Ocha terhenyak cukup lama melihat tatapan Aksa yang menukik tajam.
Dia merasa terpojok dengan posisinya sekarang, bahkan untuk bernapas pun kesulitan.“Hei!” Aksa melambaikan tangannya tepat di depan wajah Ocha, ketika tak ada respon dari wanita itu.Ocha menggeleng sekejap. Mengalihkan pandangan ke arah lain dan buru-buru menghindar dari Aksa yang tiba-tiba membuat jantungnya jumpalitan di dalam sana.“Dari mana kamu tau, sih?” tanya Ocha.“Jadi, benar kamu belum makan malam?” tanya Aksa lagi yang kemudian diangguki Ocha.“Kenapa gak bilang dari tadi?” Aksa mengusap wajahnya sedikit kasar.Dia kesal pada Ocha karena tak jujur perkara perutnya, juga merasa kecewa pada diri sendiri karena tak peka.“Ini, baru mau lanjutin masak yang tadi, terus makan. Kenapa, sih? Mas Aksa lapar? Mau aku masakin sekalian?”“Gak! Tapi seharusnya kamu ngomong ke aku tadi kalau belum makan. Biar kita mampir dulu kek bSuasana mendadak hening. Ocha melongo sejenak, berusaha mencerna, tapi tatapannya tak lepas pada Aksa yang menunggu jawaban darinya. Namun, sesaat kemudian, Ocha mengalihkan pandangan dan tiba-tiba tertawa sumbang. Dia sudah menduga kalau syarat yang diberikan Aksa akan di luar nalar. Bahkan, BMKG pun tak sampai memberikan prediksinya. Terdengar helaan napas pelan dikeluarkan Ocha, sebelum menolak secara halus permintaan Aksa. “Pak Aksa yang terhormat, 50% artinya Infinite Allure atau IA hanya membayar setengah dari harga yang seharusnya. Menurutku IA memang akan untung karena membayar layanan makanan dan minuman yang tentu sangat berkualitas dengan harga murah. Tapi bagaimana dengan Harmoni Gastronomi? Keuntungan apa yang didapatkan?” Aksa tersenyum mendengar pertanyaan Ocha. Dia melipat tangan di atas meja dan mencondongkan sedikit tubuh ke arah Ocha. “Keuntungan pribadi. Karena aku bisa jalan sama kamu.” Jawaban Aksa yang santai membuat Ocha mencebikkan bibir dan me
Nathan menelan ludahnya kuat-kuat mendengar kalimat Lala bagikan bom peledak yang seakan sengaja dikirim untuk membunuhnya. Dalam beberapa detik, ia merasa dunianya seolah berhenti berputar. Namun, setelah itu, ia tiba-tiba tertawa, meski masih terlihat menutupi lukanya. “Gak mau!” Nathan sontak menatap Lala dengan tajam. “Keras kepala banget sih lu? Lu harus jauhin gue. Kita beda Nathan!” geram Lala. “Berbeda itu indah Kita bisa saling melengkapi, bukan? Yang penting bukan beda iman dan beda perasaan, gue rasa temboknya gak terlalu tinggi,” ujar Nathan santai. Dia menatap Lala sangat dalam, berusaha untuk menyakinkan gadis itu. Namun, Lala bukannya merasa terharu dengan kalimat Nathan, justru semakin geram. Entah bagaimana caranya dia mengusir Nathan dan berhenti menganggunya? Dia sudah muak sedari kemarin adik dari temannya itu selalu merecoki hidupnya yang
Brak! Paul baru saja kembali dari kantor dengan wajah marah dan langsung menghempaskan secarik kertas di atas meja, tepat di hadapan Laras dan Fafa yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Laras terlihat cemas, sementara Fafa tampak gelisah. Tak biasanya Paul seperti itu. “Laras, Fafa, kita perlu bicara. Sekarang juga!” tegasnya. Ibu dan anak itu seketika saling berpandangan dengan gugup. “Ada apa, Papa? Apa yang terjadi? Kelihatannya sangat serius?” tanya Laras. “Iya, ini sangat serius, terkait dengan perusahaan.” Paul menatap Laras dan Fafa bergantian. “Aku baru saja menemukan bahwa sejumlah besar uang perusahaan hilang! Dan setelah menelusuri, aku menemukan bahwa kalian berdua yang diam-diam meminta kepada manajer keuangan, bahkan sampai beberapa kali!” ungkapnya. Kini, Laras dan Fafa mulai terlihat gelisah. Di bawah sana, keduanya tampak memainkan jari-jar
Tok ... tok ... tok! Ocha mengetuk pintu ruang kerja Rina dan masuk dengan senyum manis yang tercetak jelas di wajahnya. Rina yang sedang sibuk dengan laporan di meja kerjanya, mengangkat kepala dan menyambut Ocha dengan senyum ramahnya. “Hai, Ocha. Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?” tanya Rina menatap Ocha sebentar. Ocha menganggukkan kepala. “Iya, Bu.” “Katakan.” “Soal diskon dari Pak Aksa, Bu. Tadi malam ... beliau menghubungi saya membahas terkait diskon layanan yang diberikan untuk perusahaan kita pada saat kampanye cross branding nanti,” ungkap Ocha. “Beliau ....” Belum sampai Ocha melanjutkan ucapannya, sang atasan dengan cepat memotong. “Ada masalah? Bukannya sudah sepakat 20%?” “Ih, saya belum selesai ngomong, Bu.” “Oh, iya belum, ya. Lanjutkan kalau begitu.” Ocha mengambil napas dalam-dalam seraya berkata, “Pak Aksa mengubah keputusannya dan menawari kita diskon sebesar 50% untuk semua layanan makanan dan minuman yang kita butuhkan nanti!” “Han
“Mau digendong masuk ke mobil atau gimana?” Perkataan Aksa memecahkan ketegangan di antara keduanya. Ocha terlonjak, buru-buru menjauh dari Aksa dan memperbaiki posisi tas kecilnya yang sedikit melorot turun ke lengannya. Aksa tersenyum kecil merasa lucu melihat raut wajah Ocha yang mendadak salah tingkah dan malu-malu seperti itu. “Apaan sih kamu, nyari-nyari kesempatan dalam kesempitan!” ketus Ocha, menyudutkan Aksa. “Lah?” Aksa memasang wajah bingung. Di samping itu, ia sedikit malu karena tak jalan dengan hati-hati. Masih untung ada Aksa yang sigap menolong, jadi tak sampai ada drama-drama mencium aspal sampai bibir bengkak. Dan yang paling membuat Ocha bak ingin menghilang ke langit ke tujuh adalah bekas lipstik di baju Aksa. Jelas, itu bekas lipstiknya. Tadinya, Ocha memang merasa bibirnya menempel di dada Aksa. Namun, tak
“Apa yang kejepit, Cha?”“Hah?” Ocha menatap Aksa dengan kening mengerut penuh tanya.“Itu kamu bilang dih, dih! Itu ungkapan kalau lagi kesakitan, kan?”“Aduh disingkat duh, Mas, bukan dih!” cecar Ocha memutar bola matanya, malas.Dia kembali menatap ke arah lain, takut jika berlama-lama memandangi Aksa malah membuatnya semakin terbawa perasaan, walaupun entah sedari kapan dia sudah terbawa perasaan karena sikap hangat Aksa padanya?Hening beberapa saat. Hingga Aksa kembali membuka suara. “Kamu masih utang penjelasan. Tadi kamu bilang keamanan buat kita berdua, emang keamanan apa? Kurang aman apa di sini sampai kamu cari keamanan?”“Bukan tempatnya yang gak aman, Mas, tapi ....”“Apanya? Tenang aja, Cha. Ada aku yang bakal lindungi!”“Aku takut ada mata netizen yang nyadar kalau kita lagi bareng. Kalau orang kayak aku mungkin mereka liatnya biasa saja. Tapi, masalahnya kamu yang banyak dikenal orang.
Di ruang kerja Paul.Pria itu duduk menatap serius pada laptopnya, membuka setidaknya aplikasi yang digandrungi para seleb bagian dari terobosan Meta. Bukan tanpa alasan ia membuka aplikasi tersebut, tetapi karena dia mencari sesuatu tentang teman pria putrinya, yakni Yaya. Ia penasaran dengan latar belakang Yaya yang konon adalah putra dari wanita yang sebenarnya dikenal--di kontrakan Ocha waktu itu.Paul mulai menelusuri berbagai foto yang diunggah Yaya di akunnya, berharap menemukan petunjuk tentang hal yang dicarinya.Namun, semua foto yang ada hanya foto sendiri, foto kegiatan, selebihnya menunjukkan momen bersama teman-temannya. Tak ada kebersamaan dengan Karin. Paul berbisik pada dirinya sendiri. “Apa setelah tidak bersamaku, Karin menikah lagi dan dikaruniai seorang putra bernama Yaya? Tapi, Yaya sepertinya seumur Nathan. Apa secepat itu Karin menerima orang lain untuk masuk ke dalam kehidupannya?”P
Paul kini hanya bisa menelan salivanya yang terasa getir. Bibirnya sesekali bergetar, hendak berbicara. Namun, mulutnya seolah kaku untuk sekadar berucap hingga kata-kata yang tersusun rapi di hatinya tak bisa tersampaikan. Paul masih bungkam seribu bahasa, hingga Karin kembali bersuara. “Kau ke sini hanya untuk menanyakan hal itu, bukan? Aku sudah menjawabnya, jadi pulanglah! Kita tidak ada urusan lagi.”Sekali lagi, Paul menelan ludahnya, tersenyum penuh kepalsuan. Dia menatap mantan istrinya yang sudah banyak berubah itu. Dulunya lemah lembut, sekarang sudah tampak berani dan tegas. “Ocha gak tau kamu ibu kandungnya?” tanya Paul lagi.“Tidak.”“Kenapa kau tak mengatakannya?”Karin mengulas senyum getir. “Kenapa? Karena aku menunggu itikad baikmu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Ocha. 25 tahun kau menyembunyikan statusnya sebagai anak tiri? Lalu, setelah dia mengetahui semuanya, kau masih bungkam, dan
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok