Share

Bab 5. Permintaan

Author: Dian Matahati
last update Last Updated: 2024-05-15 11:01:57

"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku. 

Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja.

Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. 

"Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." 

Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. 

"Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. 

Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supaya Astuti tidak curiga. Dalam hati mengeluhkan mengapa Mas Bima kali ini justru pulang tepat waktu. 

"Bapak…! Eh, ada Mbak Cantika juga?" celetuk Astuti.

Aku yang duduk membelakangi pintu ruang makan seketika menoleh dan melihat Mas Bima memang datang bersama Cantika di sampingnya. Wanita tidak tahu diri itu dengan santainya menyapa kedua putriku seperti biasa. 

"Halo, Astuti, Andini." 

Dia seperti lupa jika aku sudah tahu tentang hubungannya dengan Mas Bima selama ini. Atau, justru karena aku sudah tahu, makanya dia semakin berani memperlihatkan kedekatannya dengan Mas Bima secara terang-terangan?

"Hai, Mbak Cantika," sahut kedua anakku bersamaan. 

Aku masih membisu saat Mas Bima dan Cantika mendekat ke meja makan. Astuti yang memang sudah kuajari sikap sopan santun, segera mempersilakan keduanya untuk bergabung dan ikut makan bersama kami. 

Selera makanku hilang seketika, sayangnya aku tidak bisa pergi begitu saja atau kedua putriku akan bertanya-tanya karenanya. 

Kami pun mulai makan malam bersama dengan sesekali mendengarkan obrolan Cantika dengan Mas Bima dan kedua putriku. Aku menjadi satu-satunya orang di meja makan yang tidak mengeluarkan suara apapun. Hal itu sampai membuat putri sulungku lekas menegur.

"Ibu kok dari tadi diam saja?" 

Aku tersenyum simpul. "Ya kan lagi makan, Sayang. Gak baik makan sambil banyak bicara," dalihku beralasan. 

Setelah mendengar jawabanku, Mas Bima dan Cantika ikut terdiam dan kami melanjutkan makan dengan keheningan. Aku sudah bersiap untuk membereskan meja makan setelah semua makanan tandas, tetapi Mas Bima menahanku karena katanya ada yang ingin dibicarakan kepadaku juga kedua putriku. 

Sebenarnya aku masih enggan membahas apapun dengannya. Hanya saja, putriku yang ikut mendengar dan sudah penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mas Bima membuatku terpaksa kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan dia katakan kepada kami. 

"Astuti, Andini, Bapak mau minta izin buat Mbak Cantika ikut tinggal sama-sama kita di rumah ini. Mbak Cantika ini sedang hamil sama seperti ibu kalian, Sayang. Kasihan kan dia tinggal sendiri di saat sedang hamil seperti sekarang?"

Kepalaku yang tadinya tertunduk segera kuangkat. Kutatap kedua mata Mas Bima dengan tajam. 

Apa maksudnya ini? Mas Bima berniat membawa madunya tinggal bersamaku juga anak-anak di rumah kami?

Aku jelas tidak terima. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal seatap dengan madu paling pahit yang diberikan suamiku. Sedangkan kedua putriku, mereka justru fokus dengan informasi lain yang mungkin lebih menarik untuk mereka bahas. 

"Apa? Jadi Ibu lagi hamil? Aku mau punya adik lagi, Pak?" sorak Astuti terlihat antusias. 

"Iya, Sayang. Sebentar lagi Astuti sama Andini akan punya adik lagi. Dari Ibu, juga dari Mbak Cantika."

"Mas!" hardikku. 

Bisa-bisanya Mas Bima membahas calon anaknya dengan Cantika untuk diakui sebagai adik dari anak-anakku juga. Aku sungguh belum siap menjelaskan masalah pelik dalam hubungan Mas Bima dengan Cantika kepada kedua putriku yang masih kecil. 

Akan tetapi, hardikanku pada Mas Bima tidak diindahkan dan dia tetap saja melanjutkan penjelasannya meskipun kulihat putriku tetap saja tidak mengerti sepenuhnya. 

"Mbak Cantika kan udah kayak keluarga kita sendiri, Sayang. Jadi, anaknya Mbak Cantika, sama aja kayak adiknya Astuti dan Andini juga, kan?" 

Hatiku sakit sekali mendengarnya. Astuti dan Andini hanya saling pandang dengan wajah bingung. Namun, kemudian keduanya mengangguk setuju meskipun mungkin mereka pun tidak sepenuhnya paham dengan apa yang dimaksud oleh Mas Bima. 

"Kamu keterlaluan, Mas!" desisku lirih, kemudian meninggalkan meja makan dengan piring kotor yang tadi sudah aku tumpuk sebelumnya. 

Aku memilih segera menjauh dari kedua putriku daripada mereka melihat perubahan ekspresiku yang sudah sekuat hati kutahan sejak tadi. 

Rasanya aku ingin menjerit sekeras-kerasnya untuk mengumpati kedua pengkhianat yang merusak kebahagiaan rumah tanggaku. Sialnya, dapur dan ruang makan di rumahku bersisian dan hanya berbatas tembok setinggi dada orang dewasa. Sehingga aku tidak mungkin melepaskan emosiku di dapur sambil cuci piring atau kedua anakku akan melihatnya. 

Setidaknya, aku tidak perlu menyembunyikan tetes air mata yang terbendung sejak kedatangan Mas Bima dan Cantika. Aku menangis tanpa suara sambil tanganku yang tetap mengerjakan cucian piring dengan cekatan. 

Suara air keran yang kunyalakan bisa meredam sedikit suara yang sesekali lolos berupa isakan kecil. Aku sungguh tidak ingin menjadi lemah seperti ini. Akan tetapi, rasa sakitnya terlalu nyata dan menyesakkan dada. Apalagi hormon kehamilanku saat ini membuatku makin sensitif.

"Mbak Raya …" 

Aku mendengar Cantika memanggilku pelan dari arah belakang. Aku tidak menoleh juga tidak menjawab apapun. Aku tidak mau dia tahu jika aku habis menangis karena dia. Aku hanya mengecilkan keran air di depanku supaya pendengaranku lebih tajam untuk menyimak apa yang akan dia katakan padaku. 

"Mbak Raya, tolong jangan pengaruhi anak-anak buat benci sama aku ya, Mbak. Suka atau gak suka, cepat atau lambat, mereka harus tahu kalau aku juga akan jadi ibu buat mereka."

Tanganku mencengkeram erat gelas kaca bening di tanganku. Saking kuatnya aku mencengkeram sampai tidak sengaja gelas itu pecah di genggamanku. Aku baru sadar ada darah yang mengalir deras dari luka di telapak tanganku saat Mas Bima datang menegur. 

"Raya, tanganmu luka!" 

Aku tidak bisa merasakan luka di tanganku, karena rasa sakitnya pun terkalahkan dengan rasa sesak di dalam dada. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Cantika LONTEKS
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau raya. dlm situasi ini bukan tangisan dan drana yg dibutuhkan,nyet.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 6. Kelancangan Cantika

    "Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. "Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. "Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. "Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup

    Last Updated : 2024-05-15
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 7. Ular Berbisa

    "Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. "Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu haru

    Last Updated : 2024-05-23
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 8. Meminta Bantuan

    "Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la

    Last Updated : 2024-05-24
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 9. Mencoba Profesi Baru

    "Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu

    Last Updated : 2024-05-24
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 10. Kedatangan Ibu Mertua

    Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil. "Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya." Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya. Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga. "Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau

    Last Updated : 2024-05-24
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 11. Pencurian Susu Formula

    “Kita mampir ke supermarket dulu, ya? Ibu mau belanja.”“Iya, Bu.”Aku memutuskan untuk menunda menasehati kedua putriku nanti setelah kami hanya bertiga saja dan mungkin setelah sampai di rumah. Aku selalu berusaha untuk tidak menegur anak-anak di keramaian. Takut melukai hati atau membuat mereka menjadi malu. Ini sangat penting untuk kesehatan mental anak-anak. Aku berbelanja dengan cepat. Mengambil barang yang dibutuhkan, ditambah dengan jajanan kedua putriku yang kusuruh untuk memilih sendiri. Mereka sudah hafal dengan jenis makanan dan minuman yang boleh dibeli dengan yang tidak. Aku memang membatasi jajanan tidak sehat kepada mereka, dan mengajarkannya sejak dini. Sehingga mereka menjadi terbiasa, dan tahu mana yang bisa diambil saat ikut berbelanja. “Sudah?” tanyaku saat mereka sudah memasukkan masing-masing jajanan yang dipilih. “Sudah, Bu. Terima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Sekarang kita bayar dulu belanjaannya, ya?” “Iya, Bu.” Saat berjalan menuju bagian kasir pembaya

    Last Updated : 2024-05-25
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 12. Rumah yang Disita Bank

    Aku mengisi tas belanja dari kain dengan susu formula yang tadi aku beli di supermarket, juga dengan beberapa buah-buahan yang masih tersedia di kulkas. Tadinya, aku sudah menyiapkan pakaian bayi milik Andini untuk anaknya Rima. Karena mereka juga punya anak perempuan dan baru berusia sekitar sembilan bulan. Namun, mengingat aku juga sedang hamil dan belum tahu apakah nanti anak yang kukandung perempuan lagi atau tidak, pakaian bekas Andini aku urungkan untuk diberikan ke anaknya Rima. “Nanti aku bagi dua dulu aja deh. Kalau adiknya anak-anak perempuan biar gak perlu belanja pakaian lagi. Aku juga males belanja-belanja perlengkapan bayi. Ribet,” gumamku sambil meletakkan kardus yang tidak jadi kubawa. Dulu, saat anak Bianca lahir, aku memberikan semua pakaian kecil Astuti untuk anaknya. Tidak lama setelah itu, aku hamil Andini dan merasakan repotnya kembali membeli perlengkapan bayi. Bukan masalah uangny

    Last Updated : 2024-05-25
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 13. Pulang Kondisi Mabuk

    “Mbak Raya tahu dari mana?” tanya Rima terlihat terkejut sekali.”Jadi benar, yang tadi itu kamu?” balasku masih butuh kepastian. Rima mengangguk sambil menunduk. Dia pasti sedih sekaligus malu saat mengakuinya. Aku sendiri rasanya lemas sekali mendengar pengakuan tersebut. Sedih dan tidak tega. “Ya Allah, Rima …, bukannya Mas Bima masih rutin kasih bantuan susu buat Runi, ya?“ Sejak Runi lahir prematur dan asinya Rima tidak bisa keluar, aku memang meminta Mas Bima untuk membantu mereka membelikan susu formula khusus untuk bayi prematur secara rutin. Jadi, saat melihat Rima sampai harus mencuri sekaleng susu untuk anaknya, aku menjadi sangat syok mendengarnya. “Mas Bima udah gak pernah kasih susu lagi, Mbak. Sudah 2 bulan lebih Mas Bima gak pernah datang ke rumah. Uang tabunganku sudah habis buat menyambung hidup terutama buat susunya Runi. Apalagi Mas Budi gak pernah kasih uang sama a

    Last Updated : 2024-05-25

Latest chapter

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 50. Ending

    Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 49. Rujuk

    “Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 48. Talak Tiga

    “Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 47. Permintaan Kembali

    “Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 46. Abi Luckman Hakim

    “Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 45. Terbongkar Semuanya

    Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik.  Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 44. Kabar Duka

    “Karena apa, Rima?” tanyaku tidak sabar menunggu penjelasan dari Rima. “Karena Cantika juga di rumah sakit untuk melahirkan juga, Mbak. Hanya saja, anaknya tidak bisa selamat. Makanya ini Mas Bima lagi urus pemakamannya.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Aku sangat terkejut mendengar kabar duka yang dibawa Rima. Tadinya aku sudah kecewa dengan Mas Bima yang tidak segera datang melihat aku dan anaknya yang baru lahir. Akan tetapi, setelah mendengar kabar duka ini yang tentunya sedang dirasakan Mas Bima juga, aku pun berubah iba padanya. “Kok bisa, Rima?” “Ceritanya panjang, Mbak.” Aku pun mendengarkan cerita dari Rima sejak Mas Bima menerima telepon dariku. Katanya, Mas Bima sudah mau pergi untuk menemuiku, tetapi Cantika mencegahnya dan terjadi pertengkaran hebat yang membuat Cantika terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh Mas Bima. “As

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 43. Melahirkan

    Beruntungnya tidak lama setelah itu, Mak Ijah datang dengan taksi yang langsung kuminta untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. “Mak…” “Bu Raya?” “Mak, ketubannya sudah pecah,” aduku sambil meringis menahan sakit. “Ya Allah, Bu. Maaf ya, Mak baru datang. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aku mengangguk dan membiarkan Mak Ijah membantuku ke taksi. Astuti dan Andini ikut ke rumah sakit juga. Ponselku dipegang Astuti. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain fokus untuk persalinan dan keselamatan anak yang sedang aku kandung. ‘Gak apa-apa, ya, Nak. Gak ada Bapak. Kita berjuang berdua. Harus selamat dan sehat,’ batinku saat sudah di ruang IGD rumah sakit. Air mata tidak berhenti menetes sejak tadi. Rasa sakit yang luar biasa makin terasa saat pembukaan bertambah. Aku hanya bisa mengadu pada bidan rumah sakit yang mendampingi proses melahirkan. 

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 42. Kontraksi

    “Kamu sehat, kan?” “Alhamdulilah sehat, Mas. Kamu yang terlihat kurusan, Mas.” Setelah aku desak untuk bertemu, akhirnya Mas Bima datang juga ke rumahku. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan rumah yang aku tinggali. Apalagi melihat ada sebuah toko sederhana di depannya. Sebenarnya aku berniat mengajaknya bertemu di luar rumah saja. Akan tetapi Mas Bima takut membuatku repot jika harus bertemu di luar. Jadilah dia memilih untuk datang ke rumah saja. Aku sudah bisa membayangkan apa yang dipikirkan Mas Bima saat ini. Wajah tirusnya karena sepertinya berat badannya turun banyak, makin pucat saja karena tercengang. “Kamu, sudah sukses sekarang, Raya,” desisnya nyaris tanpa suara. “Gak juga kok, Mas. Sekedar mengisi waktu luang aja.” Mas Bima tersenyum miring. Dia pasti merasa jika aku terlalu merendah. Terserah saja dia mau menilai jawaban d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status