Tersentuh oleh kata-kata bijak Sean, suasana hati Tiffany pun membaik. Dia mengusap hidungnya dan berkata dengan tegas, "Sayang, yang kamu bilang memang benar. Sejak awal, cita-citaku hanyalah menjadi seorang dokter bedah jantung."Tiffany teringat pada neneknya yang menderita penyakit jantung. Sejak kecil, dia telah menyaksikan berkali-kali saat neneknya harus mengatasi nyeri dada dengan minum obat. Tujuannya sederhana ... menjadi dokter yang bisa menyelamatkan nyawa, agar lebih banyak orang yang mengalami hal serupa bisa hidup sehat.Menjadi presdir sebenarnya hanyalah sebuah kebetulan. Wajar saja jika dia tidak mengerti apa pun tentang bisnis. Lagi pula, pada akhirnya perusahaan ini akan dia serahkan kembali kepada Taufik.Memikirkan hal itu, Tiffany merasa lebih lega. Dia menoleh dan tersenyum pada Sean. "Suamiku memang lebih bijak!"Sejak menikah dengan Sean, Tiffany merasa semakin mudah terpengaruh oleh orang lain. Mungkin, karena dari lubuk hatinya, dia merasa bahwa dunia bisnis
Sean mengangkat tangannya, mengusap lembut kepala Tiffany. Karena "keputusan bijaknya", Tiffany dan Sean bahkan mendapat salam hormat dari para karyawan saat berjalan ke mobil.Setelah melambai ke para karyawan dari balik jendela, Tiffany duduk santai dan menghela napas panjang. "Mereka semua antusias sekali!""Itu karena kamu ini seorang pemimpin yang manusiawi." Sean tersenyum lembut padanya. "Apa yang membuatmu kepikiran untuk mengajak semua orang bersantai setelah jam kerja?"Selama ini, dia sudah sering memberi penghargaan kepada karyawan, tetapi biasanya dalam bentuk uang atau cek. Baginya, uang adalah bentuk pengakuan terbaik untuk kinerja mereka.Sean bahkan tidak pernah membayangkan bahwa acara makan malam dan karaoke yang mungkin hanya menghabiskan beberapa puluhan juta bisa membuat para karyawan yang terbiasa menerima miliaran itu begitu gembira.Tiffany tersenyum malu, "Mungkin karena dulu aku adalah ketua kelompok belajar di kelas. Setiap kali selesai ujian, aku selalu mem
Sean berdeham pelan, lalu berkata, "Pak Genta, jalan."Tidak ada yang tahu, Sean memejamkan matanya dengan erat di balik kain hitam tersebut. Dia tidak sanggup menatap mata Tiffany yang begitu tulus dan polos. Tatapan Tiffany murni hingga dia tidak tega berbohong.Sean yang biasanya dingin dan tegas, kali ini bahkan tidak berani bertatapan dengan Tiffany. Selama masih belum yakin sepenuhnya, Sean tidak mungkin membeberkan semua rencananya pada Tiffany. Baginya, Tiffany lebih baik tidak tahu apa pun dan hanya menjalani perannya sebagai istri. Dengan begitu, dia akan tetap aman.Tiffany yang polos tidak tahu kerasnya dunia luar. Sean khawatir suatu saat Tiffany tidak akan sanggup menyimpan rahasia. Jika hal itu terjadi ... Sean tidak sanggup membayangkan akibatnya.Tanpa mengetahui pemikiran Sean yang rumit, Tiffany tetap tersenyum cerah padanya. "Sayang, jangan lupa janjimu, ya! Kalau nanti matamu sudah sembuh, kamu harus temani aku ke kampus!"Sean tersadar dan tersenyum lembut. "Baik.
"Aku yang jaga tempat, kamu yang antre beli dua porsi makanan. Aku juga mau kamu dan aku minum dari satu gelas boba dengan dua sedotan .... Terus, kamu harus suapin aku di depan semua orang ...."Sean mengusap dahinya, lalu tertawa pelan. Apa yang harus dia lakukan? Godaan untuk pamer kemesraan benar-benar terlalu besar.....Saat Tiffany berlari masuk ke kelas, waktu menunjukkan dua menit sebelum kelas dimulai. Julie menyodorkan tisu basah sambil memandangnya dengan sedikit mencemooh, "Kamu ngapain aja? Orang yang nggak pernah telat ini sampai bolos, tadi dosen sejarah nanyain kamu berkali-kali. Aku sampai bilang kalau kamu sakit.""Terima kasih!" Tiffany tersenyum sambil mengelap keringatnya. "Untung masih sempat ikut kelas!""Coba ceritain, kamu tadi ngapain saja? Jangan-jangan tadi pagi kamu nggak bisa bangun karena Sean terlalu hebat semalam?"Tiffany terdiam.Dia mengambil buku dari tasnya sambil berkata, "Kamu ini suka sekali berimajinasi, ya?"Julie tersenyum nakal. "Siapa tahu
Julie memutar matanya. Raiyen telah menculik Tiffany dan bukti-buktinya juga sudah sangat jelas, jadi pantas saja dia ditahan. Apa alasannya Tiffany tidak boleh menjalani kuliah dengan tenang?Tiffany mengatupkan bibir karena tidak ingin memperpanjang pembicaraan dengan orang tua Raiyen. "Paman, Bibi, menurutku, daripada datang ke sini mencariku, lebih baik bicara langsung sama Raiyen. Kalau dia benar-benar menyadari kesalahannya, aku sebenarnya bisa memaafkannya.""Asalkan aku memaafkan Raiyen, setidaknya dia cuma akan ditahan beberapa hari. Nggak akan terjadi apa-apa."Namun, ibu Raiyen malah tertawa sinis."Menyadari kesalahan dan memohon maaf sama kamu?! Besar kepala sekali kamu! Anak kami sudah bilang, kamu yang ingkar janji dan berniat meninggalkan mereka semua begitu saja, makanya dia jadi terpaksa melakukan semua itu!" ujar Ibu Raiyen dengan penuh percaya diri.Julie tak kuasa menahan tawa. "Ingkar janji? Kenapa dia nggak sekalian bilang, dia mau memeras orang? Dia melihat tema
"Kulihat dia mau menyakitimu dengan kursi, jadi aku nggak bisa tinggal diam." Garry tersenyum lega. "Syukurlah kalau kamu nggak terluka."Entah mengapa, nada bicara dan tatapannya yang lembut membuat Tiffany merasa tidak nyaman. Dia mengalihkan pandangan ke arah ruang kesehatan sambil berkata, "Kuantarkan ke ruang kesehatan untuk diobati dulu, ya."Tanpa menunggu jawaban, Tiffany mulai membantu Garry berjalan menuju ruang kesehatan."Aku saja yang bantu." Julie tiba-tiba datang dan langsung menyelipkan diri di antara mereka untuk menyingkirkan Tiffany. Sambil memapah Garry, Julie melirik ke arah Tiffany dengan tatapan setengah mengejek, "Kamu lambat sekali kalau jalan."Tiffany mengatupkan bibirnya, lalu diam-diam mengikuti mereka dari belakang. Jujur saja, dia merasa lebih lega Julie yang membantu Garry, sehingga suasananya tidak terlalu canggung. Sejak kejadian terakhir, Tiffany memang merasa agak kikuk bila harus berinteraksi dengan Garry.Sejak insiden itu ... Tiffany jarang menghu
Tak lama kemudian, polisi pun tiba. Sebagai saksi, Tiffany ikut pergi ke kantor polisi bersama kedua orang tua Raiyen. Setelah mengetahui seluk-beluk kejadiannya, bahkan polisi yang bertugas untuk mencatat keterangan pun tertawa."Jadi, setelah anak kalian tertangkap karena melukai orang kemarin, hari ini kedua orang tuanya ke sekolah untuk buat keributan?"Keluarga Raiyen terdiam.Luka di leher Tiffany dan keterangan dari teman-teman yang menyaksikan kejadian itu cukup menjadi bukti mengenai perbuatan orang tua Raiyen. Namun, tindakan Raiyen sendiri membutuhkan saksi lain.Tiffany mengambil ponselnya, "Aku akan hubungi teman-teman yang ada di tempat kejadian malam itu." Selain dia dan Raiyen, ada satu kelas penuh yang bisa menjadi saksi!"Nggak usah." Polisi itu melambaikan tangannya, "Kami sudah hubungi manajer restoran, dia akan sampai sebentar lagi."Begitu ucapan itu dilontarkan, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Tiffany langsung refleks menoleh ke arah datangnya suara.Di
"Nggak kusangka kita ketemu lagi secepat ini."Tiffany mengatupkan bibirnya. Dia tidak punya kesan baik terhadap Valerie, jadi dia hanya tersenyum tipis. "Aku juga nggak nyangka kamu yang akan datang. Kukira orang yang akan datang mengantarkan bukti itu adalah manajer semalam."Tiffany menatap Valerie tanpa maksud mengejek, dia benar-benar berpikir demikian. Namun bagi Valerie, kata-kata Tiffany terdengar seperti sindiran.Tentu saja, Valerie memang sengaja melakukan hal ini, tetapi dia tetap memasang senyum pura-pura. "Tentu saja, Pak Sean adalah bos besar kami. Jadi tentu saja aku harus berusaha melayani Bu Tiffany sebaik mungkin."Tiffany mengangkat alis. "Jadi, kamu bilang Sean itu bos besar kalian?"Valerie menyipitkan mata sambil tersenyum puas. "Betul sekali, apa Bu Tiffany baru tahu?""Suamiku memang hebat," ujar Tiffany tanpa ragu.Valerie tertegun. Reaksi Tiffany ini tidak sesuai dugaannya. Sebelum dia sempat menanggapi, Tiffany sudah lanjut berbicara, "Kemarin kamu bilang su
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli