Share

Bab 7. Ular Berbisa

Author: Dian Matahati
last update Last Updated: 2024-05-23 18:13:52

"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.

Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. 

"Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." 

Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. 

"Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu harus ingat kalau poligami itu bukan sesuatu yang haram." 

"Terserah," tandasku. 

Aku tidak mau berdebat di depan kedua putriku. Badanku pun sudah sangat penat, bahkan kepalaku terasa nyut-nyutan sejak pulang dari klinik tadi. Aku pun memutuskan untuk pergi ke kamar saja untuk istirahat dan membiarkan apapun yang akan mereka lakukan. 

Aku tidak ingat mulai terlelap di jam berapa karena sakit kepala yang tadi mendera sangat mengganggu konsentrasi. Aku yang tidak berani meminum obat sembarangan di saat mengandung seperti sekarang, memilih langsung tidur setelah berada di kamar. 

Namun, aku terbangun karena tenggorokan yang kering saat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 1 dini hari. Sudah cukup lama aku tertidur, dan aku tidak mendapati Mas Bima di sisi ranjang. 

Aku berusaha tidak peduli maupun menerka dimana suamiku berada saat ini. Karena alam bawah sadar pun sudah tahu jawabannya dengan pasti. 

Aku meneruskan keinginan ke dapur untuk mengambil air minum. Saat melewati kamar tamu yang memang dekat dengan dapur, suara samar dari dalam kamar tersebut membuat kakiku terpaku. 

Suara desah mendayu dan tawa kecil dari pria dan wanita yang kudengar memperjelas apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Mas Bima sedang bersama Cantika dan air mataku menetes begitu saja. 

Aku merasa perutku mendadak nyeri. Sepertinya, stres memang sangat cepat mempengaruhi kondisi tubuhku. Aku tidak bisa larut dalam emosi dan kesedihan, atau janin yang ada dalam kandunganku akan turut merasakan kesedihan yang sama. 

"Sabar …, sabar …, setiap pengkhianat akan menemukan karmanya sendiri, cepat atau lambat. Jangan sampai rasa sakit hatiku ini membuatku kehilangan kewarasan. Aku harus tetap tenang dan bertindak dengan logika." 

Aku bermonolog untuk menguatkan diri sendiri. Seumur-umur belajar sabar, tetapi ujian kali ini benar-benar hampir melewati batas kesabaranku. Aku merasa sanggup melalui semua ujian rumah tangga bersama Mas Bima selama ini, tetapi kali ini aku meragu bisa bertahan hingga akhir.  

Satu-satunya alasanku berjuang kali ini adalah demi anak-anak yang butuh sosok ayah untuk tumbuh kembangnya. Namun, melihat sikap Mas Bima yang seperti ini, aku jadi tidak yakin apakah Mas Bima akan tetap baik kepada anak-anak setelah dikuasai Cantika dan anak mereka kelak? 

Aku kembali teringat akan perkataan Cantika yang membandingkan anak-anakku yang berjenis kelamin perempuan, dan anak-anaknya yang berjenis kelamin laki-laki. 

"Jika anak mereka nanti laki-laki, dan anakku kembali perempuan, jelas Mas Bima akan pilih kasih dan …." 

Aku bahkan tidak bisa meneruskan pemikiranku sendiri. Segera ku gelengkan kepalaku mengusir sesuatu yang belum terjadi. 

Aku memang harus mempersiapkan resiko terburuk yang mungkin akan terjadi dalam rumah tanggaku, tetapi bukan hanya dengan menangisi keadaan. 

Aku harus melakukan sesuatu supaya jika terjadi hal buruk diluar kendaliku, aku dan anak-anakku tidak akan terlunta-lunta tanpa persiapan apapun. 

Aku segera kembali ke kamar setelah mengambil segelas air putih. Aku tidak langsung kembali tidur, karena aku teringat sesuatu sebagai satu langkah pertama untuk bangkit diatas kakiku sendiri. 

Kuhubungi seseorang yang kurasa bisa membantu mencarikan solusi untuk masalahku. Endah adalah sahabatku saat sekolah dulu. Dulu dia paling tahu tentang minat dan bakatku. 

Setahuku, dia sudah sukses dengan menjadi wanita karir meskipun sampai hari ini belum memiliki pendamping hidup saking fokusnya meniti karir. Besar harapanku bisa berguru darinya untuk menjadi wanita karir dan tidak lagi bergantung dengan uang pemberian suamiku. 

Aku mengirim pesan melalui email karena tidak mau mengganggu waktu istirahatnya. Tidak mengapa sekalipun tidak langsung mendapatkan respon darinya, tetapi setidaknya, aku tidak akan lupa jika menunda esok hari untuk mengirim pesan. 

Baru setelah selesai berkirim pesan, aku kembali berbaring meskipun ternyata cukup sulit untuk kembali terlelap, apalagi suara yang kudengar di kamar belakang masih terngiang di ingatan. 

"Hanya sampai anak ini lahir, maka semuanya harus berakhir. Aku tidak sudi dimadu untuk alasan apapun. Lebih baik aku menjadi single parent dan menghidupi anak-anakku sendiri daripada tersiksa batin dengan bertahan sama Mas Bima."

Aku bertekad untuk mengembangkan kemampuanku untuk menghasilkan sesuatu yang bisa dipergunakan sebagai cara bertahan hidup setelah berpisah dari Mas Bima. Aku pun harus mulai membiasakan kedua putriku untuk tidak selalu bergantung dengan Mas Bima. 

Melihat keculasan Cantika saat ada Mas Bima untuk menjelekkanku, aku menjadi yakin jika aku harus bersiap seandainya suatu hari terpaksa melepaskan Mas Bima. Aku tidak mungkin mempertahankan sesuatu yang sudah tidak lagi memilihku.

Keesokan harinya, aku ketiduran lagi setelah salat subuh karena sejak terbangun dini hari, aku tidak bisa kembali tidur sampai tiba waktu subuh. Jam setengah tujuh pagi aku baru terbangun dan sangat syok karena bangun kesiangan. 

Aku bergegas keluar kamar dan mendapati pemandangan yang sangat menyakitkan. Di meja makan yang berada di dekat dapur, sudah ada Mas Bima dengan pakaian kerjanya yang rapi dan kedua putriku yang juga sudah dengan seragam sekolahnya, duduk dengan tenang dihidangkan Cantika makanan masakannya. 

Senyum penuh kemenangan yang diulas Cantika seperti cambuk yang menyadarkan aku jika saat ini sudah ada ular berbisa yang siap meracuni pikiran anggota keluargaku. 

Kuakui, Cantika sangat pandai mengambil hati semua orang. Bahkan aku sendiri, dulu sangat memujinya karena bersikap santun dan ringan tangan. Aku tidak tahu saja jika tujuan kebaikannya selama ini adalah demi menggantikan posisiku. 

"Sini, Mbak. Sarapan sama kami. Aku sudah masak banyak buat sarapan dan bekal Mas Bima juga anak-anak. Untung, kan, ada aku di sini? Jadi waktu Mbak Raya bangun kesiangan, aku bisa bantu masak buat kita semua." 

"Betul itu, Raya. Apalagi masakan Cantika juga enak. Iya, kan?" sahut Mas Bima sambil meminta pendapat anak-anak kami. 

Astuti dan Andini mengangguk membenarkan. Hatiku semakin perih melihat suami dan kedua putriku berada di pihak orang ketiga dalam rumah tanggaku. Apakah aku akan tersingkir dari rumah dan keluargaku sendiri karena kehadiran Cantika? 

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Cantika GATEL belum ketemu KARMA jadi senyum terus Bima buta hati JAHAT nggak ada AKHLAKNYA
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si raya aja yg terlalu lemot,lemah dan menye2. harus betul tinggal serumah dg madu ya?? kayak binatang aja yg tinggal dikandang yg sama
goodnovel comment avatar
Ranti Bawanan
nggak seru terlalu di lebih2kan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 8. Meminta Bantuan

    "Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la

    Last Updated : 2024-05-24
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 9. Mencoba Profesi Baru

    "Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu

    Last Updated : 2024-05-24
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 10. Kedatangan Ibu Mertua

    Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil. "Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya." Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya. Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga. "Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau

    Last Updated : 2024-05-24
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 11. Pencurian Susu Formula

    “Kita mampir ke supermarket dulu, ya? Ibu mau belanja.”“Iya, Bu.”Aku memutuskan untuk menunda menasehati kedua putriku nanti setelah kami hanya bertiga saja dan mungkin setelah sampai di rumah. Aku selalu berusaha untuk tidak menegur anak-anak di keramaian. Takut melukai hati atau membuat mereka menjadi malu. Ini sangat penting untuk kesehatan mental anak-anak. Aku berbelanja dengan cepat. Mengambil barang yang dibutuhkan, ditambah dengan jajanan kedua putriku yang kusuruh untuk memilih sendiri. Mereka sudah hafal dengan jenis makanan dan minuman yang boleh dibeli dengan yang tidak. Aku memang membatasi jajanan tidak sehat kepada mereka, dan mengajarkannya sejak dini. Sehingga mereka menjadi terbiasa, dan tahu mana yang bisa diambil saat ikut berbelanja. “Sudah?” tanyaku saat mereka sudah memasukkan masing-masing jajanan yang dipilih. “Sudah, Bu. Terima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Sekarang kita bayar dulu belanjaannya, ya?” “Iya, Bu.” Saat berjalan menuju bagian kasir pembaya

    Last Updated : 2024-05-25
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 12. Rumah yang Disita Bank

    Aku mengisi tas belanja dari kain dengan susu formula yang tadi aku beli di supermarket, juga dengan beberapa buah-buahan yang masih tersedia di kulkas. Tadinya, aku sudah menyiapkan pakaian bayi milik Andini untuk anaknya Rima. Karena mereka juga punya anak perempuan dan baru berusia sekitar sembilan bulan. Namun, mengingat aku juga sedang hamil dan belum tahu apakah nanti anak yang kukandung perempuan lagi atau tidak, pakaian bekas Andini aku urungkan untuk diberikan ke anaknya Rima. “Nanti aku bagi dua dulu aja deh. Kalau adiknya anak-anak perempuan biar gak perlu belanja pakaian lagi. Aku juga males belanja-belanja perlengkapan bayi. Ribet,” gumamku sambil meletakkan kardus yang tidak jadi kubawa. Dulu, saat anak Bianca lahir, aku memberikan semua pakaian kecil Astuti untuk anaknya. Tidak lama setelah itu, aku hamil Andini dan merasakan repotnya kembali membeli perlengkapan bayi. Bukan masalah uangny

    Last Updated : 2024-05-25
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 13. Pulang Kondisi Mabuk

    “Mbak Raya tahu dari mana?” tanya Rima terlihat terkejut sekali.”Jadi benar, yang tadi itu kamu?” balasku masih butuh kepastian. Rima mengangguk sambil menunduk. Dia pasti sedih sekaligus malu saat mengakuinya. Aku sendiri rasanya lemas sekali mendengar pengakuan tersebut. Sedih dan tidak tega. “Ya Allah, Rima …, bukannya Mas Bima masih rutin kasih bantuan susu buat Runi, ya?“ Sejak Runi lahir prematur dan asinya Rima tidak bisa keluar, aku memang meminta Mas Bima untuk membantu mereka membelikan susu formula khusus untuk bayi prematur secara rutin. Jadi, saat melihat Rima sampai harus mencuri sekaleng susu untuk anaknya, aku menjadi sangat syok mendengarnya. “Mas Bima udah gak pernah kasih susu lagi, Mbak. Sudah 2 bulan lebih Mas Bima gak pernah datang ke rumah. Uang tabunganku sudah habis buat menyambung hidup terutama buat susunya Runi. Apalagi Mas Budi gak pernah kasih uang sama a

    Last Updated : 2024-05-25
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 14. Drama Telenovela

    Mas Bima syok mendengar cercaan dariku. Aku tidak tahu dia sedang berakting atau sungguhan tidak tahu apa-apa tentang itu. Dia menyangkal dan mengatakan jika selama ini masih rutin menjatah uang susu untuk Runi. Bahkan yang sebelumnya memberikan satu kaleng susu, sejak tiga bulan terakhir katanya menganggarkan dua kaleng susu karena tahu kebutuhan asupan bayi itu pun meningkat seiring dengan usianya yang bertambah. “Kamu yakin, Mas? Aku lihat sendiri lho gimana kondisi Rima sama Runi tadi waktu aku ke sana. Mereka tinggal di kos-kosan satu petak. Runi dikasih air putih sebelum aku datang. Dan siang tadi Rima dipukuli massa karena ketahuan hendak mencuri susu di supermarket.” “Kok bisa, sih,” gumam Mas Bima belum mau mengaku. “Rima gak mungkin bohong, Mas. Kata dia, kamu udah dua bulan gak kesana.”“Aku emang gak kesana, tapi aku tetap kasih dalam bentuk uang.” “Kamu

    Last Updated : 2024-05-26
  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 15. Calon Anak Laki-laki

    “Pak, memangnya besok kita boleh ikut periksa kandungannya Ibu, ya?” “Boleh, Sayang. Besok kita ramai-ramai periksa kandungan Ibu.” “Yeay!” seru Astuti dan Andini. Kedua putriku sangat senang saat mendengar kabar akan diajak ke dokter kandungan. Mereka menjadi makin lahap menghabiskan makanan yang ada di piring masing-masing. Saat ini kami sedang sarapan bersama di hari sabtu yang cerah. Kedua putriku libur setiap Sabtu dan Minggu. Sedangkan Mas Bima justru biasa bekerja karena setiap akhir pekan, rumah makan biasanya lebih ramai. Cantika yang tidak tahu diri masih saja tidak mau keluar dari rumah kami. Padahal sejak kemarin Mas Bima terlihat masih kesal dengannya. Aku juga menjadi semangat membuatnya cemburu saat ada kesempatan. Seperti saat kemarin kami baru pulang menjemput anak-anak dari sekolah. Aku bersikap seolah masih begitu mesra bersama Mas Bima di depann

    Last Updated : 2024-05-26

Latest chapter

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 50. Ending

    Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 49. Rujuk

    “Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 48. Talak Tiga

    “Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 47. Permintaan Kembali

    “Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 46. Abi Luckman Hakim

    “Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 45. Terbongkar Semuanya

    Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik.  Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 44. Kabar Duka

    “Karena apa, Rima?” tanyaku tidak sabar menunggu penjelasan dari Rima. “Karena Cantika juga di rumah sakit untuk melahirkan juga, Mbak. Hanya saja, anaknya tidak bisa selamat. Makanya ini Mas Bima lagi urus pemakamannya.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Aku sangat terkejut mendengar kabar duka yang dibawa Rima. Tadinya aku sudah kecewa dengan Mas Bima yang tidak segera datang melihat aku dan anaknya yang baru lahir. Akan tetapi, setelah mendengar kabar duka ini yang tentunya sedang dirasakan Mas Bima juga, aku pun berubah iba padanya. “Kok bisa, Rima?” “Ceritanya panjang, Mbak.” Aku pun mendengarkan cerita dari Rima sejak Mas Bima menerima telepon dariku. Katanya, Mas Bima sudah mau pergi untuk menemuiku, tetapi Cantika mencegahnya dan terjadi pertengkaran hebat yang membuat Cantika terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh Mas Bima. “As

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 43. Melahirkan

    Beruntungnya tidak lama setelah itu, Mak Ijah datang dengan taksi yang langsung kuminta untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. “Mak…” “Bu Raya?” “Mak, ketubannya sudah pecah,” aduku sambil meringis menahan sakit. “Ya Allah, Bu. Maaf ya, Mak baru datang. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aku mengangguk dan membiarkan Mak Ijah membantuku ke taksi. Astuti dan Andini ikut ke rumah sakit juga. Ponselku dipegang Astuti. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain fokus untuk persalinan dan keselamatan anak yang sedang aku kandung. ‘Gak apa-apa, ya, Nak. Gak ada Bapak. Kita berjuang berdua. Harus selamat dan sehat,’ batinku saat sudah di ruang IGD rumah sakit. Air mata tidak berhenti menetes sejak tadi. Rasa sakit yang luar biasa makin terasa saat pembukaan bertambah. Aku hanya bisa mengadu pada bidan rumah sakit yang mendampingi proses melahirkan. 

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 42. Kontraksi

    “Kamu sehat, kan?” “Alhamdulilah sehat, Mas. Kamu yang terlihat kurusan, Mas.” Setelah aku desak untuk bertemu, akhirnya Mas Bima datang juga ke rumahku. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan rumah yang aku tinggali. Apalagi melihat ada sebuah toko sederhana di depannya. Sebenarnya aku berniat mengajaknya bertemu di luar rumah saja. Akan tetapi Mas Bima takut membuatku repot jika harus bertemu di luar. Jadilah dia memilih untuk datang ke rumah saja. Aku sudah bisa membayangkan apa yang dipikirkan Mas Bima saat ini. Wajah tirusnya karena sepertinya berat badannya turun banyak, makin pucat saja karena tercengang. “Kamu, sudah sukses sekarang, Raya,” desisnya nyaris tanpa suara. “Gak juga kok, Mas. Sekedar mengisi waktu luang aja.” Mas Bima tersenyum miring. Dia pasti merasa jika aku terlalu merendah. Terserah saja dia mau menilai jawaban d

DMCA.com Protection Status