"Tunggu." Sean tersenyum tipis sambil menuangkan teh untuk dirinya sendiri dengan tenang. Dia berucap, "Chaplin, putar lagi video yang tadi menunjukkan apa yang dikatakan oleh Pak Santo.""Oke." Chaplin dengan patuh menarik mundur bilah waktu di video ponselnya. Dari ponsel, terdengar rekaman percakapan antara Sean dan Santo."Kalau aku bisa membuktikan bahwa aku nggak melakukan pelecehan terhadap Wenda, apa kalian juga akan kasih 1 miliar kepadaku sebagai ganti rugi atas fitnah yang kalian lakukan? Soalnya rasanya nggak nyaman difitnah oleh kalian di depan begitu banyak orang.""Oke. Tapi, kalau kamu nggak bisa menunjukkan buktinya, uang 1 miliar itu nggak boleh kurang sepeser pun!"Setiap kata dalam percakapan itu bergema di dalam ruangan dan membuat suasana menjadi sangat tegang.Raut wajah Santo berubah total. Dia segera berucap, "Itu cuma omongan sesaat. Soalnya aku benar-benar kira Wenda dilecehkan olehmu. Perkataan itu nggak bisa dianggap serius!"Bayu buru-buru mencoba meredaka
Bayu berucap dengan raut muram, "Kamu bahkan bukan warga desa kami. Apa hakmu berkata kalau aku nggak bisa jadi kepala desa?""Karena kamu nggak cocok," balas Sean.Sean menuangkan secangkir teh sambil tersenyum tipis. Kemudian, dia memberikannya pada Tiffany dan berkata, "Buat Paman."Tiffany mengerucutkan bibirnya dan membawa cangkir teh itu dengan hati-hati untuk diberikan pada Kendra.Kendra tidak tahu apa rencana Sean, tetapi cara pria itu menangani masalah malam ini memang mengagumkan. Jadi, dia langsung menerima cangkir teh itu dan meminumnya.Saat Tiffany kembali dengan cangkir kosong, Sean melanjutkan dengan tenang, "Kendra adalah pamannya Tiffany, tapi semua orang tahu kalau Tiffany sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Jadi, Paman sudah seperti ayahnya sendiri.""Karena itu, Kendra bisa dibilang adalah ayah mertuaku. Ayah mertuaku sudah puluhan tahun tinggal di desa ini. Hanya karena dia memiliki menantu kaya sepertiku, dia diperas oleh Pak Bayu dan kerabatnya."Sean tersen
Selain Kendra sekeluarga, kini hanya tertinggal Bayu, Santo, dan Wenda di rumah itu.Sean mendongak dan berucap dengan nada datar, "Minta maaf."Mendengar itu, Bayu yang cukup pintar langsung menarik Santo dan Wenda untuk berlutut. Dia segera memohon ampun, "Pak Sean, tolong maafkan kami ...."Sejak mengetahui mahalnya mobil Sean sore tadi, sebenarnya Bayu sudah sadar bahwa dirinya tidak boleh memprovokasi pria itu. Namun, godaan uang sebesar 1 miliar terlalu besar."Bukan minta maaf padaku, tapi sama Paman dan Tiffany. Kudengar kalian sudah mengejek Tiffany dan menindas Paman sejak lama," ucap Sean sambil mengangkat alisnya.Raut wajah Wenda dan Santo langsung pucat. Meminta maaf pada Tiffany dan Kendra adalah hal yang sangat memalukan bagi keduanya. Namun, daripada membayar ganti rugi sebesar 1 miliar pada Sean, mereka terpaksa meminta maaf."Maaf, Kendra. Aku nggak seharusnya menindas keluarga kalian.""Tiffany, maafkan aku. Aku nggak seharusnya mengejekmu."Kendra dan Indira saling
Jarak Desa Maheswari cukup jauh dari Kota Aven. Meskipun Tiffany dan Sean berangkat pagi-pagi sekali, mereka baru tiba di Kota Aven lewat dari pukul 3 sore.Chaplin yang kelelahan setelah perjalanan panjang segera masuk ke kamarnya untuk tidur. Sementara itu, Sofyan juga sudah menunggu Sean untuk menangani beberapa masalah.Tiffany meregangkan pinggangnya. Sambil mencamil sedikit makanan, dia memberi tahu paman dan bibinya bahwa dia sudah pulang dengan selamat. Setelah itu, dia masuk ke kamar untuk beristirahat.Tiffany tidur hingga pukul 4 sore lewat. Telepon dari Garry membangunkannya."Tiffany, kamu sudah pulang, 'kan? Kamu di mana sekarang?" tanya Garry."Tidur di rumah," jawab Tiffany sambil meregangkan pinggangnya.Pria di ujung telepon berdecak pelan, lalu berkata, "Bukannya aku sudah memintamu untuk menemuiku segera setelah kamu pulang?"Tiffany menguap dan menyahut dengan canggung, "Kupikir kita bisa bertemu besok ...." Sekarang sudah sore hari, dia juga masih sangat lelah.Di
Bukankah yang seharusnya dipeluk dan dipuji oleh Tiffany adalah Charles? Mengapa dia malah memuji Sean yang buta? Hebat? Apanya yang hebat?Charles-lah yang pergi mencari spesialis dan mengarang kebohongan yang masuk akal. Dialah yang sudah bekerja keras.Sementara itu, Sean hanya menemani Tiffany ke desa dan tidak melakukan apa pun. Alhasil, gadis itu malah memeluk Sean dan memujinya hebat?Charles menggeleng tanpa daya. Sudahlah, jalan pikiran Tiffany memang unik. Apalagi saat gadis itu tengah dimabuk cinta begini. Terserah dia sajalah."Sudah, sudah." Sean mengusap kepala Tiffany dengan lembut dan melepaskan pelukan eratnya sambil bertanya, "Kenapa tiba-tiba bangun?"Tiffany menjawab dengan bibir mengerucut, "Julie mencariku."Sean tidak menyukai Garry. Tiffany tidak mau merusak momen bahagia pria itu dengan menyebut nama seniornya."Pergilah, tapi jangan pulang terlalu malam. Aku dan Charles masih ingin membicarakan sesuatu," ucap Sean sambil mengecup pipi Tiffany.Tiffany mengiaka
Atmosfer di kafe berubah hening.Tiffany menatap Garry dengan alis berkerut dan berkata, "Kak Garry, kamu bilang ... suamiku nggak buta dan dia berbohong padaku?"Garry mengangguk dengan serius dan membalas, "Ya. Bukannya nggak bisa disembuhkan, diagnosis Pak Suganda menunjukkan kalau dia nggak buta."Garry menjelaskan sekali lagi, "Dia nggak buta. Dia berbohong padamu.""Nggak mungkin. Dia nggak akan bohong," bantah sambil Tiffany menggelengkan kepalanya dengan tegas.Tiffany tersenyum dan menambahkan, "Kak Garry, kamu salah paham sama suamiku. Dia bukan pembohong, apalagi bohong padaku. Kami suami istri, nggak ada alasan baginya untuk membohongiku."Tiffany berucap dengan mata berbinar, "Biarpun suamiku seorang pembohong, dia nggak akan pernah berbohong padaku."Sean pernah berkata bahwa hal terpenting dalam hubungan suami dan istri adalah kepercayaan. Untuk mendapatkan kepercayaan, dibutuhkan kejujuran.Berhubung Sean menasihatinya tentang kejujuran, artinya pria itu juga memegang p
'Semoga nggak ada badai yang terjadi setelah malam ini. Entah apa yang ada di pikiran Tuan Sean. Dokter Charles jelas-jelas sudah menyusun rencana pengobatan mata yang diakui bisa membuatnya sembuh dalam tujuh hari, tapi dia malah ingin memberi tahu Nyonya Tiffany kebenarannya malam ini,' batin Sofyan.Sofyan tak kuasa menghela napas. Dia merasa majikannya tidak perlu repot-repot seperti itu. Namun, Sean khawatir Tiffany salah paham jika mengetahui kebenarannya dari orang lain.Padahal dengan karakter Tiffany, seharusnya dia tidak akan marah setelah mengetahui kebenarannya, 'kan? Sofyan hanya bisa menuruti instruksi Sean. Dia lanjut mengusir para pelayan. Mereka tidak berhak mencampuri urusan majikan.Setengah jam kemudian, setelah Tiffany selesai memasak ikan, vila menjadi sunyi senyap. Sepertinya, Sofyan telah mengusir semua pelayan.Tiffany melepaskan celemeknya, lalu menaiki tangga. Di ruang kerja, Sean sedang duduk di kursinya sambil merenungkan sesuatu. Entah mengapa, dia tidak m
Suasana di vila menjadi menegangkan. Untungnya, tidak ada siapa pun di sini selain Tiffany dan Sean. Jika tidak, Tiffany akan malu setengah mati!Tiffany melepaskan kaus dan celana jeans-nya. Hanya tersisa singlet berenda dan legging yang sangat pendek. Sean memicingkan mata melihat tubuh seksi itu perlahan-lahan terpampang di hadapannya. Napasnya mulai menjadi berat."Apa yang kamu lakukan?" tanya Sean sambil menatap Tiffany dengan tatapan suram. Suaranya terdengar serak.Tiffany yang gugup pun memegang kursi dengan erat. "Aku ... agak panas."Sean memicingkan matanya. "Cuma panas?""Ya." Setelah merespons dengan wajah memerah, Tiffany tidak tahu harus melakukan apa lagi. Pada akhirnya, dia duduk kembali dan makan.Setelah makan beberapa suap, Tiffany baru menyadari kebodohannya. Jika dia memang ingin menguji Sean, kenapa tidak mencoba mendeteksi detak jantungnya setelah melepas pakaian?Tiffany adalah seorang mahasiswa bedah jantung sehingga sangat sensitif terhadap frekuensi detak j
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli