Tiffany memegang gelas anggurnya dengan erat. Dia menggigit bibirnya sambil mengenang satu per satu momen yang dilewatinya bersama Sean.Sean memang baik padanya. Sean membujuknya, membuatnya tertawa. Sean tidak pernah membiarkannya sedih.Baik itu Vernon ataupun Leslie, bahkan Wenda, semua mendapat ganjaran atas perbuatan mereka yang menyakiti Tiffany.Sean melakukan begitu banyak hal untuk Tiffany. Bagaimana bisa Tiffany merasa dirinya tidak berarti bagi Sean? Namun, jika Sean mencintainya, kenapa ....Apa mungkin yang dikatakan Mark memang benar? Waktu yang diberikannya kepada Sean belum cukup banyak?Kini, Tiffany merasa tindakannya agak gegabah, Setelah tenang kembali, perasaannya malah makin kacau."Kalau nggak bisa ngerti, biar waktu yang menjawab semuanya." Mark menghela napas, lalu membenturkan gelasnya ke gelas Tiffany. Terdengar dentingan yang nyaring."Kehidupan Sean sangat rumit. Dia nggak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Dia juga jarang berinteraksi dengan orang
Pada saat yang sama, terdengar suara mesin mobil di lantai bawah. Mark memandang ke bawah, lalu melihat sesosok berpakaian hitam.Mark bersiul sambil menghampiri. "Aku nggak nyangka masih bisa melihatmu mengemudikan mobil."Sean memutar bola matanya. "Di mana Tiffany?"Mark menunjuk ke arah balkon. "Baru saja tidur.""Hujan baru reda. Ngapain kamu bawa dia ke balkon?" Sean memutar bola matanya lagi, lalu bergegas menuju ke balkon.Tampak Tiffany berbaring di meja sambil tertidur lelap. Bulu matanya yang lentik membuatnya terlihat makin cantik.Sean menghela napas lega dan mengelus kedua mata Tiffany yang bengkak. Kemudian, dia langsung menggendong Tiffany ke kamar.Mark bersandar di pintu dengan culas dan bertanya, "Sudah malam sekali. Kamu masih mau bawa dia pulang? Sebaiknya kalian menginap di sini saja. Sisanya dibicarakan besok."Sean mengernyit dan merenung sejenak. Pada akhirnya, dia menggendong Tiffany ke kamar utama. Mark hanya bisa mengikuti di belakang dan mengeluh, "Kamu ini
Tangan Sean yang memegang ponsel perlahan-lahan mengerat. Dia tahu Tiffany tidak mungkin tiba-tiba mencurigai penglihatannya, apalagi menggunakan cara semacam itu untuk mengujinya. Ternyata Garry biang keroknya.Sean terkekeh-kekeh, lalu menghapus pesan itu. Setelah menghapusnya, dia merenung sejenak. Pada akhirnya dia memblokir nomor Garry dengan ponsel Tiffany.Sesudah semuanya beres, Sean kembali berbaring dengan tenang. Dia memeluk Tiffany sambil tidur. Malam itu, Tiffany tidur dengan sangat lelap.Keesokan pagi setelah matahari bersinar terang, Tiffany membuka matanya. Seperti biasa, dia menyingkirkan lengan Sean yang berada di atas tubuhnya. Kemudian, dia meregangkan tubuhnya dan hendak turun dari ranjang untuk mandi dan membuat sarapan.Begitu turun, Tiffany baru menyadari dekorasi kamar ini berbeda. Pikirannya hampa untuk beberapa saat. Kemudian, dia akhirnya mengingat semua yang terjadi kemarin malam.Ternyata dia sedang berada di rumah Mark? Kalau begitu, pria di atas ranjang
Tiffany mengernyit dan merasakan suatu firasat ....Saat ini, terdengar suara dari lantai atas. Tiffany tanpa sadar mendongak dan memandang ke atas.Seorang pria berpakaian hitam tampak perlahan-lahan menuruni tangga. Tubuhnya tinggi dan ramping. Sosoknya dipenuhi wibawa. Setiap gerakannya sungguh elegan.Kini, wajah dingin itu tidak ditutupi oleh sutra hitam lagi. Meskipun tidak terlihat semisterius dulu lagi, tatapannya tetap tajam dan angkuh.Tiffany termangu menatapnya. Kemudian, dia akhirnya bereaksi. Ternyata yang seranjang dengannya bukan Mark, melainkan Sean!Tebersit keterkejutan sekaligus kegembiraan pada tatapan Tiffany! Dia tahu dirinya bukan orang yang bertindak sembarangan saat mabuk!Untuk sesaat, Tiffany ingin sekali menyerbu ke depan dan memeluk Sean! Hanya Tuhan yang tahu betapa paniknya dia saat mengira pria di sampingnya adalah orang lain!Namun, begitu Tiffany mengambil langkah, dia sontak berhenti. Dia teringat pada semua yang terjadi di vila malam itu. Bahkan, Ti
Tiffany merasa tidak berdaya. Dia terpaksa kembali ke meja makan dan bersiap-siap untuk sarapan.Sean tiba-tiba mendongak untuk melihat rambut Tiffany yang agak berantakan. Dia memperingatkan, "Gosok gigi dan cuci muka dulu. Rambutmu juga harus dikuncir ulang."Tiffany sangat syok saat bangun tidur tadi. Dia mengira yang tidur di sampingnya adalah Mark. Makanya, yang ada di benaknya hanya kabur. Dia tidak sempat menggosok gigi dan mencuci wajah lagi.Dengan demikian, dengan wajah memerah karena malu, Tiffany buru-buru berlari ke kamar mandi.Mark sungguh mengagumi Sean. "Bukannya orang bilang Tiffany merawatmu seperti kamu adalah anaknya?"Kenapa malah terbalik? Sepertinya Sean yang merawat Tiffany. Sean yang selalu bersikap dingin dan angkuh malah bersikap seperti seorang ibu?Sean mendongak dan melirik dengan kesal. "Apa ada orang yang bisa kamu rawat?"Mark kehabisan kata-kata. Atas dasar apa Sean meremehkan dirinya yang jomblo? Dia tiba-tiba memeluk Chaplin dan berseru, "Aku bisa m
"Di desamu ada dokter sehebat itu? Gimana kalau suruh dokter itu ngajar di kampus kita? Suamimu sudah buta bertahun-tahun, tapi dia masih bisa menyembuhkan matanya!"Tiffany hanya bisa mencebik. Setiap kali membahas masalah ini, suasana hatinya akan menjadi buruk. Dia memukul piringnya dengan sendok, lalu menyahut, "Bukan dokternya yang pintar. Dia memang nggak buta."Julie sontak tertegun. Dia berbisik, "Tiff, jangan sembarangan bicara. Gimana mungkin ... suamimu nggak buta?""Dia memang nggak buta." Tiffany menarik napas dalam-dalam. "Aku juga baru tahu semalam."Julie membeku. "Itu artinya ... dia menipu semua orang termasuk kamu?""Nggak termasuk semua orang." Tiffany tersenyum getir. "Valerie yang kita temui di Restoran Violet hari itu, tahu kebenarannya. Cuma aku yang nggak tahu."Julie bisa melihat kesedihan dan kekecewaan pada tatapan Tiffany. "Jangan cemas. Aku tahu di hati Sean, kamu lebih penting daripada wanita bernama Valerie itu.""Valerie masih belum siuman. Tapi, Sean n
Julie termangu. Dia tanpa sadar bangkit dan memberikan kursinya kepada Sean.Sean duduk dengan elegan. Sofyan segera memindahkan makanan yang telah dimakan setengah oleh Julie, lalu menyajikan makanan yang baru dibeli.Tiffany meletakkan sendoknya. "Julie, aku sudah selesai makan."Usai berbicara, Tiffany bangkit dan hendak pergi. Namun, Chaplin menghalanginya.Tiffany mengernyit. "Minggir."Chaplin berkata, "Kamu belum kenyang"Tentu saja! Tiffany baru makan sesuap! Bagaimana dia bisa kenyang? Namun, dia tidak ingin makan bersama Sean!Setiap kali melihat Sean, Tiffany akan teringat pada kejadian sebelumnya. Apalagi, Julie mengatakan Sean sebenarnya melihat semua yang dilakukan Tiffany di hadapannya!Tiffany merasa sangat malu sekaligus kesal, karena Sean ternyata tahu dirinya menonton video itu di malam pertama mereka. Belum lagi Tiffany yang mengganti pakaian di hadapan Sean ....Tiffany ingin sekali melemparkan kedua telur ayam yang ada di meja ke kepala Sean! Dulu dia tidak tahu S
"Kalau nggak salah, kamu yang bilang ingin aku menyuapimu di kantin, 'kan?""Aku ...." Wajah Tiffany memerah.Julie yang duduk di samping pun tidak bisa menahan tawanya. Tiffany ini benar-benar bodoh. Masa membuat permintaan seperti itu?Tiffany makin canggung dibuat Julie. "Julie, dengarkan penjelasanku dulu. Aku ...."Tiffany berbicara seperti itu supaya Sean punya motivasi untuk mengobati matanya. Dia ingin Sean mendambakan kehidupan setelah penglihatannya pulih.Namun, sekarang ucapannya itu malah menjadi senjata Sean untuk mengejeknya. Tiffany merasa jengkel. Dia hanya bisa menunduk dan menggerogoti paha ayam.Setelah paha ayam habis, Tiffany mengangkat tangannya untuk mengambil tisu. Tiba-tiba, sebuah tangan besar dijulurkan ke depannya. "Angkat kepalamu."Tiffany spontan mengangkat kepalanya. Sean langsung menyeka bibir Tiffany dengan tisu."Mana tanganmu?"Tiffany menjulurkan tangannya. Sean membantunya menyeka tangannya.Sean sangat tampan kalau serius begini. Tiffany termangu
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli