ....Rasanya yang asam manis langsung membuat senyumnya semakin lebar. Sampai Ketika dia makan sampai hampir kenyang, Arlene mengusap perutnya dan bersendawa kecil.Namun, Arlene masih ingat peringatan ibunya. Jika tidak makan malam dengan baik, dia harus pergi ke dokter! Jadi, dia harus menyisakan ruang di perut
"Eee ... anu, aku seharusnya melepaskan bajuku dulu atau bajumu dulu?" tanya Tiffany Maheswari dengan hati-hati. Dia berdiri di depan kamar mandi dan hanya membalut tubuhnya dengan handuk.Malam ini adalah malam pertamanya. Pria di depan sana, yang duduk di kursi roda dan menutup matanya dengan sutra hitam adalah suaminya.Ini pertama kalinya Tiffany bertemu calon suaminya. Parasnya lebih tampan daripada yang terlihat di foto. Hidungnya mancung, alisnya tebal, tubuhnya tinggi dan tegap. Ini adalah tipe pria Tiffany.Sayang sekali, pria itu buta dan duduk di kursi roda. Ada yang mengatakan bahwa Sean Tanuwijaya adalah pembawa sial. Ketika berusia 9 tahun, orang tuanya meninggal karenanya. Ketika berusia 13 tahun, kakaknya meninggal karenanya. Kemudian, 3 wanita yang pernah menjadi calon istrinya juga mati.Ketika mendengar rumor ini, Tiffany sangatlah takut. Namun, pamannya bilang mereka baru bisa mengobati penyakit neneknya jika dia menikah dengan Sean. Demi neneknya, Tiffany bersedia
Tiffany bertanya dengan heran, "Kalau aku keluar, kamu bisa mandi sendirian?"Bukannya pria ini tidak bisa melihat apa pun? Sean tidak berbicara, tetapi suasana menjadi makin menegangkan.Tiffany bisa merasakan kemarahan Sean. Dia melepaskan handuk gosoknya, lalu berucap sebelum pergi, "Kalau begitu, kamu hati-hati ya. Panggil aku kalau butuh bantuan."Setelah keluar dari kamar mandi, Tiffany tampak gelisah dan terus memandang ke arah kamar mandi. Bagaimana kalau Sean terjatuh dan mati di dalam sana? Mereka baru menikah. Tiffany tidak ingin menjadi janda.Ketika Tiffany sedang mencemaskan Sean, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata sahabatnya, Julie, mengirimnya sebuah video. Judul video itu adalah materi pelajaran.Materi pelajaran? Tiffany mengkliknya dengan heran sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ujian masih lama. Untuk apa mengirimnya materi pelajaran sekarang?'"Um ... ah ... hm ...." Begitu video diputar, terlihat seorang wanita bersandar di atas tubuh seorang pria ....Wajah
Arlene berdiri di atas karpet merah muda di depan pintu apartemen Sean dan mengeluarkan kartu akses dari saku piamanya dengan hati-hati. Dengan gerakan kecil, dia menggesek kartu di pintu."Beep!"Pintu terbuka.Di dalam, suasana masih sunyi, tidak ada siapa pun. Namun, di atas meja kopi di ruang tamu, masih ada sepiring besar stroberi segar, sama seperti kemarin.Mata Arlene langsung berbinar!Keputusannya tidak meminta Mama membeli stroberi tadi sangat tepat! Stroberi di pasar mana mungkin sebagus yang ada di rumah Paman tetangga ini! Rasanya juga pasti lebih enak!Karena nafsu makannya, gadis kecil itu berlari dengan gembira ke arah stroberi.Satu buah, dua buah, tiga buah ....Rasanya yang asam manis langsung membuat senyumnya semakin lebar. Sampai Ketika dia makan sampai hampir kenyang, Arlene mengusap perutnya dan bersendawa kecil.Namun, Arlene masih ingat peringatan ibunya. Jika tidak makan malam dengan baik, dia harus pergi ke dokter! Jadi, dia harus menyisakan ruang di perut
'Sepertinya aku harus mencari waktu untuk berkenalan dengan tetangga baru.'Dengan pemikiran itu, Tiffany membuka pintu dan membawa kedua anaknya masuk ke rumah.Begitu masuk, Arlo langsung membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah puzzle, lalu menuangkannya di atas karpet ruang tamu. "Mama, puzzle ini adalah hadiah dari guru TK hari ini!"Tiffany melirik puzzle di lantai dan langsung mengenalinya.Puzzle ini ....Dulu, Arlo memang sangat menyukai mainan edukatif seperti ini. Suatu kali, ketika dia dan Xavier pergi berbelanja, pria itu ingin membelikan puzzle serupa untuk Arlo, tetapi Tiffany menolaknya.Alasannya?Terlalu mahal.Satu set puzzle ini hampir seharga sepuluh juta!Xavier bahkan sempat menggoda Tiffany, menyebutnya terlalu pelit pada anaknya sendiri. Namun, ini bukan soal pelit atau tidak. Tiffany selalu memastikan bahwa kedua anaknya memiliki kehidupan yang layak, tanpa merasa rendah diri dibandingkan anak-anak lain.Dari makanan hingga pakaian, dia selalu berusaha member
Tiffany hanya mengangkat bahu dan melirik Arlene melalui kaca spion. Wajah mungilnya masih memerah karena menangis. "Kalau kamu tega, kamu saja yang tangani dia."Arlo terdiam sejenak, lalu menoleh ke adiknya.Gadis kecil itu masih mengusap air mata dengan tangan mungilnya dan menatap Arlo dengan mata yang penuh kesedihan. "Kakak, apa Kakak sudah nggak sayang lagi sama Arlene?"Suara mungilnya terdengar manja dan sedikit terisak, berpadu dengan ekspresi polos khasnya .... Tubuh Arlo langsung menegang.Beberapa detik kemudian, dia membuang muka dan berpura-pura menatap keluar jendela. Dengan nada jengkel, dia bergumam, "Yang jadi ibu itu Mama, kenapa harus aku yang jadi penjahat?"Tiffany terkekeh pelan.Dua anak ini ....Meskipun Arlo hanya lebih tua lima menit dari adiknya, dia jauh lebih dewasa. Di luar sikapnya yang selalu tampak kesal terhadap adiknya, Tiffany tahu betul, tidak ada yang lebih menyayangi Arlene selain kakaknya.Tiffany melirik kaca spion lagi, melihat Arlene yang ma
Stroberi segar lebih enak daripada es krim stroberi!Setelah Arlene menghabiskan es krimnya perlahan, makanan di meja makan sudah hampir dingin.Melihat adiknya masih santai dan tidak terburu-buru, Arlo berjalan mendekat, lalu mengusap sisa es krim di sudut bibirnya. "Cuci tangan dulu, lalu makan!"Arlene mengerutkan alis kecilnya. "Aku sudah kenyang."Tadi di rumah paman tetangga, dia sudah makan banyak stroberi. Ditambah satu es krim, sekarang perutnya terasa penuh dan tidak bisa makan apa pun lagi.Tiffany mengernyit. "Cuma makan segini saja?"Es krim yang dibeli Arlo bukan ukuran besar, hanya sekitar 50 gram. Meskipun es krim mengandung banyak kalori, tidak mungkin hanya dengan itu Arlene sudah merasa kenyang."Iya." Arlene mengusap perutnya dengan malu-malu. "Sudah nggak muat lagi!""Mama, Kakak, kalian makan saja. Aku mau nonton kartun dulu!"Tiffany kembali duduk di meja makan, menatap Arlo dengan curiga, lalu merendahkan suaranya. "Kamu kasih adikmu makan apa tadi?"Arlo menger
"Paman, kenapa Paman nggak suka makan stroberi?"Di sofa, Arlene yang mengenakan piama pink bergambar kelinci menggigit sebuah stroberi segar dengan lahap. Matanya yang besar dan jernih menatap Sean dengan penasaran. "Stroberi itu enak sekali! Kenapa Paman nggak suka?""Yah, cuma nggak suka saja."Sean duduk di sebelahnya, tersenyum kecil saat melihatnya makan dengan penuh semangat. "Kamu suka makan stroberi?""Suka!"Arlene mengangguk dengan semangat. "Tapi Kakak bilang stroberi itu mahal. Nggak bisa selalu minta Mama membelinya. Mama capek!"Tatapan Sean sedikit meredup. "Mama yang bilang sama kamu begitu atau Kakak?""Kakak!" Arlene tersenyum cerah. "Kakak bilang Mama capek sekali. Tapi Mama bilang, Mama nggak capek."Gadis kecil itu mengerutkan kening dengan wajah bingung. "Aku jadi pusing. Aku nggak tahu Mama benar-benar capek atau nggak."Sean mengulurkan tangan dan mengusap lembut rambut hitamnya. "Mama-mu pasti capek.""Kakak juga bilang begitu!"Sean mengangguk kecil. Merawat
"Sepuluh ribu nggak cukup lho, Mama."Arlo berkedip dengan wajah polos, lalu menatap Tiffany. "Mama, turun beli garam itu butuh tenaga. Aku perlu satu es krim untuk mengembalikan kaloriku. Dan aku juga nggak bisa makan es krim sendirian di depan Arlene. Jadi, Mama, kamu harus kasih aku uang untuk beli dua es krim!"Tiffany menatap putranya yang baru berusia lima tahun tapi sudah sangat cerdas dalam berhitung. "Dasar bocah cerdik."Sambil menghela napas, dia mengambil uang 20 ribu dari sakunya dan menyerahkannya pada Arlo. "Hari ini kamu boleh beli dua es krim yang enak.""Hore!" Arlene yang memakai piama pink bergambar kelinci langsung bertepuk tangan dengan gembira. "Mama memang yang terbaik!"Tiffany hanya bisa tersenyum pasrah lalu menatap Arlo. "Pergi dan cepat kembali.""Siap!"Setelah mendengar jawaban putranya, Tiffany berbalik menuju dapur.Sementara itu, Arlo mengganti sepatunya dan bersiap turun. Sebelum pergi, dia masih menyempatkan diri untuk menoleh ke adiknya. "Tunggu aku
Tiffany mengendarai mobilnya hingga sampai di bawah apartemen tempat dia dan kedua anaknya tinggal. Saat mobil berhenti, dia membuka pintu dan berkata, "Arlo, Arlene, turun!"Gadis kecil berbaju putih ala putri itu turun perlahan dari mobil dengan langkah hati-hati. Di belakangnya, Arlo dengan tas sekolahnya di punggungnya, turun sambil menggenggam tangan adiknya dan membawa tasnya."Mau makan malam apa?" tanya Tiffany dengan santai sambil mengunci mobil."Di rumah masih ada tomat, kita buat telur dadar tomat saja."Dengan gaya sok dewasa, Arlo menjawab sambil menggandeng tangan Arlene. "Tadi siang di TK, Arlene paling banyak makan telur dadar tomat. Aku yakin dia ngidam."Arlene membelalakkan matanya. "Aku nggak!"Huh! Dia hanya makan banyak karena masakan lainnya terlalu asin, sedangkan telur dadar tomat itu manis. Itu saja! Bukan karena dia mengidam!Arlo melirik adiknya sekilas, lalu merendahkan suara dan berkata, "Suasana hati Mama lagi nggak bagus hari ini, lebih baik kita makan
Tiffany melambaikan tangan dengan canggung dan menolak dengan halus sebelum menekan kunci mobil untuk membuka pintunya. "Nggak dulu, aku masih harus menjemput anak-anak dari TK.""Oh, begitu ... sayang sekali."Para dokter dan perawat itu pun bubar dengan sedikit kecewa. Sementara itu, Tiffany menghela napas panjang sebelum akhirnya masuk ke mobil.Sudahlah.Jika Sean sudah tidak berniat mengganggunya lagi, seharusnya dia merasa senang, bukan malah merasa kehilangan, 'kan?Lelaki itu mengaku mencintainya, memasang video pencarian di layar raksasa di berbagai kota besar di dunia, mencari dirinya selama lima tahun penuh ....Omong kosong! Semua itu bohong!Tiffany hanya menegurnya beberapa kali tadi siang karena emosi sesaat, tapi Sean malah langsung mundur? Sean tidak pernah muncul, mengusik, dan mencari-cari dirinya lagi selama seharian penuh!Kalau perasaannya memang goyah semudah itu, untuk apa berpura-pura mencari selama lima tahun?Dasar berengsek!Sambil menggerutu dalam hati, Tif
Tiffany terpaku menatap video di ponsel Brandon, lalu menyeka ujung matanya yang basah. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Bisa nggak kamu kirimkan video ini ke aku?""Tentu saja!" Brandon mengangguk dengan cepat, lalu langsung mengirimkan video itu ke e-mail Tiffany."Ngomong-ngomong, Dok Tiff, setelah melihat semua yang sudah dilakukan Kak Sean untukmu, kamu nggak merasa terharu?"Tiffany menerima file video itu dan mengangguk pelan. "Tentu saja aku terharu.""Kalau begitu, apakah kalian akan berdamai?" Brandon masih menatap Tiffany dengan ekspresi penuh harapan. "Kalau kamu merasa terharu, bukankah itu berarti hatimu sudah nggak terlalu menolaknya lagi?"Brandon menatap Tiffany dengan serius. "Kak Sean benar-benar tulus sama kamu, Dok Tiff.""Waktu makan siang tadi, dia menunjukkan video ini ke aku dan menceritakan banyak hal tentang perjalanan panjangnya mencarimu selama bertahun-tahun. Waktu itu, aku tiba-tiba menyadari betapa jauhnya perbedaan antara aku dan dia.""Aku bilang