"Bagaimana enggak? Secara, dia, 'kan laki-laki yang menjadi cinta pertamaku," ucapku sambil mengulum senyum. Sungguh, mengingat lagi tentang cinta pertama yang terjadi saat aku masih berusia 14 tahun, memang selalu menghadirkan memori indah sekaligus menggelikan yang pastinya tak akan pernah terulang kembali.Mengingat bagaimana aku menerima cintanya—yang mungkin masih bisa dikategorikan sebagai cinta monyet hari itu, membuatku terus menarik bibir. Ya, saat itu kami merupakan teman sekelas. Jadi, ketika teman-teman di kelas tahu kami dekat, sontak semuanya heboh dan tak berhenti meledek.Ya, selalu ada cerita indah di masa sekolah. Begitulah yang aku rasakan."Apa dia … lebih ganteng dari aku?" tanya Darren terlihat begitu penasaran. Sungguh, detik ini aku sangat menikmati bagaimana dia berekspresi. Rasa kesal yang terpancar jelas dari sinar matanya, menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri yang menyelinap ke dalam kalbu.Ya, jujur aku menikmati rasa cemburunya."Eum … gimana, ya? Ganten
"Kapan? Kapan kau melakukannya, Lira?" tanyaku saat rasa penasaran dalam hati berubah menjadi sebuah rasa kecewa tak tertahankan. Sungguh, aku tak menyangka jika apa yang diucapkan oleh Kayla nyatanya adalah sebuah kebenaran, bukan fitnah seperti apa yang aku perkirakan sebelum ini.Ya, ternyata, memang serendah itu adikku.Lira yang masih bersujud di kakiku, memilih tak langsung menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Detik ini, hanya isak tangisnya yang terdengar memenuhi rongga pendengaran. Membuatku yang sudah kesal, bertambah geram."Kapan, Lira?!" Aku yang masih tak habis pikir dengan perangainya yang ternyata senista itu, meninggikan suara tanpa terasa."Waktu … waktu Mbak Indah ada di Purworejo," balasnya lirih.Aku menarik napas dalam mendengar kejujurannya. Masih tak mengerti dengan satu kebiasaan buruknya yang suka mematahkan hati seorang wanita dengan perbuatannya yang jauh dari kata terpuji."Kenapa kau tega menghancurkan hati kakak Kayla, ha?! Tak cukupkah kau menghancurka
Aku berinisiatif membuka pintu terlebih dulu saat melihat adikku seperti tak tergerak hati untuk melakukan hal itu.Begitu menginjakkan kaki di ruang tamu, sesosok lelaki yang wajahnya tak terlalu asing di mataku, terlihat sedang duduk santai di sofa ruang tamu."Ngapain kamu ke sini, ha?" Lira yang ternyata menyusul langkah kakiku ke sini, buru-buru bertanya dengan nada tinggi pada lelaki yang entah sekali atau dua kali kujumpai itu.Kalau tidak salah melihat, rasanya … dia adalah lelaki yang sama dengan pemuda yang mengantar Lira di hari yang sama dengan saat Galang memutuskan pergi dari rumah ini."Siapa yang memintamu datang, ha?!"Dia tersenyum santai. Seperti tak terpengaruh sama sekali dengan ekspresi Lira yang tak ingin menunjukkan kesan ramah padanya."Aku hanya ingin menawarkan opsi damai denganmu dan menghapus semua video, asalkan—." Dia menyahut enteng ucapan Lira dan lantas menahan kata di akhir kalimat."Asalkan apa, ha?!" tanya Lira masih dengan nada tinggi."Asalkan ka
"Mungkin … menikah dengan Fabian bisa menjadi pilihan terbaik untuk kamu ambil setelah ini, Lira."Lira menatap nanar padaku saat akhirnya aku mengucap kalimat senada dengan apa yang disampaikan oleh Mama belum lama ini."Tapi … aku tidak pernah mencintainya, Mbak," ujarnya sambil dengan pandangan matanya yang kosong.Aku mendesah singkat mendengar kejujurannya. Merasa ikut dilema dengan apa yang dialami oleh adikku sekarang."Tapi dia memegang semua kendali atas dirimu, Lira," ucapku sambil menatapnya lamat-lamat.Lira menggeleng kuat."Aku nggak mungkin sanggup jika harus hidup bersama seorang lelaki egois yang suka mengancam seperti dia, Mbak. Aku nggak mungkin sanggup."Aku menarik napas dalam sebelum bertanya, "Lalu, bagaimana dulu kamu bisa dekat dan bahkan sampai melakukan hubungan 'itu' dengan dia, ha?""Aku … aku cuma ….""Cuma ingin menunjukkan pada dunia kalau gadis secantik dirimu bisa dengan mudahnya mendapatkan pengganti bahkan di hari pertama saat Galang membatalkan per
Laki-laki itu terlihat puas melihat bagaimana suamiku tak berkutik mendengar kalimat-kalimat menohok yang baru diucapkannya. Tentang masa lalu, dan semua kenyataan mencengangkan yang membuatku ingin meninggalkan acara seandainya itu pantas dilakukan.Dia mendengus kecil dengan tatapan mengejek sebelum melanjutkan ucapan."Dari dulu … seleramu memang tidak berubah," ujarnya dengan tatapan menyeringai selepas memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tutup mulutmu, Fred!" Kulihat napas Darren memburu ketika memberikan peringatan tajam pada lelaki yang kuperkirakan berusia sebaya dengannya. Sementara aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, hanya terdiam tanpa bicara. Berusaha mencerna setiap kata demi kata dan percakapan dua orang yang katanya pernah menjadi teman satu kelas ini."Sudahi omong kosongmu kalau kau masih ingin bernapas besok pagi!" Darren terdengar mengancam kali ini."Uh … takut," balas Fred dengan nada meledek. Membuat pikiranku justru berkelana ke mana-mana
Aku mengambil ponsel saat merasa ada sesuatu yang perlu untuk dipertanyakan pada seseorang detik ini. Arman. Sosok yang aku yakini tahu banyak tentang dia yang sedikit banyak membuatku penasaran. Bukankah sepupu Resti teman seangkatan suamiku saat kuliah dulu?Baru hendak mengetik pesan, aku buru-buru menarik jari saat merasa Arman mungkin saja belum ingin berkomunikasi denganku pasca hubungannya dengan Lira kandas."Ada apa, Ndah?"Sejenak kemudian, pesan masuk darinya cukup membuatku terkejut.Ah, ya ampun! Rupanya … aku tak sengaja menekan nomor kontaknya barusan.Ceroboh sekali kau, Indah!"Maaf kepencet."Aku membalas canggung pesan dari lelaki yang gagal menjadi adik iparku setelah semua kebusukan Lira terkuak dalam acara resepsi."Oh … kirain ada apaan?"Dia membalas tak lama kemudian.Aku yang tak cukup puas hanya berbalas pesan, nekat menelepon nomor sepupu Resti. Sekedar untuk menanyakan hal tentang Aluna. Wanita yang menjadi masa lalu suamiku, dan kemungkinan … bisa saja m
"Kenapa diam, Mas?" tanyaku berapi-api, saat hati ini masih merasa gondok dengan sikapnya yang cenderung irit bicara malam ini."Kenapa diam, ha?" ulangku penuh penekanan. Meski dalam keremangan, dapat kupastikan jika sepasang matanya menatap lekat wajahku."Bukankah sudah kutanyakan sebelumnya, apa jawaban tidak yang kuberikan akan membuatmu percaya?" Suamiku balik bertanya dan tanpa melepas pandang dariku."Ada apa ini, Indah?" Lampu dapur tiba-tiba menyala saat pertanyaan itu terlontar dari suara familiar wanita yang melahirkan diriku. Mama.Aku dibuat sedikit salah tingkah saat menyadari kedua orang tuaku yang sebelumnya mungkin sudah tidur lena, cukup terganggu dengan keributan yang terjadi di dapur hampir tengah malam ini."Sebenarnya …." Rasa hati, ingin sekali aku mengungkap apa yang menjadi pencetus keributan antara aku dan menantu mereka malam ini. Namun, kutahan. Takut dianggap kekanak-kanakan dan suka mengadu."Sebenarnya ada sedikit kesalahpahaman yang perlu untuk dilurus
Aku tak bisa membayangkan semerah apa wajahku saat ini. Ketika Mama dan Bik Minah secara terang-terangan meledek melalui ekspresi dan tatapan mereka."Eum … ada yang bisa dibantu nggak, Ma?" tanyaku mencoba mengalihkan pembahasan. Tak ingin Mama dan wanita paruh baya yang selama ini telah kuanggap menjadi ibu kedua dalam hidupku, terus memfokuskan pandangan pada ….Rambutku yang memang belum sepenuhnya kering. Ah, bukankah ini sangat memalukan?Mama menggeleng pelan sambil mengukir senyum menanggapi pertanyaanku."Nggak ada, Sayang. Kalau saran Mama … lebih baik kamu istirahat, dulu, deh, sambil nunggu sarapan siap," ujar wanita yang melahirkanku. Terdengar sangat lembut dan sangat menyejukkan."Tapi, Ma—.""Mama tau, loh, kamu kurang tidur. Lihat aja, kantung mata sampai hitam begitu," balas Mama terlihat santai saat menatapku.Bik Minah yang tengah menggoreng ikan asin, terkekeh kecil. Membuatku kembali didera perasaan malu yang tak berkesudahan."Oh … yaudah, deh, Indah … naik ke a