Sekitar pukul setengah 6 sore, Aksa sudah menunggu di depan kantor Ocha, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya.
Tadi, Ocha bilang akan pulang sejam lagi karena banyak kerjaan setelah cuti libur.Namun, Aksa tak ingin membuat istrinya itu terlalu lama menunggu sehingga inisiatif untuk menjemputnya lebih awal.Hanya saja, ia justru sedikit kesal pada jarum jam yang rasanya berputar lama sekali seperti pergerakannya kura-kura.Hingga tak lama kemudian, dia melihat Ocha keluar dari pintu utama kantornya, senyum lega pun tercetak jelas di wajahnya.Dengan cepat, ia membuka pintu mobil dan keluar menjemput sang istri yang semakin mendekat ke arahnya.Tiba di hadapan suaminya, Ocha meraih tangan Aksa untuk diciumnya dengan takzim. Begitupun Aksa yang membalas dengan mencium kening dan memeluk Ocha sebentar, seakan melampiaskan rindu.“Katanya masih banyak kerjaan dan se-jaman lagi pulang,” kata Aksa.OchaDring! Ocha yang baru saja duduk di tepi ranjang setelah menidurkan Aqil ke tempat tidurnya sontak menoleh dengan kening mengerut, bertanya-tanya. Karena penasaran siapa yang menghubunginya di malam hari begini, dia pun gegas mengambil ponsel yang masih berada di tas yang dipakenya tadi berangkat kerja. [Oi, hari Minggu pada sibuk, gak?]Ocha mengernyit sebentar, tapi tanpa banyak berpikir, dia pun mengetikkan balasan untuk pesan Lala yang dikirimkan di grup Trio Senggol Bacok itu.[Gak! Ada apa?] Ocha.[Gue juga libur, kok.] Yaya.[Ketemu, yuk! Di tempat biasa. Udah jarang banget kita nongkrong semenjak Ocha kerja.] Lala.[Gue pikir lu mau ngundang kita ke acara engagement lu. Tau-tau ngajak nongkrong.] Yaya.[Boro-boro engagement, jodohnya aja antara masih kejebak macet atau terjebak rasa nyaman di pelukan orang lain.] Lala.[Hahaha. Yoilah, gue bisa aja. Gak tau sama Nyonya baru kita.] Ya
Hari Minggu siang, Ocha berjalan santai memasuki kafe outdoor--yang memang menjadi tempat nongkrong favorit mereka sejak dulu.Namun, kini langkahnya terhenti sebentar, mengambil kesempatan mengedarkan pandangan, hingga sepasang mata bulatnya itu menangkap sosok Lala dan Yaya yang ternyata sudah datang lebih dulu.Tak ingin membuat teman-temannya menunggu lebih lama lagi, Ocha pun gegas menghampiri mereka. “Duh, pengantin baru aura-aura wajahnya memang agak beda. Kamu kenapa gak bawa Aqil, Cha?” tanya Yaya. “Aku kan pengen ketemu ponakan.”“Hahaha. Geli gue kalau lu ngomong pake aku kamu, Ya. Biasa aja kali. Anggap aja gue teman lu kayak Lala.”“Itu demi berbakti kepada Kakak. Nanti kalau manggil lu gue kesannya gak sopan. Masih untuk kalau gak disulap jadi kodok.”“Heh, lu bukan Pangeran Kodok!” cecar Lala. “Betewe, lu ke sini sendiri, Cha? Aksa gak dibawa? Kan lumayan kalau dia mau jadi anggota geng kita.”Ocha tertaw
Ocha membuka pintu rumah dengan pelan, membiarkan Aksa yang menggendong putra mereka masuk lebih dulu, kemudian Ocha menyusul dan menutup pintu.Wajah Ocha kini terlihat ditekuk bak orang banyak beban dan pikiran.Benar saja, karena dia terus kepikiran Fafa yang dilihatnya sedang berkencan dengan seorang pria yang konon adalah pria beristri. Walau Fafa bukan saudara kandungnya, tapi bagaimanapun juga Ocha sudah menganggap wanita itu sebagai saudaranya. Mereka puluhan tahun tinggal bersama, meski Fafa sering melakukan hal buruk pada Ocha Fafa di masa lalu, tapi ia tak bisa membiarkan hati kecilnya untuk tidak peduli pada kakak tirinya itu.Bukan apa-apa, sejatinya Ocha hanya khawatir nanti Fafa akan terkena masalah kalau berani mendekati suami orang.Tiba di kamar, Ocha meletakkan tas kecilnya dan bergegas mengambil pakaian khusus malam untuk putranya.“Mas, Aqilnya taro di kasur sini, soalnya dia waktunya ganti baju.”
Mendengar cerita istrinya itu, Aksa bisa memahami kecemasan Ocha.Dia meletakkan tangannya di punggung sang istri dan mengusap-usap lembut sekadar untuk menenangkan.“Udah tanya Mbak Fafa, belum?” tanya Aksa yang dijawab Ocha dengan gelengan pelan.“Mending kamu telepon Mbak Fafa dan tanyakan tentang pria itu. Ya, barangkali ... dia gak tau kalau pria itu punya istri.” Aksa memberikan solusi. “Sekarang, banyak pria beristri yang mengaku single pada wanita lain untuk mencari kesenangan. Bahkan, gak jarang mereka akan menyewa LC untuk bersenang-senang.”“Ih, kok gitu?” tanya Ocha.“Iya. Begitulah kenyataannya, Sayang.”“Jadi, kamu mau gitu nanti? Semisal gak puas sama aku, mau sewa cewek buat bersenang-senang?”Aksa melotot lebar. Sepertinya ia telah salah bicara sehingga kini Ocha mendelik judes ke arahnya. Dia tersenyum. “Gak berani, Sayang.”“Gak berani sama aku?” tanya Ocha.Sebuah gelengan
Di sana, Fafa terlihat terpojok, wajahnya pucat. “Aku ... aku gak tau kalau Mas Aris punya istri, Mbak ....” Suaranya bergetar. Di sudut lain, Ocha dibuat bingung dengan pernyataan Fafa. Bukankah tadi malam kakak tirinya itu mengaku mengetahui status kekasihnya? Lantas, mengapa sekarang justru bilang tidak tahu? Apakah itu bagian dari trik permainan mereka?“Gak tau kamu bilang?!” bentak wanita itu. Dia sontak menatap tajam suaminya. “Mas, jelasin! Apa maksud dia?”“Lidya, aku ... aku bisa jelaskan, Sayang. Ini gak seperti yang kamu lihat.” Pria bernama Aris itu membela diri. Dia berusaha meraih tangan istrinya untuk menenangkan.Ocha yang merasa tak tega melihat Fafa dipojokkan pun tanpa berpikir panjang segera mendekati mereka, berusaha menghentikan pertengkaran yang semakin memanas.“Mbak ... maafkan aku memotong. Sepertinya di sini ada kesalahpahaman. Jadi, alangkah lebih baik kalau kita membicarakan sem
Lala dengan wajah panik bergegas turun dari mobilnya begitu sampai di restoran setelah menerima telepon dari Rina yang menginformasikan kalau seseorang sedang memaki-maki Ocha dan kakaknya di restoran. Sebagai teman, Lala tidak bisa tinggal diam temannya dimaki. Dia merasa perlu pasang badan untuk membela Ocha. Lagian, sedikit banyaknya dia menduga kalau masalah itu ada kaitannya dengan Fafa--kakak tirinya Ocha Lala hendak langsung berjalan masuk ke restoran, tapi saat itu juga Ocha muncul dari dalam restoran dengan langkah cepatnya. “Ocha!” Lala memanggil dengan suara cemas, mempercepat langkah mendekati Ocha. “Lu baik-baik aja? Apa yang terjadi di dalam?” Ocha tersenyum lemah. Sebenarnya ia tidak baik-baik saja setelah seseorang menuduhnya sebagai pelakor, tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja. “Gue gak apa-apa. Kenapa lu di sini, La?” Namun, sebelum Lala menjawab perkataan Ocha, Dita j
Aksa menelan ludahnya. Merasa dilema antara harus memberi kesempatan Dewi berbicara dengannya atau tidak. Dia melirik arlojinya, sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam.Rasa hatinya ingin menolak karena khawatir akan membuat Ocha menunggu lama.Namun, melihat wajah Dewi yang serius, dia pun memutuskan untuk berbicara dengan Dewi lebih dulu. Barangkali memang ada hal yang sangat penting yang ingin disampaikan wanita itu.“Ya sudah, kita duduk di sana.” Aksa mempersilakan Dewi untuk menuju kursi yang ditunjuk.“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Aksa begitu keduanya sudah duduk. Dewi menelan ludah, gelagatnya terlihat ragu untuk menyampaikan isi hatinya. Dia menarik napas pelan sebelum akhirnya mengungkapkan perasaan. “Sebenarnya, aku ... aku sedikit menyesal, Mas Aksa,” katanya nyaris tak terdengar. Dia menunduk dengan tangan dengan jari-jari tangan yang saling meremas. Aksa yang tak mengerti k
Ocha duduk di ruang keluarga, sepasang matanya tak pernah lepas menatap jam dinding dengan cemas. Sudah larut malam, dan Aksa belum pulang. Dia semakin tidak tenang, terbayang-bayang akan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi di luar sana.Apalagi ponsel suaminya tidak aktif.‘Pasti lupa bawa charger lagi,’ pikir Ocha.“Astaga, Mas. Kamu di mana, sih?” gerutu Ocha. Dia kini bangkit dan kembali mendekat ke arah jendela. Mengintip di balik tirai, berharap mobil Aksa masuk ke halaman rumah mereka. Namun, nihil. Dia pun memutuskan untuk menelepon Yaya untuk meminta bantuan mencari Aksa. Hanya saja, baru saja hendak menelepon, tetapi tangisan Aqil sudah terdengar dari kamar. Niatnya menelepon jadi urung karena akan mengurus Aqil lebih dulu. Dia kembali ke kamar dan menenangkan bayi kecil yang menangis histeris itu.Ocha mulai menggendong Aqil sebentar, lalu menidurkannya k
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok