Seperti yang dia bilang, jam istirahat aku sudah bertandang ke ruangan Bu Bos, wanita cantik pemilik pabrik roti terbesar di kota ini.
"Ada apa Mas Haikal?" tanyanya setelah mempersilahkan aku duduk. "Sebenarnya aku sungkan, tapi mau bagaimana lagi, aku bingung harus minta tolong sama siapa." Kumulai aktingku dengan sedikit memasang wajah bingung. "Mas Haikal nggak usah ragu, katakan saja!" Arumi mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Rosa sedang perlu uang untuk biaya berobat Ibunya. Kebetulan aku masih lama gajian dan ini sangat mendesak, jadi .... " "Oh itu, kenapa tidak bilang dari tadi? Butuh berapa?" "Lima ratus ribu. Terimakasih banyak, nanti kalau aku gajian, potong saja gaji aku untuk menggantinya. Tapi jangan bilang sama Rosa kalau aku minta tolong sama Bu Arumi, sebab kata Rosa dia tidak enak sama Bu Arumi." "Iya, tenang saja aku nggak akan ngomong, lain kali kalau ada apa-apa bilang saja jangan sungkan!" Arumi tersenyum manis, kami memang sudah saling mengenal meski tidak akrab. Aku berpamitan setelah menerima uang lima ratus ribu yang akan aku gunakan untuk membeli rokok dan mengajak makan teman-temanku. Sisanya untuk membeli minyak wangi supaya kalau bertemu Arumi aku tampil ganteng juga wangi. Uang itu hanya alasan saja agar Arumi menyimpan kontakku. Benar saja sejak saat itu status WA-nya update setiap jam. Ada saja yang Arumi unggah, kebanyakan poto dirinya dalam berbagai pose manja dan menggoda. Meski seringkali dia juga mengunggah keluh kesahnya. Aku sempatkan untuk mengomentari setiap unggahannya. Memuji swapotonya dengan mengatakan cantik atau apalah yang bisa membuat dirinya tersanjung. Juga curhatannya sesekali aku komentari dengan kata-kata bersimpati. Lama kelamaan kami terbiasa berbalas komen dan berlanjut jadi chattingan. [Mas Haikal bandel ya, aku bilang kan nggak usah panggil Ibu.] [Maunya dipanggil apa?] [Apa aja asal jangan Ibu kan kelihatan tua kalau aku dipanggil Ibu.] [Kalau dipanggil sayang, boleh?] Tak ada jawaban, tapi aku yakin di sana Arumi sedang tersipu dan senyum-senyum sendiri. [Kalau nggak boleh, nggak apa-apa. Nggak pantas juga kan aku panggil-panggil sayang.] Jurus maut mulai aku keluarkan. [Nggak, bukan begitu Mas!] Balasnya cepat, hmmm rupanya sudah kena perangkap. [Maaf kalau aku lancang.] Balasku merendah, padahal kalimat itu adalah caraku untuk memojokkan dia. [Sama sekali tidak lancang, Mas. Aku malah senang loh, dipanggil sayang sama orang ganteng.] Yes. [Kamu bisa aja bilang aku ganteng, suatu kehormatan bagiku bisa berbalas pesan dengan Bu bos cantik yang senyumnya bisa bikin diabetes.] [Tapi bagaimana kalau Rosa baca chat kita?] [Tenang saja, sayang. Aman kok, Rosa mana berani buka-buka ponselku.] Selanjutnya obrolan kami mengalir begitu saja. Setiap hari aku selalu menyempatkan untuk menggodanya. Hingga rayuanku menjadi candu baginya. Arumi sudah dalam kendaliku dalam waktu kurang dari dua bulan. Saat aku meminta menjadi sopir pribadinya dia tidak menolak bahkan nampak senang sekali. Maka dengan mudah aku bisa lebih leluasa berduaan dengannya ke mana-mana. Untuk menghindari kecurigaan Rosa, seluruh gajiku aku berikan padanya. Sedangkan untuk kebutuhan pribadiku semuanya ditanggung oleh Arumi. Dia termasuk orang yang royal, apapun yang aku minta tak segan memberikannya.Termasuk makanan dan mainan untuk Alfan tak segan-segan dia membelikannya. Aku dapat membayangkan bagaimana enaknya hidupku kalau aku bisa menikahi Arumi. Modalku hanya perlu memuji dan menyanjungnya setiap saat, membuatnya merasa menjadi wanita yang sangat dicintai padahal aku hanya memanfaatkannya. Semakin hari Arumi sepertinya makin kecanduan kasih sayangku, aku mulai mempengaruhi dia untuk segera mengurus perceraian dengan suaminya. Sebab selama aku menjadi sopir pribadinya hanya beberapa kali saja aku melihat suaminya pulang. Itupun hubungan mereka nampak dingin dan kaku. Jika Arumi bercerai pun dia tidak akan jatuh miskin. Pabrik roti dan beberapa salon kecantikan akan cukup untuk kumanfaatkan selama beberapa tahun sebelum aku bosan padanya. Hingga malam itu. "Mas, tadi siang aku sudah membicarakan tentang gugatan cerai dengan Mas Rizal. Sebentar lagi aku bebas dan kita akan menikah." Senyum kami merekah bersamaan. Sebentar lagi aku akan menikmati semua fasilitas yang ada di rumah ini. Sebab rumah ini adalah peninggalan orang tua Arumi dan Rizal tak berhak sedikitpun pada rumah ini. "Mas senyum-senyum? Kenapa?" tanyanya manja. "Mas seneng, sayang. Sebentar lagi kita akan hidup bersama." Aku berbohong, sesungguhnya kebersamaan dengannya hanya bonus saja yang terpenting adalah uangnya. "Apakah dia setuju berpisah dari kamu?" "Harus, sebab selama ini pun kami sudah tidak saling berkomunikasi dan pernikahan kami kan karena perjodohan orang tua." "Mas sudah tidak sabar bisa mewujudkan impian Mas dulu." Aku mulai mengeluarkan bualan lagi. "Maksudnya." "Mas dulu sebenarnya naksir sama kamu pada pandangan pertama ketika kamu jalan sama Rosa, tapi setelah Mas selidiki ternyata kamu sudah menikah." "Masa sih? Kok aku nggak tahu?" Arumi mulai antusias. "Karena Mas mencintai dalam diam. Saat itu Rosa yang ngebet sama Mas, karena kasihan akhirnya Mas menikah dengan dia." Kembali aku mengarang cerita, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya sebelum menikah dengan Rosa. Hanya pernah mendengar Rosa bercerita kalau Arumi menikah lebih dulu karena dijodohkan. Tapi sepertinya Arumi percaya bahwa yang aku katakan itu benar. "Terus Rosa bagaimana Mas? Kalau kita menikah?" "Dia tidak akan keberatan sepertinya. Apalagi diberi sedikit kemewahan." "Tapi aku ingin jadi satu-satunya Mas. Kamu harus mau melepaskan Rosa." "Itu perlu proses, sayang. Apalagi ada Alfan diantara kami, sabar ya!" bujukku supaya Arumi percaya, padahal aku tak berniat sedikit pun melepaskan Rosa yang penurut. Aku harus meyakinkan Arumi kalau saat ini hanya dia dihatiku. Membuat sandiwara seolah aku sudah tak cinta lagi pada Rosa. Dengan semua rayuan yang ada akhirnya Arumi luluh juga. "Kamu teleponan sama Rosa?" tanyanya satu ketika sesaat setelah aku selesai menghubungi Rosa. "Sesekali aku harus hubungi dia, supaya Rosa tidak curiga. Aku hanya bertanya kabar Alfan kok, nggak lebih." "Mas harus ingat ucapan Mas sendiri bahwa Rosa sudah tidak lagi berarti." Arumi ternyata posesif juga, akan berabe juga untuk kedepannya.Tapi aku harus tahan. Aku belum bisa mendapatkan semuanya. Sabar Haikal, tambang emas masih luas, jangan dulu menyerah.Hari ini aku mengajak Arumi jalan ke luar kota, sayang juga uang Arumi kalau tidak dipake berfoya-foya dari sekarang. Semalam aku tak pulang ke rumah karena memang Rizal suaminya Arumi tak ada di rumah. Kami bebas menghabiskan malam bersama, hingga pagi ini Rosa meminta panggilan video. Gawat. Aku masih berada di kamar Arumi, bahaya kalau aku menerima panggilan video dari Rosa di sini. Semalam juga Rosa curiga ketika kami dengan berbicara lewat telepon tiba-tiba Arumi batuk-batuk. Untung saja aku cepat beralasan kalau itu suara Mumun pembantu Arumi yang baru saja mengantarkan kopi. Wanita sepolos Rosa pasti akan percaya. Bergegas aku berjalan ke luar menuju pekarangan di dekat pos satpam lalu menghubungi Rosa menggunakan panggilan video. Rupanya Alfan sepagi ini sudah bangun dan rewel katanya. Dia kangen sama aku dan meminta aku untuk membelikan mainan seperti punya temannya. Itu urusan gampang, nanti aku akan meminta Arumi membelikannya. Dia pasti akan dengan senang hati menuruti
Dengan sedikit dalih aku menyerang Rosa terlebih dahulu, bahwa tidak baik berburuk sangka kepada suami yang sedang mencari nafkah. Sehingga seolah-olah aku tak bersalah apa-apa dan Rosa telah salah menilai kami. Sehingga Rosa merasa tersudut dan tak lagi bicara. Arumi terus menerus menghubungiku, aku terpaksa menerima panggilannya di dalam kamar sementara Rosa sedang memasak di dapur. "Kamu lama banget, Mas? Kapan kembali ke sini?" "Aku baru saja sampai, Rumi. Tadi mampir ke toko mainan dulu." "Jangan lama-lama, Mas! Nanti kamu lupa pulang ke sini." Ya ampun ternyata seposesif ini Arumi? Sangat berbeda dengan Rosa yang penurut dan tak banyak protes. "Iya, sayang. Sabar ya!" Obrolan kami terhenti ketika pintu kamar diketuk oleh Rosa, dia memintaku segera sarapan. Sebenarnya aku sudah sarapan di rumahnya Arumi tadi pagi. Tapi tak enak juga menolak makan di sini, aku harus tetap menghargai Rosa sebagai istri. Supaya dia tidak tambah curiga. Karena aku belum bisa menguasai Arumi se
Pov Rosa Sejak hari itu kecurigaanku semakin bertambah melihat Mas Haikal tergesa-gesa karena Arumi memintanya datang. Iya memang, dia sedang bekerja. Tapi apa dia tidak kangen denganku? Tak inginkah tidur barang semalam saja di sini? Alfan juga nampaknya masih belum puas melepas rindu dengan Ayahnya. Dua bulan sejak hari itu Mas Haikal hanya pulang beberapa kali saja ke rumah untuk mengantarkan uang. Jumlahnya memang lebih dari cukup untuk hidup kami berempat. Tapi bukan hanya itu yang aku inginkan, aku ingin suamiku seperti yang dulu. Mas Haikal pernah bermain hati beberapa kali di belakangku. Tapi tidak sampai lupa pulang. Dia tetap memberikan perhatiannya padaku juga pada Alfan. Tapi sekarang, aku telah kehilangan Mas Haikal yang dulu. [Rumi, aku dan Alfan membutuhkan Mas Haikal. Berilah cuti sehari saja supaya punya waktu untuk keluarganya.] Aku memberanikan diri mengirim pesan kepada Arumi. [Mas Haikal banyak pekerjaan di sini. Seharusnya sebagai istri yang baik kamu
"Iya. Kaget? Karena pekerjaan Mas Haikal yang sesungguhnya ketahuan?" Aku tak kalah tajam menatapnya. "Kenapa kamu ada di sini? Keluar rumah tanpa seizin suami, itu salah Rosa!" Mas Haikal mulai menyerangku terlebih dahulu seperti biasa untuk menutupi kesalahannya. "Mulai sekarang tidak usah seperti predator Mas, menyerang duluan karena merasa terancam. Jika aku salah keluar rumah tanpa seizin suami. Maka apakah yang kalian lakukan itu benar? Lelaki beristri dan perempuan bersuami bergandengan tangan seperti tadi di tempat umum." Kali ini aku memberanikan diri mengungkapkan isi hatiku. Mas Haikal nampak kaget mendengar ucapanku, mungkin dia tidak menyangka sekarang aku berani berkata seperti itu. "Jangan sembarangan ngomong Ros, aku bukan perempuan bersuami jadi bebas mau jalan dengan siapapun." Tak kusangka Arumi berkata seperti itu sambil mendekatiku. Oh, jadi Arumi bercerai dengan suaminya? Pantas saja Mas Haikal lupa pulang dan lupa anak istri. "Oh, jadi secara tidak langsung
Seorang tetanggaku yang kebetulan tadi sedang bekerja di kebun bersama Ibu, menyambutku di puskesmas. "Sabar ya Ros, mungkin ini cobaan untuk kamu dan adikmu. Kalian anak-anak yang soleha dan kuat," ucapnya seraya mengusap bahuku. "Bagaimana keadaan Ibu?" Aku tak sabar mendengar kabarnya. "Ibu kalian ... sudah pergi .... " "Innalilahi wainna ilaihi roji'un." Badanku mendadak lemas seakan tulang-tulangku menjadi rapuh seketika. Ibu adalah satu-satunya orang tua yang aku miliki. Selama ini hanya Ibu yang menguatkan aku. Begitu cepat Dia memanggilnya. Para tetangga sudah pulang sejak tadi, hanya tinggal beberapa kerabat Ibu yang masih menemaniku. Delia masih sangat berduka, aku bisa memaklumi itu. Dia masih sangat muda untuk menjadi yatim piatu. Usianya masih sangat muda, masih butuh kasih sayang dari seorang Ibu. "Kakak faham, kalau kamu masih sangat terpukul dengan kepergian Ibu. Kakak juga sama, tak ada anak yang mau hidup tanpa orang tua apalagi Ibu. Tapi tidak baik juga
Juragan Sidik adalah pemilik kebun tempat Ibu bekerja tadi. Ada apa dia datang ke sini? Bergegas aku menemuinya di ruang tamu. "Selamat sore, Juragan. Maaf sebelumnya, ada perlu apa Juragan berkenan datang ke rumah kami?" "Langsung saja Ros, saya datang ke sini pertama ingin menyampaikan rasa belasungkawa saya. Kedua saya mau memberikan upah untuk almarhumah yang selama satu bulan ini tidak dia ambil." Juragan Sidik menyerahkan amplop kepadaku dan dengan tangan bergetar aku menerimanya. "Dia bilang uang ini sebagai tabungan untuk biaya ujian Delia." Juragan Sidik menatapku lekat. "Terima kasih Juragan, selama almarhumah Ibu ada, Juragan yang memberi pekerjaan kepada beliau hingga bisa membiayai sekolah Delia." "Ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan, Ros. Sebenarnya saya tidak enak tapi harus bagaimana lagi." Ucapan Juragan Sidik barusan membuat aku menautkan kedua alisku. "Ada apa Juragan?" "Setelah kepergian Bapakmu beberapa tahun yang lalu, Ibumu pernah beberapa kali m
Ponsel Mas Haikal tidak bisa dihubungi, aku mencoba menghubungi Arumi karena aku yakin mereka sedang bersama. Tapi nihil, Arumi pun sama tidak bisa dihubungi. Ada apa dengan mereka berdua? Dari kemarin selalu kompak, WA on bareng, off pun bareng. Sekarang ponsel tidak bisa dihubungi pun sama. Malam ini aku mencoba ingin beristirahat, melupakan sejenak semua masalah yang aku alami tadi siang. Delia sesekali masih meneteskan air mata, memang berat harus kehilangan orang yang sangat dicintai, apalagi secara tiba-tiba. Ditambah lagi lilitan hutang yang mau tidak mau harus dipikirkan solusinya. Ibu tidak pernah mengeluh apapun tentang penyakitnya, tentang perasaannya. Aku mengira selama ini dia baik-baik saja. Dulu kalau Mas Haikal akan memulai usaha baru, Ibu selalu memberikan modal, dia bilang itu uang tabungannya. "Pake saja dulu! Nanti kalau kalian sudah berhasil baru boleh dikembalikan." Itu yang selalu dia katakan. Tapi akhirnya, jangankan untuk mengembalikan uang Ibu, setiap
"Tapi Mbak kelihatan pucat dan juga menangis. Jangan pingsan di sini Mbak, nanti saya kerepotan." "Maaf, saya baik-baik saja. Mungkin karena belum sarapan saja." "Wah, biasakan sarapan dong Mbak!" Aku mengangguk dan terdiam sesaat. Lalu mengusap pipi dan mencoba tersenyum. "Kira-kira kapan mereka kembali?" Aku berusaha untuk tenang. "Saya kurang tahu pastinya Mbak, tapi tadi saya sempat mendengar sekitar 3 atau 4 hari katanya mereka berada di Bali." "Bali?" " Iya. Mereka pergi ke Bali untuk berbulan madu. Sebelah tanganku berpegangan pada jeruji pagar menahan supaya tubuhku tidak ambruk lagi. Ini sudah keterlaluan. Mereka bersenang-senang di atas lukaku. "Kalau begitu saya permisi Pak." "Iya silahkan, Mbak. Jangan lupa sarapan dulu?" pesan Pak Satpam sambil tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyuman tipis lalu berjalan meninggalkan rumah Arumi dengan masih menggendong Alfan. Bocah ini perlahan membuka mata karena mungkin tidak nyaman dalam gendonganku. Tubuhnya yang sed
Beberapa hari setelah itu aku pindah ke rumah yang tempo hari Mas Dika tunjukkan. Tempatnya tidak jauh dari sekolah Delia. Rumah lamaku, sekarang dijadikan sebagai tempat para penjahitku bekerja. Jadi aku masih harus sering ke sana untuk memantau pekerjaan mereka. Sementara Mas Dika juga masih bolak balik ke luar kota mengurusi tokonya. Meski hanya dua kali dalam seminggu. "Sayang, Mas ada ide nih. Tapi sepertinya kamu juga bakalan suka." Sore ini ketika kami berkumpul sambil menunggu adzan magrib, Mas Dika sepertinya berbicara agak serius. Aku pun menatapnya serius sebentar. "Ide apa, Mas?" tanyaku seraya menambahkan gula pada teh hangat yang baru saja kuseduh. "Bagiamana kalau uang yang tempo hari itu kita gunakan untuk membeli ruko di dekat pasar." "Ruko yang masih dalam proses pembangunan itu, Mas." "Iya, kebetulan tempatnya strategis, jadi bisa untuk mengembangkan usahamu. Siapa tahu kedepannya bisa menjadi butik yang besar." Aku berpikir sejenak, meski usahaku sekarang
Aku segera menggeser kursi yang sedang kududuki bermaksud hendak menyapanya. Lalu dengan isyarat aku mengajak Mas Dika untuk ikut berdiri. Meski terlihat bingung tapi Mas Dika akhirnya ikut berdiri dan mengikutiku melangkah mendekati lelaki itu. "Mas Rizal," sapaku. Merasa dipanggil namanya lelaki itu menoleh lalu terlihat sedikit bingung. Baru beberapa detik kemudian dia tersenyum. "Rosa!" serunya. "Iya, Mas. Maaf, mengganggu. Apa kabar Mas?" "Seperti yang kamu lihat Ros, alhamdulillah baik. Kamu sendiri?" "Alhamdulillah baik juga, Mas. Oh ya, kenalkan ini Mas Dika, suamiku." Aku menunjuk Mas Dika, lalu keduanya bersalaman. "Saya Rizal, mantan suaminya Arumi. Saya dan Rosa mungkin senasib." Mas Rizal tertawa kecil sambil mempersilahkan kami duduk. Awalnya aku menolak karena tak enak, tapi Mas Dika mengiyakan. Akhirnya kami bergabung ke meja Mas Rizal bersama wanita yang semula kusangka istrinya, tapi ternyata adiknya Mas Rizal. Sejak terjadi pengkhianatan itu, ba
Aku tersenyum lebar mendengarnya. Jadi selama ini dia tidak pernah membahas Mas Haikal bukan karena menjaga perasaannya? Tapi karena untuk lebih menjaga perasaanku. "Loh, kita mau kemana Mas?" Aku merasa heran ketika Mas Dika mengambil jalur lurus sementara untuk menuju rumahku seharusnya belok kiri. "Mas mau nunjukin sesuatu," "Apa?" "Kejutan dong," "Baiklah, kalau begitu aku tutup mata." "Ide bagus," ucapnya kemudian. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Terlihat lucu memang, karena dia yang akan memberi kejutan tapi aku yang punya inisiatif untuk menutup mata. Aku masih menutup mataku ketika aku merasa mobil berhenti. "Bentar." Mas Dika terdengar membuka pintu di sebelahnya lalu berjalan memutar untuk membukakan pintu disebelahku. "Ayah, ini rumah siapa?" tanya Alfan ketika aku baru saja turun. "Rumah?" Aku bergumam. "Iya," jawab Mas Dika. Lalu aku merasa dia meraih tanganku yang menutupi mata. "Sudah, buka saja. Toh Alfan sudah ngomong kita sedang berada
"Ehem, kayaknya drama pelukannya diskip dulu, deh." Aku terkejut mendengar deheman Serly, lupa kalau kami sedang berada di rumah orang. "Makasih, ya, Ser. Karena kamu sudah bisa menjaga rahasia ini," kata Mas Dika." "Perjuangan banget, Mas. Aku sering hampir keceplosan ngomongin Mas Dika," kekeh Serly. Aku juga tak sadar ikut tertawa, begitupun Mas Dika dan Mas Helmi. "Oh ya, Mas. Berarti uang ini aku kembalikan sama Mas Dika ya?" Aku mengambil amplop yang sudah aku simpan di meja tadi lalu menyerahkannya pada Mas Dika. Tapi Mas Dika malah tertawa kecil membuat aku menautkan alis. Sementara tanganku masih terulur. "Baiklah, karena ini ijab qobulnya pinjaman, maka Mas akan terima uangnya." Akhirnya Mas Dika menerima amplop tersebut. "Terima kasih, Mas. Meski secara sembunyi-sembunyi tapi Mas Dika sudah sangat peduli sama aku. Sekarang utangku sudah lunas, ya." "Iya, sayang. Itulah enaknya punya penggemar rahasia," kekehnya lagi. "Apa pun namanya, aku sangat bersyukur diperte
"Yang ini 'kan?" tanya Mas Dika sambil memelankan laju mobil. "Iya." Kami bermaksud menemui Serly di rumah orang tuanya. Aku mendapat kabar kalau Serly baru tiba tadi pagi. Aku mengajak Mas Dika untuk menemuinya sekarang karena aku berniat mengembalikan uang Serly yang dulu aku gunakan untuk menebus surat tanah pada Arumi. Kebetulan jumlahnya baru terkumpul sekarang. Sebenarnya di awal pernikahan aku sudah membahas ini dengan Mas Dika dan beliau sudah berniat menambah uangnya agar cepat lunas katanya. Tapi aku menolak karena tidak ingin merepotkan dia. "Ya bukan merepotkan, dong. Mas kan suamimu. Kita selesaikan bersama masalah ini." "Aku mohon, tolong ridhoi aku, ya." Aku merajuk agar diizinkan untuk tidak menerima bantuannya. "Baiklah, terserah kamu saja." Seperti biasa, Mas Dika hanya mengiyakan tanpa protes lagi. "Paling juga satu bulan lagi jumlahnya akan genap," jawabku setelah menghitung dalam hati. "Oke, Mas ikut yang menurut kamu baik saja. Ternyata benar juga apa
Mas Dika menatapku seakan bertanya siapa wanita yang berdiri tak jauh dari kami itu. "Arumi," bisikku pada Mas Dika, membuat lelaki itu mengangguk samar. Penampilan Arumi sangat jauh berbeda dengan dahulu sewaktu mengambil Mas Haikal dariku. Badannya terlihat agak kurus dan wajahnya penuh bintik hitam, sepertinya kurang terawat. Pakaiannya pun terlihat biasa saja, padahal dulu dia paling fashionable. Kami hanya diam menunggu reaksi wanita di hadapanku itu. Arumi berjalan perlahan mendekati kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Yang jelas dia tidak terlihat bersahabat atau pun baik-baik saja. "Hebat kamu Ros, setelah berhasil mengambil semua hartaku lewat Mas Haikal, sekarang kamu menikah dengan lelaki lain. Apakah aku harus bilang selamat atau justru menyebutmu payah?" Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan kata-kata yang menurutku isinya fitnah semua. Mas Haikal hanya sekali mengajak Alfan jalan-jalan dan membelikan mainan serta makanan yang ternyata dijadikan alasan s
Berselang dua minggu setelahnya, hari pernikahanku dengan Mas Dika dilaksanakan secara sederhana di kediamanku. Hanya kerabat dekat dan teman-teman dekatku saja yang menghadiri. Satu minggu kemudian kami mengadakan resepsi di gedung. Ini karena keinginan Mamanya Mas Dika karena Mas Dika adalah anak pertama di keluarga mereka. Kata ibu mertuaku itu ini adalah pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu maka mereka ingin mengadakan pesta yang cukup meriah. Orang tua Mas Dika sendiri merasa kaget ketika aku diperkenalkan kepada mereka. "Ini Rosa yang langganan kain, kan?" "I-iya, Bu." "Masya Allah, kalian kenal dimana?" pekiknya setelah dipastikan bahwa aku adalah langganan kain di toko mereka. Senyumnya terpancar. Saking seringnya berbelanja, aku memang sudah akrab dengan beliau. "Kami dipertemukan Allah dengan cara yang tidak disangka-sangka," jawab Mas Dika saat itu. Alhamdulillah keluarga Mas Dika mau menerimaku juga Alfan. Sedikitnya memang mereka kenal denganku karena Andra
Sejak dalam mobil hingga kami duduk berhadapan yang hanya terhalang meja kecil ini, aku maupun Mas Dika masih banyak diam. Entah apa yang lelaki itu pikirkan. Apakah mungkin sama dengan yang ada di dalam otakku? Kejadian tadi sebelum berangkat membuat aku benar-benar tak enak hati. Bagiamana tidak, kencan pertama kami harus diawali dengan perselisihan dengan mantan suamiku. Padahal ini bisa dibilang sebagai momen yang penting bagi kelangsungan hubungan aku dan Mas Dika. Selain merasa tidak enak hati, aku juga merasa malu ketika terpaksa aku harus mengatakan bahwa Mas Dika calon suamiku. Padahal diantara kami belum ada pembicaraan ke sana. "Mmm ... Mas, aku minta maaf atas kejadian tadi." "Ah iya, tidak apa-apa. Anggap saja itu tidak terjadi, kecuali satu hal." Mas Dika tersenyum penuh arti. "Apa itu?" "Kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi?" tanyanya masih dalam senyuman. Aku menautkan alis, meski aku mengerti tapi aku takut salah faham. "Yang mana?" Akhirnya aku bertanya
Namun penampilannya sekarang tidak se-rapi beberapa bulan yang lalu ketika awal-awal dia bertemu Arumi. Sekarang bajunya lusuh dan rambutnya pun berantakan. "Mas Haikal?" gumamku. Lalu aku menoleh ke arah lelaki di sampingku yang nampak heran. "Ros! Aku mau ngomong sama kamu," ucap Mas Haikal sambil berjalan ke arahku. "Ngomong saja, Mas!" jawabku datar sebab punya firasat kalau kedatangan pria ini tidak punya maksud baik. Terlihat dari cara dia menatap Mas Dika. "Hanya berdua," lanjutnya sambil melirik sinis ke arah Mas Dika. "Aku tunggu di mobil, ya." Paham dengan apa yang dimaksud oleh Mas Haikal, akhirnya Mas Dika berjalan memutar ke belakang mobil lalu masuk dan duduk di belakang kemudi. "Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi pada Mas Haikal. "Aku mau minta maaf sama kamu Ros, bukankah dari dulu aku tidak pernah ada niat untuk menceraikan kamu? Jadi sampai kapan pun aku selalu sayang sama kamu." Aku membuang pandangan mendengar ucapan Mas Haikal. "Aku sudah memaafkanmu dari