***
"Hamil, Fred?"
Fredi mengangguk mantap. Laki-laki yang merangkap menjadi kepala Cafe dan showroom itu bisa memastikan jika telinganya masih berfungsi dengan baik.
"Tapi sepertinya Leo menolak anak yang wanita itu kandung. Ah, siapa namanya, Pak?"
"Citra. Namanya Citra, Fred," sahut Bagas tegas. "Bodoh sekali dia sampai merelakan dirinya dikoyak Leo."
Fredi dan Bagas saling geleng. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Citra yang terkesan bisa memberikan semuanya demi laki-laki yang dia inginkan, apalagi dulu dia mengenal Leo sebagai laki-laki kaya, tapi nyatanya ....
"Bagaimana jika wanita itu kalau Leo sudah ....?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan, Fred. Citra tidak memiliki siapapun, aku takut dia akan kembali mengganggu Anita nanti," sela Bagas cepat.
"Sepertinya anda harus segera meresmikan Bu Anita, Pak. Wanita itu terlalu malang jika dibiarkan sendiri. Kita tidak tau apa yang akan terjadi ke depannya. T
***"Tanpa Pakde jelaskan sepertinya saya sudah menemukan jawabannya. Aneh memang, saya merasa Sea terlalu posesif pada Mas Bagas. Jadi benar dugaan saya, dia mencintai sepupunya sendiri," gumam Anita pada akhirnya."Pakde merasa gagal menjadi seorang Ayah, Nit. Anak yang selama ini Pakde kira sebagai wanita cerdas, ternyata berbuat hal yang bisa merugikan orang lain," papar Tomi. Dia tidak marah dengan ucapan Anita yang terkesan mengintimidasi tindakan Sea, bahkan diam-diam Tomi merasa tertipu, bagaimana bisa dia tidak menyadari sikap Sea yang terlalu berlebihan pada Bagas.Anita mengulas senyum tipis. "Jangankan Sea, semua orang jika mengedepankan perasaan maka akan menyingkirkan perasaan yang lain, Pakde."Tomi mengangguk membenarkan. "Kamu benar, Nit. Terima kasih karena sudah mengesampingkan emosi kamu. Pakde tidak tau harus membalas semua ini bagaimana nantinya.""Pakde cukup berjasa bagi hidup saya. Maaf, karena tidak bis
***"Darimana, Mas?"Tomi menutup mulutnya rapat. Dia terluka karena Gina menyembunyikan kenyataan tentang kebenaran perasaan Sea. Langkahnya semakin menjauh dari Gina yang saat ini masih saja terpaku di ambang pintu. Mendapat perlakuan dingin dari Tomi benar-benar menyakitkan, tapi Gina menyadari jika kekecewaan suaminya memang begitu dalam mengingat Sea adalah putri yang begitu dia sayangi."Kemana Sea?" Gina sedikit melebarkan langkah. "Ada di kamarnya, mau aku panggilkan, Mas?"Tomi mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan satu tangan memijit pelipisnya yang terasa begitu pening. Siapa sangka, di usianya saat ini ia masih harus mengurus banyak hal yang begitu rumit."Ayah memanggilku?" "Duduklah. Ada banyak hal yang akan Ayah tanyakan padamu," sahut Tomi tegas. "Dengarkan baik-baik karena Ayah tidak akan mengulangi ucapan nantinya."Sea mengangguk lemah. Di depan Tomi dia benar-benar kehilangan dirinya yang bar-bar. Kasih sayang Tomi membuat Sea tidak bisa berkuti
***"Kalau saja dia nggak egois, pasti Bu Eni masih hidup!""Tutup mulut anda, Bu Diah!" sentak Bu RT lantang. "Kita sedang berada di rumah duka, jangan membuat suasana panas dengan omongan tidak bermutumu itu!"Dia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan rumah Eni yang mulia ramai kedatangan para pelayat. Halimah memeluk Hesti, dia meminta maaf karena mengira semua ini salahnya."Semua yang bernyawa pasti akan mati, Hal. Aku tidak pernah menyalahkanmu karena kita pun tidak tau seperti apa trauma yang kamu rasakan. Hanya saja ... mungkin Ibu pergi dengan membawa perasaan damai karena dulu ...." Suara Hesti tercekat. Dia tidak bisa berkata-kata lagi karena tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Air mata masih berjatuhan. Rasa kehilangan tentu ada, tapi tentu saja hidup harus tetap berjalan meskipun kematian selalu siaga memisahkan setiap yang bernyawa."Aku sudah memaafkan semuanya, Mbak. Bu Diah benar, aku memang egois," aku Halimah lemah. Vano merengkuh lengan istrinya dan be
***Sehari setelah kedatangan Tomi ke rumah Anita ....|Bisa kita bertemu, ada yang ingin aku bicarakan denganmu! Sea|Anita mengela napas kasar. Dia mengurut keningnya seraya berpikir darimana Sea bisa mendapatkan nomor ponsel miliknya padahal selama ini keduanya tidak terlalu dekat.|Aku sibuk!| Balas Anita sekenanya. Dia merasa enggan bertatap muka dengan wanita yang sudah jelas-jelas mengibarkan bendera perang.|Aku tidak akan berbuat macam-macam, hanya ingin meminta maaf secara baik-baik di depanmu. Itu saja|Anita berpikir sejenak, setelah apa yang dia katakan pada Tomi kemarin, tidak mungkin jika Sea masih berani bertindak konyol.|Baiklah. Katakan dimana kita akan bertemu||Cafe Andalussie, pukul 11 siang aku menunggumu|Anita meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas lagi pesan Sea. Sejak beberapa hari terakhir Bagas tidak lagi berkunjung ke rumahnya. Anita mencoba memahami karena ked
***"Apa Pakde mengancam kamu agar mau memaafkan Sea, Nit? Cepat katakan! Aku tidak akan memaafkan orang-orang yang sudah berbuat dzolim padamu!"Kilat kebencian terpancar di kedua mata Bagas. Laki-laki menatap luruh ke arah Anita sambil sesekali mengepalkan kedua tangannya."Sebegitu inginnya kah keluargamu melindungi Sea atas semua yang sudah ia lakukan terhadapku, Mas?"Lidah Bagas kelu. Menjelaskan semua pada Anita sama saja dengan menggores pisau tajam di hati wanitanya itu. Teringat bagaimana saat Vano begitu membela Sea, berharap Anita dengan hatinya yang lapang mau memaafkan Sea dan tidak memperkarakan semua yang sudah terjadi. Atau bagaimana sikap yang Halimah tunjukkan, seolah-olah Sea adalah orang asing yang belum benar-benar pantas mendapat perlakuan khusus dari Bagas, putranya."Aku memahami posisiku dengan baik, Mas. Sea adalah keponakan Ayah dan Ibu, apalagi Pakde Tomi juga sering sekali ikut andil dalam menyelesa
*** Sea melirik tajam ke arah dimana Anita yang terlihat duduk dengan begitu tenang. Satu kakinya bertumpu di paha yang lain membuat sikap Anita begitu menyebalkan di mata Sea. Bukan lagi Anita penakut yang dulu ada, tapi sosok Anita dengan segala kepalsuan karena mencoba mengelabui lawan dengan memperlihatkan dirinya yang tegar dan tidak terkalahkan. "Mau minum apa? Biar aku yang traktir kali ini," sahut Sea seolah tidak peduli dengan ucapan Anita barusan. Dia melambaikan tangan memanggil salah satu pelayan Cafe dan memesan dua gelas jus alpukat dengan beberapa camilan ringan untuk menemani obrolan keduanya. Anita tetap bungkam, bahkan untuk mengatur semua pesanan mereka adalah Sea. Dia memutar bola mata malas melihat sikap Sea yang sok akrab setelah berhasil membuat Anita malu bukan kepalang. "Bukankah itu wanita yang ada di video viral? Astaga, padahal dia cantik, tapi murahan!" "Benarkah? Coba ambil fotonya dan posting di akun sosial media kamu!" "Coba lihat, dia sama sekali
***Sementara di rumah Anita, Citra berkali-kali mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Mendengar ketukan yang mulai tidak beraturan, Haryati panik dan takut jika ada orang jahat yang mencoba menganggu mereka lagi."Kemana kamu, Nit?" gumam Haryati gelisah. Dia ingin berjalan menuju ruang tamu, tapi kakinya sedikit merasa kesulitan untuk berjalan lebih jauh. Dia berhenti di ambang pintu kamar, kakinya terasa kebas dan terpaksa wanita tua itu kembali ke ranjangnya dengan menahan rasa nyeri yang sangat luar biasa."Anita!" teriak Citra sembari terus menggedor pintu."Citra?" Haryati bermonolog. "Untuk apa lagi dia kesini? Ck, keturunan Guntur memang tidak punya sopan santun!"Haryati mengatur debaran napasnya dengan kembali berbaring. Mendengar suara Citra membuat wanita tua itu sedikit merasa lebih tenang. Setidaknya bukan orang asing yang datang, atau orang-orang menakutkan suruhan Cahyo.Melihat sosok Citra bersandar di pintu rumahnya, Anita segera keluar dari dalam taksi setelah memba
***Haryati mengusap sudut matanya yang berair ketika melihat Anita yang tengah menangis di depan pintu yang tertutup."Sejak kapan Nenek berdiri di sini? Ayo istirahat, maaf kalau Anita sering keluar akhir-akhir ini, Nek." Anita mengamit lengan Haryati dan membawa wanita tua itu untuk duduk di ruang tamu. Dia sedikit paham, mungkin neneknya merasa jenuh berada di dalam kamar seharian tanpa beraktifitas apapun."Mau Nita buatkan teh hangat?""Tidak perlu, duduklah! Ada yang ingin Nenek bicarakan," pinta Haryati lembut. "Di depan ada Citra?"Anita mengangguk. Dia menundukkan kepala tanpa berani menatap Haryati. Entah mengapa, melihat satu-satunya keluarga yang dia punya justru membuat hati Anita ingin menjerit."Sudah kuusir, Nek. Nenek tenang saja," sahut Anita lemah. "Setelah rumah ini terjual, aku pastikan kita hidup tenang, Nek."Haryati menggenggam jemari Anita dengan sedikit gemetar. Usianya yang menjelang senja membuat tubuhnya terasa sangat lemah."Tidak perlu menjual rumah ini
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,