Sean tidak berlama-lama di bangsal Sanny. Setelah memastikan kondisi Sanny telah membaik, dia pun turun dan kembali ke dalam mobil van.Di dalam mobil, hanya tersisa Chaplin seorang diri. Sean lantas mengernyit. "Dia ke mana?""Pergi."Chaplin memanyunkan bibirnya, lalu mengeluarkan lima koin dari saku dan meletakkannya di atas meja. "Kak Tiff bilang, ini uang sewa selama sejam dia tidur di sini."Sean terdiam. Tatapannya tertuju pada lima koin yang mengilap di atas meja. Dasar bodoh. Wanita ini memang sudah berubah.Di satu sisi, dia menggunakan uang untuk membatasi hubungan mereka. Di sisi lain, koin itu untuk meremehkan kepedulian Sean terhadapnya."Tuan, Nyonya agak keterlaluan kali ini." Di belakang, Sofyan mengernyit.Sean tersenyum tipis, lalu maju dan mengulurkan tangan untuk mengambil koin-koin itu satu per satu. Dia menggenggamnya dengan erat.Di bawah tatapan kaget Sofyan, Sean tersenyum dan meletakkan kelima koin itu ke tangan Sofyan. "Pergi ke bank, buka akun, dan simpan u
"Keluarga pasien? Mantan suami? Atau seorang pria yang dulu meninggalkannya demi kakaknya?""Kalau kamu datang sebagai keluarga pasien, sebaiknya pergi. Operasi pasien sudah selesai. Untuk perawatannya, silakan cari suster. Kalau kamu datang dengan dua identitas lainnya, segera angkat kaki dari sini!"Sean mengernyit, lalu melangkah dan duduk di depan Julie. "Tiga tahun nggak bertemu, kamu semakin galak saja. Kalau Mark tahu kamu masih penuh semangat seperti ini, dia pasti sangat senang."Julie menggenggam erat pena di tangannya. Pria ini membahas hal yang tidak ingin dia dengar! Nama yang paling tidak ingin dia dengar adalah Mark!Julie menggigit bibirnya, lalu menatap Sean dengan serius. "Baiklah, kamu ingin menemuinya, 'kan? Biar kuberi tahu kamu, Tiffany nggak ada di sini."Sean melirik ke arah pintu ruang istirahat. "Kamu curiga dia ada di sini?"Julie mendengus dingin, lalu berdiri dan membuka pintu lebar-lebar. "Lihat sendiri, dia nggak ada."Alis Sean berkerut. Chaplin bilang T
"Bu Tanuwijaya." Suara rendah pria terdengar di telinganya.Tiffany yang sedang memegang ponselnya pun membeku. Dia mendongak dan menatap pria di depannya dengan kesal. "Pak, kamu salah orang, 'kan? Aku seharusnya dipanggil Bu Rimbawan."Selesai berkata, Tiffany menghindarinya dan melangkah lebar menuju tempat parkir.Sean tersenyum tipis dan mengejarnya. "Rimbawan? Kamu menikah dengan Xavier?""Kalau nggak?" Tiffany menekan remot mobilnya dan berjalan ke kursi pengemudi. "Kita sudah cerai 5 tahun. Kamu pikir aku akan tetap menjaga kesucian untukmu? Aku nggak sebodoh itu."Sambil berbicara, wanita itu membuka pintu mobil dan duduk di dalamnya dengan cekatan. Hampir bersamaan dengan dia menutup pintu, terdengar suara bam dari pintu kursi penumpang.Tiffany tertegun dan menoleh ke arah pria yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan dingin. "Turun!""Nggak mau." Sean memasang sabuk pengamannya dengan santai. "Lima tahun lalu, kamu sering duduk di kursi penumpangku. Ini pertama kalinya
Sean menyilangkan tangan di belakang kepala, lalu bersandar dengan santai di kursi penumpang. "Aku kira urusan penting apa. Ternyata cuma janji makan malam dengan ayah mertuaku.""Siapa yang mau jadi ayah mertuamu?" hardik Tiffany."Ayahmu." Sean tetap bersikap tidak tahu malu dan menyahut, "Kamu istriku, dia ayah dari istriku. Jadi, dia ayah mertuaku. Kamu nggak mungkin nggak paham hubungan keluarga yang sesederhana ini, 'kan?"Tiffany sampai kehabisan kata-kata. "Pak Sean, sungguh disayangkan karena kulit wajahmu nggak dijadikan rompi anti peluru."Setelah menarik napas dalam-dalam, Tiffany menoleh dan menatapnya. "Jadi, kamu benar-benar nggak berencana turun dari mobilku?"Sean menyatukan tangannya dan mengangguk ringan. "Benar."Tiffany melirik jam di pergelangan tangannya.Lupakan saja. Dengan sikap keras kepala pria ini, sekalipun Tiffany bertengkar dengannya selama setengah jam lagi, pria ini belum tentu akan turun dari mobil.Lagi pula, ini di depan rumah sakit. Dia tidak bisa
Sean menundukkan kepala tanpa berkata apa-apa.Tiffany mendengus sambil meletakkan handuk, lalu duduk dengan tenang di meja makan. Dia mengambil sendok dan mulai mencicipi setiap hidangan. "Ayah, jangan buang-buang waktu bicara sama dia.""Ini cuma sekadar makan malam. Keluarga Japardi jelas mampu membayarnya.""Benar juga."Bronson mendengus dingin. "Hari ini aku lepasin kamu supaya orang lain nggak menganggap Keluarga Japardi nggak tahu membedakan yang benar dan salah. Kami nggak akan bawa seseorang pulang, lalu mengusirnya lagi.""Cuma sekali makan saja, tentu kami mampu bayar." Kata-kata Bronson penuh dengan sindiran dan ketidakpedulian. Seolah-olah Sean bukanlah tamu di sini, melainkan seorang pengemis yang dibawa pulang oleh tuan rumah.Namun, Sean tetap tersenyum padanya. "Terima kasih atas kemurahan hati Ayah Mertua."Setelah berkata demikian, pria itu duduk di meja makan dengan elegan, tepat di hadapan Tiffany. Wanita itu memutar matanya. Semakin dia menghindari sesuatu, hal i
"Kalau begitu, temani aku main satu ronde."Bronson tersenyum tipis. "Sudah lama nggak ada yang main catur denganku. Tiffany nggak bisa main. Xavier juga jarang datang ke sini ...."Sean tersenyum dan duduk di hadapan Bronson dengan anggun. "Xavier pandai main catur?""Biasa saja." Bronson tersenyum dan mulai meletakkan bidaknya. Sejujurnya, sejak awal dia cukup menyukai Sean sebagai anak muda yang berbakat. Seandainya saja kejadian di masa lalu tidak terjadi ....Bronson mungkin tidak akan menentang hubungan Tiffany dan Sean. Namun, apa yang sudah terjadi tidak bisa dihapus begitu saja.Tiffany sudah menegaskan bahwa antara dia dan Sean tidak akan ada masa depan. Sebagai seorang ayah, Bronson juga tidak ingin ikut campur lebih jauh. Namun, membiarkan Sean menemaninya bermain catur seharusnya tidak masalah."Kalau ada kesempatan, aku bisa menantang Xavier main catur untuk melihat siapa yang lebih unggul." Sean tersenyum tipis dan mulai meletakkan bidak hitamnya.Saat mulai bermain catu
Ekspresi Bronson agak berubah. Dia berdeham pelan. "Aku bukan ayahmu, perhatikan kata-katamu."Sean tersenyum tipis. "Setidaknya dulu pernah, bukan?"Bronson meliriknya sekilas, lalu melirik ke arah dapur tempat Tiffany sedang mencuci piring. "Kamu buat posisiku jadi sulit. Kalau kamu memanggilku 'ayah', aku tahu kamu sedang memanggilku, tapi aku nggak bisa menjawabnya.""Kalau aku menjawab, Tiffany pasti akan marah."Sean tetap tersenyum ringan. "Kalau begitu, sementara ini kita pakai 'Paman Bronson' saja. Nanti kita lihat lagi soal itu."Bronson mengangguk pelan. "Hm."Begitu berkata demikian, dia sadar ada yang tidak beres. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Sean tajam. "Apa maksudmu 'nanti kita lihat'? Kita nggak akan ada hubungan apa-apa lagi di masa depan!"Sean menyeringai, seakan ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi saat itu Tiffany sudah selesai mencuci piring dan keluar dari dapur. Dengan gerakan yang anggun dan tegas, wanita itu melepas celemeknya, lalu menatap Sean dengan
Namun, pada akhirnya dia tetap harus belajar mengemudi. Tidak mungkin setiap kali Arlo dan Arlene pergi ke TK, ke rumah sakit, atau sekadar bermain di luar, dia harus selalu meminta bantuan Xavier, bukan?Meskipun Xavier saat ini hidup bebas tanpa banyak beban, Tiffany sebagai seorang ibu tunggal tetap harus menjaga batasan. Mereka bisa dekat, tapi ada Batasan yang tidak boleh dilewati.Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain katakan, mereka sendiri akan merasa canggung jika batasan itu sampai dilampaui. Jadi, akhirnya Tiffany memutuskan untuk mengambil SIM sendiri. Pada hari dia mendapatkan SIM, Xavier menghadiahkannya mobil ini.Saat itu, pria itu bahkan bercanda dengan mengatakan bahwa akhirnya dia terbebas dari tugas menjadi sopir mereka bertiga. Mengingat hal-hal di masa lalu, Tiffany hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepala.Xavier benar-benar sahabat yang sangat baik. Selama bertahun-tahun, perhatiannya terhadap Tiffany tidak kalah dari Julie.Di mata kedua anaknya,
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli