"Bu, tolong ... perutku s-sakit sekali," lirihku dengan sedikit terbata. Aku mengulurkan tanganku yang bergetar padanya berharap ia mau membantuku, sedangkan Karin sudah membawa Dara keluar dari kamarku. Hal itu membuatku juga menjadi cemas takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dara, pasalnya kami terjatuh dan terbentur cukup keras."Dasar menyusahkan!" rutuknya seraya meraih tanganku.Ibu membangunkan ku dengan kasar hingga dengan refleks aku menjerit saat merasa perutku sakit bagai akan terbelah dua."Astagfirullah! Ada apa ini?" teriak seorang pria dari ambang pintu.Pria berjas putih itu dengan sigap langsung berlari ke arahku, meraih tubuhku dari cengkraman tangan ibu dan membaringkanku ke atas ranjang dengan sangat hati-hati."Maaf, Bu. Tidak seharusnya ibu kasar pada pasien. Sudah jelas dia sedang sakit," ucapnya pada ibu mertuaku. Sedangkan ibu hanya berdecak seraya mengatakan kalau dia tidak bersalah karena aku jatuh sendiri karena kecerobohan ku.Tanpa menanggapi ocehan ibu,
Ucapan ibu tadi malam membuat aku tak bisa tidur semalaman, ditambah lagi, aku juga kepikiran soal kondisi Dara, meskipun Mas Adnan sudah memberitahuku kalau dia baik-baik saja, namun tetap saja aku belum juga tenang.Hari ini Dokter Imam sudah menegaskan kalau aku harus kembali menjalani perawatan barang beberapa hari lagi, namun ketidak sabaran ku untuk segera pulang membuat aku akhirnya memutuskan untuk kabur.Mas Adnan yang tau kalau aku belum bisa pulang tidak datang ke rumah sakit dan hal itu sangat menguntungkan ku, karena jika dia tau rencanaku sudah pasti Mas Adnan melarangnya.Beruntungnya, Mas Adnan sudah sempat membawakan aku baju ganti, jadi aku langsung mengganti baju rumah sakit dan memakai baju tersebut lalu keluar dari kamar secara diam-diam. Namun ternyata ramainya orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit membuatku leluasa untuk keluar tanpa ada yang curiga.Sepanjang perjalanan aku terus menatap keadaan kota yang ku rasa memang sudah berubah, aku bahkan belu
"Inara, tunggu!"Ku dengar Mas Adnan memanggilku, namun aku tak peduli dan terus berlari hingga sampai melewati beberapa rumah, kakiku sudah tak sanggup lagi untuk melangkah.Mas Adnan memelukku dari belakang, ia menangis seraya meminta maaf padaku."Maafkan aku! Maafkan aku, sayang! Maaf!" hanya kata itu yang terus keluar dari mulutnya hingga membuat duniaku saat ini terasa runtuh. "Kamu jahat, mas! Tega, kamu! Kamu sudah mengingkari janjimu, mas! Kamu jahat!" racauku disela air mata yang terus mengalir. Bayangan pernikahan kami bagai sebuah vidio seketika kini berputar di kepalaku, momen sakral yang bapak sangat inginkan itu terjadi penuh kesederhanaan namun sangat bermakna bagiku. Aku ingat betul, dimana saat itu bapak menitipkan aku pada Mas Adnan, memintanya agar menjagaku dan menyayangiku sepenuh hati, dan yang paling mengharukan, bapak meminta Mas Adnan berjanji untuk tidak menduakan aku dengan alasan apapun juga.Hari itu aku dapat melihat kelegaan juga kebahagiaan di wajah
"Iya Inara, apa yang dibilang Adnan itu benar, jadi gak usah terlalu baper! Lagian dari awal juga ibu gak setuju buat sandiwara seperti ini. Gak penting dan buang-buang waktu saja!" ucap ibu masih dengan nada ketus seperti biasanya."Sayang, kamu percaya 'kan? Sebagai party nya nanti kita diner, ya! Aku sudah booking lestoran, mudah-mudahan kamu suka," sambung Mas Adnan seraya tersenyum padaku."Oh, jadi cuma prank?" gumamku seraya memaksakan senyum."Makasih, mas! Ini benar-benar kejutan istimewa. Saking terkejutnya, aku bahkan sampai pingsan. Untungnya saja, aku tak punya riwayat penyakit jantung. Selamat, mas! Surprise kamu tahun ini benar-benar luar biasa, aku pasti akan selalu mengingatnya," sambungku sinis. Sedang Mas Adnan hanya diam, sesekali ia dan Mas Feri saling melempar pandangan sedangkan ibu meneruskan langkahnya dan keluar dari kamarku.Seperti janjinya tadi siang, malam ini Mas Adnan mengajakku untuk makan malam di luar, ia nampak sudah rapih dengan pakaiannya, semerba
Mas Adnan memegang kedua bahuku. "Inara!"Dipaksanya aku duduk kembali dan menatap kedua matanya."Inara, aku janji, istriku hanya ada satu, yaitu kamu. Sampai kapanpun, cintaku hanya untukmu dan tak akan pernah terbagi. Silahkan kamu permalukan aku di depan orang banyak jika sampai aku mengingkari janjiku," ucapnya. Dua jarinya ia angkat di udara.Aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum meski keraguan itu masih saja muncul. Semoga saja, apa yang Mas Adnan janjikan benar-benar ia tepati. Hanya saja, mendadak aku teringat Dara. Sebagai seorang Ibu, aku tak ingin meninggalkan anakku itu terlalu lama. Segera, akupun mengajak Mas Adnan pulang. Terlebih kala melihat cuaca di luar sedang sangat buruk karena hujan yang begitu deras Akan tetapi, begitu tiba, Ibu Mertuaku menyambut kami dengan sinis, "Bagus! Bagus! Kenapa gak sekalian aja nginep di hotel? Puas-puasin aja itung-itung bulan madu dan gak usah pedulikan anak yang lagi nangis kejer di rumah gak ada yang urus!" serunya. Aku
Aku terkejut saat membuka pintu dan mendapati Mas Adnan meringkuk dan hampir terinjak olehku. Mungkin semalaman ia tidur di depan pintu kamar ini karena aku tak kunjung membuka pintu untuknya. Beberapa kali ia memang mengirim pesan agar aku membuka pintu, namun aku tak membukanya karena moodku terlanjur kacau oleh bentakannya itu."Inara?" gumam Mas Adnan seraya bangun, ia langsung meraih kedua tanganku dan kembali meminta maaf."Aku benar-benar tak bermaksud membentakmu, sayang. Maafkan aku!" ucapnya."Iya, gak papa kok, mas! Mungkin aku memang harus terbiasa dengan semua perubahan ini," sahutku seraya melanjutkan langkahku.Saat ini aku hendak membuatkan susu untuk Dara, namun ternyata begitu aku kembali ke kamar di sana sudah ada Karin yang sedang bermain bersama Dara.Melihat wanita itu, seketika aku teringat kejadian kemarin, aku langsung menghampirinya dan memintanya untuk berhenti bekerja dengan alasan agar Dara bisa lebi
Malam ini aku merasa sangat gelisah, entah kenapa Mas Adnan malah membiarkan Dara tidur dengan Karin padahal aku sangat ingin dekat dengan Dara namun Mas Adnan seolah tak mengerti perasaanku. Alasannya yang mengatakan agar aku tidak kelelahan dan terjaga tengah malam karena tangisan Dara menurutku tidak masuk akal. Bukankah itu adalah hal yang wajar bagi seorang ibu?"Sayang, kok kamu belum tidur?" tanyanya.Mas Adnan mengusap pipiku dengan lembut lalu mengecupnya singkat. "Kamu kan tau, aku ingin tidur bersama Dara," sahutku."Sayang, aku kan sudah menjelaskan semuanya. Ini hanya untuk sementara," jelasnya.Ia terus berusaha membujuk ku yang terus merajuk ingin tidur bersama Dara, berbagai alasan tentang kesehatanku terus ia ucapkan hingga membuat aku malas untuk terus berdebat dengannya."Ya sudah, kalau gitu aku tidur saja!" pungkasku seraya membalikan tubuh dan membelakangi Mas Adnan, sedangkan ia hanya d
Dara mengangkat wajahnya, ia terdiam dan memandang wajahku cukup lama, mungkin ia heran kenapa aku menangis, hingga kemudian tanpa kuduga kedua tangan kecilnya mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Ia lalu menyodorkan botol susunya pada mulutku persis seperti apa yang kulakukan padanya. Melihat tingkah menggemaskannya seketika aku tersenyum, kupeluk Dara seraya kucium ia dengan penuh kasih sayang."Terimakasih, nak! Kamu sudah menenangkan hati bunda," bisikku di samping telinganya."Nda ...," beonya seraya memegang wajahku.Untuk yang pertama kalinya, aku mendengar Dara mengucapkan kata bunda dengan versinya sendiri, seketika aku merasakan suatu kebahagiaan tersendiri dalam hatiku. Ucapan dan tingkah Dara barusan sungguh bagai sebuah air yang telah berhasil memadamkan api yang sedang berkobar dalam hati. Ku usap air mataku, lalu mengajak Dara untuk tidur meskipun di luar sana Mas Adnan terus mengetuk pintu dan memanggilku.
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad
Entah berapa jam aku terlelap, yang jelas rasa sakit dan pusing dibagian kepalaku masih sama seperti sebelumnya.Aku kembali terjaga saat mendengar keributan diluar sana. Suara pintu dan bel berbunyi saling bersahutan. Entah siapa yang bertamu dengan se rusuh itu.Kulirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah pukul lima pagi."Siapa sih, yang bertamu subuh-subuh begini?" decakku kesal."Maaf, mbak! Tadi aku abis solat dulu! Biar aku aja yang buka pintunya!" ucap Lila saat kami berpapasan di depan tangga."Ya sudah, kamu lihat siapa yang datang. Aku juga belum solat," sahutku seraya kembali naik keatas.Sesampainya di kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, kuharap dengan itu bisa membuat kepala dan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Usai berpakaian, akupun mengambil alat solat dan mulai menunaikan kewajiban ku. Namun, di akhir solatku, aku kembali terkejut saat kini justru pintu kamarku yang diketuk dengan tak sabar.Tak ingin Dara terbangun lalu rewel, akupun
Ckiitt!Aku menginjak rem secara mendadak saat tiba-tiba saja mobil Mas Adnan menyalip dan langsung menghadangku.Kulihat Mas Adnan turun dari mobilnya dengan penuh emosi. Ia pun lantas mengetuk kaca mobilku dengan tak sabar."Mas kamu apa-apaan sih? Kalau nabrak gimana?" kesalku seraya keluar dari mobil."Kamu gak usah marah! Disini, harusnya aku yang marah!" tegas Mas Adnan dengan rahang yang mengeras."Pertama, kamu sudah berbohong! Dan kedua, kamu sudah mengingkari janjimu karena diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Feri!" sentaknya seraya menunjuk wajahku."Siapa bilang? Aku gak menjalin hubungan dengan Mas Feri!" sanggahku."Lalu, kenapa bisa kalian berduaan di kafe malam-malam begini? Pakai acara pegangan tangan segala, lagi?! Apa namanya kalau tak ada hubungan?!" desaknya."Kamu gak tau yang sebenarnya, mas! Lebih baik, tak usah langsung menyimpulkan," ucapku."Ah, oke! Aku memang gak tau yang sebenarnya. Jadi, mulai besok aku akan selalu mengawasi kamu! Aku akan kembali
Astaga!Aku terkejut saat wanita itu berbalik karena dia memakai cadar. Seluruh bagian wajahnya tertutup kecuali mata.Wanita itu tak bicara. Dia hanya menatapku. Tatapannya seah bertanya, "Ada apa?""Apa tadi kamu memotret aku dan Dokter Feri?" tanyaku langsung.Lagi-lagi, wanita itu masih tak bersuara. Ia hanya menggeleng sebagai tanggapannya atas pertanyaanku barusan."Jangan berbohong! Kenapa kamu gak berbicara?" Aku terus mendesaknya tanpa melepaskan tangannya."Ra, dia siapa?" tanya Dokter Feri yang baru saja sampai mengejarku."Aku yakin, dia yang foto kita tadi," sahutku, namun lagi-lagi wanita itu menggeleng. Ia juga berusaha melepaskan genggaman tanganku darinya."Tunggu!"Dokter Feri meminta kami agar diam. Terutama wanita bercadar itu. Ia lalu menatap kedua mata wanita itu dengan lekat. Namun, detik berikutnya wanita itu langsung memalingkan muka."Ah, iya! Aku tau!" gumamku seraya
[Mas, sepertinya kita harus bertemu. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.]Sebuah chat kukirimkan pada Dokter Feri.Kuharap, setelah kejadian kemarin, ia masih mau bertemu denganku. Setidaknya, kali ini sebagai seorang teman.Ya, hanya teman!Tak menunggu waktu lama, chat sudah dibaca olehnya.[Iya, Ra. Kapan dan dimana?] balasnya.[Terserah kamu mas! Aku akan menunggu waktu senggang mu.] sahutku.[Kebetulan sekarang juga lagi ada waktu, jika kamu mau, aku bisa jemput kamu sekarang juga.][Gak usah jemput, mas. Kamu kasih tau aja tempatnya, nanti aku kesana.][Tapi ini sudah malam, Ra!][Gak papa, aku berangkat sendiri saja!]Aku bersikeras menolak tawaran Dokter Feri yang ingin menjemputku karena aku tak mau ada lagi tetangga rese yang nanti mungkin saja akan kembali mengadukan kami pada Mas Adnan.Akhirnya setelah berdebat lumayan panjang, Dokter Feri mengalah juga. Ia me
"Mbak Karin itu ...-"Lila menggantung ucapannya."Siapa, La? Kamu kenal?" tanyaku tak sabar."Dia adalah mantan kekasih almarhum Mas Kevin, kakakku!" sahut Lila."Almarhum?" beoku.Lila hanya mengangguk, sorot kesedihan kini terpancar dari kedua matanya."Maaf jika aku telah membuka luka lama," cicitku.Lila langsung menoleh, dengan cepat diapun menggeleng."Nggak, kok mbak, nggak papa! Hanya saja, sepertinya mbak harus hati-hati padanya," tutur Lila seraya menggenggam tanganku."Maksud kamu, Karin?" tanyaku seraya memicingkan mata."Dia itu perempuan licik, mbak!" geram Lila. Ia terlihat memendam kebencian yang mendalam."Apa kamu mau cerita sedikit saja tentang Karin dan masalalunya bersama kakakmu?" tanyaku hati-hati.Lila nampak menarik nafas dalam, pandangannya lurus kedepan seolah sedang menerawang dan mengingat kembali kemasa lampau."Dulu, orang tua kami terb
Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku memutuskan untuk pulang saja. Namun, saat aku berdiri Karin kembali mendongakkan wajahnya padaku."Aku akan terima jika Mas Adnan memilih menceraikan ku, tapi ... sampai kapanpun aku tidak akan memintanya," ucapnya.Aku hanya tersenyum tipis kemudian berlalu. Kurasa bermain bersama Dara jauh lebih penting dari pada berbicara dengan Karin. Mantan kekasih yang sepertinya masih sangat mencintai Mas Adnan, kurasa pantas saja jika dia sampai mengabaikan dan tak mau mengerti perasaanku.Apa aku terlalu egois?Terserah apa katanya![La, apa Dara rewel?]Kukirimkan sebuah chat pada Lila, sepertinya aku harus tau kondisi ibu terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumah. Soalnya, tadi kulihat lukanya lumayan parah, aku takut ibu kenapa-napa. Meskipun selama ini ibu tidak menyukaiku, namun tetap saja aku peduli dan sayang padanya.[Dara anteng kok mbak. Mbak gak usah khawatir!]Bal
"Adnan, kita ini sudah lama bersahabat, kurasa ... kamu sudah tau bagaimana sifatku. Aku, tidak mungkin menusukmu dari belakang. Hanya saja, jika kamu memberikan kesempatan, aku tidak mungkin menyia-nyiakan begitu saja. Saranku, jika kamu sudah tak peduli dengan perasaan Inara, lebih baik kamu lepaskan saja dia. Aku dengan senang hati akan kembali menjaganya seperti dahulu. Hanya saja, soal kejadian tadi malam, jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengambil sesuatu yang bukan hakku! Aku hanya ingin mendengarkan keluh kesah Inara seperti biasanya, karena setelah kamu mendua, ia kehilangan tempat untuk bercerita," lagi Dokter Feri bicara panjang lebar."Aku tau, berlaku adil itu tidaklah gampang. Aku yakin kamu sudah berusaha, tapi jika masih ada salah satu yang menangis karena merasa terasingkan, kenapa kamu gak memilih untuk menyerah saja?" sambungnya membuat Mas Adnan nampak semakin emosi."Kalian memang pengkhianat!" geramnya dengan tangan me
Kepalaku rasanya begitu berat, jika saja aku tak ingat pada Dara, mungkin aku tak akan memaksa untuk bangun. Rasanya aku hanya ingin menghabiskan hari ini untuk tiduran saja. Namun, tak bisa begitu, Dara menjadi tanggung jawabku apapun keadaanku saat ini aku harus kuat demi dia."Pagi mbak!" sapa Lila begitu aku memasuki dapur."Saya sudah buatkan sarapan untuk mbak dan juga non Dara. Jadi, berhubung mbak sudah bangun, saya mau ijin pamit pulang, mbak," sambungnya.Aku tersenyum lega saat kulihat sudah ada beberapa makanan di atas meja. Tak ku sangka gadis muda seusia Lila ternyata sudah pandai memasak."Terimakasih, La. Kebetulan juga aku lagi kurang enak badan, untung saja kamu udah masakin," ucapku sedikit berbohong. Karena pada nyatanya yang tidak enak itu adalah suasana hatiku.Ting!Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau tertera dilayar ponselku. Gegas aku membukanya apalagi saat sudah bisa kulihat sebuah nama yang semalam s