“Anak-anak tidur semua, ya?”
“Iya, Mas. Biar aku bangunkan.”“Gak usah, Sayang. Biar aku yang bawa masuk mereka aja. Aku gendong.”“Serius, Mas? Mereka udah pada gede, lho. Berat.”“Gendong kamu aja mas masih kuat, Apalagi cuma gendong mereka sih,” kata Mas Bima sambil mengerlingkan mata.Sepertinya perasaan Mas Bima sudah baikan. Dia sudah bisa mengajakku bercanda, bahkan menggodaku dengan pandangan mesum. Kau mencebikkan bibir dan Mas Bima hanya terkekeh saja. Baru kemudian dia mulai memindahkan anak-anak ke kamar mereka.Yang pertama dibawa masuk oleh Mas Bima adalah Andini. Aku masih menunggu di samping mobil sampai Mas Bima kembali untuk gantian menggendong Astuti. Baru setelahnya, aku membawa barang yang tersisa di mobil dan mengekor di belakang Mas Bima.“Kamu ngapain jalan?” tanya Mas Bima.“Hah?” aku terkejut tidak pah“Kamu temani makan anak-anak dulu, ya? Nanti habis ini aku susul,” ujar Mas Bima sambil melepaskanku dari pelukannya. “Iya, Mas.” Aku melihat Cantika sudah seperti singa yang mengamuk. Tangannya berkacak pinggang dan menatap nyalang padaku dan Mas Bima. Aku sama sekali tidak takut, justru aku puas melihatnya marah seperti ini. Ini siapa yang istri pertama dan siapa yang istri kedua? Kenapa lebih galak dia daripada aku? Kenapa juga lebih banyak dia yang ngambek daripada aku? Aneh!Aku sampai menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan Cantika yang sok berkuasa. Dia adalah wanita tidak tahu malu dan tidak tahu diri nomor satu yang pernah kukenal. Saat kuingat aku sedang hamil dan membatin hal buruk atas orang lain, aku segera mengucap amit-amit tiga kali dan mengelus perut. Tidak mau sampai calon anakku sampai menurun dari sifat buruk Cantika. Setibanya aku di meja
“Sayang …” Tidak biasanya anak-anak sampai mengunci kamar mereka sekalipun mereka sedang marah atau bersedih. Sebenarnya aku cukup panik, tetapi berusaha tetap tenang dan mencoba untuk membujuk anak-anak supaya mau membukakan pintu untukku. “Kok pintunya dikunci, Sayang?” tegurku lagi. Aku masih berusaha untuk tetap merendahkan suaraku supaya mereka tidak merasa sedang dimarahi. Aku juga bersabar sampai mereka mau merespon panggilanku.“Sayang …” panggilku lagi. “Bapak udah gak sayang sama kita lagi. Bapak cuma peduli sama Mbak Cantika dan calon anaknya. Aku benci sama Bapak.” Air mataku menetes mendengar putri sulungku berucap demikian. Selama delapan tahun usianya, baru kali ini dia marah hingga demikian. Aku bisa merasakan rasa sakit juga amarahnya dalam suara yang bergetar. Tanganku sampai mengepal erat saking marahnya aku pada Mas Bima. “Buk
Aku memilih lebih banyak mengurung diri di kamar selama hanya berdua saja di rumah bersama Cantika. Pekerjaan rumah sudah selesai dan aku hanya tinggal menunggu waktu hingga anak-anak pulang sekolah dengan membuat konten. Makin hari akun buatanku makin berkembang. Performanya juga meningkat, seiring dengan orderan yang juga mulai berdatangan. Aku mulai menikmati profesi baru ini dimana aku tidak perlu memikirkan pengiriman barang sehingga bisa fokus hanya membuat materi untuk promosi saja. “Ternyata ada juga pekerjaan yang cocok buat ibu rumah tangga kayak aku gini,” gumamnya selesai mengunggah konten baru. Masih ada waktu lebih dari satu jam sebelum aku menjemput anak-anak ke sekolah. Aku yang sudah bosan di kamar saja, memilih ke dapur untuk membuat kue. “Mood anak-anak pasti membaik setelah tau aku buatkan mereka kue bolu ini,” gumamku bersemangat. Aku memutuskan membuat bolu kukus
“Ya kan siapa tau aja kalau Mbak Raya sengaja kasih sesuatu di makanan yang mau aku makan,” celetuk Cantika lagi masih menuduhku.“Ternyata selain gak tau diri, kamu juga gak ada otak, ya? Kita semua juga tadi tau, gak ada masakan yang dibeda-bedakan. Makanan yang kamu ambil satu tempat yang kami makan juga. Mungkin itu karma karena kamu udah serakah ngabisin ikan siang tadi,” sindirku sekalian. “Tuh, kan, Mas. Mbak Raya itu masih gak terima karena dede bayi siang tadi makan ikan goreng yang sisa tadi pagi itu. Makanya sampai tega bikin sakit perutku sekarang.” “Sisa kamu bilang? Itu ada lebih dari sepuluh potong. Sebanyak itu kamu hilang sisa? Lagian siapa juga sih yang kurang kerjaan bikin kamu sakit perut. Gak usah banyak drama!” “Sudah, Raya, sudah. Cuma makanan aja diributin kayak orang susah aja. Kamu harusnya maklum kalau Cantika makannya banyak. Dia lagi hamil, kan? Jadi, wajar lah. Masa sampai ba
“Ini suamimu kayaknya halal deh aku sleding! Kesel banget, sumpah!” rutuk Endah begitu kami bisa mengobrol setelah anak-anakku kembali tidur di apartemen Endah. Beruntung sekali Endah punya dua kamar di apartemennya. Satu kamar tamu sudah ditempati anak-anakku yang nantinya aku pun akan ikut tidur bersama mereka. Saat ini Endah masih mengajakku mengobrol, atau lebih tepatnya mengghibah dengan bahan utamanya tentu saja Mas Bima dan Cantika. Endah tidak henti-hentinya menyumpahi kedua pasangan laknat tersebut. Dia bahkan mengatakan jika aku mau, dia bisa dengan mudah menjatuhkan usaha Mas Bima dengan satu panggilan. Bukan rahasia lagi jika jaringan Endah sangat luas. Dari kalangan elit sampai preman pasar rasanya Endah punya kenalan. Jadi, jika hanya ingin menghancurkan rumah makan Mas Bima, bukanlah hal sulit baginya yang uang pun tersedia. “Gak usah, Ndah. Aku lebih suka melihat dia terhukum oleh alam se
“Bara? Kamu kok di sini?” tanyaku saat tanpa sengaja kembali bertemu dengannya. “Lah, harusnya aku yang tanya. Kok kamu kenal sama mamaku?” “Mamamu?” ulangku tidak percaya dengan indera pendengaranku sendiri. “Iya, itu yang duduk samping kamu mamaku, Raya.” Aku masih terkejut. Tidak menduga jika aku akan menyewa rumah kontrakan milik mamanya Bara. Walaupun kami teman saat di bangku SMA, tetapi dulu yang kutahu Bara tinggal bersama neneknya. Sedangkan dengan mamanya, aku belum pernah bertemu sekalipun, karena katanya beliau menjadi TKW di Taiwan. Mamanya Bara adalah single parent. Kedua orang tua Bara sudah bercerai sejak dia masih SMP. Bara memang pernah bercerita demikian kepadaku. Namun, aku tidak menyangka jika akhirnya akan berkenalan dengan beliau setelah sudah dewasa seperti sekarang. “Mbak Raya ini mau sewa rumah kontrakan Mama, Bar,” terang Bu Rania, mamany
“Kamu kenapa tadi cegah aku, sih?” kesal Bara padaku. Mukanya masih ditekuk menahan emosi. Dia pasti akan melakukan kekerasan kepada Mas Bima jika tadi aku tidak mencegahnya. Aku tahu bagaimana Bara jika sudah terbawa emosi. Dia tidak akan segan untuk baku hantam jika berurusan dengan laki-laki brengsek seperti Mas Bima. Bara pernah bercerita padaku, jika dulu saat dia tahu papanya menyakiti hati mamanya, dia sangat ingin melayangkan pukulan kepada sang papa. Sayangnya, sebenci apapun dia dengan papanya, dia tidak pernah bisa memukul pria itu. Jadinya, setiap Bara mendapati pria brengsek seperti papanya, dia tidak akan segan menyalurkan kemarahan terpendamnya kepada orang tersebut. “Aku gak mau kamu ribut-ribut di sekolah anakku, Bara. Sudah jangan ditanggapi. Gak ada untungnya.” “Berarti kalau aku kasih pelajaran dia di tempat lain, bisa kan?” Aku pukul lengan ata
“Aman?” “Aman, dong. Kamu jangan khawatir. Aku baik-baik saja kok. Dan satu lagi … ” Aku menjeda kalimatku. Mencari padanan kata yang paling pas untuk memberikan pengertian kepada Bara. “Satu lagi apa, Raya?” “Kamu …, bisa kan buat bersikap biasa aja kayak kita sebelum ketemu lagi kemarin. Aku cuma gak mau ada yang salah sangka sama kamu. Mau bagaimanapun, status aku saat ini masih wanita bersuami. Lagi hamil pula. Gak bakalan baik kalau kamu terlalu perhatian sama aku, meskipun aku tahu niat kamu sangat baik dan gak aneh-aneh.” Bara menunduk dan mengangguk pelan. “Iya aku paham, Raya. Maaf ya kalau aku bikin kamu gak nyaman.” “Sebenarnya bukan masalah nyaman atau gak nyaman. Aku cuma gak pengen ada fitnah aja, sih. Apalagi kondisi rumah tanggaku sedang goyang. Aku gak mau nama baik kamu tercoreng, dan aku gak mau nambah masalah yang bisa bikin anak-anakku makin te