Kreet!
Aku kembali terkejut dan terjaga saat mendengar derit ranjang yang kutempati. Kedua mataku membuka sempurna hingga kulihat langit-langit kamar dengan lampunya yang masih menyala. Jantungku berdebar kencang dengan tubuh yang sedikit bergetar akibat rasa kagetku.Dengan perlahan, kurasa sebuah tangan mengusap kepalaku dengan lembut."Sayang, kamu kenapa? Apa kamu kaget? Maaf, aku tak bermaksud membuatmu kaget," ucap Mas Adnan sedikit berbisik.Aku segera mengusap wajahku, dengan rasa yang sedikit lega karena ternyata kali ini aku bisa menggerakkan tubuhku dengan normal."Inara, kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Mas Adnan lagi.Aku langsung menatapnya seraya menggeleng pelan. Mas Adnan tersenyum lalu memberikan segelas air untukku."Kamu minum dulu!" titahnya. Akupun segera meraih gelas ditangannya lalu minum."Hari ini aku akan membawa Dara ke sini, dia pasti sangat senang. Kamu gak apa-apa 'kan aku tinggal sendiri dulu? Lagi pula, sebentar lagi akan ada dokter yang memeriksamu," ucap Mas Adnan seraya mengusap rambutku.Mendengar kata Dara aku langsung mengangguk seraya tersenyum. Aku begitu tak sabar menantikan buah hatiku itu. Namun saat tiba-tiba aku teringat pada kejadian semalam, aku langsung meraih tangan Mas Adnan saat ia hendak berlalu hingga membuatnya sedikit mengerutkan keningnya."Tunggu mas!" ucapku cepat.Mas Adnan memutar kembali tubuhnya menghadap ke arahku."Aku hanya ingin bertanya," sambungku padanya."Tanya apa?" sahut Mas Adnan seraya kembali duduk di kursi."Apa semalam, ibu ke sini?" tanyaku.Mas Adnan terdiam untuk sebentar lalu kembali mengerutkan keningnya kemudian menggeleng pelan."Tidak, sayang. Memangnya kenapa?" ucapnya."Semalam aku mendengar suara ibu di kamar ini, dia bertengkar denganmu 'kan?" tanyaku seraya menatap lekat kedua matanya."Bertengkar?" beo Mas Adnan seraya tersenyum tipis. Ia kemudian menggeleng pelan."Ibu tidak ke sini, mana mungkin aku bertengkar dengannya," sambungnya terlihat serius. Tapi, entah mengapa aku merasa tak percaya dengan ucapannya."Tapi, semalam aku mendengarnya dengan jelas, mas. Hanya saja, entah kenapa aku tak bisa menggerakan tubuhku ataupun bicara. Bahkan membuka mata saja rasanya aku tak bisa. Semalam, aku benar-benar takut tak bisa bangun lagi, mas!" ucapku mencoba untuk menjelaskan apa yang kudengar dan kurasakan.Mas Adnan terdiam untuk sesaat, ia nampaknya sedang memikirkan sesuatu, namun tak lama kemudian ia malah terkekeh dan mengatakan kalau aku terlalu sering mendengar Mas Adnan dan ibu bertengkar jadi sampai terbawa mimpi.Mendengar pernyataan itu aku hanya bisa mengerucutkan bibirku. Tapi, seketika aku teringat pada satu nama yang ibu sebut hingga akupun langsung menanyakannya."Oke, jika mas hanya anggap itu mimpi, terserah! Tapi, siapa Karin? Aku mendengar dengan jelas bahwa ibu menyebut nama Karin, dia bilang, dia menunggumu, mas. Karin itu bukan nama anak kita 'kan?" tanyaku penuh selidik.Tapi meski begitu Mas Adnan terus meyakinkanku, dan dengan tenang tetap mengatakan bahwa semalam tak ada ibu atau siapapun yang masuk ke dalam kamar ini. Hanya saja, dia terdiam sebentar, kemudian mengatakan bahwa nama pengasuh Dara secara kebetulan bernama Karin juga. Hal itu membuatku semakin yakin kalau semalam, ibu benar-benar datang ke kamar ini dan ribut bersamanya, aku yakin nama Karin itu disebut bukan karena suatu kebetulan. Hanya saja, aku tak mengerti kenapa Mas Adnan tetap bersikeras mengatakan bahwa semalam tak ada siapapun yang masuk ke dalam kamar ini selain dirinya. Hal itu membuatku jadi curiga padanya. Apa mungkin ada sesuatu yang Mas Adnan sembunyikan dariku?Padahal, selama menikah aku tak pernah memiliki rasa curiga seperti ini, namun kali ini rasanya sungguh berbeda."Sudahlah, kamu jangan banyak melamun gitu, jangan banyak yang dipikirkan! Sebentar lagi dokter akan ke sini. Aku yakin kamu hanya bermimpi saja," tukas Mas Adnan seraya mengusap kembali rambutku dengan lembut, tak lupa ia juga mengecup keningku singkat."Tapi aku mendengarnya, mas! Lagi pula jika hanya mimpi, mana mungkin bisa sampai kebetulan nama Karin disebut. Apalagi sampai kebetulan juga Karin adalah pengasuh Dara," batinku terus merajuk. Tapi meski begitu aku tak berani untuk terus mengucapkannya.Kreet ...Baru saja dibicarakan oleh Mas Adnan, dokter tersebut sudah masuk ke dalam ruangan ini. Mas Adnan menyambutnya dengan ramah, dan menyebalkannya, dia juga menitipkanku padanya."Aku akan pulang sebentar untuk menjemput Dara, titip Inara dan tolong berikan perawatan yang terbaik untuknya," ucap Mas Adnan sebelum ia berlalu.Aku hanya membuang nafas gusar lalu mengalihkan pandangan ku ke jendela. Rasanya aku begitu malas jika harus berhadapan dengan Dokter Feri. Namun, di samping itu seketika aku memiliki keberanian untuk bertanya tentang apa yang terjadi padaku tadi malam. Aku begitu penasaran karena aku rasa hal itu bukanlah mimpi, jelas aku sudah terbangun namun entah mengapa badanku tiba-tiba kaku. Aku juga penasaran apakah hal itu terjadi karena efek dari koma yang kualami.Tanpa menatapnya, dengan malas, akupun langsung menceritakan kejadian tadi malam dan bertanya kenapa hal itu bisa terjadi.Sejenak, Dokter Feri terdiam seraya menggaruk pelipisnya. Kemudian ia pun menjawab."Hmm ... mungkin, kamu baru saja mengalami yang namanya sleep paralysis," jawabnya singkat."Kelumpuhan tidur? Maksudnya?" tanyaku penasaran.Dokter Feri nampak menarik nafasnya kemudian menjelaskan."Kelumpuhan tidur itu suatu kondisi dimana seseorang merasa dirinya sudah terbangun, namun terasa ada tekanan berat didadanya hingga ia juga tak bisa menggerakan tubuhnya ataupun berbicara, hal ini biasanya disebabkan oleh proses sinkronisasi otak dan tubuh yang sempat terganggu sewaktu tidur," jelasnya."Terus, apa yang aku dengar itu, apa semuanya nyata?" tanyaku lagi, kali ini lebih antusias."Biasanya sih, hanya sekedar halusinasi. Orang awam biasanya menyebut hal ini dengan istilah ketindihan. Biasanya, mereka sering berhalusinasi melihat suatu bayangan dan lain sebagainya hingga sering dikaitkan dengan hal mistis. Tapi pada dasarnya, itu ya cuma halusinasi. Kan nyatanya mereka sedang tidur hanya saja pikirannya yang merasa bahwa mereka sudah terbangun. Kejadiannya hanya berlangsung beberapa menit saja 'kan?" jelasnya membuatku malah bertambah bingung."Tapi, jelas-jelas aku mendengar suara ibu dan Mas Adnan di kamar ini," ucapku untuk meyakinkannya."Ya ... jika biasanya orang berhalusinasi dalam penglihatan, mungkin kamu berhalusinasi dalam pendengaran," ucapnya seraya mengedikkan bahu.Aku menghembuskan nafas kasar seraya memalingkan wajahku darinya. Sungguh sebenarnya aku tak puas dengan jawabannya. Aku benar-benar yakin kalau semalam ibu datang ke kamar ini dan ribut dengan Mas Adnan, hanya saja sialnya kenapa saat itu aku mendadak seperti orang lumpuh dan tak dapat melakukan apa-apa."Ada yang ingin ditanyakan lagi?" ucap Dokter Feri membuyarkan semua lamunanku.Aku hanya menggeleng pelan kemudian menatap ke luar jendela. Sedangkan ia langsung melakukan tugasnya sebagai seorang dokter."Syukurlah, semuanya normal. Mungkin besok kamu sudah bisa pulang. Selamat, ya! Aku rasa ini sungguh seperti sebuah keajaiban," terangnya setelah melakukan pemeriksaan. Sebuah senyum nampak merekah dari bibirnya, hal itu langsung membuatku menoleh seraya tersenyum sinis padanya.Aku memicingkan mataku, entah kenapa tiba-tiba aku sangat merasa benci padanya. Aku menaruh curiga kalau semua yang terjadi adalah karena ulahnya."Tak usah berpura-pura! Tolong jawab dengan jujur! Ini semua ulah mu, 'kan? Kamu sengaja membuat aku tidur selama satu tahun dan mengatakan pada orang-orang kalau aku koma. Iyakan?!" ucapku to the point. Tak lupa, aku juga menekankan setiap kata yang kuucapkan.Seketika raut di wajah Dokter Feri berubah. Ia terdiam seraya memandangku dengan lekat. Tak lama kemudia
"Mama ...!"Seketika Dara menangis seraya menyebut kata mama saat aku hendak menyentuhnya. Ia memeluk Mas Adnan dengan erat, sepertinya ia ketakutan."Mas, kenapa Dara takut padaku?" tanyaku dengan dada yang mulai terasa sesak."Mungkin, Dara hanya belum terbiasa. Kamu tenang saja, nanti dia juga pasti dekat denganmu. Kamu kan ibunya," jelas Mas Adnan mencoba untuk menenangkan ku. Namun tangisan Dara semakin membuat hatiku terluka. Nampaknya, ia memang benar-benar takut dan merasa asing padaku."Mas, apa kamu tak pernah membawanya ke sini menjengukku? Apa kamu tak pernah mengatakan padanya kalau aku ini ibunya?!" tanyaku sedikit kesal dengan air mata yang mulai lolos."Maaf Inara, Dara masih sangat kecil. Tolong kamu maklumi, ya!" ucap Mas Adnan seraya menggendong Dara. Ia terus menenangkan Dara dan terus mengatakan kalau akulah mamanya. Namun, nyatanya Dara tak mengerti, ia hanya terus meronta dan menangis saat aku mencoba untuk mendekatinya."Dara sayang, ini bunda, nak! Kamu jangan
"Bu, tolong ... perutku s-sakit sekali," lirihku dengan sedikit terbata. Aku mengulurkan tanganku yang bergetar padanya berharap ia mau membantuku, sedangkan Karin sudah membawa Dara keluar dari kamarku. Hal itu membuatku juga menjadi cemas takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dara, pasalnya kami terjatuh dan terbentur cukup keras."Dasar menyusahkan!" rutuknya seraya meraih tanganku.Ibu membangunkan ku dengan kasar hingga dengan refleks aku menjerit saat merasa perutku sakit bagai akan terbelah dua."Astagfirullah! Ada apa ini?" teriak seorang pria dari ambang pintu.Pria berjas putih itu dengan sigap langsung berlari ke arahku, meraih tubuhku dari cengkraman tangan ibu dan membaringkanku ke atas ranjang dengan sangat hati-hati."Maaf, Bu. Tidak seharusnya ibu kasar pada pasien. Sudah jelas dia sedang sakit," ucapnya pada ibu mertuaku. Sedangkan ibu hanya berdecak seraya mengatakan kalau dia tidak bersalah karena aku jatuh sendiri karena kecerobohan ku.Tanpa menanggapi ocehan ibu,
Ucapan ibu tadi malam membuat aku tak bisa tidur semalaman, ditambah lagi, aku juga kepikiran soal kondisi Dara, meskipun Mas Adnan sudah memberitahuku kalau dia baik-baik saja, namun tetap saja aku belum juga tenang.Hari ini Dokter Imam sudah menegaskan kalau aku harus kembali menjalani perawatan barang beberapa hari lagi, namun ketidak sabaran ku untuk segera pulang membuat aku akhirnya memutuskan untuk kabur.Mas Adnan yang tau kalau aku belum bisa pulang tidak datang ke rumah sakit dan hal itu sangat menguntungkan ku, karena jika dia tau rencanaku sudah pasti Mas Adnan melarangnya.Beruntungnya, Mas Adnan sudah sempat membawakan aku baju ganti, jadi aku langsung mengganti baju rumah sakit dan memakai baju tersebut lalu keluar dari kamar secara diam-diam. Namun ternyata ramainya orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit membuatku leluasa untuk keluar tanpa ada yang curiga.Sepanjang perjalanan aku terus menatap keadaan kota yang ku rasa memang sudah berubah, aku bahkan belu
"Inara, tunggu!"Ku dengar Mas Adnan memanggilku, namun aku tak peduli dan terus berlari hingga sampai melewati beberapa rumah, kakiku sudah tak sanggup lagi untuk melangkah.Mas Adnan memelukku dari belakang, ia menangis seraya meminta maaf padaku."Maafkan aku! Maafkan aku, sayang! Maaf!" hanya kata itu yang terus keluar dari mulutnya hingga membuat duniaku saat ini terasa runtuh. "Kamu jahat, mas! Tega, kamu! Kamu sudah mengingkari janjimu, mas! Kamu jahat!" racauku disela air mata yang terus mengalir. Bayangan pernikahan kami bagai sebuah vidio seketika kini berputar di kepalaku, momen sakral yang bapak sangat inginkan itu terjadi penuh kesederhanaan namun sangat bermakna bagiku. Aku ingat betul, dimana saat itu bapak menitipkan aku pada Mas Adnan, memintanya agar menjagaku dan menyayangiku sepenuh hati, dan yang paling mengharukan, bapak meminta Mas Adnan berjanji untuk tidak menduakan aku dengan alasan apapun juga.Hari itu aku dapat melihat kelegaan juga kebahagiaan di wajah
"Iya Inara, apa yang dibilang Adnan itu benar, jadi gak usah terlalu baper! Lagian dari awal juga ibu gak setuju buat sandiwara seperti ini. Gak penting dan buang-buang waktu saja!" ucap ibu masih dengan nada ketus seperti biasanya."Sayang, kamu percaya 'kan? Sebagai party nya nanti kita diner, ya! Aku sudah booking lestoran, mudah-mudahan kamu suka," sambung Mas Adnan seraya tersenyum padaku."Oh, jadi cuma prank?" gumamku seraya memaksakan senyum."Makasih, mas! Ini benar-benar kejutan istimewa. Saking terkejutnya, aku bahkan sampai pingsan. Untungnya saja, aku tak punya riwayat penyakit jantung. Selamat, mas! Surprise kamu tahun ini benar-benar luar biasa, aku pasti akan selalu mengingatnya," sambungku sinis. Sedang Mas Adnan hanya diam, sesekali ia dan Mas Feri saling melempar pandangan sedangkan ibu meneruskan langkahnya dan keluar dari kamarku.Seperti janjinya tadi siang, malam ini Mas Adnan mengajakku untuk makan malam di luar, ia nampak sudah rapih dengan pakaiannya, semerba
Mas Adnan memegang kedua bahuku. "Inara!"Dipaksanya aku duduk kembali dan menatap kedua matanya."Inara, aku janji, istriku hanya ada satu, yaitu kamu. Sampai kapanpun, cintaku hanya untukmu dan tak akan pernah terbagi. Silahkan kamu permalukan aku di depan orang banyak jika sampai aku mengingkari janjiku," ucapnya. Dua jarinya ia angkat di udara.Aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum meski keraguan itu masih saja muncul. Semoga saja, apa yang Mas Adnan janjikan benar-benar ia tepati. Hanya saja, mendadak aku teringat Dara. Sebagai seorang Ibu, aku tak ingin meninggalkan anakku itu terlalu lama. Segera, akupun mengajak Mas Adnan pulang. Terlebih kala melihat cuaca di luar sedang sangat buruk karena hujan yang begitu deras Akan tetapi, begitu tiba, Ibu Mertuaku menyambut kami dengan sinis, "Bagus! Bagus! Kenapa gak sekalian aja nginep di hotel? Puas-puasin aja itung-itung bulan madu dan gak usah pedulikan anak yang lagi nangis kejer di rumah gak ada yang urus!" serunya. Aku
Aku terkejut saat membuka pintu dan mendapati Mas Adnan meringkuk dan hampir terinjak olehku. Mungkin semalaman ia tidur di depan pintu kamar ini karena aku tak kunjung membuka pintu untuknya. Beberapa kali ia memang mengirim pesan agar aku membuka pintu, namun aku tak membukanya karena moodku terlanjur kacau oleh bentakannya itu."Inara?" gumam Mas Adnan seraya bangun, ia langsung meraih kedua tanganku dan kembali meminta maaf."Aku benar-benar tak bermaksud membentakmu, sayang. Maafkan aku!" ucapnya."Iya, gak papa kok, mas! Mungkin aku memang harus terbiasa dengan semua perubahan ini," sahutku seraya melanjutkan langkahku.Saat ini aku hendak membuatkan susu untuk Dara, namun ternyata begitu aku kembali ke kamar di sana sudah ada Karin yang sedang bermain bersama Dara.Melihat wanita itu, seketika aku teringat kejadian kemarin, aku langsung menghampirinya dan memintanya untuk berhenti bekerja dengan alasan agar Dara bisa lebi
"Loh, Inara? Kamu, kok-"Mas Adnan nampak terkejut dengan kehadiranku di toko. Ia yang tadi nampak sedang berbicara serius dengan salah satu kariyawannya langsung menghentikan pembicaraan dan meminta pria itu pergi."Ada yang bisa aku bantu, mas?" tanyaku.Aku melangkah seraya mendorong stroller Dara kemudian duduk di depan Mas Adnan yang juga sudah duduk di kursinya.Mas Adnan hanya menghela nafas, detik berikutnya ia malah meraih buku dari meja dan segera menaruhnya dengan cepat kedalam laci. Tingkahnya seolah aku tak ingin melihat isi dari buku tersebut."Ada masalah?" lagi aku bertanya seraya memicingkan mata padanya."Nggak, kok," sahut Mas Adnan singkat. Detik berikutnya ia tersenyum."Dari tadi kamu tanya masalah, sedangkan kamu sendiri belum jawab pertanyaan mas. Kamu kenapa kesini?" kali ini Mas Adnan mulai terlihat rileks."Mulai hari ini aku akan bantu mas di toko," sahutku."Nggak usah, kamu di rumah saja," ucapnya cepat. Ia berdiri lalu menggendong Dara dari stroller, mem
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad
Entah berapa jam aku terlelap, yang jelas rasa sakit dan pusing dibagian kepalaku masih sama seperti sebelumnya.Aku kembali terjaga saat mendengar keributan diluar sana. Suara pintu dan bel berbunyi saling bersahutan. Entah siapa yang bertamu dengan se rusuh itu.Kulirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah pukul lima pagi."Siapa sih, yang bertamu subuh-subuh begini?" decakku kesal."Maaf, mbak! Tadi aku abis solat dulu! Biar aku aja yang buka pintunya!" ucap Lila saat kami berpapasan di depan tangga."Ya sudah, kamu lihat siapa yang datang. Aku juga belum solat," sahutku seraya kembali naik keatas.Sesampainya di kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, kuharap dengan itu bisa membuat kepala dan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Usai berpakaian, akupun mengambil alat solat dan mulai menunaikan kewajiban ku. Namun, di akhir solatku, aku kembali terkejut saat kini justru pintu kamarku yang diketuk dengan tak sabar.Tak ingin Dara terbangun lalu rewel, akupun
Ckiitt!Aku menginjak rem secara mendadak saat tiba-tiba saja mobil Mas Adnan menyalip dan langsung menghadangku.Kulihat Mas Adnan turun dari mobilnya dengan penuh emosi. Ia pun lantas mengetuk kaca mobilku dengan tak sabar."Mas kamu apa-apaan sih? Kalau nabrak gimana?" kesalku seraya keluar dari mobil."Kamu gak usah marah! Disini, harusnya aku yang marah!" tegas Mas Adnan dengan rahang yang mengeras."Pertama, kamu sudah berbohong! Dan kedua, kamu sudah mengingkari janjimu karena diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Feri!" sentaknya seraya menunjuk wajahku."Siapa bilang? Aku gak menjalin hubungan dengan Mas Feri!" sanggahku."Lalu, kenapa bisa kalian berduaan di kafe malam-malam begini? Pakai acara pegangan tangan segala, lagi?! Apa namanya kalau tak ada hubungan?!" desaknya."Kamu gak tau yang sebenarnya, mas! Lebih baik, tak usah langsung menyimpulkan," ucapku."Ah, oke! Aku memang gak tau yang sebenarnya. Jadi, mulai besok aku akan selalu mengawasi kamu! Aku akan kembali
Astaga!Aku terkejut saat wanita itu berbalik karena dia memakai cadar. Seluruh bagian wajahnya tertutup kecuali mata.Wanita itu tak bicara. Dia hanya menatapku. Tatapannya seah bertanya, "Ada apa?""Apa tadi kamu memotret aku dan Dokter Feri?" tanyaku langsung.Lagi-lagi, wanita itu masih tak bersuara. Ia hanya menggeleng sebagai tanggapannya atas pertanyaanku barusan."Jangan berbohong! Kenapa kamu gak berbicara?" Aku terus mendesaknya tanpa melepaskan tangannya."Ra, dia siapa?" tanya Dokter Feri yang baru saja sampai mengejarku."Aku yakin, dia yang foto kita tadi," sahutku, namun lagi-lagi wanita itu menggeleng. Ia juga berusaha melepaskan genggaman tanganku darinya."Tunggu!"Dokter Feri meminta kami agar diam. Terutama wanita bercadar itu. Ia lalu menatap kedua mata wanita itu dengan lekat. Namun, detik berikutnya wanita itu langsung memalingkan muka."Ah, iya! Aku tau!" gumamku seraya
[Mas, sepertinya kita harus bertemu. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.]Sebuah chat kukirimkan pada Dokter Feri.Kuharap, setelah kejadian kemarin, ia masih mau bertemu denganku. Setidaknya, kali ini sebagai seorang teman.Ya, hanya teman!Tak menunggu waktu lama, chat sudah dibaca olehnya.[Iya, Ra. Kapan dan dimana?] balasnya.[Terserah kamu mas! Aku akan menunggu waktu senggang mu.] sahutku.[Kebetulan sekarang juga lagi ada waktu, jika kamu mau, aku bisa jemput kamu sekarang juga.][Gak usah jemput, mas. Kamu kasih tau aja tempatnya, nanti aku kesana.][Tapi ini sudah malam, Ra!][Gak papa, aku berangkat sendiri saja!]Aku bersikeras menolak tawaran Dokter Feri yang ingin menjemputku karena aku tak mau ada lagi tetangga rese yang nanti mungkin saja akan kembali mengadukan kami pada Mas Adnan.Akhirnya setelah berdebat lumayan panjang, Dokter Feri mengalah juga. Ia me
"Mbak Karin itu ...-"Lila menggantung ucapannya."Siapa, La? Kamu kenal?" tanyaku tak sabar."Dia adalah mantan kekasih almarhum Mas Kevin, kakakku!" sahut Lila."Almarhum?" beoku.Lila hanya mengangguk, sorot kesedihan kini terpancar dari kedua matanya."Maaf jika aku telah membuka luka lama," cicitku.Lila langsung menoleh, dengan cepat diapun menggeleng."Nggak, kok mbak, nggak papa! Hanya saja, sepertinya mbak harus hati-hati padanya," tutur Lila seraya menggenggam tanganku."Maksud kamu, Karin?" tanyaku seraya memicingkan mata."Dia itu perempuan licik, mbak!" geram Lila. Ia terlihat memendam kebencian yang mendalam."Apa kamu mau cerita sedikit saja tentang Karin dan masalalunya bersama kakakmu?" tanyaku hati-hati.Lila nampak menarik nafas dalam, pandangannya lurus kedepan seolah sedang menerawang dan mengingat kembali kemasa lampau."Dulu, orang tua kami terb
Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku memutuskan untuk pulang saja. Namun, saat aku berdiri Karin kembali mendongakkan wajahnya padaku."Aku akan terima jika Mas Adnan memilih menceraikan ku, tapi ... sampai kapanpun aku tidak akan memintanya," ucapnya.Aku hanya tersenyum tipis kemudian berlalu. Kurasa bermain bersama Dara jauh lebih penting dari pada berbicara dengan Karin. Mantan kekasih yang sepertinya masih sangat mencintai Mas Adnan, kurasa pantas saja jika dia sampai mengabaikan dan tak mau mengerti perasaanku.Apa aku terlalu egois?Terserah apa katanya![La, apa Dara rewel?]Kukirimkan sebuah chat pada Lila, sepertinya aku harus tau kondisi ibu terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumah. Soalnya, tadi kulihat lukanya lumayan parah, aku takut ibu kenapa-napa. Meskipun selama ini ibu tidak menyukaiku, namun tetap saja aku peduli dan sayang padanya.[Dara anteng kok mbak. Mbak gak usah khawatir!]Bal
"Adnan, kita ini sudah lama bersahabat, kurasa ... kamu sudah tau bagaimana sifatku. Aku, tidak mungkin menusukmu dari belakang. Hanya saja, jika kamu memberikan kesempatan, aku tidak mungkin menyia-nyiakan begitu saja. Saranku, jika kamu sudah tak peduli dengan perasaan Inara, lebih baik kamu lepaskan saja dia. Aku dengan senang hati akan kembali menjaganya seperti dahulu. Hanya saja, soal kejadian tadi malam, jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengambil sesuatu yang bukan hakku! Aku hanya ingin mendengarkan keluh kesah Inara seperti biasanya, karena setelah kamu mendua, ia kehilangan tempat untuk bercerita," lagi Dokter Feri bicara panjang lebar."Aku tau, berlaku adil itu tidaklah gampang. Aku yakin kamu sudah berusaha, tapi jika masih ada salah satu yang menangis karena merasa terasingkan, kenapa kamu gak memilih untuk menyerah saja?" sambungnya membuat Mas Adnan nampak semakin emosi."Kalian memang pengkhianat!" geramnya dengan tangan me