Malam ini aku merasa sangat gelisah, entah kenapa Mas Adnan malah membiarkan Dara tidur dengan Karin padahal aku sangat ingin dekat dengan Dara namun Mas Adnan seolah tak mengerti perasaanku.
Alasannya yang mengatakan agar aku tidak kelelahan dan terjaga tengah malam karena tangisan Dara menurutku tidak masuk akal.Bukankah itu adalah hal yang wajar bagi seorang ibu?"Sayang, kok kamu belum tidur?" tanyanya.Mas Adnan mengusap pipiku dengan lembut lalu mengecupnya singkat."Kamu kan tau, aku ingin tidur bersama Dara," sahutku."Sayang, aku kan sudah menjelaskan semuanya. Ini hanya untuk sementara," jelasnya.Ia terus berusaha membujuk ku yang terus merajuk ingin tidur bersama Dara, berbagai alasan tentang kesehatanku terus ia ucapkan hingga membuat aku malas untuk terus berdebat dengannya."Ya sudah, kalau gitu aku tidur saja!" pungkasku seraya membalikan tubuh dan membelakangi Mas Adnan, sedangkan ia hanya dDara mengangkat wajahnya, ia terdiam dan memandang wajahku cukup lama, mungkin ia heran kenapa aku menangis, hingga kemudian tanpa kuduga kedua tangan kecilnya mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Ia lalu menyodorkan botol susunya pada mulutku persis seperti apa yang kulakukan padanya. Melihat tingkah menggemaskannya seketika aku tersenyum, kupeluk Dara seraya kucium ia dengan penuh kasih sayang."Terimakasih, nak! Kamu sudah menenangkan hati bunda," bisikku di samping telinganya."Nda ...," beonya seraya memegang wajahku.Untuk yang pertama kalinya, aku mendengar Dara mengucapkan kata bunda dengan versinya sendiri, seketika aku merasakan suatu kebahagiaan tersendiri dalam hatiku. Ucapan dan tingkah Dara barusan sungguh bagai sebuah air yang telah berhasil memadamkan api yang sedang berkobar dalam hati. Ku usap air mataku, lalu mengajak Dara untuk tidur meskipun di luar sana Mas Adnan terus mengetuk pintu dan memanggilku.
"Aku tidak mau, mas!" ucap Karin cepat. Ia menatap Mas Adnan dengan penuh kekesalan."Iya, Adnan, ibu juga tidak setuju!" sambung ibu seraya menatap tajam ke arah Mas Adnan."Karin, tapi kita berdua sudah janji, kamu sendiri yang bilang kalau kamu siap diceraikan. Kenapa sekarang jadi tidak mau?" ucap Mas Adnan seraya memicingkan matanya pada Karin.Sedangkan aku sama sekali tak berminat untuk ikut bicara dengan mereka."Iya, mas. Tapi itu kemarin-kemarin sebelum kamu menyentuhku. Sekarang, setelah dapat manisnya, enak saja kamu mau ceraikan aku segampang itu," sahut Karin membuatku bertambah muak mendengar percakapan mereka berdua.Aku menghentakkan kakiku lalu berjalan menuju kamar, namun tak ku sangka dengan cepat Mas Adnan menyusul langkahku hingga kini ia sudah berhasil masuk ke dalam kamar."Keluar, mas! Aku mau sendiri," ucapku seraya membuka pintu dengan lebar."Keluar, mas! Jangan sampai kamu membuat aku marah d
Saat ini aku tengah duduk di ruang tengah, berkumpul bersama tiga orang yang telah membuatku terluka. Jam sudah menunjukan pukul tiga dini hari, namun tak ada sedikitpun rasa kantuk dalam diri ini. Hal itulah yang membuatku akhirnya mau hadir di tengah-tengah mereka untuk membicarakan semua masalah ini."Kita sama-sama wanita, mbak. Aku harap mbak mau mengerti posisiku saat ini, mbak," ucap Karin di tengah pembicaraan kita."Kalau aku harus mengerti posisimu, kenapa juga kamu tidak mencoba untuk mengerti posisiku? Bagaimana perasaanmu jika ada pada posisiku, hah?" tanyaku pelan.Karin terdiam, dia memandang Mas Adnan sebentar lalu kembali menatapku."Aku tau, orang ketiga yang selalu salah. Tapi, aku juga tak mau sepenuhnya di salahkan, mbak," tuturnya."Aku bukan bermaksud merusak rumah tangga kalian ataupun merebut Mas Adnan. Saat itu, mbak sedang koma, dan kami difitnah seseorang hingga kami disudutkan harus menikah. Aku maup
"Mulai detik ini, aku, Adnan Erlangga, bersumpah tidak akan menceraikanmu, sampai kapanpun juga. Hanya maut, yang bisa memisahkan kita," sambungnya membuat air mataku luruh. Aku bahkan tak mengerti air mata apa ini, dan rasa apa yang ada dalam hatiku ini.Disatu sisi aku ingin bercerai karena sakit hati dan tak mau di madu, tapi di sisi lain aku merasa lega saat bukan kalimat talak yang Mas Adnan ucapkan."Adnan! Apa-apaan kamu?!" sentak ibu dengan sorot tajam pada Mas Adnan."Kenapa, Bu? Kenapa ibu sangat ingin kita pisah? Ibu tidak suka melihat anakmu ini bahagia, Bu? Kebahagiaan ku hanya ada pada Inara, Bu. Tolong mengerti," ucap Mas Adnan terdengar tegas."Tapi, mas ... aku juga tak mau di ceraikan," cicit Karin seraya menatap iba pada Mas Adnan."Dengarkan baik-baik, kalian berdua akan tetap menjadi istriku, dan aku berjanji akan berlaku seadil mungkin terhadap kalian berdua," sahut Mas Adnan membuat dadaku lagi-lagi berden
Begitu mentari telah terbit, ibu dan juga Karin sudah mengemasi barangnya, mereka telah bersiap untuk keluar dari rumah ini dan pindah ke rumah lama Mas Adnan. Ku lihat, Mas Adnan baru saja menyugar rambutnya yang basah, sepertinya ia baru saja selesai mandi. Hal itu lagi-lagi membuat hatiku bagai teriris. Wanita mana yang tak akan sakit jika melihat dengan mata kepala sendiri pria yang ia cintai sedang bergumul dengan wanita lain."Ayo! Lebih baik kita pergi sekarang!" ajak Mas Adnan pada kedua wanita yang tengah duduk sembari memegang koper mereka masing-masing.Karin nampak gelisah, sesekali ia melirik ke arahku lalu berganti pada Mas Adnan."Mas, aku belum mandi," bisiknya pelan, namun masih terdengar jelas di telingaku."Memangnya kamu tidak salat subuh?" tanya Mas Adnan seraya mengerutkan dahinya.Aku hanya mencebik sebal mendengar pernyataan tak penting itu lalu melangkah meninggalkan mereka menuju kamarku.Selang lima bel
Sudah tiga hari aku tinggal berdua saja bersama Dara, beberapa kali Mas Adnan pulang namun aku tak pernah mau membukakan pintu untuknya, ia juga terus menghubungiku via WhatsApp, namun aku tak meresponnya.[Statusmu dan Karin masih pengantin baru, tinggallah bersamanya barang beberapa hari untuk menikmati momen pengantin kalian. Tak usah hubungi aku selagi kamu sedang bersamanya agar tak membuat hatinya terluka!]Itu adalah pesan pertama sekaligus terakhir yang ku kirim saat Mas Adnan terus menghubungiku dan meminta untuk dibukakan pintu.Ting!Satu notif WA muncul di layar ponselku, aku yang sedang menemani Dara tidur langsung membukanya.[Sayang, aku sudah di depan. Tolong bukakan pintu untukku, sudah tiga hari aku di rumah Karin, sekarang ... ijinkan aku untuk tinggal bersamamu. Aku sangat merindukanmu, Inara, aku juga khawatir terhadap kondisimu.]Aku hanya bisa tersenyum getir membaca pesan tersebut. Entah kenapa, setelah kebohon
"Aku sudah menunggumu selama satu tahun, sayang. Setelah kamu sadar, kenapa aku harus kembali dibuat menunggu?" tanyanya."Harusnya kamu tak usah tanyakan itu, mas! Kamu pikir hatiku terbuat dari batu? Harusnya kamu mengerti, aku perlu waktu untuk menyesuaikan diriku dan mencoba untuk menerima semua kenyataan ini, mas. Sebenarnya ini terlalu berat untukku, tapi demi Dara aku akan mencoba untuk menjalaninya. Tolong hargai keputusanku," jelasku yang akhirnya membuat Mas Adnan mengangguk dan pasrah. Perlahan Mas Adnan melepas tanganku lalu memutar badan, melangkah dengan langkah yang begitu lambat menuju pintu, hingga setelah ia sampai di luar akupun langsung menutupnya dan menumpahkan tangis yang sedari tadi mati-matian ku tahan."Ndaa ...! Ndaa ...!"Panggilan Dara langsung membuat tangisku terhenti, kuusap kedua wajahku yang berurai air mata lalu segera menghampiri Dara yang berada di kamar atas."Dara sudah bangun, sayang?" tanyaku sera
Malam ini entah mengapa aku sangat gelisah dan susah tidur. Kali ini bukan Mas Adnan dan Karin yang sudah mengganggu pikiranku, melainkan Dokter Feri. Mantan yang entah kenapa tiba-tiba aku merasa bahwa saat ini aku membutuhkannya.Apa ini semua karena ucapannya tadi siang?"Argh! Kenapa disaat patah hati aku selalu saja gampang luluh oleh ucapan laki-laki? Padahal, belum tentu, dia benar-benar peduli padaku. Siapa tau, dia hanya sedang ingin tau seberapa besar penderitaan ku saat ini lalu dia akan mentertawakan aku," monologku seraya menatap diri di cermin.Tanganku kembali meraih kertas yang tadi Dokter Feri berikan, menatapnya berulang-ulang, berpikir berulang-ulang untuk menghubunginya hingga membuat aku jadi susah tidur seperti ini.Drrt ... Drrt ... Drrt ...Aku sedikit terkejut saat ponsel yang kupegang bergetar, tertera nama Mas Adnan di sana. Aku hanya mendengkus kesal seraya membiarkan panggilan tersebut tanpa berniat untuk meng
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad
Entah berapa jam aku terlelap, yang jelas rasa sakit dan pusing dibagian kepalaku masih sama seperti sebelumnya.Aku kembali terjaga saat mendengar keributan diluar sana. Suara pintu dan bel berbunyi saling bersahutan. Entah siapa yang bertamu dengan se rusuh itu.Kulirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah pukul lima pagi."Siapa sih, yang bertamu subuh-subuh begini?" decakku kesal."Maaf, mbak! Tadi aku abis solat dulu! Biar aku aja yang buka pintunya!" ucap Lila saat kami berpapasan di depan tangga."Ya sudah, kamu lihat siapa yang datang. Aku juga belum solat," sahutku seraya kembali naik keatas.Sesampainya di kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, kuharap dengan itu bisa membuat kepala dan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Usai berpakaian, akupun mengambil alat solat dan mulai menunaikan kewajiban ku. Namun, di akhir solatku, aku kembali terkejut saat kini justru pintu kamarku yang diketuk dengan tak sabar.Tak ingin Dara terbangun lalu rewel, akupun
Ckiitt!Aku menginjak rem secara mendadak saat tiba-tiba saja mobil Mas Adnan menyalip dan langsung menghadangku.Kulihat Mas Adnan turun dari mobilnya dengan penuh emosi. Ia pun lantas mengetuk kaca mobilku dengan tak sabar."Mas kamu apa-apaan sih? Kalau nabrak gimana?" kesalku seraya keluar dari mobil."Kamu gak usah marah! Disini, harusnya aku yang marah!" tegas Mas Adnan dengan rahang yang mengeras."Pertama, kamu sudah berbohong! Dan kedua, kamu sudah mengingkari janjimu karena diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Feri!" sentaknya seraya menunjuk wajahku."Siapa bilang? Aku gak menjalin hubungan dengan Mas Feri!" sanggahku."Lalu, kenapa bisa kalian berduaan di kafe malam-malam begini? Pakai acara pegangan tangan segala, lagi?! Apa namanya kalau tak ada hubungan?!" desaknya."Kamu gak tau yang sebenarnya, mas! Lebih baik, tak usah langsung menyimpulkan," ucapku."Ah, oke! Aku memang gak tau yang sebenarnya. Jadi, mulai besok aku akan selalu mengawasi kamu! Aku akan kembali
Astaga!Aku terkejut saat wanita itu berbalik karena dia memakai cadar. Seluruh bagian wajahnya tertutup kecuali mata.Wanita itu tak bicara. Dia hanya menatapku. Tatapannya seah bertanya, "Ada apa?""Apa tadi kamu memotret aku dan Dokter Feri?" tanyaku langsung.Lagi-lagi, wanita itu masih tak bersuara. Ia hanya menggeleng sebagai tanggapannya atas pertanyaanku barusan."Jangan berbohong! Kenapa kamu gak berbicara?" Aku terus mendesaknya tanpa melepaskan tangannya."Ra, dia siapa?" tanya Dokter Feri yang baru saja sampai mengejarku."Aku yakin, dia yang foto kita tadi," sahutku, namun lagi-lagi wanita itu menggeleng. Ia juga berusaha melepaskan genggaman tanganku darinya."Tunggu!"Dokter Feri meminta kami agar diam. Terutama wanita bercadar itu. Ia lalu menatap kedua mata wanita itu dengan lekat. Namun, detik berikutnya wanita itu langsung memalingkan muka."Ah, iya! Aku tau!" gumamku seraya
[Mas, sepertinya kita harus bertemu. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.]Sebuah chat kukirimkan pada Dokter Feri.Kuharap, setelah kejadian kemarin, ia masih mau bertemu denganku. Setidaknya, kali ini sebagai seorang teman.Ya, hanya teman!Tak menunggu waktu lama, chat sudah dibaca olehnya.[Iya, Ra. Kapan dan dimana?] balasnya.[Terserah kamu mas! Aku akan menunggu waktu senggang mu.] sahutku.[Kebetulan sekarang juga lagi ada waktu, jika kamu mau, aku bisa jemput kamu sekarang juga.][Gak usah jemput, mas. Kamu kasih tau aja tempatnya, nanti aku kesana.][Tapi ini sudah malam, Ra!][Gak papa, aku berangkat sendiri saja!]Aku bersikeras menolak tawaran Dokter Feri yang ingin menjemputku karena aku tak mau ada lagi tetangga rese yang nanti mungkin saja akan kembali mengadukan kami pada Mas Adnan.Akhirnya setelah berdebat lumayan panjang, Dokter Feri mengalah juga. Ia me
"Mbak Karin itu ...-"Lila menggantung ucapannya."Siapa, La? Kamu kenal?" tanyaku tak sabar."Dia adalah mantan kekasih almarhum Mas Kevin, kakakku!" sahut Lila."Almarhum?" beoku.Lila hanya mengangguk, sorot kesedihan kini terpancar dari kedua matanya."Maaf jika aku telah membuka luka lama," cicitku.Lila langsung menoleh, dengan cepat diapun menggeleng."Nggak, kok mbak, nggak papa! Hanya saja, sepertinya mbak harus hati-hati padanya," tutur Lila seraya menggenggam tanganku."Maksud kamu, Karin?" tanyaku seraya memicingkan mata."Dia itu perempuan licik, mbak!" geram Lila. Ia terlihat memendam kebencian yang mendalam."Apa kamu mau cerita sedikit saja tentang Karin dan masalalunya bersama kakakmu?" tanyaku hati-hati.Lila nampak menarik nafas dalam, pandangannya lurus kedepan seolah sedang menerawang dan mengingat kembali kemasa lampau."Dulu, orang tua kami terb
Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku memutuskan untuk pulang saja. Namun, saat aku berdiri Karin kembali mendongakkan wajahnya padaku."Aku akan terima jika Mas Adnan memilih menceraikan ku, tapi ... sampai kapanpun aku tidak akan memintanya," ucapnya.Aku hanya tersenyum tipis kemudian berlalu. Kurasa bermain bersama Dara jauh lebih penting dari pada berbicara dengan Karin. Mantan kekasih yang sepertinya masih sangat mencintai Mas Adnan, kurasa pantas saja jika dia sampai mengabaikan dan tak mau mengerti perasaanku.Apa aku terlalu egois?Terserah apa katanya![La, apa Dara rewel?]Kukirimkan sebuah chat pada Lila, sepertinya aku harus tau kondisi ibu terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumah. Soalnya, tadi kulihat lukanya lumayan parah, aku takut ibu kenapa-napa. Meskipun selama ini ibu tidak menyukaiku, namun tetap saja aku peduli dan sayang padanya.[Dara anteng kok mbak. Mbak gak usah khawatir!]Bal
"Adnan, kita ini sudah lama bersahabat, kurasa ... kamu sudah tau bagaimana sifatku. Aku, tidak mungkin menusukmu dari belakang. Hanya saja, jika kamu memberikan kesempatan, aku tidak mungkin menyia-nyiakan begitu saja. Saranku, jika kamu sudah tak peduli dengan perasaan Inara, lebih baik kamu lepaskan saja dia. Aku dengan senang hati akan kembali menjaganya seperti dahulu. Hanya saja, soal kejadian tadi malam, jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengambil sesuatu yang bukan hakku! Aku hanya ingin mendengarkan keluh kesah Inara seperti biasanya, karena setelah kamu mendua, ia kehilangan tempat untuk bercerita," lagi Dokter Feri bicara panjang lebar."Aku tau, berlaku adil itu tidaklah gampang. Aku yakin kamu sudah berusaha, tapi jika masih ada salah satu yang menangis karena merasa terasingkan, kenapa kamu gak memilih untuk menyerah saja?" sambungnya membuat Mas Adnan nampak semakin emosi."Kalian memang pengkhianat!" geramnya dengan tangan me
Kepalaku rasanya begitu berat, jika saja aku tak ingat pada Dara, mungkin aku tak akan memaksa untuk bangun. Rasanya aku hanya ingin menghabiskan hari ini untuk tiduran saja. Namun, tak bisa begitu, Dara menjadi tanggung jawabku apapun keadaanku saat ini aku harus kuat demi dia."Pagi mbak!" sapa Lila begitu aku memasuki dapur."Saya sudah buatkan sarapan untuk mbak dan juga non Dara. Jadi, berhubung mbak sudah bangun, saya mau ijin pamit pulang, mbak," sambungnya.Aku tersenyum lega saat kulihat sudah ada beberapa makanan di atas meja. Tak ku sangka gadis muda seusia Lila ternyata sudah pandai memasak."Terimakasih, La. Kebetulan juga aku lagi kurang enak badan, untung saja kamu udah masakin," ucapku sedikit berbohong. Karena pada nyatanya yang tidak enak itu adalah suasana hatiku.Ting!Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau tertera dilayar ponselku. Gegas aku membukanya apalagi saat sudah bisa kulihat sebuah nama yang semalam s