“Bapak dengar kamu diangkat menjadi presdir baru Digdaya Grup. Bapak dan Ibu mengucapkan selamat. Semoga kamu bisa mengemban amanah dengan baik. Bisa membuat perusahaan semakin maju, dan semakin menyejahterakan para karyawan,” ucap Baskoro dengan tulus seraya memandang layar ponselnya. Satrio tersenyum lebar begitu mendengar ucapan sang mertua. “Aamiin. Terima kasih, Pak, Bu. Mohon doanya agar saya bisa menjadi pemimpin yang baik,” sahutnya. “Insya Allah Bapak selalu mendoakan kamu dan Isha setiap selesai salat,” timpal Baskoro. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak, Bu,” balas Satrio. “Kapan nih syukurannya? Masa cuma karyawan aja yang ditraktir makan siang,” lontar Lina yang duduk di samping suaminya. “Ibu nih apa-apaan sih?” Baskoro menegur istrinya. Merasa tak enak hati pada sang menantu. “Aku ‘kan cuma nanya, Pak. Masa ga ada acara syukuran sama keluarga. Memangnya Bapak ini ga dianggap sebagai keluarga,” tukas Lina. “Insya Allah ada, Bu. Waktunya nunggu jadwal Bapak lib
“Dek, gimana kalau kita ajak Bapak dan Ibu staycation di puncak setelah makan bersama?” Satrio minta pendapat Isha setelah perasaan wanita yang sedang hamil itu sudah lebih baik.“Bapak ‘kan cuma libur sehari, Bang. Masa harus bolos kerja?” timpal Isha seraya memandang suaminya.“Gampanglah nanti. Itu bisa diatur,” lontar Satrio.Isha mengerutkan kening. “Bisa diatur gimana, Bang? Bukannya Bang Satrio bilang kalau tidak bisa ikut campur urusan anak perusahaan apalagi mengatur jadwal kerja karyawan?” Satrio tertawa kecil. “Bukannya mau sombong, tapi apa sih yang ga bisa Abang lakukan sebagai pimpinan, Dek? Mau langsung pecat orang juga bisa. Abang bilang seperti itu biar Ibu tidak minta macam-macam. Abang takut Ibu minta Vita atau Surya dinaikkan jabatan padahal mereka belum kompeten.” Dia mengungkapkan alasannya.Isha mengangguk-angguk. Membenarkan apa yang dilakukan suaminya. Kalau dibiarkan begitu saja, Lina memang akan minta seenak hatinya. “Terus nanti gimana Bang Satrio ngatur l
Jumat petang selepas Magrib, Baskoro dan Lina berangkat ke restoran dengan mobil jemputan yang dikirim oleh Satrio. Lina minta jendela yang ada di kabin tengah dibuka agar para tetangga melihatnya menaiki mobil mewah. Norak memang, tapi begitulah sifatnya.Sejak Satrio diangkat jadi presdir baru Digdaya Grup, Lina jadi sering membangga-banggakan suami Isha itu. Dia seolah lupa kalau pernah merendahkan dan menghina pria berambut ikal tersebut. Memang ya, harta dan kedudukan bisa mengubah sikap seseorang terhadap orang lain.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, pasangan paruh baya itu tiba di restoran yang sudah dipesan oleh Satrio. Kedatangan mereka bersamaan dengan Vita dan Surya yang berangkat dari rumah orang tua Surya. Keempat orang itu diantar ke private room oleh salah satu karyawan restoran setelah mengatakan kalau mereka diundang oleh Satrio.Tak hanya Isha dan Satrio yang ada di ruang privat tersebut. Ada Krisna, Laksmi, Bisma dan juga Nila. Satrio dan Isha son
Surya melambaikan tangan saat kendaraan mewah yang membawa istri dan kedua mertuanya meninggalkan tempat parkir restoran. Dia tetap di tempatnya berdiri sampai mobil tersebut tak terlihat lagi. Setelah itu baru kembali ke mobilnya.Saat Surya sedang memasang sabuk pengaman, ada notifikasi pesan masuk. Dia mengambil gawai dari saku celana lalu membuka pesan yang baru masuk tersebut. Senyum mengembang di bibirnya kala melihat nama sang pengirim pesan. Setelah membaca isi pesannya, Surya langsung melakukan panggilan."Gimana, Ke?" tanya Surya begitu panggilannya langsung diangkat pada dering pertama."Ini loh anak-anak ngajakin kumpul malam ini di klub. Kamu bisa 'kan?" sahut seorang wanita dari seberang telepon."Bukannya besok kita juga ngumpul, Ke?" tanya Surya dengan kening berkerut."Iya, tapi malam ini sebagian mau ngumpul. Ga semua sih. Ya cuma yang mau-mau aja. Katanya buat refreshing otak setelah lima hari kerja," terang wanita yang bernama Ike itu."Pakai acara minum ga tuh nan
“Ya, ayo minum dikit aja. Masa ke klub ga minum? Kamu ga bakal mabuk deh.” Ike menyodorkan gelas kecil yang berisi minuman beralkohol pada Surya. Wanita itu sejak tadi terus memaksa Surya minum cairan haram tersebut. “Ga, Ke. Aku harus nyetir. Aku ga mau membahayakan nyawaku sendiri.” Surya menolak dengan tegas. “Kamu ga asyik banget sih, Ya. Kita ke sini ‘kan buat senang-senang. Ya ‘kan, Gaes?” Ike minta dukungan pada teman-teman mereka yang lain. “Iya. Dikit aja gapapa, Ya. Di sini polisinya ga kaya di luar negeri sana yang suka ngecek kadar alkohol pengendara mobil,” timpal yang lain. Surya tetap kukuh pada pendiriannya. Dia sama sekali tak mau menyentuh minuman yang memabukkan itu. Orang yang jarang atau tidak pernah mengonsumsi minuman beralkohol, mencicipi sedikit saja bisa langsung mabuk. Karena itu Surya tidak mau minum meskipun hanya sedikit. Bagaimanapun dia sudah punya tanggungan istri dan calon anak yang sedang dikandung Vita. “Ke, udah minumnya. Kamu udah mabuk.” Sur
Surya mengambil handuk kecil yang ada di sana, lalu membasahinya dengan air. Setelah itu mengelap wajah Ike agar lebih segar sekaligus membersihan bagian tubuh yang terkena muntahan. Surya melakukan semua itu sambil menahan diri dari godaan setan yang terkutuk. Sesudah memastikan Ike bersih, Surya melepas kemeja dan celana panjangnya yang terkena muntahan hingga dia pun hanya mengenakan singlet dan bokser. Surya kemudian mencuci kemeja, celana panjang, dan gaun Ike di wastafel. Sekedar untuk menghilangkan noda muntahan. Kemeja dan celananya kemudian diangin-anginkan di gantungan kamar mandi. Surya kembali memapah Ike. Kali ini keluar dari kamar mandi. Dia akan membaringkan teman kuliahnya itu di tempat tidur agar bisa beristirahat dengan nyaman. Dia sendiri mungkin akan tidur di sofa atau kursi karena tak mungkin pulang hanya mengenakan pakaian dalam. Orang tuanya tahunya dia pergi staycation dengan Vita, jadi tak masalah kalau tidak pulang ke rumah. Begitu tiba di samping tempat t
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac