Aku mengisi tas belanja dari kain dengan susu formula yang tadi aku beli di supermarket, juga dengan beberapa buah-buahan yang masih tersedia di kulkas. Tadinya, aku sudah menyiapkan pakaian bayi milik Andini untuk anaknya Rima. Karena mereka juga punya anak perempuan dan baru berusia sekitar sembilan bulan. Namun, mengingat aku juga sedang hamil dan belum tahu apakah nanti anak yang kukandung perempuan lagi atau tidak, pakaian bekas Andini aku urungkan untuk diberikan ke anaknya Rima. “Nanti aku bagi dua dulu aja deh. Kalau adiknya anak-anak perempuan biar gak perlu belanja pakaian lagi. Aku juga males belanja-belanja perlengkapan bayi. Ribet,” gumamku sambil meletakkan kardus yang tidak jadi kubawa. Dulu, saat anak Bianca lahir, aku memberikan semua pakaian kecil Astuti untuk anaknya. Tidak lama setelah itu, aku hamil Andini dan merasakan repotnya kembali membeli perlengkapan bayi. Bukan masalah uangny
“Mbak Raya tahu dari mana?” tanya Rima terlihat terkejut sekali.”Jadi benar, yang tadi itu kamu?” balasku masih butuh kepastian. Rima mengangguk sambil menunduk. Dia pasti sedih sekaligus malu saat mengakuinya. Aku sendiri rasanya lemas sekali mendengar pengakuan tersebut. Sedih dan tidak tega. “Ya Allah, Rima …, bukannya Mas Bima masih rutin kasih bantuan susu buat Runi, ya?“ Sejak Runi lahir prematur dan asinya Rima tidak bisa keluar, aku memang meminta Mas Bima untuk membantu mereka membelikan susu formula khusus untuk bayi prematur secara rutin. Jadi, saat melihat Rima sampai harus mencuri sekaleng susu untuk anaknya, aku menjadi sangat syok mendengarnya. “Mas Bima udah gak pernah kasih susu lagi, Mbak. Sudah 2 bulan lebih Mas Bima gak pernah datang ke rumah. Uang tabunganku sudah habis buat menyambung hidup terutama buat susunya Runi. Apalagi Mas Budi gak pernah kasih uang sama a
Mas Bima syok mendengar cercaan dariku. Aku tidak tahu dia sedang berakting atau sungguhan tidak tahu apa-apa tentang itu. Dia menyangkal dan mengatakan jika selama ini masih rutin menjatah uang susu untuk Runi. Bahkan yang sebelumnya memberikan satu kaleng susu, sejak tiga bulan terakhir katanya menganggarkan dua kaleng susu karena tahu kebutuhan asupan bayi itu pun meningkat seiring dengan usianya yang bertambah. “Kamu yakin, Mas? Aku lihat sendiri lho gimana kondisi Rima sama Runi tadi waktu aku ke sana. Mereka tinggal di kos-kosan satu petak. Runi dikasih air putih sebelum aku datang. Dan siang tadi Rima dipukuli massa karena ketahuan hendak mencuri susu di supermarket.” “Kok bisa, sih,” gumam Mas Bima belum mau mengaku. “Rima gak mungkin bohong, Mas. Kata dia, kamu udah dua bulan gak kesana.”“Aku emang gak kesana, tapi aku tetap kasih dalam bentuk uang.” “Kamu
“Pak, memangnya besok kita boleh ikut periksa kandungannya Ibu, ya?” “Boleh, Sayang. Besok kita ramai-ramai periksa kandungan Ibu.” “Yeay!” seru Astuti dan Andini. Kedua putriku sangat senang saat mendengar kabar akan diajak ke dokter kandungan. Mereka menjadi makin lahap menghabiskan makanan yang ada di piring masing-masing. Saat ini kami sedang sarapan bersama di hari sabtu yang cerah. Kedua putriku libur setiap Sabtu dan Minggu. Sedangkan Mas Bima justru biasa bekerja karena setiap akhir pekan, rumah makan biasanya lebih ramai. Cantika yang tidak tahu diri masih saja tidak mau keluar dari rumah kami. Padahal sejak kemarin Mas Bima terlihat masih kesal dengannya. Aku juga menjadi semangat membuatnya cemburu saat ada kesempatan. Seperti saat kemarin kami baru pulang menjemput anak-anak dari sekolah. Aku bersikap seolah masih begitu mesra bersama Mas Bima di depann
Pagi harinya, untungnya Mas Bima tidak lagi terlihat kesal denganku. Dia sudah segar bahkan terlihat habis keramas pagi-pagi. Bukan hanya Mas Bima saja, tetapi Cantika juga. Sepertinya Cantika sengaja menunjukkan rambut basahnya di depanku supaya aku berpikiran tentang hal intim antara dia dan suami kami. Aku pun berusaha cuek meskipun tetap saja membatin secara spontan. Dia gak tau fungsi hair dryer apa, ya? Hobi banget, pamer. Sakit kepala baru tahu rasa! “Pak, kita berangkat ke dokternya jam berapa, sih?” tanya Andini terlihat tidak sabar lagi. “Habis sarapan, ya? Bapak udah ambil nomor antrian buat periksa pagi ini, jadi nanti seharusnya sampai sana udah gak perlu antri lagi.” “Yeay! Gak sabar liat dede bayi di perut Ibu,” sahut Astuti ikut antusias. “Emangnya bisa dilihat, Mbak?” Andini terlihat penasaran. “Bisa, Dik. Nanti pas USG, kita bi
“Sayang, HP aku kok gak ada sinyal, ya?” tanya Mas Bima saat baru mulai menyadari sinyalnya tidak ada. Saat ini kami masih di bagian farmasi untuk menunggu obat dan vitamin yang diresepkan dokter. Aku pun pura-pura mengecek ponselku dan memperlihatkan bagian layarnya yang juga terlihat tidak ada sinyal. “Sama, Mas. Kayaknya di sini sinyalnya susah deh.” “Oh, yasudah kalau begitu. Aku kira HP aku kenapa,” balas Mas Bima tidak terlalu peduli. “Paling di luar ntar udah balik lagi sinyalnya, Mas. Bentar lagi juga udah pulang, kan?” “Iya, Sayang. Aku cuma heran aja kok tumben dari tadi HP-nya anteng banget. Ternyata sinyalnya silang.” “Kamu nunggu pesan dan telepon dari Cantika?” sindirku. Mumpung anak-anakku sedang tidak ada di sekitar kami, aku bisa menyinggung masalah Cantika di depan Mas Bima. Mas Bima pun menyangkal sindiranku.
“Anak-anak tidur semua, ya?”“Iya, Mas. Biar aku bangunkan.”“Gak usah, Sayang. Biar aku yang bawa masuk mereka aja. Aku gendong.” “Serius, Mas? Mereka udah pada gede, lho. Berat.” “Gendong kamu aja mas masih kuat, Apalagi cuma gendong mereka sih,” kata Mas Bima sambil mengerlingkan mata. Sepertinya perasaan Mas Bima sudah baikan. Dia sudah bisa mengajakku bercanda, bahkan menggodaku dengan pandangan mesum. Kau mencebikkan bibir dan Mas Bima hanya terkekeh saja. Baru kemudian dia mulai memindahkan anak-anak ke kamar mereka. Yang pertama dibawa masuk oleh Mas Bima adalah Andini. Aku masih menunggu di samping mobil sampai Mas Bima kembali untuk gantian menggendong Astuti. Baru setelahnya, aku membawa barang yang tersisa di mobil dan mengekor di belakang Mas Bima. “Kamu ngapain jalan?” tanya Mas Bima. “Hah?” aku terkejut tidak pah
“Kamu temani makan anak-anak dulu, ya? Nanti habis ini aku susul,” ujar Mas Bima sambil melepaskanku dari pelukannya. “Iya, Mas.” Aku melihat Cantika sudah seperti singa yang mengamuk. Tangannya berkacak pinggang dan menatap nyalang padaku dan Mas Bima. Aku sama sekali tidak takut, justru aku puas melihatnya marah seperti ini. Ini siapa yang istri pertama dan siapa yang istri kedua? Kenapa lebih galak dia daripada aku? Kenapa juga lebih banyak dia yang ngambek daripada aku? Aneh!Aku sampai menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan Cantika yang sok berkuasa. Dia adalah wanita tidak tahu malu dan tidak tahu diri nomor satu yang pernah kukenal. Saat kuingat aku sedang hamil dan membatin hal buruk atas orang lain, aku segera mengucap amit-amit tiga kali dan mengelus perut. Tidak mau sampai calon anakku sampai menurun dari sifat buruk Cantika. Setibanya aku di meja
Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n
“Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men
“Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m
“Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji
“Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas
Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik. Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men
“Karena apa, Rima?” tanyaku tidak sabar menunggu penjelasan dari Rima. “Karena Cantika juga di rumah sakit untuk melahirkan juga, Mbak. Hanya saja, anaknya tidak bisa selamat. Makanya ini Mas Bima lagi urus pemakamannya.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Aku sangat terkejut mendengar kabar duka yang dibawa Rima. Tadinya aku sudah kecewa dengan Mas Bima yang tidak segera datang melihat aku dan anaknya yang baru lahir. Akan tetapi, setelah mendengar kabar duka ini yang tentunya sedang dirasakan Mas Bima juga, aku pun berubah iba padanya. “Kok bisa, Rima?” “Ceritanya panjang, Mbak.” Aku pun mendengarkan cerita dari Rima sejak Mas Bima menerima telepon dariku. Katanya, Mas Bima sudah mau pergi untuk menemuiku, tetapi Cantika mencegahnya dan terjadi pertengkaran hebat yang membuat Cantika terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh Mas Bima. “As
Beruntungnya tidak lama setelah itu, Mak Ijah datang dengan taksi yang langsung kuminta untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. “Mak…” “Bu Raya?” “Mak, ketubannya sudah pecah,” aduku sambil meringis menahan sakit. “Ya Allah, Bu. Maaf ya, Mak baru datang. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aku mengangguk dan membiarkan Mak Ijah membantuku ke taksi. Astuti dan Andini ikut ke rumah sakit juga. Ponselku dipegang Astuti. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain fokus untuk persalinan dan keselamatan anak yang sedang aku kandung. ‘Gak apa-apa, ya, Nak. Gak ada Bapak. Kita berjuang berdua. Harus selamat dan sehat,’ batinku saat sudah di ruang IGD rumah sakit. Air mata tidak berhenti menetes sejak tadi. Rasa sakit yang luar biasa makin terasa saat pembukaan bertambah. Aku hanya bisa mengadu pada bidan rumah sakit yang mendampingi proses melahirkan.
“Kamu sehat, kan?” “Alhamdulilah sehat, Mas. Kamu yang terlihat kurusan, Mas.” Setelah aku desak untuk bertemu, akhirnya Mas Bima datang juga ke rumahku. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan rumah yang aku tinggali. Apalagi melihat ada sebuah toko sederhana di depannya. Sebenarnya aku berniat mengajaknya bertemu di luar rumah saja. Akan tetapi Mas Bima takut membuatku repot jika harus bertemu di luar. Jadilah dia memilih untuk datang ke rumah saja. Aku sudah bisa membayangkan apa yang dipikirkan Mas Bima saat ini. Wajah tirusnya karena sepertinya berat badannya turun banyak, makin pucat saja karena tercengang. “Kamu, sudah sukses sekarang, Raya,” desisnya nyaris tanpa suara. “Gak juga kok, Mas. Sekedar mengisi waktu luang aja.” Mas Bima tersenyum miring. Dia pasti merasa jika aku terlalu merendah. Terserah saja dia mau menilai jawaban d