"Bu Araya, jangan …!"
Langkah Araya terhenti. Menoleh dan mendapati seseorang yang tadi memanggil dengan larangan yang tidak dimengerti maksudnya apa, menatapku dengan wajah takutnya. "Kamu kenapa lihat aku datang kayak lihat setan, sih? Bapak ada di dalam, kan?" tanyaku pada Saras. Salah satu pramusaji yang bekerja di rumah makan Mas Bima. Bukannya segera menjawab pertanyaanku, Saras justru membuat gerak tubuh yang aneh. Kepalanya celingukan seperti mencari sesuatu sambil mengukuri belakang lehernya. Aku pun mengikuti arah gerak kepalanya meskipun sepertinya kami tidak menemukan apa yang sedang dicarinya. "Sudah, kamu lanjut kerja aja, Ras. Biar aku cari Mas Bima sendiri. Kayaknya dia di ruang kerjanya, deh." Baru aku melangkah dua kali melewatinya, Saras berseru dengan suara ragu, "Bu, jangan masuk, Bu!" Aku berhenti. Kembali menoleh dan mendapati Saras menundukkan wajahnya sambil meremas jari tangannya sendiri. "Memangnya kenapa, Ras?" tanyaku lagi. "Itu, Bu. Soalnya …." Saras tidak melanjutkan ucapannya. Aku makin penasaran ada apa di ruang kerja suamiku sehingga Saras bertingkah aneh seperti itu sejak tadi. Ditambah dengan kedatangan Susi di antara kami yang kukenal baik karena dia sudah cukup lama menjadi pelayan di rumah makan suamiku. "Sudah, Ras. Biarkan Ibu tahu. Kasihan juga Ibu kalau makin lama tidak tahu apa-apa," ujarnya pada Saras yang jelas bisa kudengar karena mereka ada di depan mataku. "Memangnya ada apa, sih, Sus? Kenapa kalian berdua ini bersikap aneh sekali hari ini?" cecarku. Sudah hampir 4 tahun belakangan ini aku memang jarang ke sini. Sejak putri keduaku lahir, Mas Bima melarang aku sering datang supaya aku bisa fokus dengan kedua putri kami. Namun, sesekali aku masih tetap datang sekedar untuk menyapa para pekerja dan tentunya dengan sepengetahuan suamiku Awalnya aku sedih karena setengah tahun belakangan ini benar-benar dibatasi Mas Bima untuk ikut campur urusan usahanya. Itu karena punya usaha rumah makan seperti ini adalah impian yang terpendam sejak menikah muda dengannya. Akan tetapi, saat bisa membersamai Mas Bima membangun usahanya dari nol hingga sukses seperti sekarang, ada rasa bahagia yang tergantikan saat melihat usaha suamiku berjalan lancar. "Lebih baik Ibu lihat sendiri saja, ya, Bu," lirih Susi tidak juga mau menjelaskan. Aku pun tidak membuang waktu lagi untuk mencari tahu sendiri seperti yang mereka bilang. Dadaku berdebar dan merasa gusar. Gelagat aneh yang kulihat dari Saras dan Susi membuatku berpikir yang macam-macam tentang Mas Bima. Namun, sekuat tenaga aku menghilangkan pikiran negatif itu. Mengingat tujuanku datang tanpa memberi kabar terlebih dulu kepada Mas Bima adalah untuk membuat kejutan untuknya. Membawa kabar gembira atas kehamilan anak ketiga kami. Aku dan Mas Bima sudah punya dua orang putri selama menikah hampir sepuluh tahun. Putri pertama kami —Astuti Soraya Hakim, sudah duduk di bangku kelas 2 SD dengan usia 8 tahun. Sedangkan putri kedua kami —Andini Soraya Hakim, baru mulai masuk PAUD karena masih berusia 4 tahun. Dan kehamilan ketiga yang baru ku ketahui pagi ini, kuharap bisa menjadi kado terindah di peringatan hari akad kami yang kesepuluh, minggu depan. "Minggu depan kamu jadi ke Bali sama Mbak Raya, Mas?" Langkahku kembali terhenti tepat di depan pintu ruang kerja Mas Bima yang pintunya tidak tertutup dengan benar. Suara dari wanita yang cukup familiar membuatku penasaran. "Jadi, dong. Kan, udah jadi kebiasaan kami setiap anniversary selalu pergi honeymoon." "Yah, aku bakalan kesepian, dong." "Cuma sebentar, Sayang. Paling juga seminggu aja kita di sana. Nanti kamu boleh ambil cuti terus liburan sendiri atau apapun asal kamu senang dan gak bosan lagi." "Kalau aku mau ikut ke Bali boleh? Aku belum pernah ke Bali, Mas. Pengen banget pergi ke Bali juga," rengek Cantika. Dadaku bergemuruh sejak mendengar percakapan mereka dari balik pintu. Suara mendayu dari karyawan lama di rumah makan suamiku membuatku mual. Belum lagi balasan Mas Bima yang terdengar sama lembutnya. Tanpa sadar kedua tanganku mengepal erat menahan gejolak amarah. "Nanti siapa yang jagain kamu kalau ikut liburan ke Bali? Aku gak bisa, Sayang. Aku pasti bakalan ditempeli terus sama Araya. Gak mungkin bisa nyamperin kamu." "Ya udah, tapi Mas janji, ya. Nanti kalau kita anniversary, Mas juga ajakin aku honeymoon kayak Mbak Raya." "Iya, Sayang. Nanti kita pergi ke tempat yang kamu mau. Mas janji, tapi sekarang kasih mas jatah dulu, ya?" Air mataku menetes mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka jika pria yang ku puja setengah mati ternyata ada main curang dengan karyawannya sendiri di belakangku. Apalagi aku tahu siapa wanita yang sedang bermanja dengan suamiku di ruang kerjanya. Cantika Putri Rahayu. Seorang janda dengan dua anak yang baru enam bulan ini ditinggal suaminya meninggal karena kecelakaan. Salah satu karyawan lama di rumah makan suamiku yang sudah aku anggap seperti adik sendiri. Kenapa kalian tega melakukan semua ini di belakangku? Aku menghapus air mata yang membasahi wajahku. Aku ingin mendengar penjelasan dari mereka tanpa memperlihatkan wajah sedihku. Sekalipun hatiku hancur berkeping-keping, aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Prinsipku, siapa yang curang, dia yang harus menderita. Aku tidak akan hancur dengan pengkhianatan mereka. Justru mereka yang akan menyesal karena sudah bermain api di belakangku. Baru saat aku hendak masuk ke dalam ruang kerja Mas Bima, tanganku ditahan seseorang dari belakang. Aku menoleh dan mendapatkan uluran sebuah benda ke tanganku. "Bawa ini, Bu. Barangkali nanti dibutuhkan," bisiknya samar-samar. Aku mengangguk mengerti, tetapi tidak juga mengambil benda tersebut dari tangannya. Aku justru menatapnya dengan tatapan penuh harap. "Tolong kamu bantu, ya?" balasku sama lirihnya. "Baik, Bu." Setelah mendengar persetujuan dan melihat anggukan kepala darinya, aku baru memantapkan hati untuk membuka pintu ruang kerja suamiku lebar-lebar hingga mereka berdua terkejut melihat kedatanganku. "Araya!"Aku berusaha tetap tenang saat melihat suamiku dalam pose menjijikkan bersama wanita lain. Saat ini Mas Bima sedang memangku Cantika dengan pakaian atas yang sudah berantakan. Sama halnya dengan riasan wajah yang juga acak-acakan. Benar-benar sukses membuatku muak setengah mati."Araya!" seru Mas Bima begitu terkejut dengan kedatanganku. Dia terlihat sangat marah karena kelancanganku yang tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Ditambah lagi dengan Siska yang ada di belakangku dengan kamera yang sudah dinyalakan fungsinya untuk merekam apa saja yang siap terjadi di ruang kerjanya. "Turunkan kameranya, Siska! Atau kamu aku akan pecat sekarang juga!" ancam Mas Bima pada Siska. Namun, kulihat Siska sama sekali tidak menurut karena aku tahu, dia ada di pihakku saat ini. Aku berjanji dalam hati untuk memastikan dia tidak akan merugi di masa mendatang setelah membantuku hari ini. "Jelaskan apa maksudnya ini semua, Mas?" tandasku dengan suara rendah, tetapi dengan penuh penekanan. Kulihat Ca
"Cantika juga sedang hamil, Sayang. Aku gak bisa ceraikan dia. Apalagi keluargaku juga sudah tahu tentang pernikahanku dan kehamilan Cantika." Langkah kakiku terhenti paksa. Mendengar keluarga Mas Bima turut andil dalam pengkhianatan suamiku itu, membuat dadaku terasa ditikam sembilu. "Iya, Mbak Raya. Mbak tahu sendiri, kan, kalau ibunya Mas Bima ingin punya cucu laki-laki. Beliau berharap bisa dapat cucu laki-laki. Dan aku terbukti sudah dua kali melahirkan anak laki-laki, sedangkan Mbak Raya cuma bisa kasih cucu perempuan, kan?" Perkataan Cantika seakan mengatakan jika kedua putriku tidak ada artinya untuk Mas Bima dan keluarganya. Padahal kedua putriku sudah menjadi anak dan cucu yang baik selama ini. Aku mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sekali pun mereka tidak pernah membuat malu keluarga besar kami. Lalu sekarang, tiba-tiba gender mereka dipermasalahkan. Seakan hanya anak laki-laki saja yang berharga. Rasanya kesabaranku sudah diambang batas. Mereka boleh mengatakan apa
Aku pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Namun, karena sebentar lagi aku harus menjemput putri pertamaku pulang dari sekolahnya, aku harus bersikap seperti biasa supaya anakku tidak tahu tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. "Ternyata hal tersulit untuk melewati ujian ini bukan perkara bagaimana aku sabar dan tetap tenang menghadapi para pengkhianat. Akan tetapi, bagaimana aku akan bersikap di depan kedua putriku yang tidak sepatutnya tahu jika papanya sudah membagi hati untuk keluarga barunya." Aku menata hati dan menenangkan diri secepat mungkin. Ilmu tenang memang mahal, dan aku merasa beruntung karena sampai saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri dan tetap tenang meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan ketenangan ini bisa aku jaga. Aku kembali membawa kendaraan pribadi untuk menjemput kedua putriku. Mereka bersekolah di satu lingkungan sekolah yang sama, meskipun tingkatannya berbeda. Aku sengaja memilih yayasan yang sama dari jenjang pendidikan anak
"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku. Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja.Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. "Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. "Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supa
"Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. "Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. "Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. "Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup
"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. "Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu haru
"Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la
"Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu
Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n
“Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men
“Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m
“Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji
“Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas
Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik. Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men
“Karena apa, Rima?” tanyaku tidak sabar menunggu penjelasan dari Rima. “Karena Cantika juga di rumah sakit untuk melahirkan juga, Mbak. Hanya saja, anaknya tidak bisa selamat. Makanya ini Mas Bima lagi urus pemakamannya.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Aku sangat terkejut mendengar kabar duka yang dibawa Rima. Tadinya aku sudah kecewa dengan Mas Bima yang tidak segera datang melihat aku dan anaknya yang baru lahir. Akan tetapi, setelah mendengar kabar duka ini yang tentunya sedang dirasakan Mas Bima juga, aku pun berubah iba padanya. “Kok bisa, Rima?” “Ceritanya panjang, Mbak.” Aku pun mendengarkan cerita dari Rima sejak Mas Bima menerima telepon dariku. Katanya, Mas Bima sudah mau pergi untuk menemuiku, tetapi Cantika mencegahnya dan terjadi pertengkaran hebat yang membuat Cantika terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh Mas Bima. “As
Beruntungnya tidak lama setelah itu, Mak Ijah datang dengan taksi yang langsung kuminta untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. “Mak…” “Bu Raya?” “Mak, ketubannya sudah pecah,” aduku sambil meringis menahan sakit. “Ya Allah, Bu. Maaf ya, Mak baru datang. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aku mengangguk dan membiarkan Mak Ijah membantuku ke taksi. Astuti dan Andini ikut ke rumah sakit juga. Ponselku dipegang Astuti. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain fokus untuk persalinan dan keselamatan anak yang sedang aku kandung. ‘Gak apa-apa, ya, Nak. Gak ada Bapak. Kita berjuang berdua. Harus selamat dan sehat,’ batinku saat sudah di ruang IGD rumah sakit. Air mata tidak berhenti menetes sejak tadi. Rasa sakit yang luar biasa makin terasa saat pembukaan bertambah. Aku hanya bisa mengadu pada bidan rumah sakit yang mendampingi proses melahirkan.
“Kamu sehat, kan?” “Alhamdulilah sehat, Mas. Kamu yang terlihat kurusan, Mas.” Setelah aku desak untuk bertemu, akhirnya Mas Bima datang juga ke rumahku. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan rumah yang aku tinggali. Apalagi melihat ada sebuah toko sederhana di depannya. Sebenarnya aku berniat mengajaknya bertemu di luar rumah saja. Akan tetapi Mas Bima takut membuatku repot jika harus bertemu di luar. Jadilah dia memilih untuk datang ke rumah saja. Aku sudah bisa membayangkan apa yang dipikirkan Mas Bima saat ini. Wajah tirusnya karena sepertinya berat badannya turun banyak, makin pucat saja karena tercengang. “Kamu, sudah sukses sekarang, Raya,” desisnya nyaris tanpa suara. “Gak juga kok, Mas. Sekedar mengisi waktu luang aja.” Mas Bima tersenyum miring. Dia pasti merasa jika aku terlalu merendah. Terserah saja dia mau menilai jawaban d