Berada di kantor pun kini sebenarnya Ocha tak bisa begitu fokus bekerja. Sepasang mata bulatnya menatap layar komputer, tetapi foto-foto intim sang suami dan mantan istrinya yang dilihatnya tadi pagi sangat mengusik ketenangan pikirannya.
Bagaimana kalau Aksa benar-benar mengkhianatinya dengan menjalin hubungan kembali dengan mantan istrinya?Apa yang harus dia lakukan? Mungkinkah dirinya bisa memaafkan Aksa?Susah payah, dia mencoba fokus dengan mengabaikan sekelebat tanya yang mengacaukan pikirannya sembari menunggu hasil terbaik dari Yaya tentang foto tersebut.Sayangnya, tak semudah itu mengendalikan isi pikiran, bahkan berulang kali melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, berakhir ditegur oleh sang atasan.“Kenapa kamu sangat berbeda kali ini, Ocha? Pada laporanmu ini banyak sekali kesalahan.” Suara lembut nan tegas Bu Rina membuat Ocha sedikit tersentak.Dia sedikit mengangkat kepala, menatap sang atasan dengan raut bersa“Apa maksud Anda mengatakan hal itu?” Laras berdiri geram. Tak terima dengan perkataan wanita asing yang tiba-tiba datang ke rumah mereka, membuat kegaduhan. “Anda pikir keluarga kami serendah itu, hah?” “Bu ... alangkah lebih baik duduk dulu, kita bisa bicarakan hal ini dengan baik-baik.” Paul yang masih tak bisa banyak bergerak pasca kecelakaan, berusaha menengahi. Hanya saja, wanita yang tidak lain adalah Lidya itu menyeringai miris, tak menghiraukan perkataan Laras, begitu Paul. Dia menatap tajam Fafa yang tampak gelisah di hadapannya. Dan, dengan raut emosi berkata, “Oh, tidak ada yang bisa dibicarakan dengan baik-baik. Saya sudah memperingati dia untuk tidak mendekati suami saya, tapi apa? Dia masih terus mendekat suami saya, bahkan saya menemukan struk belanja dari toko-toko ternama yang harganya fantastis. Matre sekali kamu sebagai wanita? Apakah kamu tidak punya malu kebutuhanmu dipenuhi suami orang?” Laras yang tak percaya perkataan Lidya, lantas membala Fafa. “Hentikan om
“Kamu telah mencoreng nama baik keluarga kita, Fafa!” ucap Laras penuh penekanan. Dia sontak berdiri, menghampiri Fafa dengan raut emosi. Tanpa terduga, hingga tangan itu melayang ke udara, dan .... Plak! Plak! Dua kali tamparan mendarat keras di pipi Fafa membuat gadis itu terhuyung, nyaris tersungkur. “Kau telah membuat keluarga kita malu!” teriak Laras sambil menunjuk-nunjuk Fafa, mengekspresikan kecewa dan amarahnya. Paul yang kini tak bisa berbuat apa-apa mengingat kondisinya belum stabil hanya bisa mengandalkan suara untuk menghentikan amarah Laras. “Laras, tenang dulu ... kita perlu membicarakan ini baik-baik dengan Fafa. Kita tidak tau apa yang sebenarnya terjadi?” Pria berkacamata itu mencoba mencari solusi. Hanya saja, Laras yang telanjur marah tak menggubris perkataan sang suami. “Tidak ada yang bisa dibicarakan. Dia telah mencoreng nama baik keluarga kita. Anak ku
Aksa yang tak terima sikap Ocha yang mendadak itu tentu tak terima. Dia hendak protes dan mencari tahu kenapa sikap istrinya tiba-tiba berubah?Hanya saja, diurungkan niatnya itu ketika ponsel Ocha berdering. Hal yang membuat Aksa makin tak mengerti hingga keningnya mengerut bingung ketika Ocha buru-buru pergi ke halaman samping setelah melihat layar ponselnya. Biasanya, Ocha tak akan pergi jika hanya sebatas mengangkat telepon.Frustrasi, Aksa mengusap wajahnya. Perasaannya kalut melihat istrinya bersikap dingin dan cuek, padahal sebelum ke luar kota, hubungannya dengan Ocha masih baik-baik saja. Lantas, mengapa sekarang seperti sedang terjadi sesuatu? Namun, Aksa tak mengerti itu.Di sudut lain, Ocha melangkah cepat sesekali menoleh sebentar untuk memastikan Aksa tak mengikutinya. Jujur, melihat wajah Aksa membuat Ocha teringat foto menjijikan di ponselnya yang di mana pemeran utamanya adalah sang suami.
Yaya melaju pelan di sepanjang jalan yang cukup lenggang di pagi menjelang siang. Namun, sepasang matanya tiba-tiba menangkap sosok yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya karena cukup sulit untuk ditemui. Gadis yang mengenakan celana jeans biru dipadukan kemeja putih yang berdiri di pinggir jalan itu tampak gelisah, seperti sedang menunggu seseorang. Yaya segera menekan pedal rem, menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat Lily berdiri.“Lily ...,” bisiknya dengan mata berbinar. Dia hampir saja membuka pintu mobil, ingin menghampiri sang gadis, tetapi tepat saat itu juga sebuah taksi berhenti di depan Lily.Lily dengan cepat masuk ke taksi dan dalam sekejap, kendaraan tersebut melaju menjauh. Yaya menatap kepergian kendaraan itu dengan ekspresi kecewa dan sedikit putus asa. Dia menghela napas panjang, merasa kesempatan untuk berbicara dengan Lily hilang lagi.“Susah banget, sih, ketemu Lily,” gumam Yaya dengan nada frustrasi, menatap t
Lain hal dengan Ocha, Aksa kini berada di sebuah restoran yang masih dikelola perusahaannya. Dia duduk santai sesekali melirik pemandangan perkotaan melalui jendela kaca. Jemarinya dengan gelisah mengutak-atik ponsel, mencoba membunuh waktu sambil menunggu seseorang. Restoran itu cukup sepi siang ini, hanya beberapa meja terisi dengan suasana yang tenang. Makanan belum dipesan dan Aksa tampak tenggelam dalam pikiran. Raut wajahnya tegang. Namun, tetap berusaha mempertahankan ketenangannya. Tak lama kemudian, seorang wanita berambut panjang dengan penampilan anggun dan seksi berjalan ke arahnya.Dewi. Wanita itu tersenyum lebar, tampak percaya diri dan senang melihat Aksa sudah menunggunya.“Maaf, aku agak telat,” ucap Dewi sambil duduk di kursi di hadapan Aksa, “kamu sudah lama?”“Belum terlalu lama.”Dewi mengangguk-angguk pelan. Tatapannya tak terkendali, terus mengarah pada mantan suaminya itu. “Senang de
Lily tersenyum tipis, berusaha untuk tenang. Dia menatap Yaya sebentar sebelum akhirnya angkat bicara. “Mas Yaya gak ada salah apa-apa, yang salah itu ... aku. Lebih tepatnya, yang salah adalah harapanku.”Yaya mengernyit, menunggu Lily berkata-kata lebih panjang lagi, tetapi gadis itu hanya diam seolah-olah memang enggan untuk menjelaskan lebih banyak hal. Namun, Yaya melihat dari sorot mata dan raut wajahnya kalau ada begitu banyak yang disimpan oleh Lily di kepalanya.“Maksudnya?” tanya Yaya.Tak ada jawaban langsung, Lily mengembuskan napas pelan lebih dulu sebelum akhirnya berkata, “Dari awal, sebenarnya Mas Yaya sadar kalau aku ada rasa sama kamu, gak?” Pertanyaan itu sontak membuat Yaya terdiam tanpa bisa menyembunyikan raut bingung dan perasaan bersalahnya.“Perhatian kecil yang aku beri sebagai bentuk upayaku melakukan pendekatan ke Mas Yaya, tapi sama sekali gak ada feedback yang kudapatkan,” lanjut Lily, “kamu gak pernah bilan
Yaya menepikan mobilnya dengan frustrasi. Embusan napasnya terdengar berat. Tangannya mengepal di setir dan memukulnya pelan beberapa kali. “Kenapa sesusah itu ngomong apa adanya di depan Lily?” gumamnya penuh penyesalan.Bayangan kejadian di kafe tadi terus berputar di kepalanya. Dia berhadapan dengan Lily, matanya tepat di depan mata wanita itu, tetapi entah mengapa lidahnya terasa kelu. Setiap kali mencoba mengungkapkan perasaan, hanya ada keheningan yang menjawabnya. Sampai akhirnya, Lily pamit pulang. Yaya tak melakukan apa-apa sekalipun untuk menawarkan diri untuk mengantar Lily.“Sial!” geram Yaya sambil menjambak rambutnya sedikit kasar.Dia mengambil ponsel lalu membuka kontak Lily. Dan, dengan jari gemetar mencoba menelepon. Akan tetapi, tak ada jawaban. Nada sambung terus terdengar hingga panggilan berakhir dengan suara operator wanita. Yaya mendesah frustrasi, melempar ponsel ke kursi penumpang lantas ber
Fafa berlutut memeluk kaki ibunya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga merea. Air matanya mengalir deras tanpa henti. Suaranya pecah di tengah isakan tangis yang tak terbendung. “Ibu, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf!” Dia merintih, terisak pilu. Laras diam saja, menatap lurus seakan-akan enggan untuk menanggapi perkataan Fafa. “Aku tau sudah mempermalukan Ibu dan Papa ... tapi aku janji, aku nggak akan mengulanginya lagi. Tolong, maafkan aku, Bu.” Fafa mencium tangan sang ibu cukup lama. Tubuhnya kian terguncang oleh isakan tangis.Pada kursi lain, Paul dan Nathan hanya diam seolah-olah memberikan kesempatan ibu dan anak itu menyelesaikan masalah mereka. Laras mulai menatap Fafa dengan amarah yang nyatanya belum kunjung reda, meskipun sudah mendiamkan Fafa beberapa saat. Sepasang matanya berkaca-kaca, jelas menyimpan kekecewaan mendalam pada putrinya sehingga hatinya masih membatu untuk sekadar memberi kata maaf.
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok