“Bu, sudah lihat berita belum?” Vita menghubungi Lina saat dalam perjalanan pulang dari kantor. Setelah makan siang tadi, dia tidak sempat menghubungi ibunya, jadi baru dilakukan sekarang. “Berita apa, Vit? Ibu dari tadi tiduran karena agak pusing jadi ga lihat hape,” sahut Lina dari seberang telepon. “Ibu sedang sakit?” Vita sontak berseru. “Cuma pusing biasa. Kayanya karena kehujanan kemarin pas pulang dari arisan. Setelah dipakai tidur, sudah berkurang,” jawab Lina yang tak mau anaknya merasa khawatir. “Minum obat kalau masih pusing, Bu,” lontar Vita. “Iya. Ibu tadi sudah minta Bapak beliin obat flu di warung. Ibu gapapa kok, kamu ga usah khawatir.” Lina menenangkan putrinya. “Oh ya, tadi kamu bilang soal berita, memangnya ada berita apa?” Istri Baskoro itu mengalihkan pembicaraan. “Itu Bu, berita soal Bang Satrio,” balas Vita. “Hah! Kenapa sama Satrio? Apa dia ditangkap polisi?” Lina asal menebak. Vita menggeleng meskipun Lina tidak bisa melihatnya. “Bukan, Bu. Kalaupun Ba
Lina menyambut Baskoro yang baru masuk rumah dengan wajah semringah, walaupun di kedua pelipis tertempel koyo. Pertanda kalau dia sedang sakit kepala. Baskoro merasa heran dengan sikap istrinya yang tidak biasa, tapi dia tak berusaha mencari tahu karena nanti Lina pasti mengatakan apa maunya. Ya, tindakan yang dilakukan Lina biasanya dilakukan kalau istrinya itu sedang ingin minta sesuatu. Dia tak langsung masuk kamar tapi duduk di kursi ruang depan begitu melihat ada gelas kopinya di atas meja."Gimana kerjaan, Pak?" tanya Lina sambil mendekatkan kopi yang masih panas ke hadapan sang suami."Seperti biasa. Kenapa, Bu? Tumben tanya." Pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu meraih cangkir, lantas menyesap kopinya."Ibu pengen tahu saja. Memangnya ga boleh?" Lina melirik suaminya.Baskoro menoleh pada istrinya. "Boleh saja, cuma tidak biasanya Ibu tanya seperti itu.""Ada peristiwa penting ga di kantor Bapak?" tanya Lina lagi.Baskoro tampak berpikir. "Di kantor ga ada apa-apa,
“Bapak dengar kamu diangkat menjadi presdir baru Digdaya Grup. Bapak dan Ibu mengucapkan selamat. Semoga kamu bisa mengemban amanah dengan baik. Bisa membuat perusahaan semakin maju, dan semakin menyejahterakan para karyawan,” ucap Baskoro dengan tulus seraya memandang layar ponselnya. Satrio tersenyum lebar begitu mendengar ucapan sang mertua. “Aamiin. Terima kasih, Pak, Bu. Mohon doanya agar saya bisa menjadi pemimpin yang baik,” sahutnya. “Insya Allah Bapak selalu mendoakan kamu dan Isha setiap selesai salat,” timpal Baskoro. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak, Bu,” balas Satrio. “Kapan nih syukurannya? Masa cuma karyawan aja yang ditraktir makan siang,” lontar Lina yang duduk di samping suaminya. “Ibu nih apa-apaan sih?” Baskoro menegur istrinya. Merasa tak enak hati pada sang menantu. “Aku ‘kan cuma nanya, Pak. Masa ga ada acara syukuran sama keluarga. Memangnya Bapak ini ga dianggap sebagai keluarga,” tukas Lina. “Insya Allah ada, Bu. Waktunya nunggu jadwal Bapak lib
“Dek, gimana kalau kita ajak Bapak dan Ibu staycation di puncak setelah makan bersama?” Satrio minta pendapat Isha setelah perasaan wanita yang sedang hamil itu sudah lebih baik.“Bapak ‘kan cuma libur sehari, Bang. Masa harus bolos kerja?” timpal Isha seraya memandang suaminya.“Gampanglah nanti. Itu bisa diatur,” lontar Satrio.Isha mengerutkan kening. “Bisa diatur gimana, Bang? Bukannya Bang Satrio bilang kalau tidak bisa ikut campur urusan anak perusahaan apalagi mengatur jadwal kerja karyawan?” Satrio tertawa kecil. “Bukannya mau sombong, tapi apa sih yang ga bisa Abang lakukan sebagai pimpinan, Dek? Mau langsung pecat orang juga bisa. Abang bilang seperti itu biar Ibu tidak minta macam-macam. Abang takut Ibu minta Vita atau Surya dinaikkan jabatan padahal mereka belum kompeten.” Dia mengungkapkan alasannya.Isha mengangguk-angguk. Membenarkan apa yang dilakukan suaminya. Kalau dibiarkan begitu saja, Lina memang akan minta seenak hatinya. “Terus nanti gimana Bang Satrio ngatur l
Jumat petang selepas Magrib, Baskoro dan Lina berangkat ke restoran dengan mobil jemputan yang dikirim oleh Satrio. Lina minta jendela yang ada di kabin tengah dibuka agar para tetangga melihatnya menaiki mobil mewah. Norak memang, tapi begitulah sifatnya.Sejak Satrio diangkat jadi presdir baru Digdaya Grup, Lina jadi sering membangga-banggakan suami Isha itu. Dia seolah lupa kalau pernah merendahkan dan menghina pria berambut ikal tersebut. Memang ya, harta dan kedudukan bisa mengubah sikap seseorang terhadap orang lain.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, pasangan paruh baya itu tiba di restoran yang sudah dipesan oleh Satrio. Kedatangan mereka bersamaan dengan Vita dan Surya yang berangkat dari rumah orang tua Surya. Keempat orang itu diantar ke private room oleh salah satu karyawan restoran setelah mengatakan kalau mereka diundang oleh Satrio.Tak hanya Isha dan Satrio yang ada di ruang privat tersebut. Ada Krisna, Laksmi, Bisma dan juga Nila. Satrio dan Isha son
Surya melambaikan tangan saat kendaraan mewah yang membawa istri dan kedua mertuanya meninggalkan tempat parkir restoran. Dia tetap di tempatnya berdiri sampai mobil tersebut tak terlihat lagi. Setelah itu baru kembali ke mobilnya.Saat Surya sedang memasang sabuk pengaman, ada notifikasi pesan masuk. Dia mengambil gawai dari saku celana lalu membuka pesan yang baru masuk tersebut. Senyum mengembang di bibirnya kala melihat nama sang pengirim pesan. Setelah membaca isi pesannya, Surya langsung melakukan panggilan."Gimana, Ke?" tanya Surya begitu panggilannya langsung diangkat pada dering pertama."Ini loh anak-anak ngajakin kumpul malam ini di klub. Kamu bisa 'kan?" sahut seorang wanita dari seberang telepon."Bukannya besok kita juga ngumpul, Ke?" tanya Surya dengan kening berkerut."Iya, tapi malam ini sebagian mau ngumpul. Ga semua sih. Ya cuma yang mau-mau aja. Katanya buat refreshing otak setelah lima hari kerja," terang wanita yang bernama Ike itu."Pakai acara minum ga tuh nan
“Ya, ayo minum dikit aja. Masa ke klub ga minum? Kamu ga bakal mabuk deh.” Ike menyodorkan gelas kecil yang berisi minuman beralkohol pada Surya. Wanita itu sejak tadi terus memaksa Surya minum cairan haram tersebut. “Ga, Ke. Aku harus nyetir. Aku ga mau membahayakan nyawaku sendiri.” Surya menolak dengan tegas. “Kamu ga asyik banget sih, Ya. Kita ke sini ‘kan buat senang-senang. Ya ‘kan, Gaes?” Ike minta dukungan pada teman-teman mereka yang lain. “Iya. Dikit aja gapapa, Ya. Di sini polisinya ga kaya di luar negeri sana yang suka ngecek kadar alkohol pengendara mobil,” timpal yang lain. Surya tetap kukuh pada pendiriannya. Dia sama sekali tak mau menyentuh minuman yang memabukkan itu. Orang yang jarang atau tidak pernah mengonsumsi minuman beralkohol, mencicipi sedikit saja bisa langsung mabuk. Karena itu Surya tidak mau minum meskipun hanya sedikit. Bagaimanapun dia sudah punya tanggungan istri dan calon anak yang sedang dikandung Vita. “Ke, udah minumnya. Kamu udah mabuk.” Sur
Surya mengambil handuk kecil yang ada di sana, lalu membasahinya dengan air. Setelah itu mengelap wajah Ike agar lebih segar sekaligus membersihan bagian tubuh yang terkena muntahan. Surya melakukan semua itu sambil menahan diri dari godaan setan yang terkutuk. Sesudah memastikan Ike bersih, Surya melepas kemeja dan celana panjangnya yang terkena muntahan hingga dia pun hanya mengenakan singlet dan bokser. Surya kemudian mencuci kemeja, celana panjang, dan gaun Ike di wastafel. Sekedar untuk menghilangkan noda muntahan. Kemeja dan celananya kemudian diangin-anginkan di gantungan kamar mandi. Surya kembali memapah Ike. Kali ini keluar dari kamar mandi. Dia akan membaringkan teman kuliahnya itu di tempat tidur agar bisa beristirahat dengan nyaman. Dia sendiri mungkin akan tidur di sofa atau kursi karena tak mungkin pulang hanya mengenakan pakaian dalam. Orang tuanya tahunya dia pergi staycation dengan Vita, jadi tak masalah kalau tidak pulang ke rumah. Begitu tiba di samping tempat t
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t