"Keluarga pasien? Mantan suami? Atau seorang pria yang dulu meninggalkannya demi kakaknya?""Kalau kamu datang sebagai keluarga pasien, sebaiknya pergi. Operasi pasien sudah selesai. Untuk perawatannya, silakan cari suster. Kalau kamu datang dengan dua identitas lainnya, segera angkat kaki dari sini!"Sean mengernyit, lalu melangkah dan duduk di depan Julie. "Tiga tahun nggak bertemu, kamu semakin galak saja. Kalau Mark tahu kamu masih penuh semangat seperti ini, dia pasti sangat senang."Julie menggenggam erat pena di tangannya. Pria ini membahas hal yang tidak ingin dia dengar! Nama yang paling tidak ingin dia dengar adalah Mark!Julie menggigit bibirnya, lalu menatap Sean dengan serius. "Baiklah, kamu ingin menemuinya, 'kan? Biar kuberi tahu kamu, Tiffany nggak ada di sini."Sean melirik ke arah pintu ruang istirahat. "Kamu curiga dia ada di sini?"Julie mendengus dingin, lalu berdiri dan membuka pintu lebar-lebar. "Lihat sendiri, dia nggak ada."Alis Sean berkerut. Chaplin bilang T
"Bu Tanuwijaya." Suara rendah pria terdengar di telinganya.Tiffany yang sedang memegang ponselnya pun membeku. Dia mendongak dan menatap pria di depannya dengan kesal. "Pak, kamu salah orang, 'kan? Aku seharusnya dipanggil Bu Rimbawan."Selesai berkata, Tiffany menghindarinya dan melangkah lebar menuju tempat parkir.Sean tersenyum tipis dan mengejarnya. "Rimbawan? Kamu menikah dengan Xavier?""Kalau nggak?" Tiffany menekan remot mobilnya dan berjalan ke kursi pengemudi. "Kita sudah cerai 5 tahun. Kamu pikir aku akan tetap menjaga kesucian untukmu? Aku nggak sebodoh itu."Sambil berbicara, wanita itu membuka pintu mobil dan duduk di dalamnya dengan cekatan. Hampir bersamaan dengan dia menutup pintu, terdengar suara bam dari pintu kursi penumpang.Tiffany tertegun dan menoleh ke arah pria yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan dingin. "Turun!""Nggak mau." Sean memasang sabuk pengamannya dengan santai. "Lima tahun lalu, kamu sering duduk di kursi penumpangku. Ini pertama kalinya
Sean menyilangkan tangan di belakang kepala, lalu bersandar dengan santai di kursi penumpang. "Aku kira urusan penting apa. Ternyata cuma janji makan malam dengan ayah mertuaku.""Siapa yang mau jadi ayah mertuamu?" hardik Tiffany."Ayahmu." Sean tetap bersikap tidak tahu malu dan menyahut, "Kamu istriku, dia ayah dari istriku. Jadi, dia ayah mertuaku. Kamu nggak mungkin nggak paham hubungan keluarga yang sesederhana ini, 'kan?"Tiffany sampai kehabisan kata-kata. "Pak Sean, sungguh disayangkan karena kulit wajahmu nggak dijadikan rompi anti peluru."Setelah menarik napas dalam-dalam, Tiffany menoleh dan menatapnya. "Jadi, kamu benar-benar nggak berencana turun dari mobilku?"Sean menyatukan tangannya dan mengangguk ringan. "Benar."Tiffany melirik jam di pergelangan tangannya.Lupakan saja. Dengan sikap keras kepala pria ini, sekalipun Tiffany bertengkar dengannya selama setengah jam lagi, pria ini belum tentu akan turun dari mobil.Lagi pula, ini di depan rumah sakit. Dia tidak bisa
Sean menundukkan kepala tanpa berkata apa-apa.Tiffany mendengus sambil meletakkan handuk, lalu duduk dengan tenang di meja makan. Dia mengambil sendok dan mulai mencicipi setiap hidangan. "Ayah, jangan buang-buang waktu bicara sama dia.""Ini cuma sekadar makan malam. Keluarga Japardi jelas mampu membayarnya.""Benar juga."Bronson mendengus dingin. "Hari ini aku lepasin kamu supaya orang lain nggak menganggap Keluarga Japardi nggak tahu membedakan yang benar dan salah. Kami nggak akan bawa seseorang pulang, lalu mengusirnya lagi.""Cuma sekali makan saja, tentu kami mampu bayar." Kata-kata Bronson penuh dengan sindiran dan ketidakpedulian. Seolah-olah Sean bukanlah tamu di sini, melainkan seorang pengemis yang dibawa pulang oleh tuan rumah.Namun, Sean tetap tersenyum padanya. "Terima kasih atas kemurahan hati Ayah Mertua."Setelah berkata demikian, pria itu duduk di meja makan dengan elegan, tepat di hadapan Tiffany. Wanita itu memutar matanya. Semakin dia menghindari sesuatu, hal i
"Kalau begitu, temani aku main satu ronde."Bronson tersenyum tipis. "Sudah lama nggak ada yang main catur denganku. Tiffany nggak bisa main. Xavier juga jarang datang ke sini ...."Sean tersenyum dan duduk di hadapan Bronson dengan anggun. "Xavier pandai main catur?""Biasa saja." Bronson tersenyum dan mulai meletakkan bidaknya. Sejujurnya, sejak awal dia cukup menyukai Sean sebagai anak muda yang berbakat. Seandainya saja kejadian di masa lalu tidak terjadi ....Bronson mungkin tidak akan menentang hubungan Tiffany dan Sean. Namun, apa yang sudah terjadi tidak bisa dihapus begitu saja.Tiffany sudah menegaskan bahwa antara dia dan Sean tidak akan ada masa depan. Sebagai seorang ayah, Bronson juga tidak ingin ikut campur lebih jauh. Namun, membiarkan Sean menemaninya bermain catur seharusnya tidak masalah."Kalau ada kesempatan, aku bisa menantang Xavier main catur untuk melihat siapa yang lebih unggul." Sean tersenyum tipis dan mulai meletakkan bidak hitamnya.Saat mulai bermain catu
Ekspresi Bronson agak berubah. Dia berdeham pelan. "Aku bukan ayahmu, perhatikan kata-katamu."Sean tersenyum tipis. "Setidaknya dulu pernah, bukan?"Bronson meliriknya sekilas, lalu melirik ke arah dapur tempat Tiffany sedang mencuci piring. "Kamu buat posisiku jadi sulit. Kalau kamu memanggilku 'ayah', aku tahu kamu sedang memanggilku, tapi aku nggak bisa menjawabnya.""Kalau aku menjawab, Tiffany pasti akan marah."Sean tetap tersenyum ringan. "Kalau begitu, sementara ini kita pakai 'Paman Bronson' saja. Nanti kita lihat lagi soal itu."Bronson mengangguk pelan. "Hm."Begitu berkata demikian, dia sadar ada yang tidak beres. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Sean tajam. "Apa maksudmu 'nanti kita lihat'? Kita nggak akan ada hubungan apa-apa lagi di masa depan!"Sean menyeringai, seakan ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi saat itu Tiffany sudah selesai mencuci piring dan keluar dari dapur. Dengan gerakan yang anggun dan tegas, wanita itu melepas celemeknya, lalu menatap Sean dengan
Namun, pada akhirnya dia tetap harus belajar mengemudi. Tidak mungkin setiap kali Arlo dan Arlene pergi ke TK, ke rumah sakit, atau sekadar bermain di luar, dia harus selalu meminta bantuan Xavier, bukan?Meskipun Xavier saat ini hidup bebas tanpa banyak beban, Tiffany sebagai seorang ibu tunggal tetap harus menjaga batasan. Mereka bisa dekat, tapi ada Batasan yang tidak boleh dilewati.Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain katakan, mereka sendiri akan merasa canggung jika batasan itu sampai dilampaui. Jadi, akhirnya Tiffany memutuskan untuk mengambil SIM sendiri. Pada hari dia mendapatkan SIM, Xavier menghadiahkannya mobil ini.Saat itu, pria itu bahkan bercanda dengan mengatakan bahwa akhirnya dia terbebas dari tugas menjadi sopir mereka bertiga. Mengingat hal-hal di masa lalu, Tiffany hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepala.Xavier benar-benar sahabat yang sangat baik. Selama bertahun-tahun, perhatiannya terhadap Tiffany tidak kalah dari Julie.Di mata kedua anaknya,
Cahaya di mata Sean perlahan meredup. Kejadian lima tahun lalu ... Niken menanganinya dengan terlalu bersih. Semua orang yang terlibat dalam kejadian itu, hampir semuanya, telah "disingkirkan" oleh Niken.Tidak ada satu pun saksi atau bukti.Bahkan korban dan orang terakhir yang mengetahui kebenaran, Niken sendiri, telah meninggal dunia lima tahun lalu karena kelelahan mental dan fisik.Memang ... dia tidak menemukan bukti apa pun yang bisa membuktikan ayahnya tidak bersalah atau bahwa ibu Tiffany yang salah."Nggak ada jawaban, 'kan?"Tiffany menatapnya dengan ekspresi penuh kepastian, seolah dia sudah memperkirakan jawaban itu. "Kalau nggak ada jawaban, silakan turun.""Hubungan kita nggak lebih dari sekadar teman di masa lalu. Sekarang, kamu cuma keluarga pasien dan aku cuma dokternya. Aku nggak ingin terlibat lebih jauh. Tolong turun."Sean menutup matanya dan menghela napas panjang. Akhirnya, dia membuka pintu dan turun dari mobil.BMW merah itu melaju di jalanan kota dan menghila
Setelah berkata demikian, wanita itu langsung melepaskan tangan Sean dan berlari menuju kamar tempat Brandon berada. Sean tetap berdiri di tempatnya dan matanya menyipit tajam.Tak lama kemudian, ambulans rumah sakit pun tiba. Tiffany bersama staf hotel mengangkat Brandon ke atas tandu dan ikut pergi bersama ambulans.Saat hendak naik ke ambulans di luar hotel, dia melihat Sean berdiri di pintu masuk hotel dan memandangnya dengan tatapan suram. Wanita itu menggertakkan giginya dan langsung menutup pintu ambulans.Sean ... tidak pantas!Jelas-jelas hubungan mereka sudah berbeda dari lima tahun lalu. Meskipun Sean ingin mendekatinya kembali, itu tetap membutuhkan waktu. Sekarang hubungan mereka masih terasa asing, tetapi Sean sudah berani melakukan hal seperti itu terhadap orang yang mendekatinya.Selain itu, Brandon adalah seorang pasien!Tadi Brandon sudah memberi tahu Sean bahwa jantungnya bermasalah. Namun, Sean tetap saja bertarung dengan Brandon hingga membuatnya pingsan.Setelah l
"Pertama, aku nggak enak membicarakan masa lalu di antara kami di depannya secara langsung. Aku takut itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan baginya.""Kedua, Dokter Tiffany masih belum kenyang. Nggak mungkin kita mengganggunya bahkan saat dia sedang makan, 'kan?"Brandon berpikir sejenak dan merasa itu masuk akal. Dia pun bangkit dan berucap, "Dokter Tiffany, silakan lanjut makan. Kami akan keluar sebentar untuk mengobrol."Tiffany bahkan belum sempat bereaksi. Kedua pria itu sudah bangkit dan turun dengan lift bersama.Tiffany termangu sesaat. Kemudian, dia berdiri untuk mengejar mereka. Namun, setelah mengambil dua langkah, akhirnya dia berhenti.Sudahlah. Terserah mereka mau melakukan apa. Lagi pula, dia ingin menjauh dari kedua pria ini. Jadi, kalau mereka pergi bersama, itu justru lebih baik.Dengan tenang, Tiffany melanjutkan makannya. Sesudah selesai, dia bahkan membayar tagihan di restoran.Sepuluh menit kemudian, saat turun ke lobi hotel, dia mendengar suara panik dari m
Restoran di Grand Oriental, restoran bintang lima, sunyi senyap.Demi mengundang Tiffany dan Sean makan, Brandon meminta manajer hotel untuk mengosongkan seluruh restoran. Di dalam restoran yang luas itu, hanya ada tiga orang, yaitu Brandon, Tiffany, dan Sean.Di sebuah meja persegi panjang, ketiganya duduk dalam posisi yang aneh. Tiffany duduk di satu sisi, sementara Brandon dan Sean duduk di sisi lainnya.Dari sudut pandang mereka berdua, Tiffany seperti sedang berhadapan langsung dengan masing-masing dari mereka.Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mulai menyajikan semua hidangan. Sean duduk di kursi yang empuk, tersenyum tipis sambil menatap meja makan di depannya.Jelas sekali, Brandon benar-benar telah berusaha keras untuk Tiffany. Jika tidak, bagaimana mungkin seluruh meja dipenuhi makanan yang sesuai dengan selera Tiffany?Memikirkan hal ini, Sean mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Tiffany sambil bertanya kepada Brandon dengan suara datar, "Semua ini makanan favorit Ti
Brandon mengernyit, menatap Tiffany dengan curiga. "Jadi, kalian berdua di dalam itu ...."Tiffany hanya merasa kepalanya semakin pusing. Dia menarik napas dalam-dalam. "Barusan mantan suamiku sakit, aku hanya merawatnya."Brandon memiliki banyak koneksi di rumah sakit. Tiffany tidak ingin semua orang di rumah sakit mengetahui hubungan serta perkembangan antara dirinya dan Sean.Jadi, dia tersenyum tipis ke arah Brandon. "Kamu juga tahu, dokter harus memiliki hati yang penuh belas kasih.""Dia memang mantan suamiku, tapi saat dia sakit dan butuh perawatan, aku nggak mungkin tinggal diam."Brandon langsung menatap Tiffany dengan mata berbinar. "Dokter memang seperti yang aku bayangkan, benar-benar malaikat kecil yang baik hati!"Tiffany terdiam untuk sesaat. Kemudian, dia berdeham pelan. "Bukannya kamu bilang ingin aku memeriksamu? Kemarilah ...."Brandon langsung berlari kecil ke arah Tiffany. "Maaf sudah merepotkanmu."Tiffany berdeham dua kali. "Duduk dulu, aku akan memeriksamu ...."
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be
Makanya, selama 5 tahun ini, Tiffany menjalani hidupnya sendirian.Kini, dia akhirnya bertemu kembali dengan Sean. Namun, dia tidak tahu apakah dia seharusnya kembali bersama Sean atau tetap memegang kebencian masa lalu dan melanjutkan semuanya seperti sebelumnya ....Namun, saat ini dalam pelukan ini, Tiffany bisa merasa tenang tanpa rasa bersalah sedikit pun."Tiff." Suara rendah pria itu terdengar.Tiffany menggigit bibir, lalu bergumam pelan, "Apa?""Apa ada cara ...." Sean memejamkan matanya, suaranya rendah dan serius. "Supaya aku bisa terbiasa makan makanan pedas?""Aku nggak ingin melihatmu mengorbankan kesukaanmu demi aku, juga nggak ingin hanya bisa melihatmu menikmati makanan favoritmu tanpa bisa ikut menikmatinya. Aku ingin ....""Jangan pikir yang aneh-aneh!" Tiffany menggigit bibirnya. "Pencernaanmu nggak kuat. Tubuhmu memang nggak tahan terhadap kapsaisin. Itu sudah bawaan lahir, jadi jangan dipikirkan lagi!""Tapi ....""Nggak ada tapi-tapian." Seperti 5 tahun lalu, ket
Ketika Tiffany kembali ke kamar, bubur putih di nakas masih belum disentuh. Tiffany meletakkan obat yang baru dibelinya dari apotek, lalu menoleh ke arah Sean. "Nggak sesuai selera ya? Kenapa nggak dimakan?"Pria yang bersandar di ujung ranjang itu sudah melepas jaketnya, hanya mengenakan kemeja tipis dengan dua kancing atas terbuka. Ada sedikit noda keringat di kemejanya, membuatnya terlihat sangat seksi.Saat ini, Sean sedang bersandar dan menatap Tiffany dengan tatapan menggoda sekaligus lemah. "Nggak bisa makan."Tiffany merasa hatinya agak bergetar karena sikap Sean ini. Dia memalingkan wajah dan berdeham pelan. "Kalaupun nggak selera makan, kamu tetap harus makan. Pencernaanmu sedang buruk ...."Melihat keadaan Sean yang lemah, Tiffany mulai menyesali keputusannya. Saat diundang makan, seharusnya dia tidak membawa pria ini ke restoran dengan hidangan pedas hanya karena kesal.Dia tahu betul bahwa Sean tidak bisa makan pedas, tetapi tetap saja memesan berbagai macam hidangan pedas
Tiba-tiba, masuk pesan dari Sanny yang dipenuhi antusiasme.[ Dik, gimana? Tadi aku dengar dari suster, Tiffany pergi dengan seorang pria tampan dan wajahnya merah. Ke mana kamu membawanya? ]Sean tersenyum getir, lalu mengambil ponselnya untuk membalas.[ Sejak kapan kamu begitu peduli dengan urusanku dan Tiffany? ][ Seharusnya aku sudah peduli sejak lama. ]Di seberang telepon, wajah Sanny dipenuhi penyesalan.[ Sayangnya, dulu aku nggak ngerti perasaan antara pria dan wanita. Kalau aku ngerti, aku pasti nggak akan .... ][ Tapi, semua itu sudah berlalu. Sekarang tugasmu adalah merebut kembali Tiffany dan membawa kembali dua anak itu! ]Sean tersenyum tipis.[ Aku juga ingin begitu. ]Saat mengetik kalimat itu di ponselnya, Sean mengangkat kepalanya dan memandang ke arah dapur. Bibirnya membentuk senyuman tipis.[ Hanya saja ... jalannya masih panjang dan berliku. ]Di ujung telepon, Sanny mengernyit.[ Kalau begitu, kamu harus terus semangat. Kalau kamu bisa merebut kembali Tiffany
"Tiff." Sean mengangkat pandangannya dan menatapnya. "Dulu aku memang salah. Aku ... nggak pernah benar-benar berusaha memahami dirimu. Aku pikir, apa yang kamu tunjukkan di depanku adalah perasaan yang sesungguhnya."Tatapan Sean yang dalam kini dipenuhi penyesalan. "Seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Dengan sifatmu yang begitu lembut, tentu saja ... kamu bersedia berpura-pura hanya demi membuatku bahagia."Sambil berkata begitu, Sean tersenyum. "Sekarang, biarkan aku yang membahagiakanmu. Apa lagi yang kamu suka, tapi belum kamu katakan padaku? Katakan saja."Tiffany menatap wajahnya yang semakin pucat. Wajahnya sendiri menjadi merah karena panik. "Jangan bicara lagi! Ikut aku kembali ke rumah sakit!"Namun, Sean malah berusaha menenangkannya. "Aku baik-baik saja.""Baik-baik saja apanya?" Suara Tiffany mulai bergetar. Dia nyaris menangis. "Kamu sendiri tahu perutmu lemah, 'kan?""Makanan pedas bisa melukai lambungmu! Dua tahun lalu kamu sakit maag, sekarang kamu malah ceroboh s