Hai, Kakak-kakak yang baik. Sudah mau akhir bulan nih, kalau masih ada yang punya gem, boleh dong dibagi ke Isha dan Satrio. Sayang 'kan kalau gem-nya hangus hehehe. Makasih banyak sebelumnya.
Senin pagi ini, suasana di kantor pusat Digdaya Grup tampak lebih ramai dari biasanya. Karangan bunga papan berjejer di sepanjang jalan sampai di halaman gedung bertingkat lima belas itu. Karangan bunga tersebut semua berisi ucapan selamat untuk pimpinan baru Didgaya Grup yang akan diangkat hari ini yang dikirim oleh sesama pengusaha, pejabat negara, dan juga para artis yang pernah bekerja sama dengan perusahaan. Setelah Subuh, Isha langsung didandani oleh salah satu MUA ternama di ibu kota. Walaupun dia bisa berdandan sendiri, tapi karena hari ini adalah hari spesial untuk sang suami, Isha harus memastikan penampilannya istimewa agar tidak membuat malu Satrio dan juga mertuanya. Meskipun bukan dari latar keluarga kaya, setidaknya dia bisa berbaur dan berpenampilan seperti keluarga Satrio pada umumnya. Selesai dengan riasan wajah, Isha kemudian mengenakan pakaian yang merupakan salah satu rancangan desainer terbaik di Indonesia. Sesudah itu ada lagi orang yang menata hijabnya agar te
Isha sontak menoleh ke arah datangnya suara. Keningnya mengerut kala melihat sosok yang tadi memanggilnya. Wajah pria itu tampak familier, tapi dia sama sekali tidak punya petunjuk. “Ya, benar. Maaf, Bapak siapa ya?” tanyanya dengan sopan.“Kamu pasti lupa ya sama aku?” Pria tersebut menatap lekat wanita yang mengenakan hijab berwarna biru tua itu. Dia duduk di kursi samping Isha yang kosong.Isha tersenyum canggung. “Maaf, saya benar-benar tidak ingat,” tuturnya.Pria berkacamata itu mengangguk-angguk. “Wajar kalau kamu lupa sama aku karena sudah tujuh atau delapan tahun kita ga ketemu. Meskipun begitu, aku tetap ingat kok sama kamu,” ucapnya.Isha kembali mengernyit. “Maaf, apa bisa Bapak jelaskan kita kenal di mana dan kapan?” pintanya dengan penuh rasa penasaran.“Kita dulu bertetangga sebelum keluargaku pindah ke Malang. By the way, kita dulu juga satu SMA,” terang pria tersebut.“Apa kita teman sekelas waktu SMA?” tanya Isha memastikan karena tak yakin pria tersebut teman sekela
“Kita dapat jatah makan siang gratis hari ini,” ucap seseorang yang baru masuk ke ruang di mana divisi Surya berada.“Tumben. Memangnya ada acara apa hari ini?” tanya Surya tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.“Hari ini ‘kan pergantian presiden direktur Digdaya Grup. Dengar-dengar makan siang hari ini, syukurannya presdir yang baru,” jelas orang tadi.“Apa sudah diumumkan siapa presdir yang baru?” Surya akhirnya menatap teman satu divisinya itu.“Sudah. Pasti kamu belum lihat grup kantor ya?” Tebakan teman Surya itu sangat tepat.“Belum. Aku sibuk kejar deadline sejak datang,” aku Surya yang memang tak beranjak dari tempat duduk sejak masuk ke ruangan tersebut.“Aku ga nyangka ternyata direktur kita itu cucunya pemilik Digdaya Grup. Dan aku ngerasa bangga pernah jadi anak buah beliau,” celetuk yang lain, dan membuat Surya sontak menoleh pada orang tersebut.“Terus apa hubungannya direktur kita sama presdir Digdaya grup yang baru?” tanya Surya dengan kening mengerut.“Yang jadi p
Vita seketika tersadar dari lamunannya. Dia dengan cepat menggeleng. “Enggaklah, ngapain? Kaya kurang kerjaan aja,” kilahnya.“Ya siapa tahu.” Rekan kerja Vita itu mengedikkan bahunya.Vita tak lagi menanggapi temannya itu lalu kembali berkirim pesan dengan suaminya.Vita: Beb, jadi selama ini kita dibohongi ya sama Bang Sat. Ternyata selama ini dia direktur di perusahaan kita.Surya: Makanya waktu aku pertama kali melihat Bang Satrio kaya pernah ketemu tapi aku lupa. Sekarang aku baru ingat kalau pernah ketemu waktu aku ikut rapat sama manajeman mewakili kepala divisku yang saat itu lagi sakit.Vita: Pas resepsi kemarin kamu ‘kan juga lihat ada petinggi perusahaan yang datang ke sana. Pantas saja kalau diundang.Surya: Udah dulu ya, Beb, nanti disambung lagi. Aku mau lanjut kerja. Hari ini deadline soalnya.Vita: Oke. Nanti ketemu pas makan siang di kantin ya.Surya: Ya.*** “Pak, nanti ada konferensi pers jam 1.00 siang.” Bayu memberi tahu sang atasan yang sedang makan dengan istri
"Hari ini tumben antriannya banyak banget," lontar Vita saat masuk ke kantin kantor bersama suaminya. "Makan siang hari ini gratis, Beb. Dibayarin sama Bang Satrio," bisik Surya agar tidak terdengar yang lain.Vita yang berdiri di depan Surya seketika menoleh ke belakang. "Yang bener? Tahu dari mana, Beb?" tanyanya."Teman satu divisiku yang ngomong. Katanya syukuran dari presdir baru, semua karyawan yang ada di bawah Digdaya Grup, ditraktir makan siang," jelas Surya.Mata Vita sontak membola. "Gila! Perusahaan yang ada di bawah Digdaya Grup 'kan banyak. Habis berapa itu buat traktir semua karyawan?" bisiknya.Surya mengedikkan bahu. "Yang jelas banyak, Beb. Bisa jadi milyaran. Uang segitu mah buat orang seperti Bang Satrio ga ada artinya, Beb. Seperti kalau kita ngeluarin uang seratus ribu aja," timpalnya."Iya juga. Pantas sekarang Mbak Isha jadi lebih cantik pasti dikasih perawatan yang mahal. Semua yang dia pakai juga ga ada yang harganya murah. Beruntung banget jadi Mbak Isha. S
“Bang, setelah aku pikir-pikir, kayanya aku ikut Bang Satrio konferensi pers saja, tapi aku ga bisa ngembaliin hijabku kaya tadi,” kata Isha setelah mereka menjalankan salat Zuhur berjemaah.“Gapapa, pakai aja sebisa Dek Isha,” sahut Satrio sambil tersenyum manis pada istrinya. “Bagaimanapun penampilan Dek Isha, di mata Abang tetap yang paling cantik,” imbuhnya.“Hmm, mulai deh gombal lagi,” celetuk Isha seraya mengerling pada suaminya yang sedang mengurai lipatan lengan pada kemejanya. Sebelum mengambil wudu tadi, Satrio melipat lengan kemejanya sampai di atas siku."Ga percaya banget sih kalau Abang tuh jujur, Dek. Mana pernah Abang bohong?" protes Satrio."Bang Satrio, pernah bohong sama aku waktu awal kita nikah. Bilang kalau kerja jadi mandor, ternyata yang punya perumahan," balas Isha.Satrio menghela napas panjang. "Dek Isha, 'kan sudah tahu alasan kenapa Abang bohong. Tapi sekarang Abang 'kan ga pernah bohong lagi, Dek," desahnya.Isha tersenyum kala melihat bayangan suaminya
“Bu, sudah lihat berita belum?” Vita menghubungi Lina saat dalam perjalanan pulang dari kantor. Setelah makan siang tadi, dia tidak sempat menghubungi ibunya, jadi baru dilakukan sekarang. “Berita apa, Vit? Ibu dari tadi tiduran karena agak pusing jadi ga lihat hape,” sahut Lina dari seberang telepon. “Ibu sedang sakit?” Vita sontak berseru. “Cuma pusing biasa. Kayanya karena kehujanan kemarin pas pulang dari arisan. Setelah dipakai tidur, sudah berkurang,” jawab Lina yang tak mau anaknya merasa khawatir. “Minum obat kalau masih pusing, Bu,” lontar Vita. “Iya. Ibu tadi sudah minta Bapak beliin obat flu di warung. Ibu gapapa kok, kamu ga usah khawatir.” Lina menenangkan putrinya. “Oh ya, tadi kamu bilang soal berita, memangnya ada berita apa?” Istri Baskoro itu mengalihkan pembicaraan. “Itu Bu, berita soal Bang Satrio,” balas Vita. “Hah! Kenapa sama Satrio? Apa dia ditangkap polisi?” Lina asal menebak. Vita menggeleng meskipun Lina tidak bisa melihatnya. “Bukan, Bu. Kalaupun Ba
Lina menyambut Baskoro yang baru masuk rumah dengan wajah semringah, walaupun di kedua pelipis tertempel koyo. Pertanda kalau dia sedang sakit kepala. Baskoro merasa heran dengan sikap istrinya yang tidak biasa, tapi dia tak berusaha mencari tahu karena nanti Lina pasti mengatakan apa maunya. Ya, tindakan yang dilakukan Lina biasanya dilakukan kalau istrinya itu sedang ingin minta sesuatu. Dia tak langsung masuk kamar tapi duduk di kursi ruang depan begitu melihat ada gelas kopinya di atas meja."Gimana kerjaan, Pak?" tanya Lina sambil mendekatkan kopi yang masih panas ke hadapan sang suami."Seperti biasa. Kenapa, Bu? Tumben tanya." Pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu meraih cangkir, lantas menyesap kopinya."Ibu pengen tahu saja. Memangnya ga boleh?" Lina melirik suaminya.Baskoro menoleh pada istrinya. "Boleh saja, cuma tidak biasanya Ibu tanya seperti itu.""Ada peristiwa penting ga di kantor Bapak?" tanya Lina lagi.Baskoro tampak berpikir. "Di kantor ga ada apa-apa,
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac