Begitu mentari telah terbit, ibu dan juga Karin sudah mengemasi barangnya, mereka telah bersiap untuk keluar dari rumah ini dan pindah ke rumah lama Mas Adnan. Ku lihat, Mas Adnan baru saja menyugar rambutnya yang basah, sepertinya ia baru saja selesai mandi. Hal itu lagi-lagi membuat hatiku bagai teriris. Wanita mana yang tak akan sakit jika melihat dengan mata kepala sendiri pria yang ia cintai sedang bergumul dengan wanita lain.
"Ayo! Lebih baik kita pergi sekarang!" ajak Mas Adnan pada kedua wanita yang tengah duduk sembari memegang koper mereka masing-masing.Karin nampak gelisah, sesekali ia melirik ke arahku lalu berganti pada Mas Adnan."Mas, aku belum mandi," bisiknya pelan, namun masih terdengar jelas di telingaku."Memangnya kamu tidak salat subuh?" tanya Mas Adnan seraya mengerutkan dahinya.Aku hanya mencebik sebal mendengar pernyataan tak penting itu lalu melangkah meninggalkan mereka menuju kamarku.Selang lima belSudah tiga hari aku tinggal berdua saja bersama Dara, beberapa kali Mas Adnan pulang namun aku tak pernah mau membukakan pintu untuknya, ia juga terus menghubungiku via WhatsApp, namun aku tak meresponnya.[Statusmu dan Karin masih pengantin baru, tinggallah bersamanya barang beberapa hari untuk menikmati momen pengantin kalian. Tak usah hubungi aku selagi kamu sedang bersamanya agar tak membuat hatinya terluka!]Itu adalah pesan pertama sekaligus terakhir yang ku kirim saat Mas Adnan terus menghubungiku dan meminta untuk dibukakan pintu.Ting!Satu notif WA muncul di layar ponselku, aku yang sedang menemani Dara tidur langsung membukanya.[Sayang, aku sudah di depan. Tolong bukakan pintu untukku, sudah tiga hari aku di rumah Karin, sekarang ... ijinkan aku untuk tinggal bersamamu. Aku sangat merindukanmu, Inara, aku juga khawatir terhadap kondisimu.]Aku hanya bisa tersenyum getir membaca pesan tersebut. Entah kenapa, setelah kebohon
"Aku sudah menunggumu selama satu tahun, sayang. Setelah kamu sadar, kenapa aku harus kembali dibuat menunggu?" tanyanya."Harusnya kamu tak usah tanyakan itu, mas! Kamu pikir hatiku terbuat dari batu? Harusnya kamu mengerti, aku perlu waktu untuk menyesuaikan diriku dan mencoba untuk menerima semua kenyataan ini, mas. Sebenarnya ini terlalu berat untukku, tapi demi Dara aku akan mencoba untuk menjalaninya. Tolong hargai keputusanku," jelasku yang akhirnya membuat Mas Adnan mengangguk dan pasrah. Perlahan Mas Adnan melepas tanganku lalu memutar badan, melangkah dengan langkah yang begitu lambat menuju pintu, hingga setelah ia sampai di luar akupun langsung menutupnya dan menumpahkan tangis yang sedari tadi mati-matian ku tahan."Ndaa ...! Ndaa ...!"Panggilan Dara langsung membuat tangisku terhenti, kuusap kedua wajahku yang berurai air mata lalu segera menghampiri Dara yang berada di kamar atas."Dara sudah bangun, sayang?" tanyaku sera
Malam ini entah mengapa aku sangat gelisah dan susah tidur. Kali ini bukan Mas Adnan dan Karin yang sudah mengganggu pikiranku, melainkan Dokter Feri. Mantan yang entah kenapa tiba-tiba aku merasa bahwa saat ini aku membutuhkannya.Apa ini semua karena ucapannya tadi siang?"Argh! Kenapa disaat patah hati aku selalu saja gampang luluh oleh ucapan laki-laki? Padahal, belum tentu, dia benar-benar peduli padaku. Siapa tau, dia hanya sedang ingin tau seberapa besar penderitaan ku saat ini lalu dia akan mentertawakan aku," monologku seraya menatap diri di cermin.Tanganku kembali meraih kertas yang tadi Dokter Feri berikan, menatapnya berulang-ulang, berpikir berulang-ulang untuk menghubunginya hingga membuat aku jadi susah tidur seperti ini.Drrt ... Drrt ... Drrt ...Aku sedikit terkejut saat ponsel yang kupegang bergetar, tertera nama Mas Adnan di sana. Aku hanya mendengkus kesal seraya membiarkan panggilan tersebut tanpa berniat untuk meng
Hari ini untuk yang pertama kalinya aku pergi bersama Dokter Feri, sepanjang perjalanan kulihat Dokter Feri nampak santai sedangkan aku sendiri tak mengerti dengan diriku yang malah terasa kaku dengan jantung yang terus berdegub kencang seperti ini."Semua manusia berhak untuk bahagia, jadi ... jika kebahagiaan itu tidak bisa kita dapatkan dari orang lain, maka kita berhak untuk mencari kebahagiaan kita sendiri," ucapnya yang tiba-tiba saja memecah keheningan."Maksudmu?" tanyaku seraya mengangkat wajah, mencoba untuk memberanikan diri menatap wajahnya yang kini mengulas senyum.Sesekali ia menatap padaku dan kembali menatap pada jalanan yang sedang kami lalui, sedangkan Dara nampak sudah terlelap dalam pangkuanku."Aku tau, kamu pasti mengerti maksudku," sahutnya yang membuatku hanya berdecak seraya mengalihkan pandanganku pada jalanan yang mulai terasa panas karena teriknya sinar matahari siang ini."Inara, jika pernikahanmu terasa bera
Setelah genap satu Minggu aku menghabiskan waktuku berdua saja dengan Dara, akhirnya dengan berbesar hati aku mencoba untuk membuka pintu rumah ini untuk Mas Adnan.Entah seperti apa perasaanku saat ini, rasanya sangat sulit sekali untuk dijabarkan. Menunggu datangnya suami yang baru saja pulang dari rumah istri mudanya, sungguh ... ini tak pernah kubayangkan sebelumnya."Assalamualaikum!"Aku yakin itu adalah suara Mas Adnan, karena sebelumnya aku juga sudah mendengar suara mobilnya yang berhenti di halaman rumah.Dengan cepat, aku langsung menggendong Dara yang tengah duduk bermain boneka. Berjalan menuju pintu depan dan segera membukanya."Waalaikumsalam!" sahutku setelah pintu terbuka.Senyum mengembang di wajah Mas Adnan, hari ini ia terlihat begitu rapi. Rambutnya nampak disisir dan juga terlihat klimis, sedangkan pakaiannya terlihat licin dan berbau harum.Aku tersenyum getir memandang penampilan Mas Adn
Entah bagaimana prosesnya, yang jelas kini rasanya aku sudah mulai terbiasa menjalani hari-hariku dengan status berbagi suami. Ya, selama satu Minggu ini aku sudah berhasil mengendalikan hatiku di depan Mas Adnan dan dapat melakukan kewajibanku sebagai istri padanya dengan baik."Sayang, maafkan aku. Malam ini, aku akan pulang ke rumah Karin, sesuai jadwal yang sebelumnya telah kita bicarakan," ucap Mas Adnan saat aku sedang mengantarnya ke depan.Pagi ini Mas Adnan akan pergi ke toko seperti biasanya, dan aku selalu mengantarnya hingga ia berlalu dengan mobilnya. Namun, perkataannya barusan berhasil membuat hatiku kembali berdenyut nyeri. Tapi, walau begitu aku tetap menanggapinya dengan senyum."Tentu saja! Malam ini aku tidak akan menunggu mas pulang. Hati-hati di jalan, semoga dagangan hari ini banyak yang laku!" ucapku seraya menyalami tangannya. Tak lupa, aku juga mencium tangannya dengan takjim.Mas Adnan mengusap pucuk kepalaku,
Kamu kok kaya lagi kesel gitu? Kenapa?" tanya Dokter Feri saat kami sedang duduk di kantin."Aku sebenarnya lagi kesel sama ibu-ibu di komplek. Tadi pagi mereka jadiin aku bahan gosip saat sedang belanja sayur. Terus, terang-terangan juga mereka menyinggungku soal aku yang dipoligami," jelasku.Dokter Feri hanya tersenyum, sesaat kemudian ia menggenggam tanganku."Kamu, yang sabar, ya! Gak usah dengerin omongan mereka," ucapnya lembut."Padahal, aku baru aja mau berusaha untuk menerima kenyataan ini, tapi kenapa tiba-tiba saja ocehan mereka malah membuat hatiku kembali panas," ungkapku seraya menatap wajah Dokter Feri."Inara, sebenarnya ... apa yang membuatmu memilih untuk bertahan?" tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Dokter Feri. Ia juga bahkan menatapku dengan tatapan yang begitu serius.Aku terdiam untuk beberapa saat, mencoba untuk memikirkan jawaban pasti dari pertanyaan tersebut. Karena sejujurnya jika cint
"Dasar ibu-ibu rempong!" desis Karin namun masih sangat jelas kudengarAku hanya menghela nafas, sebelum akhirnya menatap Dokter Feri dan Mas Adnan secara bergantian. Tatapan matanya pada Dokter Feri penuh tanya. Mungkin Mas Adnan heran kenapa aku bisa jalan dengan sahabat nya ini."Ehem!"Sengaja aku berdehem untuk membuyarkan keheningan diantara kami, tatapanku sengaja aku tujukan pada tangan Karin yang masih menggandeng mesra tangan Mas Adnan.Mas Adnan nampak merasa bersalah lalu melepas tangan Karin dengan perlahan."Kebetulan kita bertemu disini, Nan! Aku sengaja ingin mengantar anak dan istrimu pulang dari rumah sakit. Kamu, gak keberatan 'kan?" ucap Dokter Feri membuka percakapan."Ru-rumah sakit?" kini raut wajah Mas Adnan berubah penuh ke khawatiran."Iya, hari ini kan jadwal imunisasi nya Dara. Aku maklum sih, kalau kamu lupa," sahutku cepat hingga Mas Adnan terlihat merasa bersalah."Kenapa tadi pagi
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad
Entah berapa jam aku terlelap, yang jelas rasa sakit dan pusing dibagian kepalaku masih sama seperti sebelumnya.Aku kembali terjaga saat mendengar keributan diluar sana. Suara pintu dan bel berbunyi saling bersahutan. Entah siapa yang bertamu dengan se rusuh itu.Kulirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah pukul lima pagi."Siapa sih, yang bertamu subuh-subuh begini?" decakku kesal."Maaf, mbak! Tadi aku abis solat dulu! Biar aku aja yang buka pintunya!" ucap Lila saat kami berpapasan di depan tangga."Ya sudah, kamu lihat siapa yang datang. Aku juga belum solat," sahutku seraya kembali naik keatas.Sesampainya di kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, kuharap dengan itu bisa membuat kepala dan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Usai berpakaian, akupun mengambil alat solat dan mulai menunaikan kewajiban ku. Namun, di akhir solatku, aku kembali terkejut saat kini justru pintu kamarku yang diketuk dengan tak sabar.Tak ingin Dara terbangun lalu rewel, akupun
Ckiitt!Aku menginjak rem secara mendadak saat tiba-tiba saja mobil Mas Adnan menyalip dan langsung menghadangku.Kulihat Mas Adnan turun dari mobilnya dengan penuh emosi. Ia pun lantas mengetuk kaca mobilku dengan tak sabar."Mas kamu apa-apaan sih? Kalau nabrak gimana?" kesalku seraya keluar dari mobil."Kamu gak usah marah! Disini, harusnya aku yang marah!" tegas Mas Adnan dengan rahang yang mengeras."Pertama, kamu sudah berbohong! Dan kedua, kamu sudah mengingkari janjimu karena diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Feri!" sentaknya seraya menunjuk wajahku."Siapa bilang? Aku gak menjalin hubungan dengan Mas Feri!" sanggahku."Lalu, kenapa bisa kalian berduaan di kafe malam-malam begini? Pakai acara pegangan tangan segala, lagi?! Apa namanya kalau tak ada hubungan?!" desaknya."Kamu gak tau yang sebenarnya, mas! Lebih baik, tak usah langsung menyimpulkan," ucapku."Ah, oke! Aku memang gak tau yang sebenarnya. Jadi, mulai besok aku akan selalu mengawasi kamu! Aku akan kembali
Astaga!Aku terkejut saat wanita itu berbalik karena dia memakai cadar. Seluruh bagian wajahnya tertutup kecuali mata.Wanita itu tak bicara. Dia hanya menatapku. Tatapannya seah bertanya, "Ada apa?""Apa tadi kamu memotret aku dan Dokter Feri?" tanyaku langsung.Lagi-lagi, wanita itu masih tak bersuara. Ia hanya menggeleng sebagai tanggapannya atas pertanyaanku barusan."Jangan berbohong! Kenapa kamu gak berbicara?" Aku terus mendesaknya tanpa melepaskan tangannya."Ra, dia siapa?" tanya Dokter Feri yang baru saja sampai mengejarku."Aku yakin, dia yang foto kita tadi," sahutku, namun lagi-lagi wanita itu menggeleng. Ia juga berusaha melepaskan genggaman tanganku darinya."Tunggu!"Dokter Feri meminta kami agar diam. Terutama wanita bercadar itu. Ia lalu menatap kedua mata wanita itu dengan lekat. Namun, detik berikutnya wanita itu langsung memalingkan muka."Ah, iya! Aku tau!" gumamku seraya
[Mas, sepertinya kita harus bertemu. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.]Sebuah chat kukirimkan pada Dokter Feri.Kuharap, setelah kejadian kemarin, ia masih mau bertemu denganku. Setidaknya, kali ini sebagai seorang teman.Ya, hanya teman!Tak menunggu waktu lama, chat sudah dibaca olehnya.[Iya, Ra. Kapan dan dimana?] balasnya.[Terserah kamu mas! Aku akan menunggu waktu senggang mu.] sahutku.[Kebetulan sekarang juga lagi ada waktu, jika kamu mau, aku bisa jemput kamu sekarang juga.][Gak usah jemput, mas. Kamu kasih tau aja tempatnya, nanti aku kesana.][Tapi ini sudah malam, Ra!][Gak papa, aku berangkat sendiri saja!]Aku bersikeras menolak tawaran Dokter Feri yang ingin menjemputku karena aku tak mau ada lagi tetangga rese yang nanti mungkin saja akan kembali mengadukan kami pada Mas Adnan.Akhirnya setelah berdebat lumayan panjang, Dokter Feri mengalah juga. Ia me
"Mbak Karin itu ...-"Lila menggantung ucapannya."Siapa, La? Kamu kenal?" tanyaku tak sabar."Dia adalah mantan kekasih almarhum Mas Kevin, kakakku!" sahut Lila."Almarhum?" beoku.Lila hanya mengangguk, sorot kesedihan kini terpancar dari kedua matanya."Maaf jika aku telah membuka luka lama," cicitku.Lila langsung menoleh, dengan cepat diapun menggeleng."Nggak, kok mbak, nggak papa! Hanya saja, sepertinya mbak harus hati-hati padanya," tutur Lila seraya menggenggam tanganku."Maksud kamu, Karin?" tanyaku seraya memicingkan mata."Dia itu perempuan licik, mbak!" geram Lila. Ia terlihat memendam kebencian yang mendalam."Apa kamu mau cerita sedikit saja tentang Karin dan masalalunya bersama kakakmu?" tanyaku hati-hati.Lila nampak menarik nafas dalam, pandangannya lurus kedepan seolah sedang menerawang dan mengingat kembali kemasa lampau."Dulu, orang tua kami terb
Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku memutuskan untuk pulang saja. Namun, saat aku berdiri Karin kembali mendongakkan wajahnya padaku."Aku akan terima jika Mas Adnan memilih menceraikan ku, tapi ... sampai kapanpun aku tidak akan memintanya," ucapnya.Aku hanya tersenyum tipis kemudian berlalu. Kurasa bermain bersama Dara jauh lebih penting dari pada berbicara dengan Karin. Mantan kekasih yang sepertinya masih sangat mencintai Mas Adnan, kurasa pantas saja jika dia sampai mengabaikan dan tak mau mengerti perasaanku.Apa aku terlalu egois?Terserah apa katanya![La, apa Dara rewel?]Kukirimkan sebuah chat pada Lila, sepertinya aku harus tau kondisi ibu terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumah. Soalnya, tadi kulihat lukanya lumayan parah, aku takut ibu kenapa-napa. Meskipun selama ini ibu tidak menyukaiku, namun tetap saja aku peduli dan sayang padanya.[Dara anteng kok mbak. Mbak gak usah khawatir!]Bal
"Adnan, kita ini sudah lama bersahabat, kurasa ... kamu sudah tau bagaimana sifatku. Aku, tidak mungkin menusukmu dari belakang. Hanya saja, jika kamu memberikan kesempatan, aku tidak mungkin menyia-nyiakan begitu saja. Saranku, jika kamu sudah tak peduli dengan perasaan Inara, lebih baik kamu lepaskan saja dia. Aku dengan senang hati akan kembali menjaganya seperti dahulu. Hanya saja, soal kejadian tadi malam, jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengambil sesuatu yang bukan hakku! Aku hanya ingin mendengarkan keluh kesah Inara seperti biasanya, karena setelah kamu mendua, ia kehilangan tempat untuk bercerita," lagi Dokter Feri bicara panjang lebar."Aku tau, berlaku adil itu tidaklah gampang. Aku yakin kamu sudah berusaha, tapi jika masih ada salah satu yang menangis karena merasa terasingkan, kenapa kamu gak memilih untuk menyerah saja?" sambungnya membuat Mas Adnan nampak semakin emosi."Kalian memang pengkhianat!" geramnya dengan tangan me
Kepalaku rasanya begitu berat, jika saja aku tak ingat pada Dara, mungkin aku tak akan memaksa untuk bangun. Rasanya aku hanya ingin menghabiskan hari ini untuk tiduran saja. Namun, tak bisa begitu, Dara menjadi tanggung jawabku apapun keadaanku saat ini aku harus kuat demi dia."Pagi mbak!" sapa Lila begitu aku memasuki dapur."Saya sudah buatkan sarapan untuk mbak dan juga non Dara. Jadi, berhubung mbak sudah bangun, saya mau ijin pamit pulang, mbak," sambungnya.Aku tersenyum lega saat kulihat sudah ada beberapa makanan di atas meja. Tak ku sangka gadis muda seusia Lila ternyata sudah pandai memasak."Terimakasih, La. Kebetulan juga aku lagi kurang enak badan, untung saja kamu udah masakin," ucapku sedikit berbohong. Karena pada nyatanya yang tidak enak itu adalah suasana hatiku.Ting!Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau tertera dilayar ponselku. Gegas aku membukanya apalagi saat sudah bisa kulihat sebuah nama yang semalam s